• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM KONSERVASI PENYU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM KONSERVASI PENYU"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM

KONSERVASI PENYU

( Kasus di Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur )

ABIDZAR AL GIFFARI

SKRIPSI

PROGRAM STUDI

MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN–KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul,

“PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM KONSERVASI PENYU”( Kasus di Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kepulauan

Derawan, Provinsi Kalimantan Timur ).

adalah benar hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya-karya yang diterbitkan dalam teks, baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan, dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 17 Agustus 2008

Abidzar Al Giffari C44104019

(3)

ABSTRAK

ABIDZAR AL GIFFARI. Partisipasi Masyarakat dalam Program

Konservasi Penyu (Kasus di Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur). Dibimbing oleh ARIF SATRIA

Wilayah perairan laut dan pesisir Kepulauan Derawan merupakan daerah pengembaraan dan jalur migrasi penting bagi populasi penyu hijau. Status endangered species dan dilindungi Pemerintah tidak menghalangi penangkapan induk dan pemanenan telur di wilayah Kepulauan Derawan. Eksploitasi penyu hijau ini telah menurunkan populasi > 90% selama lima dekade. Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat Kepulauan Derawan telah mempercepat laju kepunahan penyu hijau di Indonesia. Perubahan kebijakan pemerintah harus segera dilakukan untuk menyelamatkan penyu hijau dari kepunahan.

Strategi perlindungan yang dilakukan menggunakan konsep perlindungan habitat.penyu (konservasi in-situ) dengan membentuk Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Berau (Perbub No.31 tahun 2005) seluas 1,2 juta hektar. Dalam pelaksanaannya Pemerintah dan LSM bekerjasama dengan masyarakat yang ada di sekitar KKLD Berau yakni masyarakat Pulau Derawan dan Pulau Maratua.

Penelitian ini akan mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya penyu dan habitatnya di kawasan konservasi serta faktor-faktor yang mendukung dan menghambat partisipasi masyarakat. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tingkat partisipasi masyarakat Pulau Maratua menuju ke arah partnership (kemitraan) dimana pembagian kewenangan cenderung terbagi secara relatif seimbang (equity) antara masyarakat dan pemerintah. Hal ini ditunjukkan dengan keterlibatan masyarakat mulai dari perencanaan pengelolaan, pengambilan keputusan, persetujuan keputusan atas peraturan pengelolaan dan perencanaan program aksi bersama dalam penanganan isu, serta telah terbentuk organisasi berbasis masyarakat yaitu Dakayu Akkal wujud dari kesepakatan pengelolaan kawasan berbasis masyarakat. Sedangkan di Pulau Derawan tingkat partisipasi masih pada tahap manipulasi dimana pemerintah dan LSM sedang membangun dukungan masyarakat dalam menjalankan upaya konservasi penyu. Faktor-faktor pendukung partisipasi diantaranya adalah faktor ekonomi dan faktor dukungan pemerintah serta LSM, sedangkan faktor penghambatnya adalah penegakan hukum yang tidak tegas, kemiskinan, adanya tekanan dari pahter (pemegang konsesi telur penyu) dan konflik kepentingan terhadap sumberdaya penyu. Hal inilah yang menjadi penyebab partisipasi masyarakat di Pulau Derawan masih pada tahap manipulasi.

(4)

© Hak Cipta Milik Abidzar Al Giffari, Tahun 2008 Hak Cipta Dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi,

(5)

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM

KONSERVASI PENYU

( Kasus di Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur )

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ABIDZAR AL GIFFARI C44104019

PROGRAM STUDI

MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN–KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(6)

Judul Skripsi : Partisipasi Masyarakat dalam Program Konservasi Penyu (Kasus di Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur) Nama Mahasiswa : Abidzar Al Giffari

Nomor Pokok : C44104019

Program Studi : Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arif Satria, M.Si NIP. 132 164 113

Diketahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi dengan judul

“Partisipasi Masyarakat dalam Program Konservasi Penyu (Kasus di

Kawasan Konservasi Laut, Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur)” Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan untuk umatnya.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam melaksanakan penelitian pada Program Studi Manajemen Bisnis Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa penyusunan usulan penelitian ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1) Dr. Ir. Arif Satria, M.Si selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini

2) Kedua orang tua H. Nurman Yusuf dan Hj. Husniar Hasbi, Kak Nana, Imay, dan Zuhri yang selalu memberikan kasih sayang, doa, semangat dan dukungan moril kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini

3) Keluarga besar di Nanggroe Aceh Darussalam yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis selama penelitian berlangsung 4) LSM Joint Program Marine Berau (TNC-WWF), Bestari, Yayasan Penyu

Berau, Dinas Perikanan Kelautan, Konservasi Sumberdaya Alam, Tim Pengarah.

5) Teman seperjuangan di SEI, Pondok An-Nur, FDC, HMI dan IMTR 6) Masyarakat Kepulauan Derawan, Pak Yani, Kasmudin, Mba Nina dan Pak

Hirmen yang telah bersedia memberikan ilmu dan tumpangan rumahnya selama penulis melakukan penelitian.

Bogor, 17 Agustus 2008

(8)

Penulis dilahirkan di Lhokseumawe pada tanggal 17 Agustus 1985 dari ayah H. Nurman Yusuf dan ibu Hj. Husniar Hasbi. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

Pendidikan formal yang dilalui adalah SMA Swasta Yayasan Pendidikan Arun Pertamina (YAPENA). Pada tahun 2004 penulis diterima masuk di IPB melalui jalur USMI, dan diterima di Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti kegiatan perkuliahan di IPB, penulis aktif

berkecimpung di beberapa organisasi mahasiswa, yaitu Fisheries Diving Club (FDC) Fakultas Perikanan Kelautan (2004-2008) sebagai koordinator bidang peralatan, Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Perikanan (2004-2008) sebagai anggota, dan aktif dalam Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong (IMTR) sebagai Anggota, serta aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Bogor. Selama kuliah juga ikut terlibat dalam kegiatan akbar (FDC) sebagai tim monitoring ekosistem terumbu karang Ekspedisi Zooxanthellae VIII & IX di Kabupaten Sumenep, Madura (2006) dan Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara (2007), serta kegiatan monitoring Reef Health Joint Program Marine (TNC-WWF) di Kepulauan Derawan (2007), serta pernah menjadi internship student (2008) di Joint Program Marine (TNC-WWF) dan juga aktif mengabdi sebagai mentor di (FDC)-IPB (2005-2008).

Penulis melakukan penelitian dengan judul“Partisipasi Masyarakat

dalam Program Konservasi Penyu (Kasus di Kawasan Konservasi Laut,

Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur)”. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis dibimbing oleh Dr. Ir. Arif Satria, M.Si.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 6 1.3 Tujuan Penelitian ... 7 1.4 Manfaat Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1 Sumberdaya Alam ... 9

2.2 Sumberdaya Penyu ... 10

2.2.1 Klasifikasi dan Karakteristik Penyu ... 10

2.2.2 Habitat Penyu ... 10

2.2.3 Daur Hidup Penyu ... 11

2.2.4 Konservasi Sumberdaya Penyu ... 12

2.3 Konservasi ... 13

2.3.1 Sejarah Perkembangan Konservasi di Indonesia... 13

2.3.2 Pengertian Konservasi ... 15

2.3.3 Kriteria Kawasan Konservasi ... 17

2.3.4 Jenis Kawasan Konservasi ... 18

2.4 Partisipasi Masyarakat... 21

2.4.1 Tangga Partisipasi Masyarakat... 22

2.4.2 Proses Partisipasi ... 24

2.5 Struktur Masyarakat ... 25

2.6 Konsep Manajemen Kolaboratif... 28

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI ... 30

IV. METODOLOGI... 34

4.1 Metode Penelitian ... 34

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 35

4.3 Metode Pemilihan informan ... 35

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 36

4.5 Metode Analisis Data ... 37

4.6 Batasan Operasional ... 38

4.6 Waktu dan Tempat Penelitian ... 40

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 41

5.1 Lokasi dan Kondisi Alam ... 41

5.1.1 Kondisi Geografis ... 41

5.1.2 Wilayah Administrasi ... 41

(10)

5.2.2.1 Populasi dan Tempat Peneluran ... 50

5.2.2.2 Karakteristik Tempat Peneluran... 52

5.3 Kondisi Sosial Ekonomi... 54

5.3.1 Sejarah, Budaya dan Etnis Masyarakat ... 54

5.3.2 Kondisi Ekonomi ... 55

5.3.2.1 Mata Pencaharian ... 55

5.3.2.2 Penggunaan Lahan ... 58

5.3.3 Kependudukan dan Sarana Umum... 61

5.3.4 Pendidikan... 65

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN... 68

6.1 Struktur Sosial Masyarakat ... 68

6.1.1 Pola Pemukiman Masyarakat ... 68

6.1.2 Struktur Penguasaan Sumberdaya Alam... 71

6.1.3 Hubungan Patroen-klien... 76

6.1.4 Struktur Kelembagaan Masyarakat ... 84

6.1.4.1 Struktur Pemerintahan Desa... 88

6.1.4.2 Organisasi Berbasis Masyarakat ... 90

6.1.4.3 Organisasi Non-Pemerintah (ORNOP) ... 91

6.2 Partisipasi Masyarakat dalam Konservasi Penyu... 92

6.2.1 Sejarah Pemanfaatan Penyu ... 92

6.2.2 Sejarah Konservasi Penyu... 96

6.2.3 Pihak yang Berkepentingan Terhadap Sumberdaya Penyu ... 100

6.2.3.1 Masyarakat ... 100

6.2.3.2 Swasta ... 101

6.2.3.3 Pemerintah... 102

6.2.3.4 Lembaga Swadaya Masyarakat... 103

6.2.4 Restrukturisasi Birokrasi ke Arah Desentralisasi di Era KKL . 105 6.2.5 Partisipasi Masyarakat dalam Rencana Pengelolaan Kawasan. 108 6.2.5.1 Rancangan Kesepakatan Pengelolaan di P.Maratua ... 108

A. Proses Kesepakatan ... 109

B. Proses Penetapan Keputusan ... 111

C. Pelaksanaan Pengelolaan... 114

D. Mekanisme Pengawasan ... 115

E. Analisis Partisipasi Masyarakat Dalam Dakayu Akkal .. 117

6.2.5.2 Analisis Partisipasi Masyarakat di Pulau Derawan... 121

6.2.5.3 Sumber dan Hubungan Keterwakilan Masyarakat... 124

6.3 Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat... 125

6.3.1 Faktor Pendukung Partisipasi... 125

6.3.1.1 Faktor Ekonomi... 125

6.3.1.2 Faktor Dukungan dari Pemerintah dan LSM ... 127

A. Pelatihan Kerajinan dan Ekowisata... 127

B. Pelatihan Peningkatan Kapasitas Masyarakat ... 129

6.3.2 Faktor Penghambat Partisipasi... 132

(11)

6.3.2.2 Tekanan Dari Pahter... 133

6.3.2.3 Kemiskinan ... 133

6.3.2.4 Konflik Kepentingan terhadap Sumberdaya Penyu ... 134

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 140

7.1 Kesimpulan ... 140

7.2 Saran... 140

DAFTAR PUSTAKA ... 142

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jenis Kawasan Konservasi(Mackinnon et.al) ... 18

2. Jenis Kawasan Konservasi (UU No.5 Tahun 1990)... 19

3. Jenis Kawasan Konservasi (PP No. 60 Tahun 2007) ... 20

4. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat... 24

5. Tipologi Lembaga Sosial... 27

6. Jumlah Sebaran Pengambilan Informan... 36

7. Nama dan Luas Pulau-Pulau Kecil dalam Kepulauan Derawan ... 42

8. Nama Kampung di Kepulauan Derawan... 43

9. Sumberdaya Hutan di Kepulauan Derawan ... 47

10. Komposisi Terumbu Karang di Kepulauan Derawan ... 48

11. Produksi Perikanan Menurut Sub Sektor Tahun 2006 ... 49

12. Luasan Budidaya Perikanan di Kepulauan Derawan ... 50

13. Karakteristik Lokasi Peneluran Penyu ... 52

14. Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Pulau Maratua ... 55

15. Jumlah dan Jenis Armada Nelayan di KKL Berau... 57

16. Pemanfaatan Lahan di Kampung Kepulauan Derawan... 58

17. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Tahun 2005 ... 62

18. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 62

19. Jumlah Sekolah yang Ada di Kepulauan Derawan ... 65

20. Hak Dalam Penguasaan Terhadap Sumberdaya... 75

21. Kewajiban dan Hak dalam Hubungan Punggawa-Nelayan ... 84

22. Sejarah Konservasi Penyu di Kepulauan Derawan ... 98

23. PAD yang Diperoleh Pemda Berau... 101

24. Stakeholder dan Kepentingannya Terhadap Sumberdaya Penyu... 104

25. Pengamatan Diskusi Terfokus... 119

26. Analisis Aktor Pendukung dalam Diskusi Terfokus ... 121

27. Kondisi pengelolaan sumberdaya di Pulau Maratua dan Pulau Derawan ... 124

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Daur Hidup Penyu ... 11

2. Arah Pergeseran Dalam Partisipasi ... 21

3. Kerangka Pendekatan Studi... 33

4. Pantai-pantai di Kepulauan Derawan ... 43

5. Peta Lokasi Penelitian di Kepulauan Derawan ... 44

6. Berbagai Ekosistem Hutan di Kepulauan Derawan ... 47

7. Kekayaan Sumberdaya Laut yang Dimiliki Kepulauan Derawan... 48

8. Grafik Jumlah Populasi Penyu di Pulau Derawan... 51

9. Grafik Jumlah Populasi Penyu di Pulau Sangalaki ... 51

10. Berbagai Aktifitas Masyarakat Dalam Mencari Nafkah ... 57

11. Salah Satau Fasilitas yang Ada di Kepulauan Derawan... 65

12. Pemukiman Masyarakat di Kepulauan Derawan ... 69

13. Berbagai Aktifitas Nelayan ... 70

14. Aktifitas Perikanan yang Digeluti Seorang Punggawa ... 79

15. Ritual Mandi Safar Oleh Masyarakat Bohesilian... 88

16. Fasilitas yang Dimiliki Organisasi Masyarakat... 91

17. Fasilitas yang Dimiliki Lembaga Swadaya Masyarakat ... 92

18. Koran yang Memuat Berita Penangkapan Kapal Ilegal Berisi Telur ... 95

19. Kondisi Kerusakan Ekosistem di Kepulauan Derawan... 95

20. Berbagai Aktifitas Konservasi Penyu di Kepulauan Derawan... 100

21. Berbagai Fasilitas yang Dimiliki Resort di Kepulauan Derawan... 102

22. Alur Proses Dalam Rencana Pembentukan Badan Pengelola KKLD .. 106

23. Alur proses penentuan zonasi KKLD berbasis co-management ... 107

24. Kegiatan yang Dilaksanakan Masyarakat Pulau Maratua ... 110

25. Proses Penandatanganan Piagam Kesepakatan 4 Kampung Maratua .. 112

26. Alur Proses Pembentukan Badan Pengelola sumberdaya Pulau Maratua... 113

27. Berbagai Bentuk Promosi Ekowisata Masyarakat Maratua ... 114

(14)

29. Mekanisme Pengawasan pada Kawasan Pulau Maratua ... 116

30. Papan Informasi Kampanye Konservasi Penyu. ... 117

31. Aktifitas Masyarakat dan Tim Monitoring Dalam Kegiatan Feeding.. 118

32. Alur Proses Partisipasi Masyarakat Pulau Derawan ... 121

33. Berbagai Aktifitas Kelompok Ekowisata Masyarakat di P.Derawan... 123

34. Sumber dan Hubungan Kekuatan Masyarakat dalam Dakayu Akkal .. 125

35. Pelatihan Mata Pencaharian Alternatif Bagi Masyarakat... 129

36. Kegiatan Pendidikan Lingkungan Hidup Untuk Pelajar ... 130

37. Kegiatan Peningkatan Kapasitas Masyarakat... 132

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Piagam Kesepakatan Bersama Masyarakat Pulau Maratua ... 146 2. Karakteristik Blok Pantai Peneluran Penyu di Pulau Sangalaki ... 147

(16)

1.1Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (sekitar 51.000 km²) berada pada segitiga terumbu karang dengan keanekaragaman tertinggi di dunia. Adanya arus termoklin dari Samudra Pasifik dan kekayaan biota laut menjadikan perairan Indonesia penting bagi pengembaraan 25 jenis mamalia laut dan enam jenis penyu laut.

Penyu merupakan salah satu dari keanekaragaman reptil Indonesia. Menurut Steffen (2000), Indonesia memiliki empat bio-regional tempat berkembang biak penyu. Bio-regional tersebut diantaranya di sekitar wilayah pulau Jawa-Bali, Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Irian Jaya. Berdasarkan hasil lokakarya nasional yang diselenggarakan oleh WWF Wallacea Programme pada tahun 1999 di Bali, maka kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai pusat pengelolaan penyu terbesar di Indonesia.

Total populasi penyu dunia tiap tahun terus menurun, termasuk di Indonesia. Hal ini karena jenis penyu seperti penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys olivacea) terus dikonsumsi oleh masyarakat dalam berbagai bentuk seperti telur, daging dan tempurung penyu (Steffen 2000) .

Penurunan populasi tidak hanya terjadi pada spesies penyu, tetapi keanekaragaman hayati lain pun terus mengalami penurunan. Data dari Bank Dunia (World Bank) menyatakan bahwa dua pertiga dari total populasi sumberdaya khususnya perikanan dunia, telah mengalami penurunan (Kusumastanto 2006). Penurunan tersebut pada umumnya disebabkan oleh kegiatan perikanan destruktif, yaitu penggunaan bahan peledak, racun sianida, penambangan karang, pembuangan jangkar perahu, dan sedimentasi. Pelaku kerusakan tersebut tidak hanya dilakukan oleh masyarakat pesisir, tetapi juga oleh nelayan-nelayan modern dan nelayan asing. Kecenderungan di atas karena kurang optimalnya pengelolaan konservasi laut, yang disebabkan oleh : (1) orentasi pengelolaan kawasan konservasi laut lebih terfokus pada manajemen terrestrial (2) pengelolaan bersifat sentralistik serta belum melibatkan pemerintah daerah dan

(17)

2

masyarakat setempat (3) tumpang tindih pemanfaatan ruang dan benturan kepentingan para pihak, dan (4) banyaknya pelanggaran yang terjadi di kawasan konervasi laut (Wiryawan et al 2005)

Menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 33 ayat 3 bahwa kekayaan sumberdaya alam dimiliki oleh negara, namun fakta yang ada

pemerintah tidak dapat mengelola sendiri, tetapi memberikan kepada pihak swasta untuk mengelola sumberdaya tersebut, sedangkan dalam pemanfaatannya

cenderung tidak memperhatikan aspek sosial budaya masyarakat setempat

(Marius 2003). Hak-hak eksklusif komunal, lembaga-lembaga adat dan nilai-nilai pengetahuan lokal (nobles savages) yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam mengalami penurunan nilai (de-sakralisasi).

Adanya perbedaan sistem kelembagaan tersebut menyebabkan dilema bagi masyarakat adat. Lembaga manakah yang bisa memenuhi kebutuhan hidup, kebutuhan beragama dan kebutuhan bermasyarakat (Soekanto 1979). Beberapa pengaruh dari kebijakan tersebut, masyarakat adat kehilangan sumberdaya alam sebagai bahan pangan dan sandang untuk keperluan pelaksanaan upacara adat, contohnya penangkapan ikan paus oleh masyarakat Lamalera, Nusa Tenggara Timur yang dilakukan pada musim-musim tertentu untuk kepentingan upacara adat, dan daging penyu untuk upacara adat yang dilaksanakan di Bali. Selama Orde Baru, banyak kebijakan pengelolaan sumber daya yang bersifat sentralistik, tak terkecuali kawasan konservasi laut (Satria 2006).

Dasar yuridis pengembangan kawasan konservasi laut adalah Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Melalui UU Nomor 5 Tahun 1990 ini pemerintah pusat berwenang menetapkan kawasan konservasi, yang meliputi taman nasional, taman hutan, serta taman wisata alam. Untuk mengimplementasikannya, dikeluarkanlah

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Margasatwa dan Konservasi. PP tersebut juga mengatur kriteria penetapan kawasan taman nasional, seperti kecukupan ukuran untuk proses ekologis, keunikan sumber daya alamnya, keaslian ekosistem, potensi wisata bahari, dan kemungkinan zonasi. Saat ini, paling tidak ada tujuh taman nasional laut yang dikembangkan pasca-UU Nomor 5 Tahun 1990, yakni Kepulauan Seribu, Karimunjawa, Takabonerate,

(18)

Bunaken, Wakatobi, Cendrawasih, dan Togian. Pengelolaan kawasan konservasi di atas merupakan otoritas pemerintah pusat, yakni Departemen Kehutanan (Dephut). Untuk mengimplementasikannya, Dephut mengembangkan Unit Pelaksana Teknis Balai Taman Nasional dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (Satria 2006).Sementara itu sebagai wujud konsistensi terhadap semangat otonomi daerah, Departemen Kelautan dan Perikanan pun mendorong

berkembangnya kawasan konservasi laut daerah (KKLD). Sejak 2002, ada sekitar 17 kawasan konservasi laut daerah tersebar di seluruh Tanah Air, meski hanya beberapa yang sudah diformalkan. Dengan demikian, saat ini terdapat dualisme pengelolaan kawasan konservasi: bercorak sentralistik dan desentralistik. Yang sentralistik masih dikelola Dephut, sedangkan yang desentralistik dipromosikan Departemen Kelautan dan Perikanan. Meski Departemen Kelautan dan Perikanan mempromosikan desentralisasi, akan tetapi saat ini desentralisasi masih hanya dipahami pada tingkat pemerintah daerah dan belum sampai pada tingkat masyarakat. Padahal desentralisasi kepada masyarakat sangatlah penting. Desentralisasi ke masyarakat saat ini masih bersifat de facto, belum de jure. Hal ini terlihat dari pasal-pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 2004, seperti Pasal 7 ayat 1, 7 ayat 5, dan 61 ayat 3, yang menegaskan bahwa menteri menetapkan kawasan konservasi laut, termasuk taman nasional laut, untuk kepentingan ilmu

pengetahuan, budidaya, wisata, dan berkeberlanjutan populasi ikan serta ekosistemnya, dan nelayan wajib menaati aturan konservasi yang diputuskan menteri. Ini menggambarkan bahwa pengelolaan konservasi oleh pemerintah masih dominan dibanding masyarakat. Bahkan penegasan eksplisit adanya pengakuan terhadap hak pengelolaan laut oleh masyarakat juga tak ada (Satria 2006)

Ketiadaan desentralisasi kepada masyarakat tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan meningkatnya konflik dengan nelayan sebagaimana marak terjadi di kebanyakan taman nasional laut yang ada. Konflik terjadi karena nelayan merasa "terjajah", mengingat tiba-tiba harus terusir dari wilayah tangkapannya tanpa adanya konsultasi terlebih dulu. Akibatnya, marginalisasi nelayan seolah menjadi kenyataan yang harus diterima di mana taman nasional itu berada (Satria 2006). Dalam prakteknya program-program konservasi tersebut telah ditetapkan

(19)

4

terlebih dahulu oleh pemerintah, sehingga partisipasi masyarakat sebatas tingkat penerima (partisipasi tokenisme atau semu).

Jaminan bahwa masyarakat mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam pengelolaan sumberdaya alam, sebetulnya sangat positif. Hal ini bertujuan untuk aspek pengawasan atas sumberdaya alam tersebut. Oleh karena itu, dengan diberlakukannya konsep pembangunan berkelanjutaun oleh komisi lingkungan Dunia (Brutland Commission) pada tahun 1991, maka setiap negara harus dapat memiliki konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable

development) dalam agenda pembangunannya. Hal ini karena inti dari

pembangunan berkelanjutan lebih memprioritaskan pembangunan ke arah nilai demokrasi dan keadilan bagi seluruh masyarakat , dengan mengutamakan manusia sebagai titik utama tujuan pembangunan (people center development). Kerangka pembangunan berkelanjutan memandang bahwa masyarakat lokal dan lingkungan merupakan suatu hubungan kausalitas yang tidak dapat dipisahkan, sehingga dipaparkan dalam prinsip yang ke-22, yaitu :

“….Penduduk asli dan anggota masyarakat lainnya memiliki peranan yang penting dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan karena mereka memiliki pengetahuan dan kebiasaan tradisional yang bermanfaat untuk maksud tersebut. Negara harus menghormati dan memelihara identitas, kebudayaan dan kepentingan kelompok masyarakat ini mendorong mereka agar berpartisipasi aktif dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan….”

Prinsip pembangunan berkelanjutan pula menurut Sitorus (2002) sejalan dengan proporsi-proporsi Sajogyo. Proporsi tersebut bertujuan untuk

mengarahkan masyarakat menuju kesejahteraan dan kemakmuran. Pertama, kemakmuran tercapai sebagai hasil dari keseimbangan sistem struktural

pemerintah. Struktur pemerintahan mulai dari pusat sampai ke desa memberikan gambaran tentang bagaimana perilaku yang selama masa pemerintahan orde baru, birokrat bersikap tidak adil terhadap masyarakat. Hal ini terlihat dalam struktur masyarakat desa yang terlalu jauh perbedaan kelas sosial masyarakatnya, antara kelas bawah dengan kelas atas, dalam mendapatkan akses kemudahan fasilitas ekonomi. Perbedaan artikulasi dalam strategi sosial-ekonomi inilah sekaligus mencerminkan perbedaan peluang setiap lapisan untuk mencapai taraf

(20)

pengalokasian sumberdaya dan ekonomi. Ketiga, adanya gerakan kebersamaan yang dilandasi oleh gerakan moralitas dan solidaritas masyarakat. Keempat, dalam melakukan gerakan tersebut, masyarakat harus memiliki ruang sosial otonom yang tidak didominasi oleh kekuatan dan kekuasaan politik pemerintah (supra desa dan supra lokal) sehingga dapat meningkatkan daya tawar masyarakat dalam pembentukan keputusan kebijakan. Setelah runtuhnya rezim orde baru masyarakat lebih berpikir kritis dan menuntut keadilan dalam pengelolaan sumberdaya, sehingga semangat reformasi yang dijunjung pemerintah saat ini harusnya dapat mengubah sistem pemerintahan sentralistik dan daerah diberi kepercayaan dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralisasi di

Indonesia sendiri ditandai dengan digulirkannya sistem otonomi daerah. Otonomi daerah memberikan peluang kepada masyarakat komunal untuk lebih pro-aktif dan partisipatif dalam menyikapi segala keputusan pengelolaan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya (Satria 2006). Inti dari otonomi daerah pula adalah sebuah proses pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya, dengan dasar norma-norma budaya lembaga setempat. Berkaitan dengan otonomi daerah, adat istiadat ini dapat dijadikan dasar pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 12, yaitu:

“….Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.….”

Daerah otonom tingkat II yang telah mengadopsi satuan-satuan kecamatan dan desa, dijadikan sebagai organisasi pembantu pembangunan masyarakat. Hal ini bertujuan untuk mendorong gerakan solidaritas kesatuan sosial masyarakat untuk lebih partisipatif, sadar akan kondisi yang ada, sehingga dapat mencari solusi bersama-sama dengan kekuatan dukungan pemerintah desa.

Proses pemberian hak guna memanfaatkan dan mengelola sumberdaya kepada masyarakat menjadi salah satu titik utama adanya partisipasi masyarakat (Chambers 1996). Hal ini karena hubungan masyarakat dengan alam terjalin

(21)

6

lama, disisi lain pula pemberian hak guna mengelola sebagai salah satu sistem yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Hal seperti ini terjadi pula di kepulauan Derawan, yang memiliki ciri khas tersendiri yaitu sumberdaya penyu dan sumberdaya alam lainnya seperti hutan pantai sebagai habitat tempat peneluran (nesting site). Oleh karena itu, untuk melindungi sumberdaya tersebut, pemerintah mendirikan kawasan konservasi, dimana dalam pengelolaannya bekerjasama dengan masyarakat setempat. Proses perancangan peraturan pengelolaan konservasi tersebut menggunakan langkah-langkah partisipasi (participatory process) sebagai salah satu langkah-langkah keterlibatan masyarakat dalam penyelesaian konflik yang telah terjadi. Berdasarkan

pemaparan diatas, sangat perlu dilakukan penelitian mengenai partisipasi masyarakat dalam mengelola penyu dan habitatnya secara bersama-sama. Penelitian ini akan mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya penyu dan habitatnya di kawasan konservasi.

1.2 Perumusan Masalah

Kawasan Konservasi Laut Daerah merupakan wujud dari Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, yang pada pasal 18 memuat

penjelasan bahwa salah satu kewenangan daerah di wilayah laut adalah eksplorasi,

eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di wilayahnya.

Sejarah pemanfaatan penyu di Kabupaten Berau telah berlangsung sejak lama, mulai dari jaman Kerajaan Sambaliung. Pemerintah daerah Berau

mendapat pendapatan asli daerah (PAD) yang cukup besar dari pelelangan konsesi telur penyu dari lima pulau, yaitu Pulau Sambit, Blambangan, Balikukup, Mataha, dan Bilang-bilangan. Karena kekhawatiran kelestarian penyu, maka sejak tahun 2001 ditetapkan agar 20 persen telur penyu dari konsesi itu dikembalikan untuk ditetaskan dan tidak boleh dijual. Sedang untuk Pulau Derawan dan Sangalaki, sudah sejak tahun 2001 ditetapkan sebagai kawasan larang ambil telur penyu (fully protected) melalui instruksi Bupati Berau No.60/2346-Um/XII/2001. Karena sebenarnya dalam masa konsesi telur penyu hanya pengusaha telur yang paling diuntungkan, sedangkan masyarakat hanya menjadi “penonton”, kalaupun terlibat hanya sebagai pekerja pengawas pulau-pulau telur. Selain itu juga

(22)

dibentuk tim monitoring dan penelitian penyu di kawasan Kepulauan Derawan melalui SK Bupati No.35 tahun 2001,serta tim pengawasan dan pengamanan Pulau Sangalaki, Pulau Derawan dan sekitarnya melalui SK Bupati No.36 tahun 2002. Di Pulau Sangalaki dibangun stasiun monitoring penyu yang melibatkan pemerintah daerah bersama beberapa LSM. Sejak tahun 2005 melalui SK Bupati, penyu tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan apapun, berlaku di semua kawasan konservasi laut Berau (B.Wiryawan et al 2005). Serta sejak tahun 2001 LSM Bestari dan TNC-WWF sudah melakukan pendampingan terhadap

masyarakat dengan berbagai program konservasi dan pengelolaan berbasis masyarakat. Program tersebut diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan kapasitas masyarakat dalam pengelolaannya, dan masyarakat dapat berpartisipasi dalam lembaga kolaborasi yang sampai sekarang masih dalam proses

pembentukan oleh Tim Pengarah lewat SK Bupati Berau No.225 Tahun 2004 (tentang pengukuhan Tim Pengarah), yang mana nantinya berbagai organisasi dan kelembagaan masyarakat (grass root) yang ada di Kepulauan Derawan seperti Dakayu Akkal, Green Turtle dan Formal terlibat. Secara logis, pelibatan masyarakat secara efektif dapat dilakukan bila tercipta suatu kondisi dimana masyarakat mendapat dampak langsung (secara ekonomi) dari upaya konservasi. Bentuk pelibatan masyarakat (peran dan kebutuhan) yang sedang dikembangkan adalah lewat kelompok ekowisata berbasis penyu laut. Oleh karena itu, untuk mengetahui keterlibatan masyarakat, akan dikaji : (1) bagaimana

keikutsertaan/partisipasi masyarakat dalam pengelolaan konservasi tersebut (2) faktor-faktor apa saja yang menghambat dan mendukung partisipasi masyarakat dalam konservasi penyu.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1) Menganalisis partisipasi masyarakat dalam pengelolaan konservasi penyu. 2) Mengetahui faktor-faktor yang mendukung dan menghambat partisipasi

(23)

8

1.4 Manfaat Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini :

1) Bagi penulis, sebagai bentuk tanggung jawab mahasiswa dalam meningkatkan kepekaan, pengalaman, mempelajari dan menganalisis permasalahan yang tengah dihadapi oleh pemerintah serta masyarakat pesisir.

2) Menjadi sarana bagi penulis untuk mengaplikasikan dan mensinergikan ilmu-ilmu yang telah diperoleh di Departemen Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan.

3) Menambah wawasan penulis dalam bidang perikanan terutama yang berkaitan dengan sosial ekonomi masyarakat dan pengelolaan sumberdaya perikanan.

4) Menjadi bahan masukan bagi semua stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya konservasi penyu diantaranya pemerintah daerah ( Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan, Bapelda, Dinas

Pariwisata, organisasi-organisasi masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat).

(24)

2.1 Sumberdaya Alam

Sumberdaya dalam pengertian umum adalah segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Rees (1990) diacu dalam Fauzi (2006) menyebutkan bahwa sesuatu dikatakan sumberdaya memiliki kriteria, yaitu : (1) sebagai sumber persediaan, penunjang atau bantuan dan (2) sebagai sarana yang dihasilkan oleh kemampuan individu. Menurut Fauzi (2006) sumberdaya alam termasuk sebagai bahan persediaan dan penunjang kebutuhan hidup. Secara umum menurut (Fauzi 2006) sumber daya alam dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok : (1) sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable) mencakup sumberdaya mineral dan energi minyak bumi (2)

sumberdaya alam yang dapat dapat diperbaharui (renewable) bersifat ” flows”, dapat dijaga dan dipelihara meliputi sumberdaya alam, kualitas tanah, hutan, cagar alam, dan kawasan suaka margasatwa. Oleh karena itu dalam penggunaan

sumberdaya alam harus secara hati-hati sehingga tidak terjadi kelangkaan (scarcity).

Menurut Bromley (1989) diacu dalam Fauzi (2006), sumberdaya alam dapat dikategorikan berdasarkan kepemilikannya menjadi beberapa tipe hak kepemilikan, diantaranya terdiri atas : (1) kepemilikan oleh pemerintah (state property) yaitu pemerintah memiliki sumberdaya alam, dan berhak untuk

mengelola, mengatur akses pengguna (user) dengan bertujuan untuk menghindari kelangkaan. (2) kepemilikan oleh individu (privat property) yaitu sumberdaya dimiliki oleh individu atau lembaga perusahaan dengan tujuan untuk

memanfaatkan sumberdaya sesuai kepentingan sendiri. (3) kepemilikan sumberdaya secara bersama (common property) dimana hak kepemilikan sumberdaya tersebut bersama-sama oleh suatu masyarakat komunal. (4) sumberdaya yang tidak jelas hak kepemilikannya (non-property) dimana

sumberdaya tersebut lebih bersifat akses terbuka (open access) sehingga tidak ada mekanisme pembagian hak pemanfaatan, pengaturan dan pengelolaan, akibat kelangkaan sumberdaya pun terjadi.

(25)

10

2.2 Sumberdaya Penyu

2.2.1 Klasifikasi dan Karakteristik Penyu

Suku penyu dapat mudah dibedakan dari jenis kura-kura lain dengan adanya keping infra marginal yang menghubungkan perisai perut dengan punggung. Letak lubang hidung yang agak dekat dengan permukaan atas tengkorak untuk memudahkan hewan tersebut mengambil udara dari permukaan air laut, dan kakinya yang berbentuk dayung merupakan salah satu ciri yang paling utama. Kaki depan umumnya hanya memiliki satu cakar.

Klasifikasi penyu hijau menurut Nuitja (1992) sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Reptilia Ordo : Testudinata Familia : Chelonida Genus : Chelonia

Species : Chelonia mydas

2.2.2 Habitat Penyu

Penyu hidup di dua habitat yang berbeda yaitu di laut sebagai habitat utama bagi keseluruhan hidupnya dan habitat darat yang digunakan penyu hanya pada waktu bertelur dan penetasan telur. Habitat darat sebagai tempat peneluran (nesting ground), memiliki beberapa karakteristik. Tempat yang cocok untuk penyu bertelur memiliki butiran pasir tertentu yang mudah digali dan aman untuk melakukan penetasan. Warna pasir yang biasa dijadikan tempat peneluran adalah warna keputih-putihan dan agak gelap (Nuitja 1992). Pantai berpasir tebal dengan latar belakang hutan lebat dari jenis pohon pandan (Pandanus tectorius),

memberikan naluri penyu untuk bertelur. Menurut Nuitja (1992) penyu hijau menyukai pembuatan sarang di bawah naungan pohon pandan laut, karena perakaran pandan meningkatkan kelembapan, memberikan kestabilan pada pasir dan memberiakan rasa aman saat penggalian lubang sarang penyu.

Habitat laut merupakan tempat pendewasaan penyu. Perairan laut tempat hidup penyu adalah lautan dalam terutama samudra kawasan tropis, dan tempat

(26)

kediamannya daerah yang relatif dangkal, dimana daerah padang lamun masih ada. Daerah yang lebih disukai lagi merupakan daerah yang berbatu sebagai tempat menempel berbagai jenis makanan penyu dan sebagai tempat berlindung.

2.2.3 Daur Hidup Penyu

Daur hidup penyu menurut Balaz dan Ross (1974) diacu dalam Nuitja (1992), sebelum keluar dari sarang, tukik yang telah menetas menunggu tiga sampai tujuh hari sebelum pemunculannya ke permukaan. Kemudian sedikit demi sedikit mulai merangkak menuju permukaan pasir. Suhu permukaan yang tinggi pada siang hari akan menghentikan tukik untuk keluar sarang. Pada malam hari biasanya tukik keluar dari sarang sambil menggerak-gerakan tangan dan kakinya yang kecil dan berjalan ke laut. Sejumlah tukik dipastikan dimakan oleh burung, kepiting, semut, dan pemangsa lainnya. Peluang untuk hidup tukik diperkirakan bahwa hanya satu dari 1000 ekor tukik yang mampu hidup sampai dewasa (Nuitja 1992).

Sumber : Nuitja (1992)

Gambar 1. Daur Hidup Penyu

Penyu dalam daur hidupnya memiliki masa lost year. Masa tersebut yaitu tahun ketidakmunculan tukik menurut Nuitja (1992), tukik menahan hidupnya di

Penyu betina Penyu betina Sarang-sarang Telur-telur Tukik Tukik Penyu muda Penyu dewasa Penyu jantan Penyu betina Habitat darat Habitat laut

(27)

12

padang lamun (sea weeds), padang rumput (sea grass) dan terumbu karang (coral reefs) sebagai tempat sarang perlindungan dan tempat mencari makan. Pada tahun pertama kehidupannya, penyu cenderung bersifat karnivora. Makanan yang dibutuhkan terutama zooplankton seperti kepiting, udang, kerang-kerangan dan ubur-ubur serta invertebrata. Akhir dari tahun pertama, dan seterusnya

dilanjutkan dengan sifat herbivor.

Penyu memiliki siklus hidup yang panjang lebih dari 60 tahun. Masa untuk mencapai tingkat kedewasaan penyu diperkirakan pada umur 30 tahunan. Setelah dewasa, penyu hijau melakukan kopulasi dekat dengan pantai peneluran. Penyu betina menetaskan telurnya pada waktu malam dan dalam kondisi tenang (Nuitja 1992).

Penyu hijau merupakan salah satu sumber protein hewani bagi masyarakat tradisional pesisir di negara New Guinea, Melanesia, Amerika, Israel, dan negara-negara Asia Tenggara. Kecuali itu daging penyu juga banyak digemari oleh masyarakat golongan atas di negara-negara eropa. Pemanfaatan penyu di Indonesia terdapat di pesisir Mentawai, Pulau Nias, Bengkulu, Ujung Pandang, Irian Jaya dan Bali.

2.2.4 Konservasi Sumberdaya Penyu

Penyu merupakan binatang langka telah terancam kepunahannya, sehingga masuk dalam kategori endangered dalam red data book Convention on

International Trade in Endangered Spesies Of Wild Flora And Fauna (CITES). Negara Indonesia pada tahun 1978 telah berperan serta menandatangani CITES yang memasukkan satwa jenis penyu dalam Apendiks I. Hal ini berarti semua jenis penyu dan produk dari penyu tidak boleh diperdagangkan. Hal ini dikukuhkan pula dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1978.

Berbagai peraturan mengenai perlindungan penyu ditingkat nasional adalah sebagai berikut :

1) SK Menteri Pertanian tanggal 29 Mei Tahun 1978 Nomor 327/kpts/5/1978 tentang Penetapan Tambahan Jenis Binatang Liar Yang Dilindungi

(28)

2) SK Menteri Pertanian tanggal 4 Oktober Tahun 1980 Nomor

716/kpts/um/18/1980 tentang Penetapan Tambahan Jenis Binatang Liar Yang Dilindungi Antara Lain Penyu Lekang dan Penyu Tempayan . 3) SK Menteri Kehutanan Nomor 828/kpts-ii/1992 tentang Perlindungan

Terhadap Penyu Sisik dan Penyu Pipih.

4) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta

5) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang didalamnya Terdapat Peraturan Mengenai Penyu Hijau.

Konservasi sumberdaya alam hayati menurut Undang-Undang konservasi Nomor 5 Tahun 1990 adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang

pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan dengan tetap memelihara, meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Lebih lanjut dalam Undang-Undang tersebut terdapat peraturan antara lain :

Pertama, pengelolaan penyu termasuk pelestariannnya. Kedua, penetapan

kawasan suaka marga satwa di wilayah perairan. Ketiga pembagian izin

pemanfaatan dan pembudidayaan, dan keempat, melaksanakan pengawasan dan pengendalian dalam rangka pelestarian.

Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berazaskan pada pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati yang seimbang. Konservasi flora dan fauna dapat dilakukan melalui peningkatan kegiatan konservasi dan manajemen satwa secara efektif melalui pendidikan. Kegiatan konservasi meliputi perbandingan sistem penyangga kehidupan, pengawetan dan

pemanfaatan keanekaragaman jenis tumbuhan serta satwa beserta ekosistemnya.

2.3 Konservasi

2.3.1 Sejarah Perkembangan Konservasi Indonesia

Damanik et al, (2006) menyebutkan sejarah konservasi alam di Indonesia adalah sebagai berikut. Perkembangan lingkungan hidup dan konservasi dunia sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah di Indonesia. Pembentukan kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan Lingkungan Hidup pada tahun 1978,

(29)

14

merupakan implikasi politis dari konferensi Stockholm tahun 1972. Sejak saat itu, masalah-masalah yang terkait dengan lingkungan hidup mulai diperhatikan sebagai salah satu agenda nasional. Selain itu penetapan Undang-Undang No 5 1990 tentang konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya merupakan ratifikasi pemerintah Indonesia terhadap Strategi Pelestarian Dunia (World Conservation Strategy) yang ditetapkan pada tahun 1980.

Menurut (Damanik et al, 2006), gerakan preservasi yang lahir di Eropa (berkembang menjadi konservasi dengan prinsip pemanfaatan di Amerika) dibawa ke Indonesia oleh pemerintah Kolonial Belanda melalui penetapan cagar alam (Natuur Reservaat) di Depok pada tahun 1714. Kemudian, konsep taman nasional sebagaimana dilakukan pada Yellowstone National Park mengilhami penetapan taman nasional di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Penetapan kawasan

konservasi di Indoneisia diprakarsai oleh birokrat dan beberapa LSM/Ornop luar negeri, dan penunjukannya berdasakan hasil studi Mackinnon yang dituangkan dalam rencana Konservasi Nasional tahun 1980. Penentuanya dilakukan melalui pendekatan top-down tanpa negosiasi dengan komunitas lokal dan masyarakat sekitar.

Damanik et. al (2006) juga menyebutkan, di Indoneisia, pemikiran konservasi, termasuk taman nasional, mulai berkembang sekitar tahun 1970-an. Lima taman Nasional pertama dengan luas 1. 430.984 ha ditetapkan oleh Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Gunung Gede –Pangrango, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Baluran, dan Taman Nasional Komodo. Kemudian pada tahun 1982, saat kongres taman nasional dan kawasan lindung Sedunia III yang berlangsung di Bali, pemerintah Indoneisia mendeklarasikan 11 taman nasional dengan luas 3.287.063 ha, yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Tanjung Putting, Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Bali Barat, Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional Bogani Nani Warta Bone, dan Taman Nasional Manusela.

(30)

2.3.2 Pengertian Konservasi

Istilah konservasi berasal dari bahasa Latin yaitu conservare yang berarti mengawetkan. Istilah ini kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris menjadi conservation yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi konservasi. Menurut Wiratno (2004) diacu dalam Damanik et al (2006), Dalam arti sempit, konservasi berarti pelestarian alam beserta isinya untuk kehidupan masa kini dan mendatang. Dalam arti yang lebih luas dan popular, konservasi diartikan sebagai penghematan terhadap sumber daya agar dapat digunakan selama mungkin dan seefisien mungkin.

Damanik et al (2006), menyebutkan, konservasi merupakan hasil evolusi pemikiran preservasi yang lahir sebagai respon manusia terhadap upaya

eksploitasi sumberdaya hayati secara besar-besaran. Punahnya berbagai spesies tersebut mendorong upaya perlindungan dalam bentuk pengawetan, yaitu salah satu bentuknya adalah ide cagar alam. Namun demikian dalam perkembangannya pemikiran preservasi dianggap terlalu statis dalam melihat sumberdaya alam, sehingga dikoreksi dengan munculnya istilah baru yaitu konservasi. Konservasi dianggap lebih dinamis yang berangkat dari asumsi bahwa sumberdaya alam hayati mesti dikelola agar bisa lestari. Kata kunci dari konservasi adalah

pengelolaan, yang berarti bahwa sumber daya alam hayati mesti dikelola agar bisa lestari.

Adapun berdasarkan kesepakatan lembaga internasional yaitu UNEP, IUCN dan WWF, pada tahun 1990 disusun strategi bagi upaya konservasi di seluruh dunia. Strategi tersebut adalah:

1) Memelihara proses-proses ekologi yang essensial dan sistem penyangga kehidupan.

2) Pelestarian keanekaragaman genetik.

3) Terjaminnya pemanfaatan spesies dan ekosistem secara lestari.

Menurut Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997, konservasi adalah pengelolaan sumber daya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatanya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan

(31)

16

ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas serta keanekaragamnya. Kegiatan konservasi meliputi tiga hal yaitu :

1) Melindungi keanekaragaman hayati (biological diversity). 2) Mempelajari fungsi dan manfaat keanekaragaman hayati, dan

3) Memanfaatkan keanekaragaman hayati untuk kesejahteraan umat manusia. Ketiga tujuan konservasi tersebut, didefinisikan sebagai jumlah, variasi dan

variabilitas dari semua makhluk hidup yang ada dalam ekosistem daratan, lautan maupun ekosistem perairan lainnya dimana mereka merupakan bagian dari kehidupan tersebut. Menurut Courrier et.al (1992) diacu dalam Aligori (2004), ada sepuluh prinsip yang harus diperhatikan dalam melakukan konservasi terhadap keanekaragaman hayati, yaitu:

1) Setiap bentuk kehidupan adalah unik, oleh sebab itu keberadaannya harus dihargai.

2) Konservasi keanekargaman hayati merupakan suatu investasi yang

memberikan keuntungan substantif kepada level lokal,nasional dan global. 3) Biaya dan manfaat dari konservasi keanekaragam hayati harus ditanggung

bersama antara berbagai negara dan oleh para penduduk dari masing-masing negara.

4) Dalam upaya untuk menerima konsep pembangunan berkelanjutan, konservasi keanekargaman hayati membutuhkan perubahan yang mendasar pada bentuk dan pelaksanaan pembangunan ekonomi. 5) Menaikkan anggaran konservasi tidak berarti laju kehilangan

keanekaragaman akan menurun. Untuk itu, dibutuhkan reformasi dalam kebijakan dan kelembagaan sehingga akan tercipta kondisi dimana kenaikan anggaran mempunyai dampak yang efektif terhadap laju kehilangan keanekaragaman hayati.

6) Prioritas dalam konservasi keanekaragaman hayati berbeda pada setiap tingkatan (lokal, nasional, dan global), dan semuanya sah. Setiap negara dan komunitas mempunyai kepentingan agar keanekaragaman hayati yang mereka miliki terkonservasi. Fokus yang dibuat, jangan hanya pada

(32)

7) Konservasi keanekaragaman hayati hanya dapat berlanjut jika mendapat perhatian serta kepedulian yang besar dari masyarakat , dan jika para pengambil keputusan mempunyai informasi yang akurat berdasarkan pilihan pada kebijakan yang ada.

8) Tindakan untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati mesti

direncanakan dan diimplementasikan pada skala yang dapat diterminir melalui kriteria ekologi dan sosial. Fokus dari kegiatan ini haruslah mengarah pada tempat dimana masyarakat tinggal dan bekerja seperti halnya kawasan konservasi.

9) Keanekaragaman budaya mempunyai hubungan yang erat dengan keanekaragaman hayati. Pengetahuan bersama masyarakat tentang

keanekaragaman hayati yang ada serta kegunaannya merupakan suatu nilai tambah serta dapat memperkuat integritas budaya.

10) Meningkatkan partisipasi publik, menghargai hak asasi manusia,

meningkatkan akses masyarakat dalam bidang pendidikan dan informasi serta keterbukaan institusi yang lebih luas, merupakan hal yang penting dalam melakukan konservasi keanekaragaman hayati.

2.3.3 Kriteria Kawasan Konservasi

Pertambahan penduduk dunia yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun khususnya di negara-negara berkembang, telah menyebabkan hilangnya sejumlah habitat yang kemudian menyebabkan punahnya sejumlah spesies hewan dan tumbuhan. Dengan tujuan agar kepunahan tidak berlanjut, maka kebijakan konservasi merupakan langkah yang tepat. Untuk menetapkan kawasan konservasi yang baik, menurut Mackinnon et al (1993) diacu dalam Aligori (2004), ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu :

1) Karakteristik atau keunikan ekosistem, misalnya hutan hujan daratan rendah, fauna pulau yang endemik, ekosistem pegunungan tropika. 2) Spesies khusus yang diminati, nilai, kelangkaan atau keterancaman,

misalnya badak, burung dan penyu.

3) Tempat yang memiliki keanekaragaman spesies.

(33)

18

5) Fungsi perlindungan hidrologi yaitu tanah, air dan iklim lokal. 6) Fasilitas untuk rekreasi alam atau wisata, misalnya danau, pantai,

pemandangan pegunungan, satwa liar yang menarik. 7) Tempat penggalian budaya.

Selain ketujuh kriteria tersebut, menurut Mackinnon et al (1993), hal lain yang harus diperhatikan dalam menetapkan serta mengelola suatu kawasan konservasi adalah :

1) Kesesuaian antara tujuan perlindungan dengan pilihan pengelolaan dan pemanfaatan, serta

2) Kepraktisan pengelolaan.

2.3.4 Jenis-Jenis Kawasan Konservasi

Jumlah kawasan konservasi yang ada di dunia, menurut MacKinnon et al (1993), mencapai 2600 kawasan konservasi, tersebar pada 124 negara dengan luas mencapai empat juta hektar. Berdasarkan kriteria yang dibuat oleh IUCN, maka di dunia ini dikenal sepuluh jenis kawasan konservasi, dimana antara jenis kawasan konservasi yang satu dengan yang lain terkadang memiliki kesamaan fungsi dan kriteria. Adapun uraian singkat mengenai kesepuluh jenis kawasan konservasi tesebut, menurut MacKinnon et al (1993) diacu dalam Aligori (2004), adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Jenis kawasan konservasi (Mackinnon et.al, 1993)

No Nama Keterangan

1) Cagar Alam/Cagar Ilmiah Untuk melindungi alam dan menjaga proses alami dalam kondisi yang tidak terganggu dengan maksud untuk memproleh contoh-contoh ekologis yang mewakili lingkungan alami, yang dapat dimanfaatkan bagi keperluan studi ilmiah, pemantauan lingkungan,

pendidikan dan pemeliharaan sumberdaya plasma nutfah dalam suatu keadaan dinamis dan berevolusi.

2) Taman Nasional Untuk melindungi kawasan alami dan pemandangan indah yang terpenting, secara nasional atau internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dn rekreasi. Kawasan alami ini relatif luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia serta pemanfaatan sumberdaya tambang tidak diperkenankan.

3) Monumen Alam/Landmark Alam Untuk melindungi ciri-ciri alam yang bernilai secara nasional karena menarik perhatian atau mempunyai karakteristik yang unik. Kawasan ini relatif kecil dan dipusatkan pada perlindungan ciri-ciri spesifik. 4) Suaka Marga satwa Untuk menjamin kondisi alami yang perlu bagi spesies,

(34)

lingkungan fisik yang penting secara nasional, mungkin diperlukan campur tangan manusia yang spesifik untuk menjaga kelestariannya. Pengembalian beberapa sumberdaya secar terkendali diperkenankan contoh dari kawasan konservasi jenis ini adalah Suaka Margasatwa Manas di India.

5) Bentangan Alam dan Bentang Laut Dilindungi

Untuk menjaga bentang alam yang penting secara nasional, yang memiliki karakteristik interaksi yang serasi antara manusia dengan lingkungannya. Sementara itu juga tersedia kesempatan bagi masyarakat untuk menikmatinya melalui rekreasi dan wisata dalam lingkup gaya hidup dan kegiatan ekonomi normal di kawasan tersebut. Kawasan ini merupakan campuran bentang alami/budaya uang memiliki nilai keindahan tinggi dimana tataguna lahan tradisional terpelihara.

6) Cagar Sumberdaya Untuk melindungi sumberdaya alam kawasan cagar alam diperuntukkan untuk mencegah kegiatan pembangunan yang dapat mempengaruhi sumberdaya. Jumlah negara yang menggunakan kategori ini bagi kawasan

konservasinya masih sangat sedikit. 7) Cagar Budaya /Kawasan Biosis

Alam

Untuk memungkinkan berlangsungnya cara hidup masyarakat yang serasi dengan lingkungannyacagar budaya/kawasan biosis alam cocok untuk kawasan konservasi, dimana penduduk asli diperlakukan secara tradisional.

8) Kawasan Pengelolaan Sumberdaya Ganda/Dikelola

Untuk menyediakan produksi air, kayu, satwa, padang pengembalaan dan objek wisata secara berkelanjutan, dengan pelestarian alam terutama ditujukan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Contoh dari kawasan konservasi jenis ini adalah Kawasan Konservasi Ngoorogoro di Tanzania, Taman Nasional Kutai di Indoneisia.

9) Cagar Biosfir Cagar biosfir diperuntukkan untuk melestarikan

keanekaragaman dan keutuhan komunitas tumbuhan dan satwa dalam ekosistem alaminya bagi penggunaan masa sekarang dan masa depan, dan juga untuk menjaga keanekaragaman plasma nutfah dari spesies yang merupakan bahan baku bagi evolusinya. Kawasan ini ditunjuk secara internasional untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan latihan.

10) Taman Warisan Dunia Taman Warisan Dunia diperuntukkan untuk melindungi bentang alam yang dianggap memiliki nilai universal yang menonjol dan merupakan daftar pilihan dari kawasan alami dan budaya yang unik di bumi, yang dicalonkan oleh negara yang merupakan anggota World Heritage Convention.

Sedangkan menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dapat dikategorikan menjadi :

Tabel 2. Jenis Kawasan Konservasi (Undang-undang No.5 Tahun 1990)

No Nama Keterangan

1) Kawasan Suaka Alam kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

(35)

20

2) Cagar Alam kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.

3) Suaka Margasatwa kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.

4) Cagar Biosfer suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan

dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan. 5) Kawasan Pelestarian Alam kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di

perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

6) Taman Nasional kawasan pelesatarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

7) Taman Hutan Raya kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.

8) Taman Wisata Alam kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.

Selain itu dalam undang-undang perikanan No.31 Tahun 2004 Pasal 13 ayat 1, juga dijelaskan mengenai kategori kawasan yang menjadi wilayah konservasi meliputi terumbu karang, padang lamun, rawa, bakau, sungai, danau dan embung yang dianggap penting untuk dilakukan konservasi. Dalam hal ini pemerintah dapat melakukan penetapan kawasan konservasi sesuai dengan peraturan pemerintah, yaitu taman nasional perairan, suaka alam perairan,taman wisata perairan, dan suaka perikanan, selanjutnya dijelaskan dalam tabel dibawah ini.

Tabel 3. Jenis kawasan konservasi (PP No. 60 Tahun 2007)

No Nama Keterangan

1) Taman Nasional Perairan Kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi.

2) Suaka Alam Perairan Kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistem.

3) Taman Wisata Perairan Kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi.

(36)

4) Suaka Perikanan Kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau, maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah

perlindungan.

2.4 Partisipasi Masyarakat

Bank Dunia (World Bank) mendefinisikan partisipasi masyarakat sebagai proses dimana para pemilik kepentingan berinisiatif dalam menentukan keputusan pembangunan dan keputusan pengelolaan sumberdaya yang berdampak pada kehidupan masyarakat lokal. Partisipasi menurut Sajogyo (1979) diacu dalam Aligori (2004) meliputi tiga hal, Pertama, masyarakat berpeluang ikut serta dalam menentukan kebijakan pembangunan di tingkat desa, kecamatan sampai ke tingkat parlemen kabupaten atau kota. Kedua, adanya peluang untuk ikut

melaksanakan pembangunan pada tingkat supra lokal (desa dan kecamatan).

Ketiga, peluang ikut mengawasi dan mengevaluasi hasil pembangunan.

Pandangan ini mengartikan bahwa partisipasi merupakan tataran konsultasi dalam penetapan kebijakan dan dalam program pembangunan. Hal tersebut lebih lanjut menurut Bank Dunia merupakan partisipasi sosial

masyarakat. Partisipasi dipandang dalam segi politik merupakan kegiatan legal oleh warga secara langsung atau tidak langsung ditujukan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Sumber : The British Council (2001) diacu dalam Aligori (2004)

Gambar 2. Arah Pergeseran dalam Partisipasi

Secara radikal partisipasi dipahami sebagai pendekatan yang muncul paska kegagalan pendekatan pembangunan top-down (Kusumastanto 2006). Menurut kesepakatan APEKSI ( Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia). Partisipasi mendorong setiap warga untuk menggunakan haknya dalam menyampaikan pendapat dan proses pengambilan keputusan dari perumusan

Dari Ke Penerima Proyek Konsultasi Penilaian Mikro Warga Kebijakan Pengambil Keputusan Pelaksanaan Makro

(37)

22

sampai evaluasi secara langsung ataupun tidak langsung (Marius 2003) melalui Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) sebagai kelembagaan pemerintah yang terdekat dengan masyarakat (Ditjen Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah 1999).

2.4.1 Tangga Partisipasi Masyarakat

Arnstein (1969) diacu dalam Jabir dan Julmansyah (2003) membuat hierarki partisipasi sesuai dengan perilaku karakter negara untuk melibatkan

masyarakat dalam proses pembentukan kebijakan pengelolaan, diantaranya yaitu : 1) Manipulasi adalah bentuk partisipasi yang dimaksudkan untuk mendidik

atau membangun dukungan publik dengan memberi kesan bahwa

pengambil keputusan sudah partisipatif. Keputusan tersebut dimanipulasi dengan beralaskan proses partisipasi telah berjalan.

2) Terapi sebagai bentuk partisipasi masyarakat yang diberlakukan atas ketidakjujuran dan kearoganan pemerintah. Masyarakat diberikan kesempatan untuk mengadvokasi kepada pihak yang terlibat dalam hal pemerintah, supaya seolah-olah pengajuannya akan ditindaklanjuti. 3) informasi merupakan salah satu bentuk partisipasi dimana masyarakat

telah diberikan informasi mengenai hak, tanggungjawab, dan pilihan yang ada dengan saluran komunikasi satu arah tanpa diikuti dengan kesempatan untuk menegosiasikan pilihan. Pola informatif ini bersifat pemberian informasi yang tidak mendalam, tidak ramah terhadap pertanyaan atau memberikan jawaban yang tidak benar terhadap suatu pertanyaan. 4) Konsultasi, dalam tahap ini telah dilakukan konsultasi dan dengan

pendapat masyarakat terhadap kebijakan yang diambil, sayangnya belum diikuti dengan adanya jaminan pendapat tersebut dimasukkan dan

dipertimbangkan dalam kebijakan yang akan dibuat.

5) Semu (placation) yaitu masyarakat telah memiliki pengaruh terhadap kebijakan yang masih belum murni. Keberhasilan partisipasi pada tahap ini masih ditentukan oleh besar dan solidnya kekuatan masyarakat untuk menyampaikan kepentingannya.

(38)

6) Tingkat kemitraan (partnership). Kekuatan dalam tahap ini telah terbagi kewenangan secara relatif seimbang antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan, dan lebih lanjut telah terjadi komitmen diantara kedua belah pihak untuk membicarakan perencanaan dan pengambil keputusan secara bersama. Dalam tahap ini inisiatif dan komitmen, baru timbul setelah adannya desakan publik yang kuat untuk menjalankan proses partisipatif. 7) Delegasi kewenangan (delegated power) dalam tahap ini masyarakat telah

memiliki kewenangan lebih besar dibanding penyelenggaraan negara. 8) Kontrol warga negara (citizen control) pada tahap ini partisipasi telah mencapai tahap akhir dimana masyarakat memiliki kewenangan untuk memutuskan, melaksanakan, dan mengawasi pengelolaan sumberdaya alam atau sumberdaya lainnya.

Pretty (1997) diacu dalam Suseno (2007) membagi tipe partisipasi berdasarkan karakteristik partisipasi masyarakat di tingkat lokal, diantaranya terdiri atas : (1) manipulatif, yaitu partisipasi dapat dimanipulasi (2) partisipasi pasif, dimana masyarakat hanya sekedar menginformasikan permasalahan kepada pemerintah, tetapi tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan keputusan

kebijakan (3) partisipasi dengan konsultasi dimana masyarakat hanya pada posisi penerima informasi dari pemerintah (4) partisipasi dengan insentif (5) partisipasi fungsional, yaitu partisipasi masyarakat atas inisiatif agen eksternal (6) partisipasi interaktif, dimana masyarakat bekerjasama dengan pihak lain untuk merencanakan program, karena adanya kekuatan lembaga lokal dalam menghimpun masyarakat untuk mengelola sumberdaya (7) mobilitas sendiri, yaitu masyarakat berpartisipasi atas inisiatif dan pengawasan bersama, sedangkan pihak eksternal hanya sebatas konsultan.

Bass,et al (1995) diacu dalam Aligori (2004) membagi partisipasi masyarakat berdasarkan keikutsertaan dalam proses penetapan kebijakan diantaranya : Pertama, masyarakat diposisikan hanya sebatas pendengar dari pemerintah. Kedua, masyarakat diposisikan sebagai pendengar dan pemberi informasi. Ketiga, masyarakat diposisikan sebagai stakeholder yang memiliki kekuatan dalam sebuah kelembagaan yang bekerjasama dalam merancang peraturan kebijakan. Keempat, masyarakat dapat menganalisis perencanaan

(39)

24

kebijakan yang bekerjasama dengan berbagai stakeholder. Kelima, masyarakat secara bersama-sama memutuskan keputusan kebijakan dan program-program aksi bersama. Keenam, partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan dan evaluasi program pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam.

2.4.2 Proses Partisipasi

Konsep dalam pelibatan partisipasi masyarakat pesisir menurut Bass, et al (1995) diacu dalam Aligori (2004), memiliki tiga kriteria utama, yaitu : Pertama, adanya work group atau organisasi berbasis komunitas (community base

organizing) yang dihasilkan dari hubungan kerjasama antar kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Kedua, adanya alternative livehood sebagai alternatif mata pencarian pemenuhan kebutuhan keluarga, dan ketiga, harus adanya restrukturisasi birokrasi ke arah desentralisasi. Desentralisasi dipahami sebagai alih kekuasaan dan pengelolaan sumberdaya ke tingkat yang lebih rendah dari pemerintah pusat dimana program-program pembangunan dijalankan atas inisiatif masyarakat bawah melalui mekanisme yang lebih demokratis.

Tabel 4. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat .

Tahapan Partisipasi Masyarakat

1. Identifikasi isu 1. Partisipasi dalam pengumpulan data dasar dan pelatihan pengumpulan data

2. Menghadiri pertemuan dalam identifikasi isu dan analisis isu 3. Memberi masukan terhadap permasalahan dan isu serta

berperan serta dalam penentuan prioritas isu

4. Berpartisipasi dalam penyusunan dan diseminasi profil sumberdaya desa

2. Persiapan perencanaan

1. Partisipasi dalam kegiatan-kegiatan pendidikan lingkungan hidup

2. Partisipasi dalam pelatihan pengelolaan sumberdaya 3. Partisipasi dalam pembuatan rencana pengelolaan 4. Partisipasi dalam pengambilan keputusan dan pemberian

masukan saran pendapat 3. Persetujuan

rencana dan pendanaan

1. Partisipasi dalam pengorganisasi dalam semua rapat

musyawarah desa untuk menentukan dan menyetujui rencana pengelolaan

4. Pelaksanaan dan penyusunan

1. Partisipasi dalam rapat pembuatan rencana dalam jangka tertentu

2. Partisipasi dalam pembentukan lembaga koordinasi (badan pengelola)

3. Partisipasi dalam mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan rencana kerja

Sumber : The British Council (2001) diacu dalam Aligori (2004)

Langkah-langkah partisipasi masyarakat untuk mengelola sumberdaya dapat dibagi menjadi beberapa langkah yang dipaparkan pada Tabel 4,

(40)

diantaranya terdiri atas : pertama, identifikasi isu. Kedua, persiapan perencanaan. Ketiga, persetujuan rencana dan pendanaan. Keempat, pelaksanaan dan penyusunan program aksi.

2.5 Struktur Masyarakat

Struktur sosial menurut Soekanto (1993) merupakan jaringan dari berbagai unsur sosial yang pokok dalam masyarakat. Menurut Koentjaraningrat (1981) struktur sosial adalah kaitan antar berbagai unsur masyarakat, yaitu pranata, kedudukan sosial dan peranan sosial. Unsur-unsur struktur sosial pokok

mencakup kelompok sosial, adat kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang. Unsur-unsur tersebut dapat dijelaskan dalam berbagai dimensi struktur sosial yang saling berhubungan. Status dan peran merupakan salah satu hubungan yang tidak dapat dipisahkan dimana status adalah suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari status (Soekanto 1993).

Dimensi lembaga-lembaga (pranata) sosial merupakan pola-pola prilaku yang terorganisasikan di dalam sebuah lembaga formal atau informal. Cooley dan Davis diacu dalam Soekanto (1993) mengartikan lembaga merupakan kaidah-kaidah norma yang kompleks, ditetapkan oleh masyarakat secara teratur untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Masyarakat melakukan proses konformitas dengan anggota lainnya sebagai cara untuk mengindahkan dari semua tata norma yang telah ditetapkan dalam kelembagaan tersebut. Konformitas yang dilakukan masyarakat terjadi akibat adanya perlakuan pengkoreksian, pengendalian sosial dan kontrol sosial atas norma-norma sosial yang ada agar terhindar dari

penyelewengan dan pelanggaran. Dengan adanya konformitas, maka kehidupan masyarakat menurut teori fungsional tersebut cenderung terus stabil.

Koentjaraningrat (1981) mengklasifikasikan pranata dalam berbagai bagian, yaitu :

1) Pranata yang berfungsi sebagai untuk memenuhi keperluan hidup, kekerabatan, kindship.

2) Pranata yang berfungsi untuk bermata pencaharian, memproduksi dan mendistribusikan barang.

Gambar

Gambar 1.  Daur Hidup Penyu
Gambar 2. Arah Pergeseran dalam Partisipasi
Tabel 8. Nama kampung di Kepulauan Derawan.
Gambar 5.  Peta Lokasi Penelitian di Kepulauan Derawan (WWF)  Topografi Pulau Derawan cenderung datar dengan tumbuhan didarat  adalah kebun kelapa, mengkudu dan alang-alang, sedangkan topografi Maratua  bervariasi datar dan berbukit dengan vegetasi hutan y
+7

Referensi

Dokumen terkait

Upaya yang diberikan Trans Luxury Hotel Kota Bandung sampai saat ini bagi tenaga kerja yang tidak terdaftar dalam program BPJS yaitu dengan adanya penyesuaian lingkungan kerja

Perjanjian ini juga mencakup batasan-batasan yang tidak diperkenankan dilakukan oleh Perusahaan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank antara lain; memperoleh

merupakan salah satu jenis ikan kakap yang banyak dicari oleh konsumen. sebagai bahan konsumsi masyarakat yaitu sebagai lauk-pauk harian

Parameter yang divariasikan adalah temperatur pada pemanas air 60 0 C, 55 0 C, 50 0 C, bukaan katup penampung dietil eter 1 putaran selama 15 detik, bukaan katup

Hasil pengujian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Purwanti (2010) yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi sorbitol yang ditambahkan pada

Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis tertarik untuk melakukan sebuah reaserch atau penelitian GHQJDQ MXGXO ³Analisis City Branding Dalam

Sistem akuntansi penggajian pada Yayasan Pembangunan Indonesia (YASPI) di Kota Makassar masih belum sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) karena belum

“Pengaruh Pendapatan Nasabah Dan Jaminan Terhadap Kelancaran Pembayaran Pembiayaan Murabahah (Survey Pada KJKS BMT EL-Gunung Jati)”, sebagai salah satu syarat untuk