• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Kepentingan terhadap Sumberdaya Penyu

B. Pelatihan Peningkatan Kapasitas Masyarakat

6.3.2 Faktor Penghambat Partisipasi

6.3.2.4 Konflik Kepentingan terhadap Sumberdaya Penyu

Konflik yang terjadi pada prinsipnya adalah antara pihak yang memiliki kepentingan eksploitasi versus konservasi. Dapat dilihat pada Gambar 38 terjadi konflik antara LSM dan pahter dimana LSM selalu menentang aktifitas

pengunduhan telur penyu yang dilakukan oleh pahter, bahkan pada saat penelitian berlangsung terjadi pemukulan terhadap salah seorang aktivis LSM di Pulau Derawan, pemukulan ini dilakukan oleh oknum atas perintah pahter, karena aktivis ini dianggap telah mengancam eksistensi pahter di Pulau Derawan lewat program-program konservasi yang dijalankannya.

Selain itu juga pernah terjadi pengrusakan hatchery dan ancaman-ancaman yang ditulis lewat coretan-coretan di dinding bangunan hatchery, hal ini sesuai penuturan Yusuf (24) :

” ...ketika malam itu saya sedang berjaga-jaga di mess monitoring WWF Derawan, tiba-tiba salah seorang staf monitoring didatangi oknum suruhan dan tanpa banyak berbasi-basi langsung menghajarnya, aksi ini dilakukan didepan warga dan saya, saya dan korban langsung lari ke pulau seberang dan nginap di mess Polisi Tanjung Batu untuk minta perlindungan hukum, ini terjadi karena kita mengabaikan ancaman yang sering kita terima selama ini, mungkin malam ini puncak kemarahan dari pahter..dan esok hari berita ini termuat di Koran Berau, dan terlihat propaganda pahter,’ cuci tangan’ dalam kejadian pemukulan tersebut” .

Keterangan : : Hubungan kerjasama dan saling mendukung. + : Hubungan baik : Konflik terbuka - : Hubungan buruk : Terjadi hubungan pro dan kontra ± : Pro dan kontra : Saling koordinasi dan komunikasi dua arah.

: Konflik Laten

Gambar 38. Pola Hubungan Pihak-Pihak dalam Konflik Sumberdaya Penyu Aktifitas pahter ini juga mendapat tekanan dari KSDA dan aparat keamanan. Akan tetapi juga terdapat pro dan kontra dikalangan masyarakat terkait program konservasi yang dijalankan oleh LSM, mereka yang kontra adalah masyarakat yang ada dibawah pengaruh pahter, bahkan pengaruh/intervensi pahter ini juga sampai pada tataran pengambil kebijakan di Kabupaten Berau, dimana pahter memiliki dukungan politik dan lobi yang cukup kuat terhadap pemda lewat partai politik yang mendapat sokongan dana dari pahter, walaupun pemda telah mengeluarkan SK tentang konservasi penyu, aktifitas pahter seakan tidak terbendung. Hal ini terlihat dalam rapat dengar pendapat DPRD pada tanggal 8 April 2008. Kemungkinan besar agenda tersembunyi mereka dengan dengar pendapat ini adalah untuk mendesakkan dibolehkannya kembali aktifitas konsesi telur penyu. Sehingga isu yang mereka angkat selama dengar pendapat ini adalah lemahnya pengawasan dari aparat yang berwenang, yaitu KSDA (anehnya pihak KSDA tidak diundang pada acara dengar pendapat ini). Menurut Wakil Bupati :

“.. jika konsesi tidak dibolehkan lagi di empat pulau tersebut, berarti tidak ada lagi penjagaan atau pengawasan, sehingga akan terjadi ‘hukum rimba’, masyarakat akan berebut memanfaatkan akses bebas mengambil telur penyu, dan bisa jadi sampai ke pertumpahan darah”.

Wakil Bupati tersebut menawarkan konsep “pemanfaatan” yang diatur ketat yaitu hanya boleh 30% dan hanya untuk dikonsumsi di Berau saja, yang 70%

Masyarakat Pahter Pemda

LSM Organisasi masyarakat Polisi dan TNI AL KSDA Tim Pengarah + + + ± ± ± – – ± + + ±

136

dikonservasi. Beliau kemudian mendorong untuk dicarikan “celah hukum” demi kepentingan masyarakat Berau. Beliau juga meminta rekomendasi ilmiah dari LIPI untuk pembenaran pemanfaatan ini, selanjutnya ditegaskan :

”Jika dengan ini serta pertimbangan ‘demi kepentingan rakyat’ UU dan PP di tingkat pusat tidak dapat diubah, maka semua pihak harus angkat kaki dari semua pulau penyu, tidak ada penjagaan atau kegiatan apapun juga”.

Dari penuturan diatas terlihat dualisme kebijakan antara Pemda dan KSDA, dan hal tersebut memicu timbulnya konflik laten antara Pemda dan KSDA. Akan tetapi dari rapat dengar pendapat ini juga terlihat bahwa ada juga anggota dewan yang pro terhadap program konservasi, sehingga dapat ditarik kesimpulan terjadi pro dan kontra di kubu internal Pemda Kabupaten Berau terkait konservasi penyu. Hubungan masyarakat dan pahter juga terjadi pro dan kontra, masyarakat yang pro adalah mereka yang mendapat manfaat dari aktifitas pengunduhan telur penyu, misal para pekerja pengawas di pulau-pulau telur dan para pengrajin gelang sisik yang kebanyakan berdomisili di Pulau Derawan, sedangkan mereka yang kontra adalah dari kalangan masyarakat yang telah sadar akan dampak kerusakan dari aktifitas pengunduhan telur penyu, dan biasanya mereka mendukung program konservasi yang diusung LSM.

Melihat kondisi tersebut ada yang menjadi akar konflik, yakni perebutan sumberdaya penyu bahkan dalam konflik tersebut sarat akan kepentingan politik. Selain itu konflik yang terjadi juga berasal dari kebijakan pemerintah lewat Departemen Kehutanan dan KSDA selaku badan pelaksana di lapangan

melakukan pencabutan hak atas pemanfaatan sumberdaya penyu dengan alasan pembangunan kawasan lindung dan kelestarian sumberdaya penyu. Pemerintah mengubah hak milik secara paksa tanpa ada dialog terlebih dahulu menjadi bentuk state property. Masyarakat tidak berdaya menghadapi kekuatan pemaksaan oleh Negara, menampilkan kepatuhannya dan ketundukannya didepan pemerintah, namun menyimpan kemarahan (outrage). Jika situasi krisis terjadi, maka muncul kemarahan sosial yang tak jarang menghasilkan hal-hal destruktif (kekerasan). Menurut Damanik et al (2006) bahwa kebijakan pemerintah yang mengusir masyarakat sekitar yang hidup bergantung kepada sumberdaya alam lokal secara turun temurun atau dialihkan dengan alasan pembuatan kawasan perlindungan

akan menimbulkan masalah-masalah sosial budaya. Konflik akan muncul antara masyarakat yang tinggal dalam kawasan dengan pemerintah.

Masyarakat memandang sumberdaya alam sebagai faktor produksi untuk mendapatkan keuntungan dan memenuhi kebutuhan keluarga secara jangka pendek. Alasan ini merupakan permasalahan laten yang selalu terjadi diberbagai daerah dimana umumnya masyarakat yang menduduki hutan, pantai dan desa-desa termaginalkan secara ekonomi. Untuk menjamin kebutuhan pangan dan papan mereka sepenuhnya memanfaatkan sumberdaya yang dekat dengan tempat tinggal mereka, tetapi disisi lain pemerintah menilai dimana dalam kasus ini sumberdaya yang ada sepenuhnya harus dilestarikan.

Kelemahan peraturan sentralistik yaitu kemampuan dan keberhasilan masyarakat untuk melakukan penghindaran terhadap peraturan. Suseno (2007) mengatakan bahwa sumberdaya yang ada di Indonesia merupakan immerse community dalam arti kawasannya sangat luas sementara pemerintah menerapkan yurisdiksi dan kewenangan sepenuhnya terhadap sumberdaya. Sumberdaya kemudian menjadi open access karena tidak ada satu pihak pun memiliki

kepastian hak yang dapat menjadi insentif bagi pemilik. Selain menghindari dari peraturan, masyarakat bahkan mengeluarkan sikap lebih keras lagi melakukan pengrusakan terhadap fasilitas pemerintah.

Selain itu permasalahan lain yang terjadi di dalam masyarakat adalah adanya anggapan bahwa selama ini penetapan konservasi penyu hanya menguntungkan pemerintah dan pengusaha pariwisata (resort). Sedangkan masyarakat tidak mendapatkan nilai tambah dari potensi yang ada di kampungnya sendiri, setiap hari berdatangan turis dan peneliti dari dalam dan luar negeri. Belum lagi lembaga-lembaga pemerintah yang melakukan riset bekerjasama dengan LSM juga ikut menikmati sumberdaya yang ada di Kepulauan Derawan, sedangkan masyarakat hanya menjadi penonton dan bahkan tidak menyadari potensi apa yang dimiliki oleh kampungnya. Memang kenyataannya resort di Pulau Maratua membayar kompensasi ke pemerintah kampung setiap tahunnya, akan tetapi kompensasi itu hanya bisa dinikmati oleh sebagian kampung,

sedangkan kenyataannya resort tersebut juga memanfaatkan potensi wisata di seluruh kampung yang ada di Kepulauan Derawan. Misal banyaknya penyu yang

138

makan di Kampung Payung-payung, ini merupakan kepatuhan masyarakat untuk menjaga kelestarian penyu, sedangkan setiap hari ada banyak turis dan peneliti yang memanfaatkan dan menikmati fenomena alam tersebut, tetapi karena posisi tawar masyarakat sangat lemah tidak ada kompensasi yang didapat oleh

masyarakat dari aktifitas tersebut.

Tabel 28. Karakteristik dan Peranan Pihak-pihak dalam Konflik

Pihak-Pihak dalam Konflik

Karakteristik Peranan

Masyarakat (pro konservasi)

Masyarakat yang sadar akan pentingnya kelangsungan sumberdaya penyu, pemanfaatan non-ekstraktif (misal lewat

ekowisata) dan mendukung program konservasi.

Pelaku utama konflik, melakukan perlawanan terhadap pengeksploitasi penyu. Meminta pihak luar untuk membantu dalam melakukan

perlawanan dan penyelesaian konflik. Masyarakat

(kontra konservasi)

Melakukan pengunduhan telur penyu untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi, bekerjasama dengan pahter dalam melakukan aktifitas.

Pelaku utama konflik, melakukan tindakan-tindakan yang dapat mendorong konflik sekaligus yang dapat meredam konflik dalam waktu tertentu.

Pahter Pihak swasta yang berwenang dalam pengelolaan telur penyu di masa konsesi. Masih memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan pemda, sehingga aktifitas pengunduhan telur penyu secara ilegal masih terus dilakukan.

Pelaku utama konflik, melakukan perlawanan kepada pemerintah dan LSM dalam menjalankan program konservasi penyu, memiliki lobi dan intervensi kuat ke Pemda Berau lewat partai politik dan anggota dewan. Pemda

Kabupaten Berau

Lembaga pemerintah yang memiliki kepentingan besar terhadap

pengelolaan sumberdaya penyu.

Mediator konflik, saksi dalam islah/perjanjian, akan tetapi lemah terhadap intervensi pahter. KSDA Unit pelaksana program konservasi

penyu yang dijalankan oleh Departemen Kehutanan.

Menjalankan program konservasi penyu dimana pengelolaan secara sentralistik.

Polisi dan TNI AL

Aparat keamanan yang sering membantu dalam patroli, dan ikut menjaga pengawasan terhadap pulau-pulau telur di Kepulau-pulauan Derawan.

Menjaga keamanan dan ketertiban wilayah perairan Kepulauan Derawan, dan mencegah terjadinya pelanggaran di KKLD Berau, serta mediator konflik.

Organisasi masyarakat (Dakayu Akkal, Formal)

Wadah komunikasi antar masyarakat, merupakan lembaga non-formal yang mengakomodasi aspirasi masyarakat.

Negosiator dan mediator dalam mengakomodasi kepentingan

masyarakat, bekerjasama dengan LSM dalam menjalankan program kerja. Organisasi

non-pemerintah

Menjalankan program konservasi, mengedepankan peran serta masyarakat, dan advokasi terhadap kepentingan masyarakat.

Mediator dan negosiator dalam penyelesaian konflik, dan pro terhadap masyarakat.

Tim Pengarah Lembaga kolaborasi yang dibentuk pemerintah untuk membentuk badan pengelola KKLD Berau

Mengakomodasi kepentingan para stakeholder dalam pengelolaan KKLD Berau, mediator dalam upaya

penyelesaian konflik. Sumber : Data Primer (diolah 2008)

Penyelesaian konflik yang paling baik dengan manajemen kolaborasi yang sekarang sedang dirancang oleh Tim Pengarah, yang mengakomodasi sikap kooperatif dan asertif yang tinggi dan akan menghasilkan situasi ‘win-win’. Manajemen Kolaborasi (Collaborative Management) yang diusulkan Marshall yakni resolusi konflik melalui suatu bentuk pengelolaan yang mengakomodasikan kepentingan seluruh stakeholder secara adil dan memandang harkat setiap

stakeholder sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam mengupayakan tujuan bersama (Marshall, 1995 disarikan dalam Tajudin, 2000).