VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Struktur Sosial Masyarakat
6.1.2 Struktur Penguasaan Sumberdaya Alam
Pada komunitas masyarakat, pola penguasaan terhadap tanah sering dilakukan masyarakat dengan cara hasil warisan, jual beli, penggadaian, dan ada pula pada masa dahulu dengan cara merambah hutan pantai. Tanah yang dijadikan areal perkebunan di Maratua semuanya atas kepemilikan pribadi, sehingga masyarakat dulu tidak mengenal tanah ulayat atau tanah komunal, kalaupun ada tanah tersebut digunakan sebagai fasilitas umum seperti tanah
72
pemakaman umum. Hasil rambahan hutan tersebut diklaim hak milik kelompok menurut batasan dusun atau kampung yang dimanfaatkan untuk areal perkebunan baru atau untuk tanah pekarangan. Beberapa keluarga yang merambah hutan di sekitar perbukitan secara berkelompok dibantu oleh para isteri nelayan.
Berdasarkan hukum kepemilikan tanah, bahwa tanah bisa dimiliki oleh masing-masing atau kelompok jika tanah tersebut belum ada yang mengakui baik oleh Negara atau lainnya, selain itu pula kepemilikan akan berubah menjadi
kepemilikan pribadi, jika orang lain memandang sipemilik secara intensif
memanfaatkan tanah tersebut untuk kepentingan ekonomi. Hal ini merupakan hak okupasi (hak menduduki) dan seperangkat hak lainnya (bundle of right) yang diberikan kepada kelompok masyarakat atas tanah tersebut untuk menguasai, memanfaatkan dan mendapatkan keuntungan (Bromley 1991) diacu dalam Fauzi (2006).
Penghindaran persengketaan atas hak kepemilikan tanah dilakukan oleh para penduduk dengan cara menandai wilayah tanah dengan berbagai macam yang secara fisik dapat diketahui dengan mudah. Batasan fisik tersebut seperti menggunakan pagar tanaman, pohon yang sengaja ditanam dan dibiarkan membesar, misalnya pohon kelapa yang biasa digunakan warga untuk menandai watas (batas) tanah warisannya. Bahkan pohon kelapa ini memiliki nilai jual tersendiri karena pada budaya masyarakat Kepulauan Derawan ketika menjual tanah segala tanaman dan pohon yang tumbuh di atas tanah dihitung dalam transaksi jual beli, dan pohon kelapa memiliki harga jual paling tinggi, yaitu sekitar Rp.250 ribu / batang.
Pola penguasaan tanah lain yang sering dilakukan oleh masyarakat
setempat dengan sistem jual beli dan terkadang sistem gadai. Sistem gadai sering dilakukan ketika si pemilik tanah sangat membutuhkan uang secara cepat dengan kuantitas yang cukup banyak. Tanah tersebut secara hukum dipindahkan hak gunanya kepada penggadai selama uang gadai tersebut belum diserahkan kembali (uang tebus). Umumnya masyarakat yang mau menggadaikan tanahnya mencari orang yang memiliki status terpandang seperti mereka mencari orang yang berdagang atau bandar pengumpul. Hak guna tanah bisa berubah menjadi hak milik karena batasan jangka waktu untuk menebus uang tersebut tidak ditepati
oleh penggadai, tetapi yang terjadi di masyarakat Kepulauan Derawan tidak demikian. Para pemegang hak pakai tanah merasa tidak nyaman untuk melakukan negosiasi untuk memperpanjang masa tebus atau masa tebus akan terus berlanjut jika benar-benar warga yang menggadaikan tanahnya tidak bisa membayar karena alasan belum bisa mengganti. Pola-pola sistem gadai saat ini tidak begitu banyak digunakan oleh warga, hal ini karena semua warga memiliki pandangan negatif. Seseorang yang melakukan penggadaian dirasakan tidak bisa menghargai
kekayaannya sendiri, lebih tegas lagi kalau dijual. Jika meninggal dunia, tidak ada kekayaan yang bisa diwariskan kepada anak-anaknya walaupun kekayaan yang dimiliki hanya sepetak tanah. Pandangan masyarakat bahwa masih banyak yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Masyarakat menganggap bahwa orang yang memiliki tanah yang cukup luas sangat sedikit, hanya dimiliki oleh beberapa orang. Setiap keluarga
umumnya memiliki petakan tanah yang hampir sama sekitar satu sampai tiga petak tanah. Misalnya di kampung Payung-payung hampir setiap kelurga memiliki hubungan persaudaraan, karena aslinya mereka satu nenek moyang, dimana warisan tanah dibagi sama rata setiap individunya.
Pada penguasaan terhadap sumberdaya perikanan tangkap di perairan pantai dan laut, secara turun temurun tidak ada polanya. Masyarakat memandang bahwa sumberdaya perikanan seluruhnya bersifat kepemilikan bersama (common property). Semuanya bebas untuk memanfaatkan sesuai dengan kekuatan alat untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan tersebut. Oleh karena itu hak akses terhadap sumberdaya perikanan dibatasi dengan perlengkapan penangkapan, sehingga pola penguasaan terhadap sumberdaya perikanan berhubungan dengan pola penguasaan terhadap perahu dan alat tangkap. Pola penguasaan atas perahu dan alat tangkap bagi nelayan laut menggunakan sistem sewa perahu dengan perlengkapannya kepada pemilik. Nelayan menyewa perahu dengan sistem bagi hasil.
Stratifikasi komunitas nelayan berdasarkan penguasaan atas perahu dan alat tangkap terbagi atas tiga kelas. Pertama nelayan yang memiliki lebih dari
74
satu perahu motor dan alat tangkap dengan posisi pemilik kapal (punggawa)7 tidak ikut melaut, mereka juga berfungsi sebagai pengepul ikan. Punggawa hanya bekerja mengelola dan mengkoordinasikan armada yang disewakannya. Kedua nelayan yang memiliki satu armada dengan peralatan melautnya dimana posisi sipemilik ikut melaut. Ketiga, nelayan yang hanya memiliki alat tangkap saja yang digunakan untuk menangkap ikan di perairan pantai atau perairan umum.
Di Pulau Maratua juga ada pola penguasaan terhadap sumberdaya sarang burung walet, dimana pola pemanfaatan ini sudah berkembang sejak zaman Kerajaan Sambaliung. Dahulu di tanah Berau ada dua kerajaan yang berkuasa. Dimana Kerajaan Gunung Tabur menguasai sumberdaya yang ada di daratan meliputi rempah-rempah, hutan, dan hasil perkebunan, sedangkan Kerajaan Sambaliung menguasai wilayah laut dan pulau-pulau kecil serta telur penyu, sehingga Pulau Maratua yang memiliki gua-gua tempat sarang burung walet masuk ke dalam kekuasaan Kerajaan Sambaliung. Sehingga dahulu hasilnya dimiliki oleh kerajaan. Tetapi sekarang setelah zaman kemerdekaan pola
penguasaan seperti itu tidak berlaku lagi, sehingga sekarang untuk gua-gua sarang burung walet dipegang oleh pemda lewat tender yang diberikan kepada pihak swasta.
Adanya pola penguasaan atas sumberdaya tanah dan perikanan serta diferensiasinya, pemilik tanah atau armada perahu dan alat tangkap memiliki hak eksklusif untuk mengambil manfaatnya dari sumberdaya tersebut8. Hak eksklusif tersebut dapat dipindah tangankan (hak transferibilitas) kepada orang lain seperti sepetak tanah yang dipindahtangankan kepada orang lain dengan cara dibeli atau digadaikan, juga seperti kepemilikan armada dengan sistem sewa kepada nelayan dengan tujuan mengambil manfaat dari sumberdaya tersebut.
Sumberdaya alam lain yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dan menurutnya bersifat common property yaitu hutan pantai. Hutan dipenuhi oleh vegetasi ekonomis (kayu bakau) dimanfaatkan oleh masyarakat secara
7 Di kalangan Orang Bugis-Makassar, kata “punggawa” berarti pemimpin atas sejumlah orang yang disebut “sawi”, untuk sesuatu kegiatan kerja tertentu, baik yang berlangsung lama, maupun dalam jangka waktu singkat untuk terselenggaranya kegiatan kerja.
8 Hak eksklusif merupakan hak yang paling tinggi yang dimiliki seseorang. Hal ini karena hak tersebut tidak dipisahkan dengan hak milik atas sumberdaya.
kecilan,9 yang sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal dan bentuk-bentuk lainnya yang dapat digunakan sebagai perlengkapan rumah tangga. Masyarakat juga memanfaatkan hutan pantai sebagai pencarian kayu bakar. Kayu-kayu tersebut dimanfaatkan dengan cara menebang ranting-ranting pohon yang cukup besar untuk kebutuhan keluarga. Pencarian tersebut sering dilakukan tergantung persediaan. Masyarakat menghabiskan kayu dalam empat sampai lima kali memasak dan mencari kembali ke tempat yang belum diambil pada hari-hari sebelumnya. Kebutuhan akan kayu bakar semakin meningkat seiring sering terjadinya kelangkaan BBM dan mahalnya harga minyak tanah.
Banyaknya pengeksploitasian sumberdaya hutan pantai secara bebas oleh masyarakat, hal ini mengakibatkan tingkat pertumbuhan sumberdaya tersebut menurun. Dilema sumberdaya seperti ini selalu terjadi di kawasan lainnya. Penyebab utamanya merupakan sistem kepemilikan bersama (common property) oleh kelompok masyarakat setempat. Pola kepemilikan, akses dan kontrol terhadap sumberdaya tersebut secara kolektif inilah disebut sebagai tenurial system. Sistem ini dengan berbagai kondisinya akan menciptakan insentif yang sangat kuat terhadap kerusakan atau kelestarian sumberdaya alam (Fauzi 2006) termasuk hutan pantai dengan segala isinya.
Tabel 20. Hak Dalam Penguasaan terhadap Sumberdaya
No Penguasaan Sumberdaya Cara Mendapatkan Sumberdaya Sifat kepemilikan Sumberdaya Hak Didapatkan 1. Tanah (ladang dan perkebunan) - Warisaan - Jual beli - Perambahan hutan pantai
Kepemilikan pribadi Hak eksklusif, hak guna dan hak milik 2. Hutan pantai Bebas untuk
memanfaatkan sumberdaya
Kepemilikan bersama Hak akses secara komunal 3. Perairan laut
dan segala isinya
Penyewaan alat tangkap dan perahu pemilikan atas perahu dan alat tangkap
Kepemilikan bersama Hak akses secara komunal tergantung dari teknologi alat tangkap 4 Goa Sarang Burung Walet
Pelelangan Kepemilikan pribadi Hak eksklusif, hak guna Sumber : Studi Lapang (data primer) diolah 2008.
9 Pengambilan secara kecil-kecilan tersebut terjadi sebelum adanya peraturan mengenai perizinan pemanfaatan atas sumbedaya hutan pantai sekitar tahun 1998-an. Walaupun setelah didirikannya desa, dengan menetapkan status hak milik atas hutan oleh pemerintah tetapi tetap saja hal ini terus dilakukan oleh masyarakat setempat.
76
Tabel 20 menjelaskan pola penguasaan serta hak yang didapatkan atas sumberdaya yang ada di Kepulauan Derawan. Pemetaan tersebut dapat menghasilkan penjelasan bahwa sumberdaya yang bersifat common pool resources (CPR) terdiri dari hutan pantai dan perairan pantai (sumberdaya perikanan) lebih bersifat akses terbuka. Hal ini selalu menjadi permasalahan, walaupun pada masa orde baru status sumberdaya hutan pantai dimiliki oleh pemerintah.