• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Nikah

Dalam dokumen Agama (Halaman 119-129)

Kerangka Agama Islam

9.2 Hukum Nikah

Pada prinsipnya nikah itu sunat hukumnya bagi orang yang memerlukan penyaluran biologis, sekalipun orang yang bersangkut- an sibuk dengan urusan ibadahnya. Selain itu dia pum harus mampu mengadakan segala sesuatu yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya, seperti maskawin, sandang yang mengikuti perubahan cu- aca, dan nafkah sehari-hari. Hikmah yang terkandung di dalam nikah ialah demi memelihara agama dan berlangsungnya keturunan.

Menangguhkan Pernikahan Bila Belum Siap Berumah Tangga

Bagi orang yang memerlukan penyaluran biologis, sedangkan dia belum mampu merealisasikan biaya dan tanggung jawabnya, se- baiknya ia menangguhkan nikah. Untuk meredam kebutuhan biologis- nya itu, ia dianjurkan berpuasa, bukan mempergunakan obat (penurun

syahwat). Bagi orang yang tidak mampu merealisasikan biaya dan be- ban tanggung jawabnya serta tidak memerlukan penyaluran biologis, hukum nikah makruh baginya. Sekalipun hukum nikah itu sunat, bila dinazarkan maka hukumnya menjadi wajib.

Allah swt.Telahberfirman:

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah kenjaga kesucian (diri) sehingga Allah memampukan mereka dengan ka- runia-Nya. ... (An-Nur:33)

Nabi saw, telah bersabda :

Hai para pemuda, barang siapa diantara kalian mampu men- gadakan biaya, nikahlah. Sesungguhnya nikah itu lebih merun- dukkan pandangan mata dan lebih memelihara kelamin. Barang siapa yang belum mempuyai kemampuan (mengadakan biaya), berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu dapat menjadikan peredam baginya.

Menurut makna hadis, cara meredam birahi ialah dengan ber- puasa, tidak boleh memakai obat-obatan. Bilamana seseorang me- makai obat-obatan hingga mengakibatkan dirinya impoten, hukumnya haram. Tetapi bila pengaruhnya hanya melemahkan saja, hukumnya makruh. Hal yang berlaku pula terhadap wanita yang memakai ses- uatu untuk mencegah kehamilan, dengan rincian sebagai berikut : Apabila mengakibatkan matinya rahim, maka hukumnya haram; tetapi jika hanya memperlambat atau menjarangkan kelahiran, hukumnya makruh. Hal itu diterangkan dalam kitab I‘anah syarah Fat-hul Mu‘in, juz III hlm. 256.

Disunatkan Melihat Kondisi Fisik Calon Pasangan

Sebelum lamaran dilakukan, masing-masing pihak yang telah bersepakat akan melangsungkan pernikahan disunatkan agar melihat keadaan pasangannya kecuali aurat yang harus ditutupi dalam salat. Untuk itu, seseorang lelaki boleh melihat wanita merdeka pada ba- gian wajahnya untuk mengetahui kecantikannya, juga bagian luar dan

dalam kedua telaak tangannya untuk mengetahui kesuburan tubuh- nya. Sehubungan dengan masalah ini Nabi saw, pernah bersabda :

Bila sesorang diantara kalian hendak melamar seorang wanita, tiada dosa baginya melihat wanita itu sekalpun tanpa sepenge- tahuannya (Riwayat Abu Daud, Imam Thabrani, dan Imam Ah- mad)

Ibnun Najjar dan lain-lainnya mengetengahkan sebuah hadis melalui Al-Mughirah ibnu Syu‘bah yang mengatakan :

Aku melamar seorang gadis dari kalangan Anshar, lalu kucerita- kan hal itu kepada Nabi saw., maka beliau bertanya kepadaku,

“Apakah kamu telah melihatnya?” Aku jawab, “Belum.” Nabi

saw. Bersabda, “Lihatlah dia, karena sesungguhnya hal ini akan lebih melestarikan cinta dan kerukunan di antara kamu berdua.” Maka aku datang kepada mereka (keluarga si gadis) dan kuutara- kan maksudku kepada kedua orang tuanya, tetapi ibu bapaknya hanya saling memandang satu sama lainnya, maka akupun kelu- ar. Tetapi tiba-tiba si gadis (dari dalam kamar) berkata. “Temuk- anlah aku dengan lelaki itu!” Aku berdiri di salah satu bagian kemahnya, dan ia berkata, “Jika Rasulullah saw telah memerin- tahkan kamu untuk melihatnya, silakan melihat. Tetapi jika ti- dak ada perintah darinya, aku merasa enggan mengizinkanmu

melihatku.” Lalu aku melihatnya dan mengawininya. Ternyata

aku sama sekali belum pernah mengawini seorang wanita yang lebih kucintai daripada dia, dan tiada yang lebih kumuliakan selain darinya; sesungguhnya aku telah kawin sebanyak tujuh puluh kali.

Sedangkan yang boleh dilihat dari bagian tubuh budak perem- puan adalah seluruh tubuhnya kecuali anggota badan antara pusar dan kedua lutut. Kedua belah pihak (yang akan menjadi pasangan suami istri) diperbolehkan saling melihat selain bagian anggota tersebut dari pasangnya masing-masing.

Syarat boleh melihat

Agar halal melihat, wanita yang dituju harus dalam keadaan bebas dari ikatan nikah dari iddah. Hendaknya lelaki yang bersang- kutan mempunyai keyakinan kuat bahwa lamarannya tidak akan di-

tolak. Bagi orang yang tidak mempunyai kesempatan untuk melihat calon istrinya, disunatkan (dianjurkan) mengirim seorang wanita (dari pihaknya) sebagai wakilnya guna melihat keadaan calon istrinya. Se- lanjutna utusan itulah yang akan menceritakan kepadanya keadaan ca- lon istrinya. Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad disebutkan bahwa Nabi saw, pernah mengirimkan orang wanita sebagai wakilnya untuk melamar seorang wanita yang akan dijadikan istrinya. Untuk itu beliau berpesan ‖Lihatlah wajah dan kedua telapak tangan serta lehernya‖.

Tidak termasuk ke dalam pengertian melihat yaitu memegang. Hukum memegang itu haram karena tidak diperlukan.

Haram Melihat Aurat Bukan Muhrim

Seorang lelaki – sekalipun sudah lanjut usia – haram melihat salah satu bagian anggota tubuh wanita yang lain (yang bukan muhrim) dengan sengaja, baik merdeka maupun hamba sahaya yang telah men- capai usia diminatinya, sekalipun dia cacat atau sudah tua. Begitu pula sebaliknya (wanita melihat laki-laki).

Melihat aurat wanita dapat menyebabkan lupa hapalan al-Qur‘an, sebagaimana di alami oleh �mam Asy Syafi‘�, ketika bertanya kepada gurunya, wahai guru, mengapa saya hapalan kur‘an saya menjadi lupa ?, tanya �mam Asy-Syafi‘i. Gurunya menyarankan supaya memeriksa perbuatan dosanya, coba anda periksa apakah anda telah berbuat dosa ?, saya tidak berbuat dosa, jawab Imam, namun setalah mengingatnya

�mamAsy-Syafi‘�mengatakansayapernahmelihattumitseorangwani-

ta!. Dari pengalamam ini kita dapat memehami betapa dasyatnya aurat wanita itu, bukan hanya membuat kaum lelaku berdosa, dan berbuat jahat menjadi pemerkosa, hapalan al-Qur‘anpun bisa lupa !, bagaiman dengan wanita yang mempertontonkan auratnya ?.

Say to the believing men that they should lower their gaze and guard their modesty: that will make for greater purity for them: And Allah is well acquainted with all that they do.

(Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,

“Hendaklah mereka menahan pandangannya dan

memelihara kemaluan- nya”). (An-Nur:30)

Rasulullahsaw, telahbersabda:

Pandangan merupakan panah beracun milik iblis yang terkutuk, karena pandangan itu mengundang berpikir, dan berpikir men- gundang perbuatan zina.

Mata dapat berzina sedangkan yang membenarkan dan yang du- stakan adalah kalbunya.

Al-Asnawi mengikut kepada kitab Raudhah, menurutnya bahwa yang benar adalah boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan wa- nita di kala aman dari fitnah; ini merupakan pendapat yang lemah. Demikian pula pendapat yang dipilih oleh Al-Adzru‘i dari sejumlah ulama, boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan wanita lanjut usia bila tidak dikhawatirkan adanya fitnah dalam memandangnya. Tidak dapat diperbolehkan sama sekali melihat leher dan kepala wa- nita merdeka. Menurut suatu pendapat boleh, tetapi makruh meman- dang bagian tubuh budak perempuan selain antara pusar dan kedua lututnya, karena bagian tersebut merupakan aurat dalam salat. Tetapi dengan syarat, yaitu pandangan tanpa birahi dan tidak dikhawatirkan menimbulkanfitnah.

Perihal Melamar Wanita Yang Beriddah

Haram melakukan lamaran (pinangan) secara terang-terangan terhadap wanita yang masih dalam iddah bukan dari lelaki yang ber- sangkutan, baik dalam talak rafi‘i karena dicerai atau karena fasakh (dibatalkan), ataupun karena ditinggal mati suaminya.

Tetapi diperbolehkan melakukan lamarn secara sindiran terha- dapnya bila ia berada dalam iddah yang bukan roj‘I, kata-kata sindiran itu misalnya, ―Engkau cantik,‖ dan ―Banyak orang yang berminat ke-

padmu.‖ Seseorang tidak diperbolehkan melamar wanita yang telah

ditalak tiga, sebelum wanita itu kawin dahulu dengan muhallil (lelaki lain), dan masa iddah dari muhallil telah habis jika ia menceraikannya secara raj‘‘i. Tetapi jika muhallil menceraikannya secara ba‘in (tiga

kali), maka suami pertama boleh melamarnya dengan ungkapan sindir- an, sekalipun wanita itu masih berada dalam iddah dari muhallil.

Seorang laki-laki tidak boleh melamar seorang wanita yang dike- tahui telah dilamar oleh orang lain, yang mana lamaran tersebut diper- bolehkan dan telah diterima, sekalipun lamaran yang pertama itu hu- kumnya makruh; yang jelas lamarannya itu secara lafzi telah diterima. Kecuali jika si pelamar pertama mengizinkan dia untuk melamarnya bukan karena takut atau malu (kepadanya), atau pelamar pertama meninggalkannya, seumpamanya setelah diterima lama sekali tidak segera mengawininya. Termasuk ke dalam pengertian ―berpaling‖ bila ia melakukan perjalanan yang sangat jauh (memakan waktu yang sa- ngat lama).

Di dalam kitab Syaikhain disebutkan sebuah hadis yang men- gatakan :

Janganlah seseorang melamar (wanita) di atas lamaran sauda- ranya sebelum pelamar pertama meninggalkannya atau mem- berikan izin kepadanya untuk melamarnya.

Barang siapa yang dimintai pendapat mengenai seorang pemi- nang atau seorang yang (dikenal) ahli (dalam suatu bidang) yang hen- dak bergabung dengan si penanya, maka sudah menjadi kewajiban baginya menyebutkan kekurangan-kekurangan yang ada pada orang tersebut (jika memang ada padanya) secara jujur, sebagai nasihat (sa- ran) yang wajib darinya. Dikatakan demikian karena Fathimah binti Qais pernah berkata kepada Nabi saw., ―Sesungguhnya Mu‘awiyah dan Abu Jahm pernah melamarku. ―Maka Rasulullah saw bersabda :

Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (yakni suka memulul istrinya), sedangkan Mu‘awiyah adalah seorang miskin yang tak berharta. Lebih baik nikahlah dengan Usamah.

Memilih calon istri

Mengawini wanita dayyinah, yakni wanita yang memiliki sifat adil (kuat agamanya), lebih utama daripada kawin dengan wanita yang fasik, sekalipun predikat fisiknya bukan karena zina. Hal ini berlan- daskan pada hadis yang yang telah disepakati kesahihannya, yaitu :

―Ambillah wanita yang kuat agamanya‖.

Menikahi wanita nasibah, yakni wanita yang dikenal asal ketu- runannya sebagai wanita berketurunan baik karena berkaitan dengan ulama dan orang-orang saleh, lebih utama daripada mengawini yang lainnya. Karena ada hadis yang menganjurkan, ―Pilihlah buat buthfah (bibit) kalian, dan janganlah kalian meletakkannya bukan pada tempat yang pantas.‖ Makruh menikahi anak perempuan hasil perzinaan dan anak perempuan yang fasik.

Mengawini wanita cantik

Mengawini wanita yang cantik adalah lebih baik, karena ada hadis yang mengatakan, ―Sebaik-baik wanita ialah wanita yang menye- nangkanmu bila kamu pandang‖.

Kawin dengan wanita yang dekat kerabatannya

Kawin dengan wanita yang jauh hubungan kerabatnya dari ka- langan orang-orang yang seketurunan dengannya adalah lebih baik daripada kawin dengan wanita yang dekat hubungan kerabatnya, dan lebih baik pula daripada dengan wanita lain. Hal itu adalah karena gai- rah seksual terhadap wanita yang dekat kerabatannya adalah lemah, hingga akibat anaknya nanti kurus. Wanita kerabat dekat ialah anak paman dan bibi dari pihak ayah dan pihak ibu (yakni saudara sepupu) orang yang bersangkutan. Kawin dengan wanita lain (yang bukan ke- rabat) adalah lebih baik daripada kawin dengan wanita kerabat dekat.

Tidak bertentangan dengan ketentuan yang yang disebutkan dalam hadis di atas, bahwa Nabi saw menikahi Zainab, padahal dia adalah anak perempuan paman Nabi. Karena beliau saw, melakukan- nya untuk menjelaskan bahwa hal tersebut diperbolehkan. Perkawi- nan antara Ali dan Fathimah r.a pun tidak bertentangan dengan hadis, karena Fathimah dan Ali jauh kerabatnya. Fathimah adalah anak per- mepuan saudara sepupu Ali, dan bukan anak pamannya.

Lebih Baik Mengawini Perawan daripada Janda

Kawin dengan perawan lebih baik daripada kawin dengan janda, karena ada perintah dalam hadis-hadis sahih yang menganjurkannya. Kecuali karena ada halangan, seumpamanya penisnya lemah, tidak dapat mengoyak selaput keperawanan, (maka kawin dengan janda adalah lebih baik darinya).

Mengawini wanita yang subur dan keibuan

Kawin dengan wanita subur peranakannya dan memiliki sifat keibuan yang tinggi lebih baik (daripada dengan yang lainnya), karena ada perintah yang menganjurkannya. Hal tersebut dapat dilihat dari keadaan keluarga si gadis. Hak yang lebih utama lagi ialah hendaknya wanita itu berakal cerdas dan berakhlak baik. Hendakny dia tidak mempunyai anak dari suami sebelumnya kecuali karena ada maslahat (kepentingan). Hendaknya pula dia bukan wanita yang blonde (bule) dan pula tinggi kurus, sebab ada himbauan untuk tidak menikahinya.

Pokok permasalahan memegang semua spesifikasi yang telah disebutkan di atas erat kaitannya dengan sifat ‗iffah (memlihara kehor- matan) bila tidak didapat pada selain spesifikasi tersebut. Tetapi bila ternyata pada spesifikasi tersebut tidak dapati sifat ‗iffah dan hanya ada pada yang lainnya, itulah yang lebih baik. Di dalam kitab Syarhul Minhaj dikatakanbahwaseandainya spesifikasitersebut bertentangan, maka menurut kesimpulan yang mudah adalah diprioritaskan secara mutlak wanita yang kuat agamanya (atas yang lainnya). Sesudah itu

diprioritaskan wanita yang berakal cerdas dan berakhlaq mulia, kemu- dian wanita yang subur peranakannya, lalu wanita yang berketurunan baik, kemudian yang masih perawan, lalu wanita yang cantik, selan- jutnya menuruti kemaslahatan yang lebih diprioritaskan sesuai dengan ijtihad orang yang bersangkutan. Demikianlah menurut Syarhul Min- haj. Tetapi di dalam kitab Syarhul Irsyad beliau menegaskan bahwa wanita yang subur peranakannya lebih diprioritaskan daripada wanita yang berakal cerdas.

Menawarkan Wanita Yang Ada Dalam Perwaliannya

Seorang wali disunatkan menawarkan wanita yang berada dalam perwaliannya kepada orang-orang yang saleh. Makna yang dimaksud ialah hendaknya seorang wali memilih menantu yang shaleh buat anak perempuannya atau wanita yang berada dalam perwaliannya. Seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Syu‘aib terhadap Nabi Musa a.sberkatakepadanya,kata-katanyaitudisitirolehfirman-Nya:

Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak perempuannya ini. (Al-Qashah : )

Juga seperti yang pernah dilakukan oleh sahabat Umar terha- dap sahabat Utsman dan sahabat Abu Bakar r.a. Seseorang – dalam nikahnya – disunatkan berniat untuk melaksanakan sunnah Nabi saw agar memperoleh keturunan yang saleh dan menjadi tameng bagi dir- inya dari perbuatan zina). Sesungguhnya dia akan memperoleh pa- hala manakala nikahnya ditujukkan untuk melakukan ketaatan, seperti memlihara kehormatan (dari perbuatan zina) atau ingin memperoleh anak yang saleh.

Dianjurkan melakukan akad nikah di dalam masjid, pada hari jumat di pagi harinya, dan dalam Syawwal. Dianjurkan pula agar ia melakukan dukhlah (menggauli istri yang baru dikawininya itu) dalam bulan yang sama.

Dalam dokumen Agama (Halaman 119-129)