• Tidak ada hasil yang ditemukan

Syarat rukun nikah

Dalam dokumen Agama (Halaman 129-134)

Kerangka Agama Islam

9.3 Syarat rukun nikah

Rukun nikah ada lima, yaitu : Mempelai wanita, memelai laki- laki, wali, dua orang saksi, dan shighah.

Sighah

Dalam shighah (teks) disyaratkan adanya ijab dari pihak wali, se- perti ucapan, ―Aku nikahkan kamu atau kamu kawinkan kamu dengan orang yang ada dalam perwalianku, yaitu Fulanah.‖

Ijab

Kalimat ijab tidak sah melainkan dengan salah satu dari kedua kalimat tersebut diatas, karena ada hadis Imam Muslim yang mengatakan ―Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan wa- nita, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka berdasarkan amanata Allah, dan kalimat halalkan farji (kemaluannya dengan (menyebut) kalimah Allah.‖ Kedua lafaz itulah (nikah dan kawin) yang disebutkan di dalam Kitabullah, tiada kata-kata lain di da- lamnya selain dari kedua lafaz tersebut. Menurut pendapat yang paling kuat (alasannya), tidak sah melakukan ijab dengan kata- kata ―Unkihuka‖ (Aku sedang mengawinkan kamu, aku sedang menikahi kamu). Tidak sah pula memakai kata-kata kinayah (sin- diran), seperti ucapan, ―Aku halalkan putriku kepadamu, ―atau ― Aku ikatkan dia untukmu.‖

Kabul

Di syaratkan adanya kabul yang bersambung dengan ijab dari ca- lon suami, yaitu dengan kalimat seperti, ―Aku kawini dia,‖ atau

―Aku nikahi dia,‖ Tetapi diharuskan menyebut kata yang menun- jukkan calon istri, seperti menyebut namanya, kata gantinya, atau kata isyarat. Kata ijab dapat pula diucapkan dengan kalimat, ―Aku terima atau aku rela,‖ menurut pendapat yang paling sahih. Lain halnya dengan As Subuki (dia berpendapat berbeda). Tidak di- perbolehkan dengan kalimat, ―Aku lakukan nikahnya‖ atau ―Aku

lakukan kawinnya,‖ atau ―Aku terima nikah ini,‖ atau ―Aku terima kawin ini,‖ menurut pendapat yang dapat dijadikan pegangan. Dan tidak boleh dengan ungkapan, ―Aku terima atau akau meneri- manya secara mutlak,‖ yakni menerima wanita yang dikawininya. Tidak diperbolehkan pula dengan kalimat, ―Aku terima ini,‖ yakni nikah ini.

Untuk kabul shighah yang paling utama ialah, ―Aku terima ni-

kahnya,‖ mengingat ungkapan ini menunjukkan makna kabul

yang hakiki.

Akad Nikah Diucapkan Dengan Bahasa Yang Dapat Dipahami

Akad nikah dianggap sah apabila memakai terjemahan dari ke- dua lafaz tersebut, yakni dengan bahasa mana pun, sekalipun dilaku- kan oleh orang yang pandai berbahasa Arab. Tetapi dengan syarat, hendaknya ia mendatangkan makna yang dianggap oleh bahasa orang yang bersangkutan sebagai terjemahan laterlijk dari bahasa Arabnya. Kebolehan memakai bahasa asing ini dengan syarat bilamana masing- masing pihak yang bersangkutan dapat memahami makna yang di- maksud, demikian pula halnya kedua orang yang menjadi saksi.

‗Allamah Taqiyyus Subuki di dalam Syarhul Minhaj mengatakan,

―Seandainya ada suatu lafaz yang telah disepakati oleh penduduk

suatu daerah menunjukkan makna sesinonim dengan nikah tanpa ter- jemahan leterlijk-nya, bila dipakai akad nikah dianggap tidak sah.‖ Yang dimaksud dengan terjemahan dalam masalah ini ialah terjema- han makna menurut istilah bahasa (yakni terjemahan leterlijk), seperti (kata nikah menunjukkan makna) penggabungan (dan persetubuhan). Untuk itu, akad nikah dianggap tidak sah bila memakai kata-kata yang telah dikenal di kalangan sebagian daerah sebagai kata-kata yang sesinonim dengan pengertian mengawinkan. Demikian fatwa yang diketengahkan oleh guru kami, seorang ahli tahqiq (penyelidik), Az- Zamzani.

Seandainya seorang kadi mengakadnikahkan dengan memakai bahasa Arab terhadap orang asing yang tidak mengerti makna asalnya, hanya dia mengenal bahwa ungkapan tersebut dikhususkan untuk akad nikah, maka akadnya dianggap sah. Demikianlah yang difatwakan oleh guru kami dan Syekh Athiyyah. Di dalam kitab Syarhul Irsyad dan Syarhul Minhaj, dikatakan bahwa lahn (kesulitan dalam mengucapkan suatu huruf) yang di lakukan oleh orang asing tidak membahayakan akad nikah. Seumpamanya dia membaca fat-hah huruf ta untuk pem- bicara (mutakallim) dan mengganti jim menjadi za atau sebaliknya. Akad nikah yang bisu

Akad nikah orang bisu dianggap sah dengan memakai isyarat yang dapat dimengerti.

Akad Nikah Dengan Bahasa Arab

Menurut suatu pendapat, akad nikah tidak sah kecuali dengan memakai teks Arab. Berdasarkan pendapat ini, orang yang tidak mam- pu berbahasa Arab diharuskan belajar lebih dahulu atau mewakilkan- nya. Pendapat ini berdasarkan sebuah riwayat yang ditengahkan oleh Imam Ahmad.

Nikah Tidak Sah Bila Disertai Sighat Ta‟liq

Akad nikah bila disertai dengan shighat ta‘liq (kebergantungan), hukumnya tidak sah. Perihalnya sama dengan masalah jual beli, bah- kan dalam masalah nikah lebih diprioritaskan, mengngat dituntut agar lebih hati-hati dalam menanganinya.

Sebagai contoh ialah, pihak ayah mengatakan kepada calon mempelai laki-laki, ―Jika anak perempaunku telah diceraikan atau telah selesai dari iddahnya, berarti aku telah menikahkan dia kepadamu,‖ Kemudian pihak calon mempelai laki-laki mengucapkan kabulnya. Sesudah itu ternyata calon mempelai wanita telah selesai dari masa iddah dan bersedia dikawini oleh calon mempelai laki-laki tersebut,

maka hukumnya tidak sah karena rusaknya shighat akad nikah dengan adanya ta‘liq (kebergantungan).

Salah seorang ulama mengadakan penelitian dan mengatakan sah memakai shighat ta‘liq bila seseorang mengatakan, ―Jika si Fula- nah berada dalam perwalianku, berarti aku nikahkan kamu dengan

dia,‖ Dianggap sah pula dalam kata-kata, ―Aku nikahkan kamu, jika

kamu suka,‖seperti dalam masalah jual beli, karena pada hakikatnya tidak mengandung pengertian ta‘liq.

Nikah Tidak Sah Bila Disertai Pembatasan Waktu

Tidak sah pula akad nikah yang dibarengi dengan pembatasan waktu pertalian, baik batasan waktunya ditentukan atau tidak ditentu- kan. Nikah batal karena ada larangan dari hadis sahih yang mencegah nikah mut‘ah, yaitu dibatasi oleh waktu, sekalipun lamanya seribu ta- hun. Di dalam kitab At-Tuhfah disebutkan bahwa pada mulanya nikah

mut‘ah diperbolehkan sebagai rukhshah (dispensasi) buat orang yang

terpaksa, kemudian diharamkan dalam tahun Perang Khaibar, tetapi diperbolehkan lagi dalam tahun kemenangan atas kota Mekkah sebe- lum haji wada‘, kemudian diharamkan untuk selamanya melalui nash yang jelas dan gamblang.

Di dalam kitab Al-Bujairimi disebutkan, dapat disimpulkan bah- wa nikah mut‘ah itu pada mulanya diperbolehkan, kemudian di-man- sukh (direvisi) dalam Perang Khaibar, lalu diperbolehkan lagi dalam hari kemenangan atas kota Mekah, kemudian di-mansukh dalam hari- hari kemenangan atas kota Mekah, dan keharamannya terus berlang- sung hingga hari kiamat.

Dalam masa generasi pertama Islam masalah nikah mut‘ah ma- sih diperselisihkan, kemudian dihapuskan, dan mereka sepakat atas keharamannya. Sebagian sahabat ada yang mengatakan :

Aku pernah melihat Rasulullah saw, berdiri diantara rukun dan pintu (Ka‟bah) seraya bersabda, “Hai manusia, sesungguhnya dimasa lalu aku pernah mengizinkan kalian melakukan istimta‟

(nikah mut‟ah). Ingatlah! Sesungguhnya sekarang Allah meng- haramkannya hingga hari kiamat. Barang siapa yang sisinya ma- sih emmpunyai sebagian waktu dari mereka (kaum wanita yang di nikah mut‟ah), hendaklah ia melepaskannya, dan janganlah kalian mengambil kembali apa yang telah kalian berikan kepada

mereka berang sedikitpun.”

Pernah terjadi perdebatan antara kadi Yahya ibnu Aktsam dan Amirul Mu-minin Al-Ma‘mun yang menyerukan boleh nikah mut‘ah. Yahya ibnu Aktsam masuk menemuinya denag roman muka yang ber- beda karena masalah tersebut, dan ia langsung duduk di dekatnya. Lalu Al-Ma‘mun bertanya kepadanya, ―Mengapa kulihat engkau dalam keadaan berbeda?‖ Yahya menjawab, ―Karena malapetaka yang men- impa Islam.‖ Al-Ma‘un bertanya, ―Apakah yang terjadi sebenarnya?‖ Yahya menjawab, ―Seruan menghalalkan zina.‖ Al-Ma-mun bertanya,

―Apakah mut‘ah itu zina? Yahya menjawab, ―Ya.‖ Al-Ma‘mun bertan-

ya, ―Apa dasarmu mengatakan demikian?‖ Yahya ibnu Aktsam men- jawab, ―Dari kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.‖

DariKitabullah, sesungguhnyaAllahswt telahberfirman:

Sesungguhnya telah beruntunglah orang-orang yang beriman. (Al-Mu-minun:1)

Sampai denganfirman-Nya:

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas (Al-Mu-minun : 7 ).

―Wahai Amirul Mu-minun, apakah istri mut‘ah itu milkul yamin?‖

Al- Ma-mun menjawab, ―Bukan. ―Yahya bertanya lagi, ―Apakah istri

mut‘ah itu adalah istri yang diakui oleh Allah dapat mewaris dan di-

waris?‖ Al-Ma‘mun menjawab, ―Bukan. Yahya berkata, ―Orang yang

Sedangkan dalil dari dari sunnah, Az-Zuhri telah meriwayat- kan berikut sanadnya dari Ali ibnu Abu Thalib r.a., bahwa ia pernah menceritakan :

Rasulullah saw telah memerintahkan kepadaku agar aku me- nyerukan larangan melakukan nikah mut‟ah dan mengharam- kannya sesudah beliau memerintahkannya di masa lalu.

Al-Ma‘mun berpaling kepada hadirin, lalu bertanya, ―Apakah

kalian hafal hadis itu dari Az-Zuhri?‖ Mereka menjawab, ―Ya.‖ Al-

Ma‘mun menjawab, Astaghfirullaah, serukanlah oleh kalian bahwa

mut‘ahdiharamkan.‖

Kutipan di atas diambil dari kitab I‘anatuth Thalibin, juz III, hlm. 278-279.

Dalam dokumen Agama (Halaman 129-134)