• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Wasiat

Dalam dokumen PRANATA SOSIAL DI DALAM ISLAM (Halaman 104-108)

1. Pengertian Wasiat

Menurut Wahbah Zuhaili,67 sistem wasiat merupakan sistem

klasik yang sudah dipraktikkan oleh masyarakat zaman dahulu. Dalam peradaban Romawi, kepala keluarga dapat memberikan wasiat secara mutlak, seperti diberikan kepada siapa saja, meskipun orang asing dan menyebabkan anggota keluarganya tidak mendapatkan haknya dari warisan. Sedangkan dalam tradisi masyarakat Jahiliyah, praktik wasiat dapat diberikan kepada orang-orang tertentu, meskipun di luar anggota keluarga, dengan maksud untuk berbangga diri (tafakhur)

dan menunjukkan kebaikan diri.

Islam datang untuk meluruskan praktik wasiat tersebut agar tidak menzhalimi pihak-pihak yang semestinya mendapatkan hak dari harta yang akan diwasiatkan.

Secara bahasa, kata wasiat berarti janji (al-ahdu) kepada orang lain untuk melakukan sesuatu, baik pada saat masih hidup maupun setelah meninggal. Dalam istilah fikih, wasiat adalah kepemilikian yang dijalankan setelah meninggal dunia melalui jalan pemberian sukarela (tabarru), baik berupa barang maupun manfaat.68

Sebagian ahli fikih menjelaskan bahwa wasiat tidak hanya berlaku pada harta tapi juga yang lain. Bagi mereka, wasiat merupakan perintah untuk melakukan sesuatu setelah meninggal dunia dan perintah untuk memberikan harta setelah meninggal dunia. Dengan demikian, wasiat dapat berupa perintah untuk menikahkan anak perempuannya atau memandikan dan menyalatkan jenazahnya setelah dia meninggal dunia kelak.69

2. Dalil Disyariatkannya Wasiat

Di dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang wasiat, diantaranya sebagai berikut:

67 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 10: 7440. 68 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu , 10:7440. 69 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu , 10:7440.

ُةَّي ِصَوْلا اً ْيَخ َكَرَت ْنِإ ُتْوَمْلا ُمُكَدَحَأ َ َضَح اَذِإ ْمُكْيَلَع َبِتُك

)1٨٠( َيِقَّتُمْلا َ َع اًّقَح ِفوُرْعَمْلاِب َيِبَرْقلاَو ِنْيَِلاَوْلِل

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma›ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa (al-Baqarah: 180)

ٍنْيَد ْوَأ اَهِب ِصوُي ٍةَّي ِصَو ِدْعَب ْنِم

(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (QS An-Nisa:11)

ٍنْيَد ْوَأ اَهِب َنو ُصوُت ٍةَّي ِصَو ِدْعَب ْنِم

Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya.(Qs An-Nisa: 12)

Surat al-Baqarah ayat 180 menjelaskan tentang disyariatkannya wasiat bagi anggota keluarga dan ayat 11 dan 12 dari surat an-Nisa menjelaskan tentang diakhirkannya pembagian warisan setelah ditunaikannya wasiat atau hutang. Hanya saja, menunaikan hutang lebih didahulukan daripada wasiat seperti dijelaskan dalam hadis riwayat Tirmizi bahwa Nabi SAW telah menetapkan ditunaikannya hutang sebelum wasiat.70

Dalil dari hadis diantaranya hadis Saad ibn Abi Waqash yang terkenal, yaitu

ِحْتَفْلا َم َع ُت ْضِرَم

َلاَق ِهيِبَأ ْنَع ٍصاَّقَو ِبَأ ِنْب ِدْعَس ِنْب ِرِمَع ْنَع

ِهْيَلَع َُّللا َّل َص َِّللا ُلوُسَر ِناَتَأَف ِتْوَمْلا َ َع ُهْنِم ُتْيَفْشَأ ا ًضَرَم

ِنُثِرَي َسْيَلَو اًيِثَك ًلااَم ِل َّنِإ َِّللا َلوُسَر اَي ُتْلُقَف ِنُدوُعَي َمَّلَسَو

ُتْلُق لا َلاَق ِلاَم ْ َثَ

ُلُثَف ُتْلُق َلا َلاَق ِهِّ ُك ِلاَمِب ِصوُأَفَأ ِتَنْبا َّلاِإ

ْنِإ َكَّنِإ ٌيِثَك ُثُلُّلثاَو ُثُلُّلثا َلاَق ُثُلُّلثاَف ُتْلُق َلا َلاَق ُرْطَّشلاَف

َساَّلنا َنوُفَّفَكَتَي ًةَل َع ْمُهَعَدَت ْنَأ ْنِم ٌ ْيَخ َءاَيِنْغَأ َكَتَثَرَو ْعَدَت

Diriwayatkan dari Amib ibn Waqas, dari ayahnya, ia berkata: Pada waktu haji wada, aku merasakan sakit yang hampir menyebabkanku pada kematian. Lalu Rasulullah SAW menjengukku, lalu aku berkata: Wahai Rasulullah, Aku memiliki harta yang banyak dan tidak ada yang mewarisiku kecuali putriku satu-satunya. Apakah aku berwasiat dengan seluruh hartaku? Beliau menjawab: Tidak boleh. Aku bertanya lagi: Dengan duapertiganya? Beliau menjawab: Tidak boleh. Aku bertanya lagi: Dengan setengahnya? Beliau menjawab: Tidak boleh. Lalu aku bertanya lagi, “Dengan sepertiganya”. Beliau menjawab, “Dengan sepertiga saja. Dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang akan meminta-minta kepada manusia. (HR. Muslim dan Tirmizi) 3. Hikmah Disyariatkannya Wasiat

Wasiat disyariatkan untuk mendapatkan kebaikan di dunia maupun akhirat. Wasiat termasuk akad tabarru (derma) dan membantu terlaksananya amal shaleh. Wasiat juga dapat digunakan sebagai sarana memberi balasan atas kebaikan yang pernah diterimanya, sebagai penyambung silaturahim khususnya bagi anggota keluarga yang tidak berhak mendapatkan warisan, dapat membantu orang- orang yang membutuhkan bantuan, dan dapat meringankan beban atau kesulitan kaum dhu’afa.

Agar maksud tersebut dapat terwujud, wasiat disyariatkan agar memperhatikan rasa keadilan dan menghindari adanya pihak-pihak yang dapat dirugikan dari adanya wasiat tersebut.

4. Hukum Wasiat

Hukum wasiat adalah sunnah (mandub atau mustahab). Hukum ini berlaku bagi orang yang berada dalam keadaan sehat walafiat

maupun dalam keadaan sakit. Wasiat tidak diwajibkan atas seseorang dengan harta tertentu kecuali bagi orang yang mempunyai tanggungan hutang atau dititipi barang titipan. Dalam hal ini, Islam mewajibkan kepadanya untuk menunaikan amanah tersebut melalui wasiat.

Wasiat hukumnya tidak wajib sebab tidak ditemukan riwayat dari mayoritas sahabat Nabi SAW yang menjelaskan bahwa mereka telah mewasiatkan sesuatu. Selain itu, wasiat termasuk amal derma yang sifatnya sukarela. Derma secara sukarela atau hadiah merupakan perbuatan yang hukumnya sunnah dan tidak wajib untuk dikerjakan pada saat masih sehat, maka pada saat meninggal, amal tersebut tidak berubah menjadi wajib.

Sedangkan ayat yang menjelaskan tentang wajibnya wasiat, yaitu surat Al-Baqarah ayat 180 di atas, maka menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, kandungan hukum pada ayat tersebut telah dihapus (nasakh)

oleh ayat yang menjelaskan tentang warisan.71 5. Macam-macam Wasiat

a. Dilihat dari segi kandungan lafaznya

Dilihat dari kandungan lafalnya, wasiat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yaitu wasiat mutlak (washiyah mutlaqah) dan wasiat

muqayyad(washiyah muqayyadah).

Contoh wasiat yang bersifat mutlak adalah wasiat seseorang kapada orang lain untuk melakukan sesuatu, tanpa menyebutkan syarat-syarat tertentu. Sedangkan contoh wasiat muqayyad adalah perkataan seseorang jika aku meninggal di tempat ini maka harta ini menjadi hak orangf tersebut.

b. Dari segi kandungan hukumnya

Dilihat dari kandungan hukumnya, wasiat dapat dibedakan menjadi empat, yaitu wasiat wajibah (wasiat wajib), wasiat mustahabbah

(wasiat sunnah), wasiat mubahah (wasiat mubah), wasiat mukruhah

(wasiat makruh), dan wasiat muharramah (wasiat haram).

Contoh wasiat wajib adalah wasiat untuk mengembalikan barang-barang titipan, wasiat untuk membayar hutang, wasiat untuk menunaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggungan

(zimmah), seperti zakat, haji, kaffarah, fidyah puasa, dan lainnya. Contoh wasiat sunnah adalah wasiat untuk anggota keluarga yang tidak berhak mendapatkan waris, wasiat untuk kemaslahatan umum, dan wasiat untuk membantu kesejahteraan kaum dhu’afa. Contoh wasiat yang mubah adalah wasiat untuk orang-orang mampu, baik dari anggota kerabat maupun bukan anggota kerabat. Contoh 71 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu , 10:7443.

wasiat makruh adalah wasiat bagi orang-orang yang fasik dan ahli maksiat. Contoh wasiat haram adalah wasiat untuk kegiatan maksiat, membangun gereja, mencetak buku-buku yang menyesatkan, dan lainnya.

6. Rukun Wasiat

Menurut mayoritas ulama, rukun wasiat ada empat, yaitu: a. Al-Mushi (orang yang mewasiatkan)

b. Al-Musha lahu (orang yang menerima wasiat) c. Al-Musha bihi (sesuatu yang diwasiatkan) d. Shighat (ijab dan qabul).

7. Banyaknya Harta yang Boleh Diwasiatkan

Besarnya harta yang boleh diwasiatkan merupakan masalah yang diperselisihkan. Sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang hanya meninggalkan harta sedikit, sebaiknya tidak meninggalkan wasiat agar harta yang ditinggalkan dibagikan kepada ahli waris. Besarnya wasiat dapat dipahami dari hadia Abu Waqas di atas yang menyatakan batas maksimal harta yang boleh dijadikan obyek wasiat adalah sepertiga dari seluruh harta yang ditinggalkan. Wasiat yang melebihi dari sepertiga tidak dibolehkan dan pendapat yang lebih utama menyatakan agar sebaiknya berwasiat kurang dari sepertiga.72

Jika wasiat lebih dari sepertiga, maka wasiatnya bergantung kepada izin dari ahli waris. Jika ahli waris mengizinkan, maka wasiatnya dapat dijalankan. Apabila tidak diizinkan, maka dilaksanakan sebatas sepertiga tersebut.73

Dalam dokumen PRANATA SOSIAL DI DALAM ISLAM (Halaman 104-108)