• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rukun dan Syarat Pernikahan

Dalam dokumen PRANATA SOSIAL DI DALAM ISLAM (Halaman 151-155)

Rukun nikah berarti ketentuan-ketentuan dalam pernikahan yang harus dipenuhi agar pernikahan itu sah. Rukun nikah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Calon suami, dengan syarat laki-laki yang sudah berusia dewasa, beragama Islam, tidak dipaksa/terpaksa, tidak sedang dalam ihram haji atau umrah, dan bukan mahram calon istrinya.

2. Calon istri, dengan syarat: wanita yang sudah cukup umur, bukan perempuan musyrik, tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, bukan mahram bagi calon suami dan tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.

3. Wali, yaitu orang yang bertanggung jawab menikahkan mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan atau mengijinkan pernikahannya, baik sebagai wali nasab10 maupun sebagai wali

hakim11. Adapun syarat yang harus dipenuhi seorang wali adalah

10 Wali nasab adalah wali yang memiliki hubungan darah dengan perempuan yang akan dinikahi, dengan urutan: 1) Ayah kandung, ayah tiri tidak sah jadi wali, 2) Kakek (ayah dari ayah) dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki, 3) Saudara laki-laki sekandung, 4) saudara laki-laki seayah, 5) anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, 6) anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, 7) saudara laki-laki ayah yang sekandung dengan ayah.

11 Wali hakim adalah pengganti wali nasab ketika wali nasab tersebut tidak hadir/ghaib. Yaitu dalam hal ini adalah kepala Negara yang beragama Islam. Di Indonesia, wewenang presiden sebagai wali hakim dilimpahkan kepada pembantunya, yaitu Menteri Agama. Kemudian Menteri Agama mengangkat pembantunya untuk bertindak sebagai wali hakim, yaitu melalui Kepala Urusan Agama Islam (KUA) yang berada di setiap kecamatan. Wali hakim bertindak sebagai wali nikah, apabila memenuhi kondisi sebagai berikut: 1) wali nasab benar-benar tidak ada, 2) wali yang lebih dekat (aqrab) tidak memenuhi syarat, dan wali yang lebih jauh (ab’ad) tidak ada, 3) wali aqrab bepergian jauh, dan tidak memberi kuasa kepada wali nasab urutan berikutnya untuk bertindak sebagai wali nikah, 4) wali nasab sedang berihram haji atau umrah, 5) wali nasab menolak bertindak sebagai wali nikah, 6) wali yang lebih dekat masuk penjara, sehingga tidak dapat bertindak sebagai wali nikah, dan 7) wali yang lebih dekat hilang, dan tidak diketahui tempat tinggalnya. Wali hakim berhak untuk bertindak sebagai wali nikah, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Dari Aisyah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil, jika wali- wali itu menolak jadi wali nikah maka sultan (wali hakim) bertindak sebagai wali bagi orang yang tidak mempunyai wali” (H.R. Daruqutni).

sebagai berikut: a) beragama Islam, orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali nikah, seperti Firman Allah SWT surat Ali Imron ayat 28. b) laki-laki, c) baligh dan berakal, d) merdeka dan bukan hamba sahaya, e) bersifat adil, f) tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.

4. Dua orang saksi, dengan syarat beragama Islam, laki-laki, baligh (dewasa) dan berakal sehat, dapat mendengar, dapat melihat, dapat berbicara, adil, dan tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.

5. Ijab qobul. Ijab adalah ucapan penyerahan dari wali (pihak mempelai perempuan) kepada mempelai laki-laki. Qabul adalah ucapan peneriman mempelai laki-laki sebagi tanda penerimaan atas penyerahan dari wali (pihak mempelai perempuan)12

Adapun syarat pernikahan, sebagai pengikat yang harus dipenuhi, adalah sebagai berikut13:

1. Persetujuan kedua belah pihak. Persetujuan ini merupakan syarat mutlak perkawinan. Persetujuan harus lahir dari perasaan dan pikiran kedua calon mempelai, tanpa tekanan atau paksaan. Kalau kedua calon mempelai tidak menyatakan persetujuannnya untuk nikah, pernikahan tidak dapat dilangsungkan.

2. Mahar (Maskawin), adalah hak mutlak mempelai perempuan dan kewajiban mempelai laki-laki untuk memberikannya, setelah akad nikah dilangsungkan. Bentuknya bermacam-macam, yang jumlah dan jenisnya tidak ditentukan dalam ajaran Islam14, tetapi

diajarkan sesuai atau proposional bagi laki-laki. Pelaksanaannya dapat tunai, dapat pula dihutangkan. Pemberian mahar wajib bagi laki-laki, tetapi tidak menjadi rukun nikah, dan apabila tidak disebutkan pada waktu akad, pernikahan itu tetap sah. 12 Ucapan ijab qabul yang lazim digunakan di Indonesia antara lain sebagai berikut: Wali: “Saya

nikahkan engkau dengan anakku (disebut nama mempelai perempuan) dengan mas kawin (sebut jenis dan jumlah) secara tunai”. Mempelai laki-laki: “Saya terima nikahnya (sebut nama mempelai perempuan) dengan mas kawin (sebut jumlah dan jenis) secara tunai”. (Lihat: M. najmuddin Zuhdi dan Elvi Na’imah (Penyunting), Studi Islam 2, Surakarta: LPID UMS, 2009, hlm. 112.

13 Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000, hlm. 311-313.

14 Ada dua jenis mahar, yaitu mahar misil dan mahar muthamma. Mahar Misil: Mahar yang dinilai berdasarkan mahar saudara perempuan yang telah menikah sebelumnya. Mahar Muthamma: Mahar yang dinilai berdasarkan keadaan, kedudukan, atau ditentukan oleh perempuan atau walinya.

Mahar adalah lambang penghalalan hubungan suami-istri dan lambang tanggung jawab mempelai pria terhadap mempelai perempuan yang menjadi istrinya. Mahar pada akhirnya menjadi hak perempuan, kecuali terjadi perceraian sebelum terjadi persetubuhan maka mahar dikembalikan kepada laki-laki dalam jumlah separuhnya.

3. Tidak boleh melanggar larangan-larangan pernikahan.

a. Larangan pernikahan karena perbedaan agama. Sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Baqarah: 22115. Namun Allah SWT

dalam QS Al-Maidah: 516, membolehkan laki-laki menikahi

wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Namun, kebolehan ini para ahli hukum Islam ada yang berpendapat bahwa untuk kepentingan pendidikan anak-anak, kebolehan yang berbentuk wewenang ini, sebaiknya tidak dipergunakan oleh laki-laki muslim. Sebabnya adalah rumah tangga yang didirikan oleh orang-orang yang berbeda agama, menurut pengalaman lebih rapuh dibandingkan dengan rumah tangga yang didirikan oleh orang-orang yang seiman17. Hal

kebolehan ini tidak berlaku bagi perempuan muslim yang menikahi laki-laki ahli kitab18

b. Larangan pernikahan karena muhrim. Menurut pengertian 15 “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.

Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita- wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” (QS Al- Baqarah: 221)

16 “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (QS. Al-Maidah:5)

17 Kompilasi hukum Islam pasal 40 huruf c, dengan tegas melarang perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan non muslim

18 Dalam pasal 44 Kompilasi hukum Islam (1991) dengan tegas disebutkan larangan perkawinan seorang wanita Islam dengan laki-laki yang tidak beragama Islam. Kalau perkawinan ini tetap berlangsung juga, perkawinan ini melanggar hukum Islam, dan dikatagorikan dengan perzinahan seumur hidup

bahasa, muhrim berarti yang diharamkan. Dalam ilmu fiqh, muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Adapun penyebab seorang wanita haram dinikahi ada empat macam, yaitu:

(1) Hubungan darah (nasab). Yaitu: (a) ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari ayah), (b) anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan sterusnya), (c) saudara perempuan (sekandung, sebapak atau seibu), (d) saudara perempuab dari bapak, (e) saudara perempuan dari ibu, (f) anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah, (g) anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah

(2) Hubungan kekuargaan yang disebabkan pernikahan (semenda). Yaitu: (a) ibu dari istri (mertua), (b) anak tiri (anak dari istri dengan suami lain), apabila suami sudah berkumpul dengan ibunya, (c) ibu tiri (istri dari ayah), baik sudah dicerai atau belum (QS. An-Nisa: 22), (d) menantu (istri dari anak laki-laki0, baik sudah dicerai maupun belum.

(3) Hubungan sepersusuan, yaitu (a) ibu yang menyusui, dan (b) saudara perempuan sepersusuan

(4) Pertalian muhrim dengan istri. Misalnya menikahi sekaligus terhadap dua orang bersaudara, terhadap seorang perempuan dengan bibinya, terhadap seorang perempuan dengan kemenakannya (QS An-Nisa: 23) c. Larangan untuk sementara, yaitu karena adanya: (1)

pertalian nikah, yaitu wanita yang masih berada dalam pernikahan orang lain kecuali telah diceraikan, (2) talak bain kubra, yaitu perempuan yang ditalak dengan talak tiga, haram dinikahi bekas suaminya kecuali ada muhallil, (3) menghimpun istri lebih dari empat, (4) berlainan agama kecuali telah masuk Islam.

d. Larangan khusus bagi wanita yaitu larangan poliandri. Hal ini karena dalam hukum perkawinan dan kewarisan Islam, masalah kemurnian keturunan sangat penting dan menentukan.

tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pencatatan pernikahan sebagai bentuk ijtihad sebagai syarat tertibnya administrasi perkawinan di Indonesia19.

Dalam dokumen PRANATA SOSIAL DI DALAM ISLAM (Halaman 151-155)