• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zakat dalam Lintasan Sejarah

Dalam dokumen PRANATA SOSIAL DI DALAM ISLAM (Halaman 60-65)

1. Sketsa zakat pada masa Nabi dan masa sahabat

Dalam sejarah perundang-undangan Islam, zakat baru diwajibkan di Madinah, akan tetapi Al Quran telah membicarakan tentang zakat ketika masa priodisasi Makkah, zakat dalam priodisassi Makkah berbeda dengan yang diwajibkan ketika dalam periode Madinah. Pada periode Makkah zakat tidak ditentukan batas dan besarnya, tetapi diserahkan saja pada kesadaran dan rasa iman, kemurahan hati dan perasaan tanggung jawab atas keberadaan orang lain sesama iman.18

Kebutuhan waktu itu sesungguhnya belum memerlukan besar zakat untuk di tentukan, karena orang-orang Islam sudah mengorbankan diri dan seluruh kekayaan mereka. Berapa besar hak orang lain belum dirasa perlu untuk di tentukan oleh Rasulullah SAW. Tetapi cukuplah ditentukan sendiri oleh pihak pemberi atau kebiasaan yang brrlaku pada waktu itu.

Zakat mulai diwajibkan adalah di Madinah dan tepatnya pada tahun ke2 H. Sejarah menunjukkan bahwa zakat yang diwajibkan di Madinahlah yang mempunyai nisab dan besar tertentu. Bila tidak demikian maka berarti zakat diwajibkan pertama kali di Makkah. Kaum muslimin di Makkah baru merupakan pribadi-pribadi yang dihalang-halangi untuk menjalankan agama mereka, tetapi di Madinah mereka sudah merupakan jama’ah yang memiliki daerah. Oleh karena itu beban dan tanggung jawab mereka mengambil bentuk baru sesuai dengan perkembangan tersebut. Yaitu bentuk delimitasi bukan generalisasi bentuk-bentuk hukum yang mengikat, bukan sekedar pesan-pesan yang bersifat anjuran. Hal itu mengakibatkan penerapannya memerlukan kekuasaan di samping perasaan iman tersebut.19 Kecenderungan itu terlihat pula pada penerapan zakat.

Tuhan menegaskan kekayaan apa yang harus dikeluarkan zakatnya, syarat-syarat terkena hukum wajib besarnya, sasaran pengeluarannya 18 Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat. (Bandung: PT Pustaka Lentera Antar Nusa dan Mizan. 2004)

hlm. 61 19 ibid

dan badan yang bertugas untuk mengelola dan mengatur zakat tersebut. Periode inilah kemudian dijadikan dasar hukum bagi umat Islam hingga sekarang.

Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, akan tetapi kelembagaan zakat pada masa Nabi masih hidup telah mulai dibentuk. Umat Islam saat itu telah menyadari akan pentingnya mengorganisir pengelolaan zakat secara profesional. Sehingga zakat yang dihimpun dari potensi umat dapat tergali secara maksimal dan ditasarufkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Harus diakui keberadaan Nabi memiliki pengaruh signifikan kepada ketaatan umat saat itu. Bahkan belum ada catatan sejarah yang menunjukan adanya pembangkangan yang dilakukan oleh para sahabat terhadap aturan main Islam yang berkenaan dengan zakat.

Sepeninggal Nabi dengan ditandainya pesan akhir Tuhan yang tertera dalam al qur’an

ُتي ِضَرَو ِتَمْعِن ْمُكْيَلَع ُتْمَمْتَأَو ْمُكَنيِد ْمُكَل ُتْلَمْكَأ َمْوَ ْلا

اًنيِد َملاْسلإا ُمُكَل

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.(Al Amaidah, 5 :3)

Ayat ini disinyalir turun pada tanggal 9 zulhijah tahun ke sepuluh hijrah ketika Nabi sedang melaksanakan haji wada’. Yang menarik dari firman Allah ini adalah kata kusempurnakan untuk kamu agamamu

dalam hal ini Qurais Shihab menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah: telah kuturunkan semua yang kamu butuhkan dari prinsip- prinsip petunjuk agama yang berkaitan dengan halal haram, sehingga tugas manusia adalah menjabarkan dan atau menganalogkannya.20

Meski agama Islam telah sempurna dan tidak lagi membutuhkan firman baru sebagai petunjuk, faktanya tidaklah selalu sejalan. Pasca meninggalnya Nabi muncullah kelompok-kelompok yang membangkan dan tidak mau taat dengan aturan Islam. Termasuk dalam hal ini adalah tentang perintah wajibnya mengeluarkan zakat bagi umat Islam.

20 Shihab, Quraish,, Tafsir Al Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati 2005) jilid 3: 15)

Secara umum implementasi zakat pada masa sahabat dapat dibagi menjadi empat periode. Yaitu peiode Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Empat khalifah tersebut yang melanjutkan risalah kenabian yang lebih dikenal dengan khulafaurasiddin. Pada masa para sahabat ini telah mengalami berbagai tantangan yang beragam dalam penegakan zakat, sekaligus di dalamnya terjadi modifikasi dan pengembangan praktek zakat melalui ijitihad yang dilakukan sesuai dengan konteks zamanya.

Pembangkangan yang dilakukan oleh sebagian umat Islam khususnya suku Badui terjadi pada masa kekhalifahan Abu Bakar, bermunculanya kelompok-kelompok yang tidak bersedia mengeluarkan zakat, lebih dikarenakan munculnya asumsi dikalangan kelompok tersebut bahwa zakat adalah pendapatan personal Nabi.21

Sehingga oleh Abu Bakar diperangi. Dalam peristiwa itu Abu Bakar menunjukan bahwa dalam pengelolaan zakat membutuhkan campur tangan negara, tidak sekedar terlembaga. Apa yang dilakukan oleh Abu Bakar belum pernah terjadi pada masa Nabi masih hidup. Sehingga keputusan khalifah untuk memerangi orang-orang yang tidak taat merupakan sebuah tindakan baru yang sebelumnya belum pernah terjadi.

Periode kedua adalah Umar, pada masa ini, Umar mengeluarkan beberapa bentuk ijtihad yang berhubungan dengan zakat, diantara contohnya adalah menghapus zakat bagi mu’allaf, enggan memungut bagian ushr (zakat tanaman) karena merupakan ibadah pasti, mewajibkan kharaj (sewa tanah), mengenakan zakat kuda yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi.22 Tindakan yang dilakukan Umar

merupakan upaya kontekstualisasi hukum Islam agar sesuai dengan perkembangan zaman. Pengumpulan zakat masa kekhalifahan umar sudah berbentuk Baitul Mal (lembaga amil zakat pada saat itu), dan sangat potensial untuk mengentaskan kemiskinan. Sahabat yang bernama Muaz bin Jabbal yang menjabat sebagai gubernur Yaman ditunjuk sebagai ketua Amil Zakat.23 Ketika Muaz ditunjuk sebagai

pengelola zakat, pada tahun pertama langkah yang dilakukan adalah mengembalikan 1/3 surplus dama ke pemerintah pusat. Dan seterusnya 21 (Suratmaputra, 2002:164).

22 Muhammad Hadi, Problematika Zakat Profesi dan Solusinya Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010) hlm. 73

23 Anshori, Abdul Ghofur, Hukum dan Pemberdayaan Zakat Upaya Sinergis Wajib Zakat dan Pajak di Indonesia, (Yogyakarta: Pilar Media. 2006) hlm. 59

dilakukan secara bertahab hingga semua dana dikembalikan ke pusat, dengan alasan sudah tidak ada lagi orang miskin yang tersisa.24

Setelah wafatnya Umar, maka kekhalifahan dipikul oleh Usman, pada masa Usman, zakat dibagi kedalam dua hal. Pertama, zakat yang berhubungan dengan harta benda yang tampak (al Amwal al Zahirah) yaitu binatang ternak dan hasil bumi. Sedangkan yang kedua adalah harta benda yang tidak tampak atau hasil bumi (al amwal al batiniyah), yaitu uang dan barang perniagaan. Zakat jenis yang pertama diserahkan kepada negara sedangkan jenis yang kedua diserahkan kepada orang yang mengeluarkannya untuk ditunaikan sendiri.25

Penjelasan di atas menunjukan bahwa ada sinergi pelaksanaan zakat antara negara dan masyarakat. Pelaksanaan zakat semacam ini cukup mempunyai implikasi positif dalam menggalang potensi zakat yang ada ditengah masyarakat saat itu.

Periode yang keempat adalah dipegang oleh Ali, pada masa Ali berkuasa pemerintahan tidak berjalan secara stabil, sebab konflik yang mendera umat Islam telah sampai pada titi nadir. Sehingga konsentrasi pemerintahan saat itu lebih pada penyelesaian konflik dikalangan umat. Meskipun usaha tersebut tidak berhasil. Situasi yang semacam itu tidak menyurutkan perhatian penguasa dalam persoalan zakat. Ali masih menyempatkan untuk mencurahkan perhatianya pada persoalan ibadah sosial yang satu ini, karena saat itu zakat merupakan urat nadi kehidupan pemerintahan dan agama.26 Bahkan Ali membuat

kebijakan bahwa para fakir miskin dan pengemis agar biaya hidupnya ditanggung oleh negara melalui dana zakat. Tidak sebatas itu saja Ali juga terlibat langsung dalam mendistribusikan dana zakat kepada orang-orang yang membutuhkan.27 Jenis zakat pada saat itu berupa

semua jenis kekayaan yang dimiliki umat.

Membaca sejarah praktek zakat pada masa lalu dapat ditarik sebuah kesimpulan sederhana bahwa telah ada upaya yang serius untuk mengelola zakat dengan cara profesional. Profesionalitas tersebut ditunjukan dengan keterlibatan semua pihak untuk mensinergikan

24 Ibid

25 (Purnomo, 1995:8)

26 Muhammad Hadi, Problematika Zakat Profesi dan Solusinya Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010) hlm. 75

gerakan zakat, termasuk di dalamnya adalah peran negara. Peran- peran yang demikian inilah yang dibutuhkan saat ini agar pengelolaan zakat dapat berjalan secara maksimal.

2. Gambaran Umum Praktek Zakat di Indonesia

Sejak lahirnya Undang-Undang no 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, syiar ditanah air memang semakin berkembang. Akan tetapi kalau berkaca pada sejarah, sesungguhnya praktek zakat di Indonesia telah dilakukan sejak masuknya Islam di bumi nusantara ini. Saat itu zakat menjadi salah satu sumber dana pengembangan agama Islam. Dalam perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonial, zakat pernah menjadi sumber dana perjuangan terutama untuk sabilillah. Ketika satu persatu wilayah Indoneisia dikuasai oleh Kolonial Belanda saat itu mengeluarkan kebijaksanaan pemerintah mengenai zakat 28

Terpasungnya kemerdekaan bangsa Indonesia atas jajahan kolonial membuat prkaktek keberagamaan sedikit tersendat, termasuk dalam hal ini adalah praktek zakat dikalangan umat Islam. Penjajahan selama 350 tahun, membuat sistem pengelolaan zakat yang sudah ditentukan oleh Allah tidak berjalan. Petugas zakat dalam keadaan darurat diangkat oleh masyarakat.29 Stagnasi pengelolaan zakat terus

berlanjut hingga pasca kemerdekaan. Pada zaman orde lama dan orde baru pengelolaan zakat belum menjadi prioritas pemerintah. Baru pada era reformasi dibawah kepemimpinan Prof. Malik Fajar, dalam waktu singkat telah behasil memperjuangkan terbitnya UU no 38 tahun 1999.

UU tersebut seolah menjadi kran pembuka bagi terselenggaranya praktek dan pengelolaan zakat yang lebih dinamis dan progresif. UU ini memuat beberapa ketentuan yang mendukung pengelolaan zakat secara lebih baik. Di antara substansi isinya adalah sebagai berikut, bahwa setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki berkewajiban menunaikan zakat (pasal 2) dan pengelolaan zakat dilakukan oleh pemerintah (pasal 6).(UU, no 38 tahun 1999). Dari sanalah kemudian terbentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).30

28 Muhammad Hadi, Problematika Zakat Profesi dan Solusinya Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010) hlm.77

29 Zarkasyi, Muchtar, Pengelolaan Zakat Untuk Kepentingan Fakir Miskin, (Republika, 24 Januari 2011)

Untuk menyuguhkan sistem tata kelola yang baik dan program- program yang menarik bagi masyarakat, BAZNAS telah mengawali dengan membuat prencanaan yang matang. Misalnya di tahun 2011, BAZNAS membuat lima program unggulan. Pertama, program indonesia peduli, program ini ditujukan untuk menanggulangi bencana yang terjadi di berbagai daerah. Kedua, program Indonesia makmur, program ini ditujukan untuk menumbuhkan kemandirian mustahi dibidang ekonomi. Ketiga, program Indonesia cerdas, program ini ditujukan untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat dan meningkatkan kualitas pendidikan. Keempat, program Indonesia sehat, program ini ditujukan untuk memberikan pengobatan secara cuma-cuma untuk fakir miskin. Kelima, program Indonesia taqwa, program ini ditujukan untuk membangun dan memperkuat keimanan dan ketaqwaan masyarakat.31

Seiring berjalannya waktu, contoh di atas menunjukkan bahwa pengelolan zakat di Indonesia telah mengalami perubahan yang signifikan, dari model pengelolaan zakat yang tradisional menuju pengelolaan modern. Kendati demikian masih ada pekerjaan rumah yang luar biasa besar. Sebab dari potensi zakat yang mencapai triliunan rupiah belum dapat tergali secara maksimal. Dalam penulusuran penulis perhitungan mengenai potensi zakat di Indonesia sangat beragam. Akan tetapi salah satu yang dapat dijadikan rujukan adalah perhitungan yang dilakukan oleh BAZNAS. Menurut BAZNAS potensi zakat di Indonesia mencapai angka 217 triliun di tahun 2011.32 Angka

217 triliun sama dengan 3,14% dari GDP (gross domestic produck) Indonesia. Artinya potensi sebesar ini akan dapat menjadi solusi permasalahan umat seadainya dapat tergali secara maksimal.

Dalam dokumen PRANATA SOSIAL DI DALAM ISLAM (Halaman 60-65)