Kategori Program
4.4 Analisis Data
4.4.3 Implementasi Program Indonesia Bagus dalam Memenuhi P3SPS KPI P3SPS KPI
Solicin Abdul Wahab (1997) mengatakan bahwa implementasi adalah sebuah tindakan yang dilakukan baik oleh individu, pejabat, kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan (p.63). Dalam hal ini, penulis berlandaskan pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Yang mana hal tersebut s[ebagai panduan tentang batasan perilaku penyelenggaraan penyiaran dan pengawasan penyiaran nasional juga standar isi siaran yang berisi tentang batasan-batasan, pelarangan, kewajiban dan pengaturan penyiaran, serta sanksi yang akan diberikan kepada penyelenggara penyiaran, jika nantinya memang terbukti melanggar P3SPS yang telah ditentukan oleh KPI (KPI, 2012).
Pra Produksi, Produksi dan Pasca Produksi dari sebuah program televisi menentukan hasil akhir dari tayangan tersebut, dan setiap kru dalam tim di sebuah program wajib bekerjasama dalam menyelaraskan pekerjaannya. Untuk tetap pada jalur dan tidak bertentangan dengan kesusilaan, hukum dan peraturan yang berlaku. Program televisi sebagai faktor yang paling penting dalam mendukung finansial suatu penyiaran televisi, adalah program yang membawa audiens mengenal suatu penyiaran tersebut (Morrisan, 2011, p.217).
Dalam tahap Pra Produksi program Indonesia Bagus, langkah pertama yang dilakukan oleh produser adalah mencari dan menentukan daerah yang ingin diliput, selain itu juga mulai memproses penyusunan anggaran trip dan jadwal editing. Setelah ditentukan tempat, budget, dan jadwal, barulah tim liputan melakukan riset tema atau daerah yang akan menjadi tujuan peliputannya. Riset
tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu riset sekunder (browsing berita, artikel tentang daerah yang dituju, atau studi literatur dengan membaca buku-buku terkait). Dan riset primer (pre-interview dengan narasumber melalui telepon misal: kepala desa, guide, dan sebagainya). Tujuannya mencari data dan informasi langsung dari lapangan atau memverifikasi kebenaran data hasil riset sekunder.
Verifikasi merupakan langkah yang ditempuh untuk melihat kebenaran suatu informasi atau fakta. Reporter menyusun storyline atau alur cerita secara garis besar. Kemudian, materi hasil riset tersebut disusun dalam segmentasi (Indonesia Bagus berdurasi setengah jam dan dibagi dalam tiga segmen). Segmentasi adalah perencanaan distribusi materi cerita yang akan mengisi setiap segmen. Storyline atau segmentasi ini kemudian dikonsultasikan atau didiskusikan dengan produser (proses ini biasanya disebut pitching). Produser akan menyempurnakan hal-hal yang dirasa kurang dari materi yang akan diliput. Adapun Erny selaku Reporter menjelaskan :
“Risetnya bukan lapangan ya, melainkan by internet dan telepon ke narasumber yang berada di daerah tersebut. Wah kontak narasumbernya dapat darimana? Ya saya cari sendiri sampai dapat hehe. Ide-ide liputan kemudian diajukan ke atasan atau produser untuk kemudian disetujui. Kalau belum juga disetujui ya dicari lagi, gitu terus aja sampai diterima. Kemudian, kalau sudah disetujui kita diskusikan dengan produser dan video jurnalis (VJ), akan seperti apa dan bagaimana kemasan liputan daerah ini. Kalau sudah oke, ya berangkaaaat!” (Wawancara Erny Suci Apriyanti, Januari 2018).
Pada tahap Produksi, ketika storyline sudah jadi, dan beberapa narasumber yang dibutuhkan sudah dihubungi, juga sudah menetapkan jadwal, semua persiapan sudah matang, maka proses produksi pun dimulai. Proses produksi ini melibatkan satu orang Reporter, satu orang Video Jurnalis (camera person), dan
satu orang Pilot drone. Mereka akan pergi untuk satu trip atau perjalanan selama dua belas hari, untuk mengerjakan dua episode Indonesia Bagus. Hal-hal yang dikerjakan pada proses produksi ini meliputi: pengambilan gambar (shooting), wawancara, dan melengkapi segala hal yang terkait dengan kebutuhan materi tayangan (misal: merekam musik daerah, natsound seperti orang main seruling untuk kebutuhan editing, dan sebagainya). Mochammad Syaefudin selaku Reporter Indonesia Bagus, selain Erny menjelaskan seperti berikut:
“Saat Produksi, liputan dilakukan atau shooting gambar, dan koordinasi yang baik sesama tim di lapangan juga di kantor, melakukan wawancara dengan narasumber di daerah tersebut. Setelah semua dilakukan, saya
membuat naskah, editing dan juga dubbing tayangan” (Wawancara
Mochammad Syaefudin, Januari 2018).
Materi tayangannya terdiri ada dua macam: audio dan visual. Reporter harus mengelola waktu peliputan yang dialokasikan dengan selesainya seluruh kebutuhan materi tayang tersebut. Tentu saja selama proses Produksi, kru yang diterjunkan juga akan terus berkomunikasi dengan Produser, ataupun PA (Production Assistant) mengenai hal-hal yang mungkin tidak sanggup dijalankan, kemudian mengambil daerah lain untuk kebutuhan materi, atau mengenai teknis seperti kamera dan sebagainya. Eggi Listy selaku PA juga menjelaskan hal tersebut :
“Dalam Produksi juga aku banyak berperan di dalam kantor,
mempersiapkan segala keperluan yang sebelumnya sudah didiskusikan dalam pra produksi, dan tentunya aku juga berkomunikasi dengan Mas Febry selaku produser yang juga koordinasi kita di dalam kantor. Kita saling berkomunikasi juga dengan reporter juga video jurnalis, selama mereka turun kelapangan untuk meliput episode mengenai daerah yang akan kita tayangkan nantinya” (Wawancara Eggi Listy, Januari 2018).
Saat proses Produksi berlangsung, ada beberapa dari mereka (tim yang terjun langsung melakukan peliputan materi Indonesia Bagus) yang memang diizinkan untuk tinggal di rumah-rumah penduduk setempat, atau bahkan kepala desanya. Hal itu yang menjadikan kru lebih mudah dalam beradaptasi dan mengamati pola kehidupan sehari-hari dari masyarakat, untuk daerah yang sedang mereka liput tersebut.
Ketika seluruh materi tayangan yang sudah didapatkan dari lapangan (materi video, maupun audio) dibawa pulang. Pada Pasca Produksi ini, kemudian reporter menulis naskah sesuai dengan hasil liputan. Naskah ini nantinya akan diedit oleh Produser dan setelahnya digunakan oleh camera person untuk menyusun gambar (rough cut). Proses rough cut menggunakan komputer yang dilengkapi software velocity. Kemudian hasil roughcut ini di-push ke server untuk ditarik ke komputer editing. Dalam tahap editing gambar disusun lebih rapi sesuai dengan durasi program oleh Editor dan didampingi oleh PA yang mengerti alur episodenya (Indonesia Bagus berdurasi tiga puluh menit, dipotong dua commercial break, tiap commbreak berdurasi antara tiga sampai enam menit). VO (voice over naskah) ditempel di editing, kemudian ditambahkan musik yang sesuai dengan episode tersebut. Setelah selesai editing, baru materi siap tayang (on air). Sebelum ditayangkan, setiap episode akan dipreview oleh produser, executive produser, dan kepala department guna memastikan output tayangan yang bagus. Proses screening terakhir dilakukan oleh tim QC (Quality Control) yang juga didampingi oleh PA dari program Indonesia Bagus, untuk melihat
apakah tayangan tersebut sudah memenuhi standar P3SPS yang sudah ditentukan oleh KPI.
Adapun mengenai standar pada program Indonesia Bagus sendiri, tidak memiliki standar khusus dari organisasi. Indonesia Bagus hanya mengikuti standar yang diberikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia, pada P3SPS untuk setiap tayangan yang mereka produksi. Hal itu dijelaskan oleh Febry Arifwaman selaku Produser Indonesia Bagus:
“Indonesia Bagus tidak memiliki standar khusus, kita hanya berlandaskan
memang pada P3SPS yang dikeluarkan oleh KPI. Jadi terkait dengan peliputan, kita hanya mengambil gambar sesuai dengan kebijakan redaksional yang kita miliki tersebut. Mengangkat talenta lokal, yang dikemas semenarik mungkin dan dapat dinikmati masyarakat tanpa ada unsur ketidaknyamanan yang dapat mengganggu. Jadi kita berhati-hati dalam menentukan mana-mana saja bentuk kearifan lokal yang akan kita ambil nantinya” (Wawancara Febry Arimawan, Januari 2018).
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa selama ini, Program Indonesia Bagus hanya mengikuti dari standar yang dimiliki oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Dan bentuk kearifan lokal yang dicari oleh reporter, kemudian ditentukan kembali oleh produser dalam tahap pitching, memberikan arti bahwa produser yang menjadi kunci utama dalam pemilihan bentuk-bentuk kearifan lokal yang nantinya akan diliput, hal tersebut akan penulis deskripsikan dalam sub bab pembahasan.
4.5 Pembahasan
Penulis akan mendeskripsikan mengenai penelitian yang telah dilakukan, terkait dengan poin-poin pada teori yang penulis gunakan. Mengenai hal-hal yang diusahakan oleh kru dalam memenuhi P3SPS yang dimiliki oleh KPI, terkait program kearifan lokal Indonesia Bagus. Televisi pada umumnya berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat, pada fungsinya Jay Black dan Frederick C. Whitney menyebutkan beberapa hal seperti memberi informasi, memberi hiburan, membujuk juga sebagai transmisi budaya. Indonesia Bagus pada semangat kearifan lokal menurut penulis memenuli fungsi dari media sebagai tansmisi budaya, sebagai bentuk usaha menyamapikan sejumlah pengetahuan atau pengalaman untuk dijadikan sebagai pegangan dalam meneruskan estafet kebudayaan, merupakan salah satu fungsi komunikasi massa yang paling luas (Nurudin, 2004, p.62). Kearifan lokal yang diangkat dalam setiap episode Indonesia Bagus menjadi pesan yang disebarkan kepada khalayak tentang sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sulit diubah. Adapun Ridwan (2007) menjelaskan bahwa gagasan yang tertanam dan sudah diterapkan oleh masyarakat
tersebut yang merupakan nilai-nilai dan landasan terhadap tingkah laku masyarakat di suatu daerah. Dalam Teori yang digunakan oleh penulis yaitu, Hierarchy of Influence memiliki faktor-faktor yang menentukan hasil akhir dari tayangan kearifan lokal Indonesia Bagus. Di mana beberapa hal tersebut berpengaruh terhadap tayangan kearifan lokal yang nantinya dapat memberikan pandangan lain oleh khalayak yang mengkonsumsinya, juga terhadap kinerja kru yang bertugas.
Pada tingkatan pertama teori yang dikemukakan oleh Shoemaker dan Reese ini merupakan Individu, menjelaskan bahwa sosialisasi dan perilaku pekerja media dapat berpengaruh terhadap isi berita yang disampaikan. Pada program Indonesia Bagus sendiri penulis mendeskripsikan jurnalis yaitu, semua informan yang telah menjadi narasumber dalam penelitian ini, Febry Arifmawan selaku Produser adalah orang pertama yang berperan dalam menentukan isi berita atau hal-hal yang dapat dan tidak dapat diliput, serta menjadi gawang terakhir juga yang nantinya akan mem-preview tayangan sebelum dapat on air. Kemudian, setelah Produser adalah Reporter yang nantinya berkoordinasi terkait konten yang akan diambil dalam proses produksi, dan bekerja sama dengan Junior Produser dalam membuat story line yang kemudian nantinya akan didiskusikan kembali bersama Produser dalam proses pitching. Pada tahap ini, Produser menentukan hal-hal yang dapat dan tidak dapat diliput, yang diterima atau kemudian harus diganti dengan konten kearifan lokal lain pada daerah yang nantinya akan diliput tersebut.
Setelah Reporter melakukan pitching dan disetujui, Reporter akan mendiskusikan hal-hal terkait produksi bersama VJ (Video Jurnalis), mengenai bagaimana proses gambar yang nantinya akan diambil. Dalam proses produksi ini Reporter juga menulis naskah dan menentukan bagaimana menggambarkan setiap konten pada daerah yang akan ditayangkan tersebut. Adapun pada proses akhir nantinya Editor beserta PA yang akan bertanggung jawab dalam proses editing dan penyusunan gambar yang baik. Penulis juga sempat mendapatkan pernyataan dari Eggi Listy selaku PA mengenai salah satu kejadian dalam proses produksi dengan karakteristik salah seorang Video Jurnalis yang moody, seperti berikut:
“Yang paling sering di evaluasi sih gambar-gambar ya biasanya ke VJ (video jurnalis), kadang ada VJ yang moody. Kadang kalau lagi bagus ya
bagus, dan banyak ya materinya, stoknya, jadi gak mempersulit PA.”
(Wawancara Eggi Listy, Januari 2018).
Pernyataan tersebut menunjukan bahwa individu dalam setiap kru memang berpengaruh terhadap hasil dari kinerja yang dilakukannya. Karakteristik dan sikap yang ditunjukan oleh VJ tersebut, menjadi kesulitan lain yang dialami oleh kru, yang kemudian berpengaruh terhadap hasil tayangan yang akan dikeluarkan. Adapun biasanya, kru yang bertugas dalam memproses gambar-gambar tersebut adalah PA dan Editor. Maka, solusinya adalah mereka dengan mengambil gambar atau beberapa objek terkait, dari episode yang sebelumnya. Untuk dapat memenuhi keperluan data agar hasil akhir video berhasil ditayangkan sesuai pada waktunya.
Kemudian, pengalaman dan dedikasi selama menjadi Jurnalis dapat membentuk bagaimana peranan dan etika jurnalis yang secara langsung
mempengaruhi isi media, atau pada pembahasan ini adalah tayangan pada setiap episode Indonesia Bagus. Kearifan lokal lebih dari sekedar budaya yang ditampilkan pada media massa, kearifan lokal yang ditunjukan harus berupa segala bentuk tindakan serta kepercayaan juga kebiasaan yang dilakukan dalam lingkungan tersebut. mengenai manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan alam, juga cara manusia yang berada di daerah tersebut dalam memenuhi segala aktivitas dan kebutuhan sehari-harinya. Kemudian Erny Suci Apriyanti selaku reporter yang bertugas dalam beberapa episode yang sudah ditayangkan oleh Indonesia Bagus, mengungkapkan pendapatnya mengenai kearifan lokal yang berada di Indonesia, sebagai berikut:
“Saya sendiri sangat terkagum-kagum ya dengan kearifan lokal yang Indonesia miliki. Karena di setiap daerah, suku, dan pulau bahkan, memiliki kearifan lokalnya masing-masing. Adapun beberapa daerah masih kuat mempertahankan kearifan lokalnya, namun, ada juga beberapa daerah yang kearifan lokalnya sudah mulai luntur. Ada juga daerah yang bisa menerima budaya atau kebiasaan hidup dari luar daerah tetapi tetap mempertahankan budaya yang mereka miliki itu”
(Wawancara Erny Suci Apriyanti, Januari 2018).
Hal ini menjelaskan bahwa pengalaman dan dedikasinya selama menjadi reporter dalam program kearifan lokal seperti Indonesia Bagus, menjadikan ia memiliki cara pandangnya sendiri akan hal-hal yang dimiliki Indonesia dari pengalamannya, karena ia terjun langsung dalam ke dalam masyarakat di daerah tertentu. Dan hal tersebut kemudian dapat membentuk bagaimana peranan dan etika jurnalis, yang secara langsung mempengaruhi isi dari setiap episodenya. Cara pandang tiap-tiap individu kru Indonesia Bagus berbanding lurus satu sama lain yang mana kearifan lokal merupakan konsep dasar dari program tersebut.
Kedua adalah Rutinitas Media, yang mana ini dapat menciptakan pola yang sedemikian rupa diulang terus-menerus oleh para pekerjanya. Hal ini merujuk pada peraturan yang berlaku pada organisasi media tersebut. Standart Operating Procedure (SOP) atau Prosedur Operasional Standar di sebuah media, yang mempengaruhi suatu informasi dapat ditulis menjadi sebuah berita atau tidak. Keterlibatan media massa sendiri dapat meninggalkan dampak untuk kehidupan khalayaknya. Media massa merupakan institusi yang berperan sebagai agent of change yaitu sebagai pelopor perubahan. Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat ini menyangkut perubahan pola pikir, perubahan perilaku masyarakat, serta perubahan budaya materi (Bungin, 2006, p.85). Maka, menurut penulis SOP yang dibuat juga sangat berkaitan dengan bagaimana cara kru dalam memenuhi P3SPS yang dimiliki oleh KPI. Adapun pernyataan yang sebelumnya sudah penulis jelaskan dari Febry Arifmawan selaku Senior Produser yang mengatakan bahwa mereka berusaha, dan telah memberitahukan terkait kebijakan redaksional juga hal-hal yang termasuk ke dalam produksi, yang mana harus sesuai dengan P3SPS KPI. Beliau juga menjelaskan, mengenai beberapa hal tentang kearifan lokal yang sesuai untuk dapat diliput kru :
“Begini... seperti pada contoh kearifan lokal tari piring dari Sumatera
Barat. Nah, itu kan merupakan kearifan lokal yang termasuk penting di daerah tersebut. Tetapi dalam produksi Indonesia Bagus, hal itu tidak kita liput. Kenapa? Karena pada praktiknya, terdapat orang-orang lokal yang menari diatas pecahan piring. Selain juga tentunya memutar-mutar piring, seperti yang banyak kita ketahui ya. Hal itu tentu berbahaya, dan berpotensi untuk ditiru oleh anak-anak. Jadi, hal-hal seperti itu, tidak kita ambil. Dan biasanya, kita menggantinya dengan aspek yang juga tidak kalah menarik dari Sumatera Barat, begitu. Tidak lain juga untuk memenuhi P3SPS dari KPI Pokoknya hal-hal yang semacam berpotensi
untuk membahayakan khalayak, juga tidak baik untuk di tayangkan, tentu
tidak kita liput.” (Wawancara Febry Arifmawan, Januari 2018).
Hal itu diperkuat oleh penjelasan dari Halimah Tusadiah selaku Ex PA pada program Indonesia Bagus, sebagai berikut:
“Seluruh kru wajib tahu mengenai P3SPS. Karena ini merupakan patokan
ketika mengambil gambar, membuat naskah, serta editing. Setiap kru
bahkan punya soft copy P3SPS yang dibagikan di milis redaksi.”
(Wawancara Halimah Tusadiah, Januari 2018).
Dan penulis juga menjelaskan pada sub bab implementasi program Indonesia Bagus ini dalam memenuhi P3SPS KPI. Bahwa, setiap kru memang telah memahami, bagian dan hal-hal apa saja yang bisa diliput ataupun tidak bisa diliput. Fajar Septyanyah Putra dalam penelitiannya mengenai Teknik Sinematografi dalam Menggambarkan Kearifan Lokal pada Program Indonesia Bagus Edisi Yogyakarta NET. TV, juga memberikan penjelasan dari hasil penelitiannya tersebut bahwa atmosfer kearifan lokal yang sinematik menggunakan beberapa teknik dalam sinematografi yang membangun alur cerita menjadi terasa, sehingga pesan-pesan kearifan lokal yang ingin disampaikan dapat dipahami oleh penonton. Adapun pada observasi yang penulis lakukan, selama produksi berlangsung, tim berkoordinasi dengan baik. Dalam satu waktu, penulis yang posisinya sebagai PA pernah mendapati adanya hambatan teknis berupa lensa yang tidak berfungsi. Kemudian VJ menyampaikan hal tersebut kepada PA, dan meminta PA untuk melakukan Request Lens kepada Logistik, untuk kemudian besoknya diambil langsung oleh VJ. Dan penulis melakukan hal tersebut, sampai esok harinya bertemu dengan VJ untuk memberikan lensa baru dan VJ langsung kembali ke daerah yang sedang diliput.
Artinya, koordinasi yang baik ini juga dilakukan antar kru yang memproduksi dengan tim yang berada di kantor. Selain itu, Febry juga menjelaskan kepada penulis, banyak hal-hal yang memang akhirnya diubah tidak sesuai storyline pada kesepakatan awal. Jika memang kemudian ditemukan kearifan lokal yang lebih menarik, atau ada bagian pada storyline yang tidak dapat dijangkau oleh tim. Maka, perubahan tersebut dilakukan dengan juga koordinasi dan persetujuan langsung oleh Febry, selaku Senior Produser pada program Indonesia Bagus. Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang menjadikan kru sudah terbiasa terhadap kinerja yang sesuai dengan SOP yang ditentukan.
Bagian Ketiga adalah Organisasi, pada bagian ini bagaimana redaksi tetap satu jalur dengan organisasi inti. Tayangan Indonesia Bagus sendiri sudah sesuai dengan visi dan misi yang dikeluarkan pada stasiun televisi NET. yakni visinya adalah menjadi perusahaan media yang menarik dengan memberikan kontribusi positif untuk kehidupan masyarakat Indonesia. Bentuk tayangan kearifan lokal ini sudah berusaha untuk mengaplikasikan hal tersebut terhadap setiap tayangannya. Adapun misi dari NET. TV antara lain, pertama menghasilkan program yang menarik, menghibur dan kreatif melalui berbagai tayangan yang terbaik. Kedua, menjangkau semua masyarakat yang ada dengan hiburan yang berkualitas. Ketiga adalah menarik, mengembangkan dan mempertahankan bakat-bakat terbaik dalam industri televisi. Pada praktiknya, Indonesia Bagus tetap pada jalurnya dalam berkoordinasi dengan organisasi inti. Hal tersebut dilihat dari proses preview yang dilakukan bersama-sama oleh Produser Indonesia Bagus dengan Executive Produser dan Kepala Departemen dalam setiap episode yang nantinya akan
tayang pada program Indonesia Bagus. Artinya hasil akhir dari setiap episode yang akan tayang pasti dapat pengawasan langsung dari orang-orang terakit pada organisasi inti yang berada di NET. TV.
Keempat adalah Extra Media. Extra Media atau faktor-faktor di luar organisasi media juga berpengaruh dalam hasil akhir sebuah berita. Dalam hal ini pengaruh P3SPS KPI yang merupakan salah satu faktor diluar organisasi media yang mempengaruhi isi dari berita tersebut. Nurhidayah dalam penelitiannya yaitu Proporsionalitas Tayangan Local Wisdom (Kearifan Lokal) Jawa Tengah di Stasiun Televisi Borobudur Semarang (Analisis Perspektif Dakwah) juga memiliki keasamaan dengan penelitian penulis, menggunakan peraturan KPI sebagai landasan penelitiannya yang ia lakukan pada televisi lokal dan memberikan hasil yang sudah sesuai atau proporsional karena sudah mencapai batas minimal tayangannya. Kearifan lokal merupakan salah satu indikator dalam indeks program siaran wisata budaya yang dimiliki oleh Komisi Penyiaran Indonesia, yang mana program wisata budaya menghasilkan angka yang melampaui standar program yang berkualitas. Dari standar KPI yang berada diangka 4,00, untuk program wisata budaya berhasil mencapai angka 4,22 pada survei indeks kualitas program siaran televisi, yang dilakukan oleh KPI pada bulan November-Desember 2016.
Pada hal ini penulis juga berlandaskan dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) KPI BAB IV mengenai penghormatan terhadap nilai-nilai kesukuan, agama, ras dan atar golongan, seperti pada gambar 4.10. Pada pasal 8 tersebut, menjelaskan bahwa dalam memproduksi dan/atau menyiarkan sebuah
program siaran yang berisi tentang keunikan suatu budaya dan/atau kehidupan sosial masyarakat tertentu, wajib mempertimbangkan kemungkinan munculnya ketidaknyamanan khalayak atas program siaran tersebut. Pada program Indonesia Bagus, hal ini yang menjadi landasan atau hal dasar dan pedoman mereka dalam memproduksi setiap episode yang akan ditampilkan. Adapun penjelasan dari Febry Arifmawan selaku Senior Produser dalam menanggapi bagaimana implementasi program Indonesia Bagus, untuk memenuhi P3SPS :
“Kita pasti berusaha untuk tetap mengikut standar P3SPS KPI yang sudah kita ketahui, dan seperti yang aku sebelumnya bilang, bahwa Produser sendiri yang menjadi gawang terakhir untuk setiap episode yang akan ditayangkan. Dan Produser harus memahami dan mengetahui apa-apa
saja P3SPS yang terkait dengan program tersebut “ (Wawancara Febry Arifmawan, Januari 2018).
Dan beliau juga menambahkan bahwa setiap kru wajib memahami rambu-rambu penyiaran ini, untuk meminimalisir materi liputan menjadi sia-sia karena