• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Media dan Kearifan Lokal

Cangara (2006), mengatakan bahwa media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Beberapa pakar psikologi memandang bahwa dalam komunikasi antar manusia,

media yang paling mendominasi dalam berkomunikasi adalah panca indera manusia, seperti mata dan telinga. Pesan-pesan yang diterima selanjutnya oleh panca indera diproses oleh pikiran manusia untuk mengontrol dan menentukan sikapnya terhadap sesuatu, sebelum dinyatakan dalam tindakan (p.119).

Media informasi khususnya televisi, membuat penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan menjadi lebih mudah dan cepat. Dengan sifatnya yang terbuka, juga cakupan pemirsanya yang tidak mengenal usia dan meliputi seluruh lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Media televisi dapat memberikan perubahan terhadap pembentukan pribadi bangsa pada umumnya. Maka, sebaiknya program-program yang ditayangkan dengan tujuan dan isi dari program tersebut, lebih baik jika mengantarkan masyarakat Indonesia kepada sistem nilai yang kondusif terhadap pengembangan watak, dan tatanan hidup di masyarakat. Sebagai upaya positif untuk memperluas cakrawala dan memperdalam pengetahuan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk manusia Indonesia seutuhnya sekaligus mengantar mereka ke arah yang kritis tapi positif, kreatif dan partisipatif terhadap pembangunan nasional yang kini sedang berlangsung (BPPN, 1992).

Seperti yang sudah diketahui, bahwa negara Indonesia adalah negara dengan beragam budaya, adat istiadat dan agama. Hal tersebut menjadi sensitif bahkan dapat berdampak negatif jika tanpa adanya rasa solidaritas dan toleransi antar sesama manusia. Solidaritas artinya kebersamaan, kekompakan, atau tenggang rasa. Melakukan solidaritas adalah upaya membangun perdamaian karena ada rasa kedekatan dan kebersamaan antara sesama. Sama halnya seperti

toleransi yang ditujukan untuk perdamaian, yang toleransi berarti sifat dan sikap menghargai. Toleransi menurut istilah berarti menghargai, membolehkan, membiarkan pendirian pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya yang lain atau yang bertentangan dengan pendririannya sendiri. Seperti agama, ideologi, ras, dan sebagainya (Poerwadarminta, 1976, p. 829). Solidaritas dan toleransi antar bangsa ini merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang dilakukan masyarakat kita.

Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.

Wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal

pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penelitian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Istilah wisdom sering diartikan sebagai „kearifan/kebijaksanaan‟. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Local secara spesifik menunjuk kepada ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola hubungan antar manusia, atau manusia dengan lingkungannya. Pola interaksi itu disebut setting, yang mana merupakan sebuah ruang interaksi dimana seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Ruang interaksi yang terjadi secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan

tingkah laku mereka (Ridwan, 2007, p. 27-38). Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai acuan tingkah laku seseorang di masyarakat, juga lebih jauh lagi, mampu menjadikan kehidupan masyarakat lebih dinamis.

Kearifan lokal mengandung kebaikan bagi kehidupan masyarakat, sehingga mentradisi dan melekat kuat. Dalam jangka waktu yang lama, masyarakat dalam persamaan misi untuk menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Kearifan lokal lebih dari sekedar budaya yang ditampilkan pada media massa, kearifan lokal yang ditunjukkan harus berupa segala bentuk tindakan serta kepercayaan juga kebiasaan yang dilakukan dalam lingkungan tersebut. Mengenai manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan alam, juga cara manusia yang berada di daerah tersebut dalam memenuhi segala aktivitas dan kebutuhan sehari-harinya.

Dan Indonesia memiliki ciri khas daerahnya masing-masing, seperti contoh, pada masyarakat Jawa ketika makan sebaiknya mengambil makanan dalam jumlah genap. Genap bagi masyarakat Jawa merupakan lambang dari kemakmuran, dan genap akan menjadikan seluruh pemikiran masyarakat Jawa tertuju kepada kebaikan. Kemudian, jika kita pernah makan di rumah makan padang, terdapat istilah “tambuah ciek” (arti harfiahnya tambah satu), yang artinya menambah hanya sekali saja. Masyarakat minang biasanya menambahkan nasi hanya sekali. Hal-hal seperti itulah, yang seharusnya merupakan fokus lain dalam produksi program siaran kearifan lokal, yang tidak meliput sesuatu hanya mengenai wisata atau budaya pada suatu daerah saja. Bingkai kearifan lokal yang

terjadi di masyarakat baik antar individu maupun kelompok saling melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial yang berlaku (Sumendra, 2013).

Keterlibatan media massa sendiri dapat meninggalkan dampak untuk kehidupan khalayaknya. Tanpa kita sadari, budaya lisan dan budaya tradisional telah tergantikan oleh budaya media. Media massa melalui ketajaman sorot kamera lensanya dapat memindahkan „realitas semu‟ dalam sebuah realitas baru melalui tulisan, suara, maupun tayangan audio visual yang sering kali membius masyarakat. Media massa merupakan institusi yang berperan sebagai agent of change yaitu sebagai pelopor perubahan. Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat ini menyangkut perubahan pola pikir, perubahan perilaku masyarakat, serta perubahan budaya materi. Peran ini merupakan paradigma utama media massa (Bungin, 2006, p. 85). Dalam paradigma ini media massa memiliki peran, yaitu sebagai institusi pencerah masyarakat yang berperan sebagai media edukasi, media informasi maupun hiburan.

Tetapi disisi lain, media massa juga dituntut untuk menghasilkan keuntungan. Karena tuntutan provit, banyak media massa seperti televisi swasta nasional yang menyajikan acara-acara sesuai dengan selera audience. Hal tersebut menjadikan masyarakat terpengaruh dengan budaya media. Cara pandang masyarakat terhadap dunia dan ideologi-ideologi kehidupan mereka berubah, bukan lagi berdasarkan budaya yang mereka anut.

Kearifan lokal yang melekat perlahan-lahan tergantikan dengan budaya media yang seakan-akan disetujui oleh khalayak tersebut, dengan menerapkannya pada kehidupan mereka. Pada tataran ini masyarakat lah yang seharusnya memegang kendali terhadap setiap pesan yang mereka terima (Darmastuti, 2012, p. 56-57). Media penyiaran sendiri memiliki peraturan yang sudah ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2012, pasal 68 bahwa dalam sistem stasiun jaringan penyiaran lokal minimal 10% (sepuluh persen) dari seluruh waktu siaran setiap harinya, dan secara bertahap naik menjadi 50% (lima puluh persen) tergantung kemampuan dari daerah dan lembaga penyiaran swasta tersebut. Yang artinya, media juga sebenarnya berperan penting dalam perkembangan kearifan lokal dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Karena Indonesia merupakan negara dengan keberagaman suku dan budayanya. Maka bentuk-bentuk tayangan kearifan lokal yang berada ditiap-tiap stasiun televisi, mempengaruhi cara pandang khalayaknya terhadap suatu daerah yang tengah ditayangkan, disetiap episode dalam program tersebut.

Fajar Septyansyah Putra dalam penelitiannya mengenai, “Teknik Sinematografi dalam Menggambarkan Kearifan lokal pada Program Indonesia Bagus Edisi Yogyakarta NET. TV” (2017) menuliskan bahwa, kearifan lokal merupakan hal yang dimiliki di setiap daerah. Oleh karenanya, program acara yang memuat konten lokal tentu bermanfaat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada penelitiannya, penulis memilih objek pada program Indonesia Bagus edisi Yogyakarta, yang mengulas tentang ragam kearifan lokal yang berada di Yogyakarta. Untuk memahami teknik sinematografi yang digunakan dalam

menggambarkan kearifan lokal yang ditunjukan dalam program Indonesia Bagus ini. Dengan hasil penelitiannya yang menunjukan bahwa, teknik sinematografi yang digunakan dalam program Indonesia Bagus edisi Yogyakarta, menggunakan tipe angle yang meliputi objektif, subjektif, dan point of view. Selain itu, pergerakan kamera yang digunakan untuk membangun atmosfer kearifan lokal yang sinematik diantaranya menggunakan tracking, still camera, pedestal, dolly, dan panning. Hal ini untuk membangun alur cerita agar pesan-pesan kearifan lokal yang ingin disampaikan dapat dipahami oleh penonton.

Adapun penelitian terdahulu lainnya dari Nurhidayah mengenai “Proposionalitas Tayangan Local Wisdom (Kearifan Lokal) Jawa Tengah Di Stasiun Televisi Borobudur Semarang (Analisis Perspektif Dakwah)” (2011) menuliskan bahwa, penelitian terhadap tayangan local wisdom Jawa Tengah bertujuan untuk mengetahui apakah tayangan local wisdom Jawa Tengah di Stasiun Televisi Borobudur Semarang sudah proporsional. Penelitian ini menunjukan hasil bahwa tayangan yang mengandung kearifan lokal Jawa Tengah sudah proporsional, sesuai dengan peraturan Menkominfo dan KPI. Karena sudah mencapai batas minimal yaitu 10%, adapun persentase tayangan yang mengancung kearifan lokal Jawa Tengah disetiap minggunya yaitu persentase terkecil 16,25%, dan persentase terbesarnya adalah 23,75%.

Persamaan yang terjadi dengan penelitian penulis dan dua penelitian terdahulu tersebut, sama-sama melakukan penelitian dengan tema yang mirip, yaitu media dan kearifan lokal. Dan penelitian yang dilakukan oleh Fajar Septyansyah Putra, memiliki objek yang sama dengan penulis, yaitu sama-sama

meneliti program kearifan lokal yang berada di NET. TV, Indonesia Bagus. Tetapi, perbedaan penelitian penulis dengan penelitian pertama Fajar Septyansyah Putra, dalam judul penelitiannya “Teknik Sinematografi dalam Menggambarkan Kearifan lokal pada Program Indonesia Bagus Edisi Yogyakarta NET. TV” adalah topik pembahasannya. Bahwa penulis dalam penelitian ini dengan judul “Standarisasi Tayangan Kearifan Lokal pada Program Indonesia Bagus NET. TV”, membicarakan mengenai kebijakan redaksional yang dibuat dan dilakukan pada produksi program Indonesia Bagus oleh Crew NET. TV, lebih dalam mengenai teknis yang dilakukan dari Pra, Produksi, dan Pasca Produksi pada program Indonesia Bagus dalam setiap episodenya. Sedangkan penelitian Fajar membahas mengenai teknik sinematografi pada salah satu episode yang sudah ditayangkan di Indonesia Bagus, yakni edisi Yogyakarta, untuk dapat menggambarkan kearifan lokal yang hendak ditujukan kepada penonton.

Kemudian, perbedaan penelitian penulis dengan Nurhidayah mengenai “Proposionalitas Tayangan Local Wisdom (Kearifan Lokal) Jawa Tengah Di Stasiun Televisi Borobudur Semarang (Analisis Perspektif Dakwah)” adalah mengenai objek penelitian yang berbeda, bahwa Nurhidayah mengambil objek tayangan pada stasiun televisi lokal yang berada di Semarang. Sedangkan penulis mengambil objek tayangan pada stasiun televisi swasta nasional yang berada di Jakarta, yaitu NET. TV. Tetapi tujuan pada penelitian hampir sama, karena memiliki landasan peraturan dari KPI yang akan penulis deskripsikan pada BAB Pembahasan penulis mengenai objek penelitian ini, sesuai atau tidak dengan P3SPS dari Komisi Penyiaran Indonesia.

Media dapat dikatakan menciptakan budayanya sendiri, budaya media adalah budaya citra. Budaya ini merupakan budaya industri yang diorganisasi atas model produksi massa dan diproduksi untuk khalayak berdasarkan tipenya masing-masing, yang mana itu dibuat oleh media tersebut. Menurut Kellner (2010), budaya media berusaha membidik khalayak luas sehingga berputar pada tema-tema dan masalah-masalah kekinian dan sangat berhubungan dengan apa yang diminati khalayak pada saat ini (Darmastuti, 2012, p.56). Budaya media ini akan terus mempengaruhi masyarakat, karena media sendiri mendominasi kehidupan bermasyarakat. Terlebih masih banyak masyarakat yang dapat dikatakan “belum melek media”.

Kearifan lokal merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran budaya yang dihidupi oleh suatu masyarakat lokal, dapat digunakan sebagai filter untuk menyerap dan mengolah kebudayaan asing sebagai watak dan kemampuan sendiri. Artinya, nilai-nilai budaya serta kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat dapat digunakan sebagai dasar pada saat menginterpretasikan pengalaman yang mereka peroleh dari media massa, sehingga tingkah laku sosial yang terbentuk merupakan tingkah laku sosial yang sesuai dengan budaya masyarakat itu bukan tingkah laku sosial yang berdasarkan budaya media. Nilai-nilai dan norma-norma budaya lokal dapat digunakan sebagai dasar dan pedoman ketika masyarakat mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi.

Pada tataran inilah sistem makna dari budaya yang dimiliki masyarakat itu dapat digunakan untuk memahami diri mereka sendiri, memahami masyarakat, dan identitas mereka (Darmastuti, 2012, p. 55-56). Karena pada saat ini kondisi kebudayaan masyarakat mulai mengkhawatirkan anak-anak lebih hafal lagu percintaan dibandingkan lagu warisan dari neneknya sendiri. Kesadaran untuk melestarikan budaya daerah menjadi berkurang, potensi itu ada dan perlu diperkuat dengan adanya motivasi yang juga ditunjang oleh sumber informasi yang selama ini kita terima termasuk media-media yang selama ini menjadi teman pengetahuan kita. Kearifan lokal tersebut dapat menjadi tolak ukur masyarakat dalam mengkonsumsi informasi yang baik dan perlu untuk diketahui. Masyarakat sebenarnya dapat menolak pengaruh tersebut dengan adanya kearifan lokal atau nilai serta bentuk dari budaya yang mereka miliki, menjadikan sumber pemberdayaan diri yang akan menciptakan makna dari identitas dan bentuk kehidupan yang mereka alami.

Baca selengkapnya