• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDIKATOR KESEJAHTERAAN

Dalam dokumen KAJIAN FISKAL REGIONAL (Halaman 53-58)

BAB II PERKEMBANGAN DAN ANALISIS EKONOMI REGIONAL

B. INDIKATOR KESEJAHTERAAN

Indikator pembangunan yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat diantaranya: Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Tingkat Kemiskinan, Tingkat Ketimpangan (Gini Ratio), dan Kondisi Ketenagakerjaan. B.1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Pembangunan infrastruktur menjadi lebih produktif jika memiliki sumber daya manusia (human resources) yang berkualitas. Jika jumlah SDM berkualitas tidak memadai, maka

14,465.00 13,978.00 14,111.00 14,231.00 14,245.00 14,231.00 14,117.00 14,098.00 14,190.00 14,196.00 14,066.00 13,901.00 13,750 14,000 14,250 14,500

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Grafik 2.15

Tren Pergerakan Kurs Tengah Rupiah per 1 US$ Tahun 2019

Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional

30

Kajian Fiskal Regional Tahun 2019 Provinsi Papua Barat

Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional pembangunan infrastruktur menjadi kurang

efisien dan efektif. Akibatnya proses produksi membutuhkan input dengan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dan kualitas output yang dihasilkan rendah. Oleh karena itu, para ekonom berpendapat bahwa rendahnya investasi pada modal manusia (human capital resources) merupakan penyebab lambatnya pertumbuhan. Investasi yang rendah pada

sektor pendidikan, pengetahuan dan

keterampilan menyebabkan produktivitas

modal fisik menurun (Jhingan, 1983).

Untuk mengukur keberhasilan pembangunan pada modal manusia, PBB melalui United Nations Development Programme (UNDP) mengkombinasikan pencapaian di bidang pendidikan, kesehatan dan pendapataan/ pengeluaran riil atau yang dikenal dengan Human Development Index (HDI)/ Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Menurut UNDP, IPM suatu daerah dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori yaitu sangat tinggi (IPM ≥ 80), tinggi (70 ≤ IPM < 80), sedang (60 ≤ IPM < 70) dan rendah ( IPM < 60).

Walaupun masih tertinggal dari daerah lain dan menduduki peringkat terakhir secara nasional, pencapaian IPM Provinsi Papua Barat mengalami peningkatan tiap tahun. Pada tahun 2011 IPM Provinsi Papua Barat mencapai

nilai 59,9 (masuk dalam kategori rendah), jauh di bawah IPM nasional sebesar 67,09. Kemudian sejak tahun 2012 IPM Provinsi Papua Barat naik kelas menjadi kategori sedang dengan nilai 60,3. Selanjutnya pada tahun 2018 IPM Provinsi Papua Barat menjadi 63,74.

Jika dilihat per daerah, pencapaian IPM di Provinsi Papua Barat tidak ada yang masuk dalam kategori sangat tinggi, bahkan masih banyak daerah yang masuk kategori IPM

rendah diantaranya Wondama, Sorong

Selatan, Tambrauw, Maybrat, Manokwari Selatan dan Pegunungan Arfak. Sementara itu hanya 2 (dua) daerah yang masuk kategori IPM tinggi yaitu Kab. Manokwari dan Kota Sorong.

Sumber: United Nations Development Programme (UNDP) Gambar 2.1

Komponen Pembentuk IPM dan Klasifikasi Capaian IPM

-Sangat Tinggi Manokwari (71,17) Kota Sorong (77,35) Tinggi Fakfak (66,99) Kaimana (63,67) Teluk Bintuni (63,13) Kab. Sorong (64,32) Raja Ampat (62,84) Sedang Wondama (58,86) Sorong Selatan (61,01) Tambrauw (51,95) Maybrat (58,16) Mansel (58,84) Pegunungan Arfak (55,31) Rendah Gambar 2.2

IPM Kab/ Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2018 Berdasarkan Klasifikasi UNDP

Sumber: BPS Provinsi Papua Barat (data diolah)

59.9 60.3 60.91 61.28 61.73 62.21 62.99 63.74 67.09 67.7 68.31 68.9 69.55 70.18 70.81 71.39 52 56 60 64 68 72 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 Grafik 2.16

Perkembangan Nilai IPM (Metode Baru) Provinsi Papua Barat dan Nasional Tahun 2011-2018

Papua Barat Nasional

31

Kajian Fiskal Regional Tahun 2019 Provinsi Papua Barat

Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional Adapun daerah yang masuk kategori sedang yaitu Fakfak, Kaimana,Teluk Bintuni, Sorong dan Raja Ampat.

IPM yang tinggi di Kota Sorong dan Kab Manokwari menunjukan adanya korelasi

antara suatu daerah sebagai pusat

perekonomian/ pemerintahan dengan

pencapaian nilai IPM. Sebaliknya, ketika suatu daerah jauh dari pusat perekonomian/ pemerintahan, seperti Kab Pegunungan Arfak yang merupakan daerah pemekaran baru memiliki nilai IPM yang jauh tertinggal dari Kota Sorong dan Kab. Manokwari.

B.2. Kemiskinan

Konsep kemiskinan seringkali dihubungkan antara tingkat pendapatan dan kebutuhan seseorang. Jika pendapatan tidak mampu

memenuhi kebutuhan minimum, maka

seseorang dapat dikatakan miskin. Ravallion (1995) menyebutkan ciri khas dari kemiskinan diantaranya kelaparan, ketidakberdayaan, terpinggirkan, tidak mempunyai tempat tinggal, dan apabila sakit tidak memiliki dana untuk berobat. Selain itu, orang miskin pada umumnya tidak dapat membaca karena tidak mampu untuk bersekolah dan tidak memiliki pekerjaan.

Sebagaimana terjadi pada sebagian daerah, Provinsi Papua Barat dihadapkan pada masalah kemiskinan yang cukup pelik. Tingkat kemiskinan Provinsi Papua Barat sangat tinggi, hingga menduduki peringkat kedua secara nasional setelah Provinsi Papua. Pada tahun 2016 tingkat kemiskinan Provinsi Papua Barat mencapai 24,88 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kemiskinan nasional sebesar 10,7 persen. Kemudian pada tahun 2019, tingkat kemiskinan Provinsi Papua Barat turun jauh hingga menjadi 21,51 persen. Keadaan tersebut menunjukan bahwa selama beberapa tahun ke belakang penurunan tingkat kemiskinan di Provinsi Papua Barat cukup signifikan jika dibandingkan dengan banyaknya kendala yang harus dihadapi. Pembangunan yang berlangsung selama ini tampaknya cukup berhasil meningkatkan taraf hidup penduduk keluar dari garis kemiskinan. Berdasarkan tipologinya, tingkat kemiskinan Provinsi Papua Barat di pedesaan sangat tinggi bahkan di atas level 30 persen, namun sebaliknya tingkat kemiskinan di perkotaan pada kisaran 5 persen. Pada tahun 2016 tingkat kemiskinan pedesaan Provinsi Papua Barat mencapai 37,33 persen. Kemudian turun menjadi 34,29 persen pada tahun 2018 dan 33,2 persen pada tahun 2019. Melihat kondisi

tersebut seharusnya program-program

pemerintah lebih difokuskan ke daerah pedesaan baik dalam rangka investasi ekonomi yang bersifat produktif maupun investasi manusia di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan dan layanan sosial lainnya. Selain itu, program-program pengentasan kemiskinan yang digalakkan pemerintah daerah harus bermula dari pedesaan untuk menstimulus kesejahteraan masyarakat desa.

24.88 23.12 22.66 21.51 10.7 10.12 9.66 9.22 0 5 10 15 20 25 30 2016 2017 2018 2019 Grafik 2.17

Tingkat Kemiskinan Papua Barat dan Nasional Tahun 2016 - 2019 (persen)

Pabar Nasional

Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional

32

Kajian Fiskal Regional Tahun 2019 Provinsi Papua Barat

Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional

Jika dilihat berdasarkan daerahnya, pada tahun 2019 seluruh kabupaten/ kota di Provinsi Papua Barat memiliki tingkat kemiskinan di atas nasional dengan tingkat kemiskinan tertinggi yaitu Kab. Pegunungan Arfak dan Tambraw masing-masing sebesar 34,87 persen dan 34,37 persen. Adapun kemiskinan terendah dimiliki Kota Sorong dan Kab Kaimana masing-masing sebesar 15,29 persen dan 16,04 persen.

B.3. Ketimpangan

Sebuah keniscayaan bahwa pembangunan mengharuskan adanya tingkat pendapatan yang tinggi dan pertumbuhan berkelanjutan.

Namun demikian, tingkat pendapatan yang tinggi perlu didukung oleh indikator lainnya berupa pemerataan distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan yang timpang menurut Cramer (2001) menyebabkan terjadinya konflik sosial dalam masyarakat meskipun hal tersebut bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi.

Jika peningkatan pendapatan hanya

melibatkan sebagian kecil orang kaya, maka penanggulangan kemiskinan akan bergerak melambat dan ketimpangan semakin tinggi. Salah satu cara untuk mengukur tingkat distribusi pendapatan dengan menggunakan Rasio Gini (Gini Ratio). Rasio tersebut mampu

menggambarkan derajat ketimpangan

distribusi pendapatan dalam suatu daerah dengan nilai terletak antara 0 (kemerataan sempurna) sampai 1 (ketidakmerataan sempurna).

Tingkat distribusi pendapatan Provinsi Papua Barat tahun 2016-2019 tercatat fluktuatif namun masih timpang, ditandai dengan nilai gini ratio yang rendah setelah sebelumnya meningkat. Selama kurun waktu tersebut, ketidakmerataan pendapatan di Provinsi Papua Barat masuk dalam kategori sedang. Pada tahun 2016 gini ratio Provinsi Papua Barat sebesar 0,373 dan merangkak naik menjadi 0,390 pada tahun 2017

5.68 5.69 5.16 5.57 37.33 35.12 34.29 33.2 0 10 20 30 40 2016 2017 2018 2019 Grafik 2.18

Tingkat Kemiskinan Pedesaan dan Perkotaan Tahun 2016 - 2019 (persen)

Perkotaan Pedesaan Sumber: BPS Provinsi Papua Barat (data diolah)

34.87% 34.37% 32.38% 32.08% 30.49% 29.89% 29.35% 23.80% 21.54% 18.67% 17.53% 16.04% 15.29% 0% 10% 20% 30% 40% Pegunungan Arfak Tambrauw Teluk Wondama Maybrat Teluk Bintuni Manokwari Selatan Sorong Fakfak Manokwari Sorong Selatan Raja Ampat Kaimana Kota Sorong Grafik 2.19

Tingkat Kemiskinan Kab/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2019

Sumber: BPS Provinsi Papua Barat (data diolah)

0.373 0.390 0.391 0.381 0.397 0.393 0.384 0.38 0.36 0.37 0.38 0.39 0.4 2016 2017 2018 2019

Papua Barat Nasional

Sumber: BPS Provinsi Papua Barat (data diolah) Grafik 2.20

Perkembangan Gini Ratio Provinsi Papua Barat dan Nasional Tahun 2016-2019

33

Kajian Fiskal Regional Tahun 2019 Provinsi Papua Barat

Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional meskipun pada kedua periode tersebut berada di bawah gini ratio nasional. Kemudian pada tahun 2018, gini ratio Provinsi Papua Barat kembali naik menjadi 0,391 bahkan lebih tinggi dari pencapaian nasional. Gini ratio kembali turun pada tahun 2019 menjadi 0.381 atau sedikit di atas nilai nasional sebesar 0.380. B.4. Ketenagakerjaan

Untuk melihat kondisi ketenagakerjaan di suatu daerah diantaranya dapat tercermin pada Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan tingkat pengangguran.

B.4.1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Indikator ini menunjukan persentase jumlah angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja. Semakin tinggi TPAK menunjukkan semakin tinggi pula pasokan tenaga kerja (labour supply) yang tersedia untuk memproduksi barang dan jasa pada suatu daerah. TPAK Provinsi Papua Barat tahun 2019 mencapai 68,27 persen, mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya sebesar 67,88 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah angkatan kerja yang siap untuk bekerja semakin bertambah.

B.4.2 Tingkat Pengangguran

Secara teoritis, pengangguran memiliki

hubungan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketika terjadi pertumbuhan ekonomi,

hal tersebut mencerminkan adanya

penambahan output yang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk memenuhi kapasitas produksi. Arthur Okun melalui studinya (Okun’s Law) menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi maka tingkat pengangguran akan semakin berkurang (Blanchard, 2006).

Di saat jumlah pengangguran dan tingkat pengangguran nasional mengalami kenaikan,

jumlah pengangguran dan tingkat

pengangguran Provinsi Papua Barat juga ikut bergerak naik. Pada tahun 2018 jumlah pengangguran Provinsi Papua Barat mencapai 26.129 orang dengan tingkat pengangguran sebesar 5,67 persen. Kemudian pada tahun 2019, jumlah pengangguran Provinsi Papua Barat meningkat menjadi 28.846 orang dengan tingkat pengangguran terseret naik menjadi 6,24 persen. Tampaknya program pemerintah dalam perluasan dan penciptaan lapangan pekerjaan belum mampu menekan jumlah dan tingkat pengangguran di Provinsi Papua Barat. Untuk mengurangi tingkat pengangguran, pemerintah daerah dapat menciptakan 70.05 67.47 67.88 68.27 66 67 68 69 70 71 2016 2017 2018 2019 Grafik 2.21

TPAK Provinsi Papua Barat Tahun 2016 - 2019 (persen)

Sumber: BPS Provinsi Papua Barat (data diolah)

18,806 25,037 33,214 26,129 28,846 4.60 5.73 7.52 5.67 6.24 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 2015 2016 2017 2018 2019 10,000 20,000 30,000 40,000 Grafik 2.22

Jumlah dan Tingkat Pengangguran Terbuka Papua Barat Tahun 2015 – 2019

Jumlah Pengangguran (jiwa) Tingkat Pengangguran Terbuka (persen) Sumber: BPS Provinsi Papua Barat (data diolah)

Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional

34

Kajian Fiskal Regional Tahun 2019 Provinsi Papua Barat

Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional

kesempatan kerja melalui peningkatan

keahlian, sertifikasi, pendirian tempat latihan ketrampilan, magang serta meningkatkan inventasi yang menyerap banyak tenaga kerja lokal.

C. EFEKTIVITAS KEBIJAKAN MAKROEKONOMI

Dalam dokumen KAJIAN FISKAL REGIONAL (Halaman 53-58)