• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inflasi

Dalam dokumen KAJIAN FISKAL REGIONAL (Halaman 48-51)

BAB II PERKEMBANGAN DAN ANALISIS EKONOMI REGIONAL

A. INDIKATOR MAKROEKONOMI FUNDAMENTAL

A.2 Inflasi

Mankiw (2013) menyebutkan bahwa Inflasi merupakan kenaikan harga secara umum. Jika kenaikan harga barang hanya berasal dari satu atau dua barang saja, maka tidak dapat disebut sebagai inflasi, kecuali bila

5.24 8.07 38.04 21.01 22.86 0.06 118.31 78.16 10.53 36.17 10.5 25.39 0 20 40 60 80 100 120

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Grafik 2.8

Perkembangan Impor Provinsi Papua Barat Tahun 2019 (US$ juta)

Sumber: BPS Provinsi Papua Barat (data diolah)

Industri Pengolahan 25.74% Pertambangan/ Penggalian 17.44% Konstruksi 15.96% Sektor Lainnya 12.27% Pertanian, dkk 10.55% Adm Pemerintahan 10.57% Perdagangan 7.47%

Sumber: BPS Provinsi Papua Barat (data diolah) Grafik 2.9

Kontribusi Sektoral Terhadap PDRB Provinsi Papua Barat Tahun 2019 (Persen)

72.15 74.52 78.43 84.95 87.9 0 20 40 60 80 100 2015 2016 2017 2018 2019 Grafik 2.10

Perkembangan PDRB per Kapita Provinsi Papua Barat Tahun 2015 - 2019 (juta Rp/tahun)

25

Kajian Fiskal Regional Tahun 2019 Provinsi Papua Barat

Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional kenaikan itu meluas dan berimplikasi pada kenaikan harga barang lainnya. Inflasi dihitung

berdasarkan perubahan Indeks Harga

Konsumen (IHK) yang merupakan rata-rata dari perubahan harga suatu komoditas dalam kurun waktu tertentu. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menggambarkan tingkat kenaikan (inflasi) atau tingkat penurunan (deflasi) dari suatu komoditas.

Secara umum, inflasi digolongkan ke dalam tiga jenis yaitu: inflasi inti (core inflation), inflasi makanan yang bergejolak (volatile food inflation) dan inflasi harga yang diatur (administered price inflation). Core inflation adalah inflasi yang perkembangan harganya dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi secara umum, yaitu faktor-faktor fundamental seperti ekspektasi inflasi, nilai tukar, dan keseimbangan permintaan dan penawaran agregat yang akan berdampak pada

perubahan harga-harga secara umum.

Sementara itu, volatile food inflation adalah inflasi bahan makanan yang perkembangan harganya sangat bergejolak karena faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi kecukupan pasokan komoditas yang bersangkutan seperti faktor musim panen, gangguan distribusi,

bencana alam dan hama. Adapun

administered price inflation adalah inflasi yang

perkembangan harganya diatur oleh

pemerintah.

Secara kumulatif, laju inflasi Provinsi Papua Barat tahun 2019 mencapai 1,93 persen, jauh lebih rendah dari inflasi tahun sebelumnya sebesar 5,21 persen dan inflasi nasional sebesar 2,72 persen. Pencapaian tersebut berada di atas target inflasi yang ditetapkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Papua Barat Tahun

2017-2021 dimana pada tahun 2019 target inflasi ditetapkan sebesar 3,66 persen. Kebijakan pengendalian tingkat inflasi yang melibatkan banyak pihak sebagaimana tergabung dalam Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) tampaknya belum berhasil menekan laju pergerakan harga di Provinsi Papua Barat ke arah yang lebih moderat.

Selama tahun 2019, perkembangan harga-harga komoditas di Provinsi Papua Barat relatif terkendali dimana komponen administered

price dan volatile food menjadi penyumbang

utama. Adanya peningkatan intensitas curah hujan yang sedang dan gelombang laut yang relatif tinggi berdampak pada hasil produksi dan mengganggu jalur distribusi pasokan bahan makanan meskipun tidak memberikan pengaruh signifikan. Disamping itu, komponen

administered price tidak mengalami tekanan

seperti halnya tahun sebelumnya, sebagai imbas dari turunnya harga komoditas minyak mentah di pasar internasional yang berdampak pada turunnya harga BBM non-subsidi

(non-premium). Sementara itu, tekanan inflasi pada

kelompok inti (core inflation) relatif terkendali. Pada triwulan pertama tahun 2019 (Januari – Maret) Papua Barat berada pada kondisi deflasi dengan level 0,56 persen (ytd) dengan

5.34 3.62 1.44 5.21 1.93 3.35 3.02 3.61 3.13 2.72 0 2 4 6 2015 2016 2017 2018 2019 Grafik 2.11

Pergerakan Laju Inflasi Provinsi Papua Barat dan Nasional Tahun 2015 – 2019

Pabar Nasional

Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional

26

Kajian Fiskal Regional Tahun 2019 Provinsi Papua Barat

Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional penyumbang terbesar terjadi pada kelompok

volatile food seperti beras, telur, susu, daging, ikan segar, dan kacang-kacangan. Faktor

intensitas curah hujan yang sedang

menyebabkan beberapa daerah penghasil mengalami panen besar berakibat pada melimpahnya jumlah pasokan komoditas, meskipun sedikit terganggu dengan terjadinya laut pasang pada jalur distribusi. Sementara itu, komponen administered price sedikit tertekan disebabkan pasokan bahan bakar subsidi yang terbatas meskipun harga non-subsidi (pertalite dan pertamax series) mengalami sedikit penurunan harga.

Pada triwulan kedua tahun 2019 (April – Juni), intensitas curah hujan di Provinsi Papua Barat

makin meningkat. Faktor tersebut pada akhirnya berpengaruh terhadap produktivitas hasil pertanian sehingga pasokan komoditas menjadi berkurang. Dampaknya, pada bulan April dan Mei komponen volatile food seperti beras, sayur-sayuran dan kacang-kacangan mengalami inflasi. Pada bulan April, meskipun komoditas sayur-sayuran mengalami deflasi sebesar -0,70 persen, namun kacang-kacangan

mengalami inflasi 2,40 persen.

Memasuki bulan puasa (Mei) dan Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN), Papua Barat dihadapkan pada tekanan inflasi yang cukup dalam. Komponen volatile food seperti telur, daging ayam, daging sapi mengalami tren

peningkatan harga seiring kenaikan

permintaan. Pemerintah melalui Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) melakukan pengawasan distribusi untuk mencegah penimbunan barang dan permainan harga. Selain itu, TPID juga melakukan operasi pasar dan program pasar murah untuk menjaga stabilitas harga. Sementara itu, komponen administered price pada periode ini juga mengalami tekanan.

Periode triwulan ketiga tahun 2019, tekanan inflasi Papua Barat mulai jauh berkurang. Pada bulan Juli, terjadi deflasi yang mencapai level -0,07 persen. Komponen volatile food menjadi penyumbang terbesar deflasi. Kemudian pada bulan Agustus, Papua Barat kembali mengalami mencapai deflasi pada level -0,57 persen dimana kelompok bahan makanan menjadi penyumbang terbesar dengan capaian -1,67. Tabel 2.1

Inflasi Bulanan Menurut Kelompok Pengeluaran Provinsi Papua Barat Tahun 2019 (persen)

Kelompok jan feb mar apr mei jun jul agt sep okt nov des

Umum -0.04 1.59 0.25 0.33 0.34 0.04 -0.07 -0.57 0.67 -0.04 1.59 0.25

Bahan Makanan -0.82 4.93 0.72 0.79 1.00 -0.48 -0.66 -1.67 0.39 -0.82 4.93 0.72 Makanan Jadi, Minuman,

Rokok, dan Tembakau 0.57 0.01 0.57 0.50 0.76 0.06 0.30 0.23 0.25 0.57 0.01 0.57 Perumahan, Air, Listrik, Gas,

dan Bahan Bakar 0.02 0.15 0.07 -0.04 -0.11 0.39 0.16 0.01 0.11 0.02 0.15 0.07

Sandang 0.72 0.62 1.02 0.50 0.45 0.21 -0.09 -0.43 1.58 0.72 0.62 1.02

Kesehatan 0.76 0.52 0.06 0.27 0.72 0.01 0.02 -0.26 0.37 0.76 0.52 0.06

Pendidikan, Rekreasi dan

Olah Raga -0.03 0.34 -0.08 0.20 0.91 1.52 0.14 0.00 -0.02 -0.03 0.34 -0.08

Transpor dan Komunikasi

dan Jasa Keuangan 0.15 -0.24 -0.56 -0.49 -0.99 -0.01 0.50 -0.05 2.53 0.15 -0.24 -0.56 Sumber: BPS Provinsi Papua Barat (data diolah)

27

Kajian Fiskal Regional Tahun 2019 Provinsi Papua Barat

Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional Pada bulan ini, di saat semua kelompok pengeluaran mengalami tekanan deflasi, kelompok administered price mengalami inflasi pada level 0,23. Berbeda dari bulan sebelumnya, memasuki bulan September, Papua Barat mengalami inflasi pada level 0,67 persen. Kelompok volatile food seperti daging, telur, susu, dan sayur-sayuran serta kelompok inti

(core inflation) seperti sandang dan

perlengkapan rumah tangga menjadi

penyumbang inflasi. Di samping itu, kelompok transportasi adalah penyumbang terbesar inflasi seiring kenaikan harga tiket akibat permasalahan yang mendera maskapai penerbangan.

Pada triwulan empat tahun 2019 (Oktober-Desember), Papua Barat kembali mengalami tekanan inflasi. Demikian juga dengan kelompok volatile food seperti beras, daging, ikan, telur, susu, sayur-sayuran dan kacang-kacangan pada periode ini mengalami inflasi disebabkan faktor produktivitas hasil pertanian yang seharusnya melimpah malah berkurang. Di samping itu, faktor cuaca yang tidak bersahabat bagi nelayan menyebabkan berikurangnya pasokan ikan.

Meskipun pada bulan Oktober terjadi deflasi sebesar -0,04 persen, namun bulan November Papua Barat kembali mengalami inflasi sebesar 1,25 persen. Penyumbang tertinggi inflasi

adalah kelompok volatile food yang

mengalami kendala produktivitas. Kemudian masuk pada bulan Desember, Papua barat dihadapkan pada momen libur natal dan tahun baru. Pada bulan ini, perkembangan harga di Provinsi Papua Barat mengalami tekanan inflasi namun dengan tingkat yang cukup terkendali pada kisaran 0,25 persen dengan kenaikan tertinggi terjadi pada

kelompok sandang momen liburan sekolah, natal dan tahun baru.

Dalam dokumen KAJIAN FISKAL REGIONAL (Halaman 48-51)