• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hati-hati terhadap kerontokan rambut karena infeksi kulit kepala, misalnya jamur, yang dapat menyebabkan infeksi seperti kurap, khususnya bagi anak-anak. Kurap membuat kulit kepala jadi mudah rusak dan merontokkan rambut. Anda bisa mengatasinya dengan obat antijamur. (Kevin Sanly Putera)

Berita 28 – Senin, 18 Agustus 2014 | 15:32 WIB

Makanan Dihinggapi Lalat, Masihkah Layak Makan?

KOMPAS.com — Lingkungan yang kotor bisa menjadi rumah bagi hewan seperti

kecoak dan lalat. Kita bisa menemui hewan-hewan itu bukan hanya di jalanan atau kamar mandi, melainkan juga di piring makanan. Padahal, makanan mudah sekali terkontaminasi bakteri.

Meski sebagian besar orang memahami makanan yang dihinggapi lalat sudah tidak higienis lagi, nyatanya banyak orang yang tetap mengonsumsi makanan atau minuman tersebut. Kebiasaan tersebut bukan hanya ditemui di negara berkembang. Sebuah survei yang dilakukan oleh pihak produk pembasmi serangga Orkin terhadap 1.015 orang di AS menunjukkan, dua pertiga responden mengaku tetap akan memakan hidangan yang sudah dihinggapi lalat. Sementara itu, ada 3 persen responden yang tetap mengonsumsi makanan yang sudah dihinggapi kecoak.

Faktanya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, lalat rumahan (Musca domestica) bisa menyebabkan penyakit dan infeksi. Lalat bebas beterbangan dan memakan apa pun, bahkan sampah. Dari sana, lalat bisa membawa sumber penyakit dan menyebarkannya ke tempat lain. "Banyak pegawai restoran yang tidak tahu bahwa lalat rumahan dua kali lebih kotor dari kecoak," kata Ron Harrison, PhD, ahli serangga Orkin.

Ketika hinggap di tempat kotor, lalat dapat membawa organisme penyebab penyakit. Kotoran dan sumber penyakit yang hanya menempel di bagian luar lalat hanya dapat bertahan beberapa jam. Namun, bila kotoran itu dimakan oleh lalat, sumber penyakit itu dapat bertahan dalam perut lalat hingga berhari-hari, bahkan setelah mati. WHO menyebutkan, lalat dapat menyebarkan infeksi mata, kulit, dan organ dalam tubuh seperti diare. Orkin juga mendapati bahwa lalat dapat menyebarkan telur cacing parasit.

Bakteri yang masuk ke saluran cerna juga bisa menyebabkan keracunan makanan dan infeksi saluran cerna, seperti muntah, diare, dan keracunan makanan. (Kevin Sanly Putera)

Berita 29 – Selasa, 19 Agustus 2014 | 08:11 WIB

Perokok Berpendidikan Rendah Lebih Beresiko Stroke

KOMPAS.com - Secara ilmiah telah dibuktikan bahaya rokok bagi kesehatan.

Tetapi, apa yang terjadi jika seorang perokok adalah juga penderita tekanan darah tinggi dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah? Kombinasi dari ketiga hal tersebut adalah risiko stroke.

"Perokok yang berpendidikan rendah punya risiko lebih tinggi terkena stroke dibanding yang berpendidikan tinggi," kata Helene Nordahl, peneliti di Departemen Kesehatan Masyarakat Universitas Kopenhagen, Denmark. Kategori pendidikan rendah dalam penelitian ini adalah mereka yang hanya sampai tingkat SD atau SMP, dengan total 10 tahun pendidikan sejak TK.

Penelitian tersebut melibatkan 68.643 orang berusia 30 sampai 70 tahun. Mereka membandingkan latar belakang pendidikan, kebiasaan merokok, dan tekanan darah responden. Hasilnya, 16 persen lelaki dan 11 persen wanita yang berpendidikan rendah dan bertekanan darah tinggi punya risiko terkena stroke lebih tinggi. Dalam kurun waktu 14 tahun penelitian itu, 10 persen lelaki dan 9 persen wanita yang berisiko lebih tinggi tadi sudah terkena stroke.

Dengan mengesampingkan faktor tekanan darah, peneliti tetap menemukan bahwa pendidikan yang rendah tetap menyebabkan kenaikan risiko stroke. Stroke terjadi ketika aliran darah ke otak terhambat atau ketika pembuluh darah rapuh sehingga terjadi perdarahan dan membuat jaringan otak mati.

Racun dalam rokok membuat pembuluh darah yang membawa darah ke seluruh tubuh menjadi kaku. Selain itu, racun tersebut menyebabkan adanya plak lemak yang mengendap di sepanjang pembuluh darah sehingga timbul luka parut dan dinding arteri menjadi keras. Dengan kondisi pembuluh darah yang demikian, risiko terkena stroke dan serangan jantung pun meningkat. Merokok diketahui menggandakan risiko stroke, bahkan setelah berhenti. Dibutuhkan waktu 15 tahun setelah berhenti supaya risiko tersebut berkurang.

"Peningkatan risiko stroke tersebut bervariasi tergantung konteks dan populasi risetnya. Risiko yang lebih tinggi ini bukan hanya di Denmark, tapi juga di negara industri," ujarnya. (Kevin Sanly Putera)

Berita 30 – Rabu, 20 Agustus 2014 | 08:22 WIB

Jangan Takut, Ebola Tak Menular di Pesawat

KOMPAS.com - Mobilitas manusia lintas negara yang semakin mudah membuat

penularan dan penyebaran penyakit ke seluruh belahan dunia semakin cepat. Tak terkecuali penyakit ebola yang sekarang sedang merebak.

Meski begitu, WHO menyebutkan penularan virus ebola dalam sebuah penerbangan kemungkinannya sangat kecil. Ini karena virus Ebola tidak seperti virus flu atau demam yang menyebar lewat udara. "Penularannya membutuhkan kontak langsung dengan darah, produk sekresi, serta cairan tubuh dari penderita yang masih hidup atau sudah mati, termasuk hewan yang terinfeksi. Semua itu sangat jarang ada dalam sebuah penerbangan," kata WHO.

Lagipula, penderita ebola yang belum menunjukkan gejala berarti belum menularkan . Adapun pada mereka yang gejalanya sudah muncul, akan terlalu lemah untuk melakukan sebuah perjalanan. WHO mencatat bahwa serangan Ebola sejak Desember 2013 ini telah menewaskan setidaknya 1.145 orang dan telah menular kepada lebih dari 2.100 orang di Guinea, Sierra Leona, dan Liberia.

Risiko seseorang yang bepergian ke negara-negara tersebut untuk tertular

ebola dan mengalami gejala-gejala setelah kembali ke negara asalnya, juga dianggap rendah. Kebanyakan penularan terjadi kepada anggota keluarga yang merawat penderita. Seseorang juga dapat tertular karena tidak mengikuti prosedur pencegahan saat proses pemakaman pasien yang meninggal. Para pekerja di bidang kesehatan yang melakukan kontak dengan penderita Ebola tanpa pengaman juga berisiko terinfeksi.

Negara yang terserang virus Ebola kini melakukan screening terhadap penumpang yang bepergian. Mereka memeriksa apakah para penumpang mengalami demam, yang merupakan salah satu gejala Ebola. Penderita tidak diperbolehkan melakukan perjalanan, kecuali untuk kepentingan pengobatan. WHO pun tidak menyarankan adanya pelarangan penerbangan internasional. Selain itu, memeriksa penumpang yang tiba di bandara juga tidak direkomendasikan kepada negara yang tidak bertetangga dengan negara tertular.

Meski demikian, beberapa negara tetap telah menyarankan warganya untuk menghindari perjalanan menuju Guinea, Liberia, dan Sierra Leona yang kurang penting. (Kevin Sanly Putera)

Berita 31 – Rabu, 20 Agustus 2014 | 12:29 WIB

Tak Sempat Olahraga? Ganti dengan Kegiatan Ini

KOMPAS.com - Niat untuk memulai hari dengan berolahraga biasanya tak akan

pernah terwujud jika kesibukan harian mulai mendera. Meski demikian, keinginan mendapatkan tubuh yang sehat dan membakar kalori bisa dicapai dengan banyak cara. Jika tak sempat lari pagi atau nge-gym di pagi hari, lakukan saja aktivitas harian yang bisa membakar banyak kalori ini.

*Kalori di bawah dihitung berdasarkan orang yang berat badannya dari 68 kg hingga 73 kg. Semakin berat Anda, kalori yang terbakar pun akan semakin banyak.

Di rumah: