• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interaksi Antar Stakeholders Cagar Biosfer GSKBB

Bidang III Pengembangan Area Transis

WAKIL KETUA BADAN KOORDINASI:

5.3 Hasil dan Pembahasan 1 Identifikasi Stakeholders Cagar Biosfer GSKBB

5.3.3 Interaksi Antar Stakeholders Cagar Biosfer GSKBB

Interaksi antar stakeholders selalu mengandung makna mempengaruhi dan/atau dipengaruhi (Manullang 2015), dapat berwujud kerja sama ataupun konflik (Reed et al. 2009). Kerja sama antar stakeholders Cagar Biosfer GSKBB dijabarkan sesuai tingkat perkembanganya mengacu penggolongan Frey et al.

(2006), yaitu: koeksistensi, komunikasi, kooperasi, koordinasi, koalisi, kolaborasi, dan koadunasi, dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Koeksistensi : Keduanya ada tetapi tidak ada komunikasi.

2. Komunikasi : Menyadari keberadaannya, peran tidak pasti, sedikit komunikasi, semua keputusan dibuat secara sendiri- sendiri.

90

3. Kooperasi : Saling memberi informasi, peran sedikit pasti, komunikasi formal, semua keputusan dibuat secara sendiri-sendiri. 4. Koordinasi : Berbagi informasi dan sumber daya, peran sudah pasti,

sering berkomunikasi, sebagian keputusan dibuat bersama.

5. Koalisi : Berbagi gagasan dan sumber daya, sering berkomunikasi dan diprioritaskan, semua anggota mengeluarkan pendapat dalam pengambilan keputusan.

6. Kolaborasi : Para anggota termasuk dalam satu sistem, komunikasi sering dicirikan saling percaya, konsensus dicapai pada semua keputusan.

7. Koadunasi : Tumbuh bersama.

Interaksi antar stakeholders Cagar Biosfer GSKBB yang dominan digambarkan pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3 Matriks interaksi dan tingkat kerja sama antar stakeholders Cagar Biosfer GSKBB

Keterangan: (-)=konflik, 1,2,3 … adalah tingkat kerja sama antar stakeholder: 1=koeksistensi, 2=komunikasi, 3=kooperasi, 4=koordinasi, 5=koalisi, 6=kolaborasi, 7=koadunasi (Frey et al. 2006).

Pada tahap pengusulan Cagar Biosfer GSKBB ke UNESCO, Komite Nasional MAB Indonesia telah aktif menjalin kerja sama pada tingkat kolaborasi dengan SMF, BBKSDA Riau, dan pemerintah daerah. Artinya, mereka termasuk dalam satu sistem dan sering berkomunikasi, saling percaya, dan konsensus dicapai pada semua keputusan (Frey et al. 2006). Kolaborasi antara Komite MAB

Stakeholder SMF Pemerintah Daerah Masyarakat Petani Masyarakat Nelayan Akademisi Komite MAB LIPI LSM BBKSDA Riau 5 4 (-) 1 3 2 2 1 SMF 4 (-) 2 3 6 3 3 Pemerintah Daerah 4 3 3 3 4 1 1 Masyarakat Petani (-) 3 5 3 2 1 2 Masyarakat Nelayan 2 3 5 3 1 1 2 Akademisi 3 3 3 3 3 3 2 Komite MAB 6 4 2 1 3 7 2 LIPI 3 1 1 1 3 7 1

91 Indonesia dengan SMF masih bertahan pada tahap implementasi ini karena ada perwakilan SMF yang menjadi pengurus harian Komite Nasional MAB Indonesia. Komite MAB Indonesia dan LIPI telah mendorong SMF mengembangkan model

Biovillage di beberapa desa di area transisi, di antaranya melalui program pemanfaatan biogas dari kotoran sapi dan program pembangunan Alat Pengolah Air Gambut (APAG) 60 dengan kapasitas 2,6 m3/jam atas pendanaan dari Asian Pulp and Paper (APP). Komite Nasional MAB Indonesia dan SMF juga berkolaborasi dalam melakukan publikasi Cagar Biosfer GSKBB.

Interaksi antara Komite Nasional MAB Indonesia dengan pemerintah daerah diwakili oleh Bappeda Provinsi Riau dan Bappeda Kabupaten Bengkalis dan Siak berada pada tingkat koordinasi, artinya mereka sering berkomunikasi, berbagi informasi dan sumber daya, tetapi hanya sebagian keputusan yang dibuat secara bersama (Frey et al. 2006). Koordinasi dilakukan untuk mendorong Bappeda Provinsi Riau agar meningkatkan perannya sebagai sekretariat Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB dan mendorong sinergi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di zona penyangga dan area transisi. Koordinasi juga dilakukan dalam rangka keikutsertaan Pemerintah Provinsi Riau pada kegiatan yang diselenggarakan oleh MAB UNESCO di luar negeri, misalnya di Kongo tahun 2010 dan di Paris tahun 2010 dan 2012. Kerja sama intensif antara Komite Nasional MAB Indonesia dengan Bappeda Provinsi Riau terjadi pada saat penyelenggaraan The 2nd International Workshop on South-South Cooperation for Sustainable Development in the Three Major Tropical Humid Regions in the World di Pekanbaru, 4-8 Oktober 2011.

Interaksi antara Komite Nasional MAB Indonesia dengan BBKSDA Riau saat ini masih berada pada tingkat komunikasi, artinya mereka menyadari keberadaannya, peran tidak pasti, sedikit komunikasi, semua keputusan dibuat secara sendiri-sendiri (Frey et al. 2006). Komunikasi terbatas dilakukan pada saat bertemu dalam rapat-rapat yang diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB atau pada acara-acara seminar atau lokakarya tentang Cagar Biosfer GSKBB yang diselenggarakan di Pekanbaru. Hal ini karena tugas pokok dan fungsi BBKSDA Riau dalam mengelola kawasan suaka margasatwa yang menjadi area inti Cagar Biosfer GSKBB tidak bersentuhan langsung dengan peran Komite Nasional MAB Indonesia.

Kerja sama antara BBKSDA Riau dengan SMF sudah mencapai tingkat koalisi dalam bentuk melakukan program dan kegiatan di area inti dan zona penyangga. Artinya, mereka berbagi gagasan dan sumber daya, sering berkomunikasi dan diprioritaskan, dan saling mengeluarkan pendapat dalam pengambilan keputusan (Frey et al. 2006). PT Arara Abadi sebagai salah satu unit manajemen IUPHHK-HT mewakili SMF telah menyepakati Perjanjian Kerja Sama dengan BBKSDA Riau untuk mengoptimalkan fungsi SM Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu, serta sebagian Hutan Produksi seluas ±72.255 ha di areal kerja mitra usaha SMF. SMF juga ikut membantu dalam monitoring area inti, baik di hutan produksi maupun hutan konservasi. Dalam pelaksanaan penanggulangan perambahan kawasan SM Giam Siak Kecil, SMF juga membantu dalam menyediakan peralatan, bahan bakar, dan konsumsi di lapangan. Pada bulan September 2015, SMF juga membantu pemadaman kebakaran hutan di kawasan SM Giam Siak Kecil dengan mengerahkan personel dan peralatan, termasuk alat berat untuk pembuatan embung air.

92

Untuk menjalankan program pemberdayaan masyarakat di sekitar HTI, SMF telah menjalin kerja sama dengan beberapa LSM dan perguruan tinggi. SMF bekerja sama dengan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Riau, Universitas Riau, dan Universitas Islam Riau untuk melakukan studi diagnostik desa-desa di sekitar Hutan Tanaman Industri (HTI). SMF juga bekerja sama dengan Universitas Islam Riau untuk mengembangkan budidaya keramba ikan selais (Ompok hypophthalmus Bleeker), baung (Mystus nemurus Cuv. & Val.), dan dan lele dumbo (Clarias gariepinus Burchell) di desa Temiang dan Tasik Betung. SMF bekerja sama dengan Yayasan Siak Cerdas untuk melaksanakan kegiatan ternak itik dan dan uji coba domestikasi labi-labi (Amyda cartilaginea) dan kerja sama dengan Perkumpulan YAPEKA untuk kegiatan pengolahan biogas dari kotoran sapi di desa Tanjung Leban dan Temiang. SMF dan APP juga bekerja sama dengan Yayasan PILI untuk merestorasi hutan rawa gambut di SM Bukit Batu bersama masyarakat lokal, dengan dana charity dari pembeli kertas produk APP di Jepang. LSM yang telah bekerja sama dengan SMF tersebut dapat dikategorikan mempunyai diskursus pembangunan ekonomi (developmentalist), yakni melakukan pendampingan program peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk mengurangi ancaman deforestasi, menurunnya keanekaragaman hayati, dan kerusakan lingkungan lainnya.

Interaksi antara SMF dengan masyarakat justru kurang harmonis. Konflik lahan antara masyarakat dengan SMF sudah terjadi sejak awal pembukaan lahan untuk HTI pada tahun 1994 oleh PT Arara Abadi. Benturan antara dua pihak tersebut sering terjadi karena adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumber daya (Suporaharjo 2000). Di dalam areal konsesi hutan tanaman, yang merupakan daerah penyangga Cagar Biosfer GSKBB, terdapat permukiman dan lahan usaha masyarakat, yang tersebar di beberapa desa, yaitu: Bukit Kerikil, Tasik Serai, Tasik Serai Barat, Tasik Serai Timur. Tasik Tebing Serai, Melibur, Beringin, Lubuk Umbut, Tasik Betung, dan Bencah Umbai. Pada awalnya, konflik masih tertutup (laten) karena masyarakat takut terhadap tindakan represif perusahaan yang didukung oleh aparat negara. Konflik mulai mencuat (emerging) pasca terjadi krisis moneter dan krisis kewibawaan pemerintah pada tahun 1998. Masyarakat mulai berani mengambil kembali lahan-lahan yang diyakini sebagai bekas perladangan orang tua mereka. Pada kondisi konflik mencuat tersebut para pihak yang berkonflik sudah dapat teridentifikasi, masing- masing mengakui adanya konflik, dan masalah yang menjadi obyek konflik mulai dapat dikenali (Malik et al. 2003). Gambaran konflik pemanfaatan lahan antara perusahaan kehutanan dengan masyarakat dapat dilihat pada Bab 3.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 703/Menhut-II/2013 tanggal 21 Oktober 2013 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan No. 743/kpts- II/1996 mengenai addendum luas konsesi IUPHHK-HT PT Arara Abadi telah mengeluarkan sebagian wilayah desa-desa tersebut dari areal kerja PT Arara Abadi. Namun, perubahan SK Menteri Kehutanan tersebut belum mengakomodir semua lahan-lahan yang telah diusahakan oleh masyarakat desa-desa tersebut di atas. Selain itu, perubahan wilayah konsesi ini belum tersosialisasi secara luas kepada masyarakat sehingga potensi konflik antara masyarakat dengan perusahaan masih cukup tinggi. Wilayah yang mempunyai potensi konflik tinggi antara masyarakat dengan PT Arara Abadi terdapat di Simpang Ilal, daerah

93 perbatasan Desa Tasik Tebing Serai dan Desa Tasik Betung.

Sampai saat ini, konflik lahan secara terbuka masih terjadi secara sporadis, misalnya di Simpang Ilal, daerah perbatasan Desa Tasik Tebing Serai dan Desa Tasik Betung, dan di Dusun Air Raja Desa Tanjung Leban. Migrasi penduduk yang masuk telah meningkatkan perambahan kawasan pada lahan yang masih berhutan alam di kawasan lindung HTI. Mereka menganggap bahwa lahan tersebut bukan termasuk dalam area konsesi HTI karena masih berupa hutan alam. Perambahan kawasan pun terus meluas hingga ke dalam SM Giam Siak Kecil sehingga masyarakat juga berkonflik dengan BBKSDA Riau, misalnya di Dusun Sidodadi Desa Tasik Serai dan Dusun Suka Damai Desa Bukit Kerikil. Sebagian besar masyarakat mengaku tidak mengetahui keberadaan batas kawasan dan pengelolaan suaka margasatwa yang dilakukan oleh BBKSDA Riau. Situasi perambahan kawasan hutan di areal konsesi SMF dan mitranya serta di dalam kawasan suaka margasatwa talah dijelaskan pada Bab 3.