• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders Cagar Biosfer GSKBB

Bidang III Pengembangan Area Transis

WAKIL KETUA BADAN KOORDINASI:

5.3 Hasil dan Pembahasan 1 Identifikasi Stakeholders Cagar Biosfer GSKBB

5.3.2 Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders Cagar Biosfer GSKBB

Secara geografis, stakeholders Cagar Biosfer GSKBB dapat dikelompokkan sebagai stakeholders lokal dan nasional. Stakeholders pada level lokal antara lain: masyarakat petani, nelayan dan pengumpul hasil hutan, pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Tanaman, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Pemerintah Provinsi Riau, Pemerintah Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis, Pemerintah Kota Dumai, dan beberapa perguruan tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal.

Stakeholders pada level nasional antara lain: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Komite Nasional MAB Indonesia, Sinarmas Forestry (SMF), dan beberapa perguruan tinggi dan LSM nasional. SMF sebagai grup usaha

84

pemegang IUPHHK yang mempunyai konsesi di Cagar Biosfer GSKBB sebenarnya mempunyai jaringan yang luas, baik pada level lokal maupun nasional.

Untuk menentukan stakeholders mana yang perlu diajak bekerja sama dalam pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB, stakeholders tersebut dikelompokkan berdasarkan pengaruh dan kepentingan spesifik yang dimilikinya (Eden dan Ackermann 1998; Reed et al. 2009). Stakeholders yang masuk kategori

key players, subjects, dan context setters merupakan stakeholders inti yang perlu diperhatikan untuk mencapai keberhasilan suatu program/proyek (Groenendijk 2003). Dari 37 stakeholders Cagar Biosfer GSKBB, dapat diklasifikasikan sbb: 11

stakeholders sebagai key players, 9 stakeholders sebagai subjects, 7 stakeholders

sebagai context setters, dan 10 stakeholders sebagai crowds (Gambar 5.2).

Gambar 5.2 Klasifikasi stakeholders Cagar Biosfer GSKBB

Keterangan Gambar:

BBKSDA_R: Balai Besar KSDA Riau, SMF: Sinar Mas Forestry, LIPI: Lembaga Penelitian dan Ilmu Pengetahuan Indonesia, MAB_I: Komite Nasional MAB Indonesia, OTP: Oknum Tentara dan Polisi, BAPPEDA_R: BAPPEDA Provinsi Riau, BAPPEDA_K: BAPPEDA Kab/Kota (Bengkalis, Siak, Dumai), BPMPD_R: Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa Provinsi Riau, BLH_R: BLH Provinsi Riau, BLH_K: BLH Kab/Kota (Bengkalis, Siak, Dumai), BPP_R: Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau, BPP_B: Badan Penelitian Pengembangan Dan Statistik Kabupaten Bengkalis, BPP_S: Badan Penelitian dan Pengembangan Kab. Siak, DHut_R: Dinas Kehutanan Provinsi Riau, DBun_R: Dinas Perkebunan Provinsi Riau, DHut_K: Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kab/Kota, DTan_R: Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Riau, DTan_K: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten (Bengkalis dan Siak), DPK_R: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau, DKP_B: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bengkalis, BKLuh_R: Badan Koordinasi Penyuluhan Provinsi Riau, BKPP_K: Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten, BPBD: Badan Penanggulangan Bencana Daerah, DPar_R: Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Riau, DPar_K: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten (Bengkalis dan Siak), Akd: Akademisi, LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat, MP: Masyarakat Petani, MN: Masyarakat Nelayan, MPH: Masyarakat Pengumpul Hasil Hutan. PPk:

85

Perusahaan Perkebunan, PPt: Perusahaan Pertambangan, DCip: Dinas Cipta Karya, DBM: Dinas Pekerjaan Umum dan Bina Marga, Disdik: Dinas Pendidikan, BPKH_P: Balai Pengukuhan Kawasan Hutan Wilayah XIX Pekanbaru, BPDAS_IR: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Indragiri Rokan

Key players adalah stakeholders yang aktif dan kritis karena memiliki

tingkat kepentingan tinggi dan pengaruh yang tinggi terhadap implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB. Key players memiliki kapasitas sumber daya yang besar, baik sumber daya manusia maupun fasilitas, dana dan informasi. Mereka memiliki kepentingan secara langsung dengan Cagar Biosfer GSKBB untuk mewujudkan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan.

Stakeholders yang termasuk key players adalah: BBKSDA Riau, SMF, BAPPEDA Provinsi Riau, BAPPEDA Kabupaten (Bengkalis, Siak, Dumai), Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa Provinsi Riau, Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten, Komite Nasional MAB Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Oknum Tentara dan Polisi.

BBKSDA Riau, SMF, dan beberapa unsur Pemerintah Daerah memiliki kewenangan secara legal dalam pengambilan keputusan di wilayahnya masing- masing sehingga merupakan stakeholders kunci, sebagaimana biasa ditemui pada setiap proyek pengelolaan sumber daya alam (Sundawati dan Sanudin 2009; Bawole 2012; Maguire et al. 2012). BBKSDA Riau dan SMF mendapat akses atau kekuasaan dalam mengatur sumber daya alam, masing-masing di area inti dan zona penyangga, sementara Pemerintah Daerah berwenang mengatur sumber daya di area transisi. Mereka menguasai sumber daya alam yang penting untuk terwujudnya konsep cagar biosfer, dan berpengaruh besar dalam menentukan segala sesuatu mengenai sumber daya tersebut (Frooman 1999). Oleh karena itu, pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB secara umum tidak bisa dilepaskan dari

stakeholders ini.

BBKSDA Riau sebagai perwakilan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendapat legalitas penggunaan kekuatan hukum (legal juridical power) untuk mengelola kawasan Suaka Margasatwa (SM) Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu, yang merupakan area inti Cagar Biosfer GSKBB. Lembaga ini berkepentingan untuk menjaga fungsi konservasi dari cagar biosfer yaitu memberikan kontribusi bagi pelestarian sumber daya genetik, spesies, ekosistem, dan lansekap, sehingga sangat memperhatikan keamanan area inti Cagar Biosfer GSKBB.

BBKSDA Riau sebagai unsur pemerintah mempunyai pengaruh besar karena mempunyai kekuasaan dalam menegakkan kebijakan pengelolaan suaka margasatwa. Lembaga ini mempunyai kewenangan untuk membatasi pihak lain dalam mengakses kawasan dan memanfaatkan sumber daya di dalam suaka margasatwa. Dengan demikian, BBKSDA Riau sedikitnya mempunyai dua elemen utama kekuasaan menurut Krott et al. (2014), yaitu kemampuan untuk memaksa (coercive) dan memberikan disinsentif kepada pihak lain sesuai peraturan perundangan. Namun, dengan keterbatasan anggaran dan personel yang dimilikinya, kemampuan penegakan hukum di wilayah ini masih lemah. Untuk mengelola dua suaka margasatwa tersebut, Bidang Wilayah I BBKSDA Riau membentuk 3 resort dengan total personel sebanyak 6 orang yang berkantor di

86

Kota Siak dan Duri. Jumlah personel ini sangat jauh dari layak untuk mengelola kawasan yang luas tersebut.

Stakeholders dari unsur pemerintah daerah, yaitu: BAPPEDA Provinsi Riau, BAPPEDA kabupaten/kota, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa Provinsi Riau, dan Dinas Kehutanan Provinsi Riau mempunyai kepentingan untuk mewujudkan fungsi pembangunan cagar biosfer, yaitu memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. Lembaga-lembaga ini memiliki pengaruh yang besar karena secara organisasi mempunyai kewenangan dalam menentukan kebijakan pembangunan di zona penyangga dan area transisi Cagar Biosfer GSKBB. Mereka juga memegang anggaran yang besar untuk melaksanakan program-program pembangunan di kedua wilayah tersebut. Posisi mereka cukup strategis karena apabila kebijakan dan program pembangunan daerah tidak diintegrasikan dengan tujuan konservasi maka pembangunan berkelanjutan sulit terwujud, bahkan justru dapat menjadi pemicu tekanan dan ancaman bagi Cagar Biosfer GSKBB.

Sinarmas Forestry (SMF) merupakan pihak swasta yang ikut menginisiasi terbentuknya Cagar Biosfer GSKBB. SMF memiliki kepentingan sangat besar terhadap keberadaan cagar biosfer untuk membangun citra (image) baru di pasar intermasional sebagai korporasi yang peduli terhadap konservasi hutan rawa gambut dan keanekaragaman hayati. Selain itu, mereka juga berkepentingan untuk mendapatkan ijin Restorasi Ekosistem di hutan produksi (eks HPH PT Dexter Timber Perkasa Industri) dan berharap adanya pasar karbon yang tertarik untuk mengapresiasi upaya mereka dalam mempertahankan hutan rawa gambut yang mempunyai simpanan karbon tinggi ini. SMF bersama mitranya mempunyai pengaruh yang besar karena mempunyai areal IUPHHK-HT seluas 215.038 ha di zona penyangga dan area inti. Dengan ijin yang diberikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut, ia dapat membatasi pihak-pihak lain yang memanfaatkan sumber daya di atas areal konsesi. Jumlah karyawan dan tenaga kerja kontrak yang dimiliki SMF jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah personel BBKSDA Riau sehingga dapat membantu pengawasan area inti cagar biosfer. Ia juga mempunyai dana yang besar untuk membantu pengelolaan cagar biosfer, termasuk dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat. Informasi terkait kondisi lapangan Cagar Biosfer GSKBB banyak dimiliki oleh SMF karena selalu berada di lokasi dan memantau perkembangan secara rutin, khususnya di zona penyangga dan area inti. Dengan demikian, SMF mempunyai dua elemen utama kekuasaan menurut Krott et al. (2014), yaitu memberikan insentif atau disinsentif dan informasi yang dominan terkait kondisi lapangan cagar biosfer.

LIPI memiliki kepentingan dalam pengembangan keilmuan melalui kegiatan-kegiatan penelitian sumber daya alam hayati, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di Cagar Biosfer GSKBB. Hal ini terkait dengan fungsi cagar biosfer dalam memberikan dukungan logistik untuk mendukung proyek percontohan, pendidikan dan pelatihan lingkungan, serta penelitian dan pemantauan yang berhubungan dengan masalah-masalah konservasi dan pembangunan berkelanjutan. LIPI merupakan focal point MAB-UNESCO di Indonesia dan memiliki peran strategis sebagai lembaga otoritas keilmuan (scientific autority), sehingga mempunyai pengaruh yang besar dalam merumuskan kebijakan pengelolaan cagar biosfer di Indonesia. Di dalam Badan

87 Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB, LIPI merupakan anggota Majelis Ilmiah yang bertugas untuk memberikan pertimbangan strategis dan taktis tentang implementasi konsep pengelolaan, serta memberikan pertimbangan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan pengembangan Cagar Biosfer GSKBB.

Komite Nasional MAB Indonesia mempunyai kepentingan agar konsep cagar biosfer dapat diimplementasikan di lapangan untuk mengembangkan sinergi pelestarian keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan, sebagaimana yang dimandatkan oleh Strategi Seville (UNESCO 1996a). Komite ini beranggotakan perwakilan dari LIPI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Dalam Negeri. Komite ini mempunyai pengaruh yang besar pada level nasional dan memperoleh kekuasaan karena diskursus konservasi yang digalang oleh aktor global (global discourse power) yaitu UNESCO. Komite Nasional MAB Indonesia juga mempunyai salah satu elemen utama kekuasaan menurut Krott et al. (2014), yaitu informasi yang dominan terkait dengan pengelolaan cagar biosfer. Karena posisinya yang strategis, stakeholders lokal berharap Komite Nasional MAB Indonesia dapat berperan aktif dalam meningkatkan komunikasi antar stakeholders, dan menfasilitasi akses terhadap fasilitas pemerintah, antara lain hukum, dana, dan komunikasi dengan organisasi internasional (Isacch 2008), tidak hanya sebagai anggota Majelis Ilmiah dalam dalam Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB.

Di luar key players yang berperan positif terhadap implementasi Cagar Biosfer GSKBB, seperti yang dijelaskan di atas, terdapat key player yang berperan negatif karena besarnya pengaruh yang dimilikinya digunakan untuk merusak ekosistem cagar biosfer, yaitu oknum aparat tentara dan polisi. Pengaruh dan keterlibatan mereka dalam penebangan liar dan perambahan kawasan di area inti Cagar Biosfer GSKBB telah diuraikan pada Bab 3. Selain memiliki identititas sosial sebagai aparat penegak hukum dan aparat bersenjata yang ditakuti pihak lain, mereka juga mempunyai modal sosial yang kuat, berupa jejaring, komunikasi, hirarki kepemimpinan, dan saling kepercayaan di antara pelaku perambahan kawasan. Karena digunakan untuk kegiatan yang bersifat negatif, Nurrochmat et al. (2012) mengkategorikan modal sosial tersebut sebagai perverse social capital. Kekuatan modal sosial oknum aparat tentara dan polisi ini lebih besar dibandingkan dengan yang dimiliki oleh pengelola kawasan area inti dan zona penyangga sehingga kegiatan perambahan kawasan yang dilakukannya sulit untuk ditanggulangi.

Subjects adalah stakeholders yang memiliki tingkat kepentingan tinggi

tetapi pengaruhnya rendah dalam pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB.

Stakeholders yang termasuk kategori subjects meliputi: Badan Koordinasi Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Provinsi Riau, Badan Penelitian Pengembangan dan Statistik Kabupaten Bengkalis, Dinas Kelautan dan Perikanan Bengkalis, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten (Bengkalis dan Siak), LSM, dan masyarakat petani, nelayan, dan pengumpul hasil hutan.

Masyarakat merupakan stakeholder yang terkena dampak langsung dari kebijakan dan tindakan implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB karena memiliki ketergantungan secara ekonomi dan sosial budaya terhadap sumber daya di dalamnya (LIPI 2008). Mereka memiliki kepentingan untuk mengggunakan

88

sumber daya secara langsung di area transisi, zona penyangga, maupun area inti Cagar Biosfer GSKBB. Ada tiga kelompok masyarakat di sini: pengumpul hasil hutan, nelayan, dan petani. Masyarakat pengumpul hasil hutan mempunyai kepentingan untuk menebang kayu, memanen madu lebah, tanaman obat, dan hasil hutan non kayu lainnya. Masyarakat nelayan berkepentingan untuk memanfaatkan sumber daya ikan, air minum, dan sarana transportasi di sungai dan danau di dalam area inti cagar biosfer. Masyarakat petani mempunyai kepentingan terhadap penguasaan dan pemilikan lahan untuk berkebun karet dan kelapa sawit.

Dengan kekuatan jumlah yang besar, masyarakat dapat menekan pengelola kawasan, baik di area inti maupun di zona penyangga, sehingga sering menimbulkan konflik lahan dan sumber daya. Namun, secara legal mereka lemah karena tidak mempunyai alas hak yang kuat sehingga sering kalah jika pengelola kawasan melakukan tindakan represi yang diikuti dengan penegakan hukum. Selain itu, pengaruh masyarakat yang rendah ini disebabkan oleh tidak dilibatkannya masyarakat dalam keanggotaan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB sehingga masyarakat setempat seringkali diposisikan hanya sebagai objek. Posisi masyarakat seperti ini juga terjadi pada pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan di Maros (Kusumedi dan Rizal 2010) dan pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (Herawati et al. 2010). Oleh karena itu, perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat dan menempatkan mereka sebagai subjek pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan cagar biosfer.

LSM yang bergerak di Cagar Biosfer GSKBB kurang mempunyai pengaruh dalam memainkan peran advokasi, intermediasi, penyebaran informasi dan pemberdayaan masyarakat karena kehadiran mereka di wilayah ini bukan atas dasar misi dan gagasan yang genuine dari mereka sendiri tetapi atas fasilitasi oleh SMF. Hal ini berbeda dengan posisi LSM di Taman Nasional Danau Sentarum (Roslinda et al. 2012), TN. Teluk Cenderawasih (Sembiring et al. 2010; Bawole 2012), dan Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan (Harteti 2013), yang menempatkannya sebagai key player dan context setter. LSM-LSM ini juga tidak sesuai gambaran Uphoff dan Buck (2006) karena kurang menfasilitasi organisasi masyarakat ataupun memberi tekanan kepada pemerintah agar implementasi program menjadi tepat sasaran. LSM yang bergerak di di Cagar Biosfer GSKBB adalah Yayasan Penyelamatan Harimau Sumatera (YPHS), Yayasan Siak Cerdas, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Riau, Perkumpulan YAPEKA, dan Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI). Yayasan Siak Cerdas merupakan LSM lokal yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat. YAPEKA adalah perkumpulan yang berkantor di Bogor yang mempunyai kegiatan di bidang pemberdayaan masyarakat dan pendidikan konservasi alam. FKKM adalah lembaga multipihak yang mendukung proses- proses pengembangan kelembagaan kehutanan masyarakat (community forestry) melalui penyebaran informasi, pengembangan konsep, penguatan kapasitas dan perumusan kebijakan. PILI adalah organisasi nirlaba di Bogor yang mendukung pergerakan kelembagaan masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah (ornop) lingkungan di Indonesia.

Context setters adalah stakeholders yang memiliki kepentingan rendah

tetapi pengaruhnya tinggi sehingga dapat memberi manfaat atau risiko yang signifikan dalam menjembatani opini dan pengambilan keputusan. Stakeholders

89 yang termasuk context setters adalah: Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Dinas Pertanian Provinsi Riau, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Riau, Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten/Kota (Bengkalis, Siak, Dumai), Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten/Kota, dan Akademisi (Universitas Riau, Universitas Islam Riau, IPB, dan UGM). Beberapa elemen pemerintah daerah tersebut mempunyai pengaruh yang besar karena mempunyai kewenangan dalam mengawasi pemegang ijin agar pengelolaan hutan dan kebun di Cagar Biosfer GSKBB dapat memenuhi standar pemerintah, dan menfasilitasi program pembangunan pertanian dan perkebunan di zona penyangga dan area transisi.

Akademisi memiliki kepentingan terkait dengan fungsi cagar biosfer dalam memberikan dukungan logistik, yaitu pengembangan ilmu dan teknologi melalui penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Akademisi mempunyai pengaruh karena ilmu pengetahuan yang dimilikinya sehingga mampu menyebarkan informasi dan mempengaruhi stakeholder lainnya. Akademisi memiliki peran dalam mempersiapkan dan menformulasikan rekomendasi atau keputusan dan menjembatani pendapat dalam pengelolaan (Bawole 2012). Universitas Riau dan Universitas Islam Riau telah melakukan penelitian dalam bidang biologi dan sosial ekonomi untuk membantu pengelolaan cagar biosfer (Zul et al. 2013; Gunawan et al. 2013). Fakultas Kehutanan IPB telah melakukan penelitian

“Model Public Private-Partnership dalam Mengatasi Degradasi dan Deforestasi

Hutan” di Cagar Biosfer GSKBB dengan bantuan dana dari Bappenas (Rushayati

et al. 2014). Fakultas Kehutanan UGM telah melakukan studi kelayakan konservasi harimau di SM Bukit Batu bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Crowds adalah stakeholders yang memiliki tingkat kepentingan dan

pengaruh yang rendah sehingga hanya perlu dimonitor dengan prioritas rendah atau bisa juga diabaikan (Groenendijk 2003). Stakeholders yang termasuk kategori crowd adalah: Badan Pengelolaan DAS Indragiri Rokan, Balai Pengukuhan Kawasan Hutan Wilayah XIX Pekanbaru, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten/Kota (Bengkalis, Siak, Dumai), Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Siak, Dinas Pendidikan, Dinas Cipta Karya, Dinas Pekerjaan Umum dan Bina Marga, Perusahaan Perkebunan, dan Perusahaan Pertambangan.