• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pendukung untuk Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Cagar Biosfer GSKBB

CAGAR BIOSFER GIAM SIAK KECIL BUKIT BATU

7.6 Kebijakan Pendukung untuk Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Cagar Biosfer GSKBB

Selain lima kebijakan prioritas pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB yang diuraikan di atas, ada delapan kebijakan pendukung yang perlu dilakukan, empat di antaranya diuraikan di bawah ini.

1. Mengintegrasikan Cagar Biosfer GSKBB ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan perencanaan pembangunan wilayah

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wiayah Nasional, Cagar Biosfer merupakan asset nasional. Di dalam Pasal 9 disebutkan bahwa pelestarian dan peningkatan nilai kawasan lindung yang ditetapkan sebagai cagar biosfer merupakan salah satu kebijakan pengembangan kawasan strategis nasional. Kawasan strategis merupakan kawasan yang akan menjadi prioritas oleh pemerintah (Pemerintah Pusat dan Pemerinta Daerah) sesuai kewenangan untuk dikembangkan dan didorong pembangunannya.

Menurut Undang Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan strategis meliputi 3 (tiga) tingkatan, yaitu (1) Kawasan Strategis Nasional; (2) Kawasan Strategis Provinsi; dan (3) Kawasan Strategis Kabupaten/Kota. Kawasan Strategis Provinsi adalah ”wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam

lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan”. Hal ini memberi peluang kepada Cagar Biosfer GSKBB sebagai kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Cagar Biosfer GSKBB telah memenuhi kriteria kawasan strategis sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 Pasal 80, yaitu:

128

a. merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati,

b. merupakan aset nasional berupa kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem, flora dan/atau fauna yang hampir punah atau diperkirakan akan punah yang harus dilindungi dan/atau dilestarikan, c. memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang setiap tahun

berpeluang menimbulkan kerugian negara,

d. memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro, e. menuntut prioritas tinggi peningkatan kualitas lingkungan hidup, f. rawan bencana alam nasional, atau

g. sangat menentukan dalam perubahan rona alam dan mempunyai dampak luas terhadap kelangsungan kehidupan.

Berdasarkan Materi Teknis Draft RTRW Provinsi Riau (versi 11 Agustus 2014), ada 12 kawasan strategis yang akan dikembangkan di Provinsi Riau, meliputi 4 kawasan yang merupakan bagian dari kawasn strategis nasional, 5 kawasan strategis dari sudut pertumbuhan ekonomi, 2 kawasan strategis provinsi dari sudut sosial budaya, dan 1 kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, yaitu PLTA Kotopanjang. Mengingat peran cagar biosfer sebagai sarana untuk melaksanakan Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Agenda 21, maka Cagar Biosfer GSKBB perlu dijadikan sebagai salah satu Kawasan Strategis Provinsi Riau dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Pengintegrasian Cagar Biosfer GSKBB ke dalam RTRW Provinsi Riau akan memperkuat fungsinya sebagai situs praktik pembangunan berkelanjutan.

2. Mengembangkan Cagar Biosfer GSKBB sebagai wahana pendidikan lingkungan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan berbasis ekosistem hutan rawa gambut dan rawa banjiran

Cagar Biosfer GSKBB mempunyai arti penting bagi konservasi ekosistem hutan rawa gambut dan rawa banjiran. Kawasan ini mempunyai keunikan berupa ekosistem hutan rawa gambut, dan danau (tasik) di sekitar Sungai Siak Kecil dan Sungai Bukit Batu, serta masyarakat di sekitarnya yang masih bergantung pada sumber daya di dalamnya. Ekosistem tersebut sebagian sudah berubah penggunaan untuk hutan tanaman dan kebun. Kondisi ini menjadikan kawasan ini sebagai wahana pendidikan lingkungan yang tepat bagi pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum untuk mengenal lebih jauh tentang dampak dari perubahan ekosistem terhadap keanekaragaman hayati.

Cagar Biosfer GSKBB juga sebagai tempat yang ideal bagi lokasi penelitian untuk melihat dinamika yang terjadi di ekosistem hutan rawa gambut dan rawa banjiran. Untuk menggali potensi sumber daya dan memantau perubahan-perubahan yang terjadi, maka perlu dilakukan inventarisasi secara berkala. Kajian mengenai keanekaragaman hayati, struktur dan komposisi, jasa ekosistem, dan pengetahuan masyarakat lokal terhadap pemanfaatan pemanfaatan sumber daya juga perlu digali untuk mendukung pemanfaatan yang berkelanjutan. Selain itu, penelitian- penelitian terapan yang mendukung implementasi konsep cagar biosfer juga perlu dikembangkan.

129 3. Pemberian hak kepada masyarakat lokal untuk memanfaatkan sumber daya rawa banjiran secara berkelanjutan, berbasis wisata alam terbatas dan pemanfaatan ikan.

Masyarakat Melayu Siak sudah secara turun temurun memanfaatkan sumber daya perairan di Sungai Siak Kecil dan S ungai Bukit Batu serta tasik yang ada di sekitarnya. Keberadaan dan kegiatan mereka secara formal dilarang karena berada di dalam kawasan suaka margasatwa. Meskipun demikian, BBKSDA Riau menghormati dan memberi akses kepada masyarakat nelayan ini karena bentuk pemanfaatan ikan yang dilakukannya tergolong berkelanjutan mengikuti kelembagaan (aturan) lokal yang mereka kembangkan. Untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah ini perlu kepastian hak pemanfaatan (withdrawal) bagi masyarakat, dan hak akses (access) untuk wisata alam terbatas di perairan tersebut yang dikelola oleh masyarakat lokal. Kesepakatan Konservasi antara masyarakat nelayan dengan BBKSDA Riau dapat dibuat sebagai terobosan sebelum dilakukan penataan kawasan suaka margasatwa dan revisi Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 yang memungkinkan alokasi Blok Pemanfaatan Tradisional di kawasan suaka margasatwa.

4. Pemulihan ekosistem di kawasan yang rusak akibat perambahan dan kebakaran.

Pemulihan ekosistem bertujuan untuk mengembalikan sepenuhnya integritas ekosistem sehingga kembali ke tingkat/kondisi aslinya, dan kepada kondisi masa depan tertentu sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan. Beradasarkan UU No. 5 tahun 1990, areal yang mengalami kerusakan secara alami dan atau oleh karena pemanfaatannya serta oleh sebab-sebab lainnya

harus diikuti dengan upaya rehabilitasi secara berencana dan

berkesinambungan untuk mengembalikan ke kondisi ekosistem alamiahnya. Menurut PP No. 28 tahun 2011, Pasal 29 bahwa pemulihan ekosistem dilakukan untuk memulihkan struktur, fungsi, dinamika populasi, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Pemulihan ekosistem dapat dilakukan melalui mekanisme alam (suksesi alami), rehabilitasi, dan restorasi, serta cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menentukan cara/teknik pemulihan ekosistem perlu disesuaikan dengan tingkat kerusakan ekosistem bersangkutan.

Pada kawasan konservasi, pemulihan ekosistem merupakan bentuk pengawetan sebagai salah satu dari kegiatan penyelenggaraan KSA dan KPA. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.48/Menhut-II/2014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem Pada Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), pemulihan ekosistem dengan cara rehabilitasi dapat dilakukan melalui kegiatan: a) perlindungan dan pengamanan; b) penanaman; c) pengkayaan jenis; dan d) pembinaan populasi. Penanaman dilakukan pada ruang terbuka dan tidak bervegetasi dalam rangka mengembalikan penutupan lahan sehingga mendekati kondisi aslinya melalui penanaman jenis tumbuhan asli setempat atau pernah tumbuh secara alami. Berbeda halnya, pengkayaan jenis dilakukan pada seluruh areal di luar ruang terbuka, guna mengembalikan struktur vegetasi mendekati aslinya. Sementara itu, pembinaan populasi dapat dilakukan untuk meningkatkan jumlah populasi hidupan liar, melalui: a) introduksi berbagai jenis tumbuhan asli atau pernah tumbuh secara alami untuk memperbaiki tempat hidup, tempat pakan, tempat bersarang, dan

130

tempat penjelajahan satwa liar, dan b) eradikasi.

Sebagian besar wilayah Cagar Biosfer GSKBB merupakan lahan gambut sehingga rentan terhadap gangguan perubahan hidrologi dan rawan terjadi kebakaran lahan dan hutan. Dalam melakukan pemulihan ekosistem perlu mengacu PP No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut sebagaimana diubah dengan PP No. 57 Tahun 2016. Pada kawasan hutan yang telah dibebani ijin usaha pemanfaatan ekosistem gambut sehingga menyebabkan kerusakan ekosistem gambut, pemulihan ekosistem dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Terhadap areal perizinan usaha dan/atau kegiatan terdapat gambut yang terbakar, Pemerintah mengambil tindakan penyelamatan dan pengambilalihan sementara areal bekas kebakaran untuk dilakukan verifikasi oleh Menteri. Hasil verifikasi dapat berupa: pengelolaan lebih lanjut oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, dan pengurangan areal perizinan usaha dan/atau kegiatannya. Apabila teknik restorasi merupakan cara pemulihan ekosistem gambut yang dipilih, maka perlu dilakukan: a) pengaturan tata air di tingkat tapak, b) pekerjaan konstruksi, operasi, dan pemeliharaan yang meliputi penataan infrastruktur, pembasahan (rewetting) gambut; dan/atau c. penerapan budidaya menurut kearifan lokal.

7.6 Simpulan

Terdapat 13 faktor internal yang mempengaruhi kinerja implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB, yaitu: luas area inti cagar biosfer, keanekaragaman ekosistem, objek dan daya tarik wisata, lembaga yang mengkoordinasikan dan mengintegrasikan program dan kegiatan di cagar biosfer, ketersediaan Sumber Daya Manusia, ketersediaan dana, ketersediaan sarana dan prasarana, partisipasi

stakeholders, dukungan stakeholders kunci, aturan pengelolaan, rejim penguasaan sumber daya alam, kelembagaan lokal yang berkelanjutan. Sementara itu, 7 faktor eksternal yang menjadi peluang dan ancaman bagi implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB, adalah: akses dana internasional, dukungan Program MAB UNESCO dan Komite Nasional MAB Indonesia, program pengembangan pariwisata di Sumatera oleh Pemerintah, rencana pembangunan KPH oleh KLHK, kebijakan perhutanan sosial, pengembangan ekonomi regional berbasis kelapa sawit, dan pembangunan jalan di sekitar area inti Cagar Biosfer GSKBB. Berdasarkan analisis faktor internal dan eksternal tersebut, implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB berada pada posisi lemah secara internal tetapi mempunyai peluang yang cukup besar. Hasil penelitian ini menemukan 5 kebijakan prioritas untuk perbaikan pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB, yaitu: 1) Memperkuat kapasitas BBKSDA Riau untuk meningkatkan intensitas pengelolaan area inti cagar biosfer, 2) Melakukan penggalangan dana untuk mendukung program konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan, 3) Perombakan dan penguatan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar stakeholders, 4) Membentuk KPH untuk meningkatkan intensitas pengelolaan di tingkat tapak, dan 5) Memperjelas hak pengelolaan pada kawasan Hutan Produksi yang tidak dibebani ijin pemanfaatan hasil hutan melalui skema IUPHHK-Restorasi Ekosistem di area inti dan IUPHHK-Hutan Tanaman Rakyat di zona penyangga.

131

8

SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan

1. Cagar Biosfer GSKBB saat ini sudah mengimplementasikan sebagian rekomendasi Strategi Seville dan Madrid Action Plan. Zonasi yang dikembangkan meliputi area inti, zona penyangga, dan area transisi. Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB telah dibentuk tetapi belum bekerja optimal dalam menyelenggarakan koordinasi dan komunikasi antar

stakeholders, sehingga program dan kegiatan yang dilaksanakan pada masing- masing zona belum sinergi. Cagar Biosfer GSKBB telah berfungsi untuk mendukung logistik tetapi penelitian terapan yang mendukung implementasi konsep cagar biosfer masih sangat terbatas, sementara di sisi lain upaya penguatan kapasitas pengelola area inti belum terlihat nyata. Kemitraan antara BBKSDA Riau dengan SMF sudah berjalan untuk mengoptimalkan fungsi area inti, sedangkan kemitraan dengan pemerintah daerah dan sektor swasta lainnya belum terwujud.

2. Sumber daya lahan di area inti dan sebagian zona penyangga Cagar Biosfer GSKBB merupakan CPRs sehingga sulit mengatasi hadirnya free riders, yakni para petani pendatang dan pemilik modal yang merambah kawasan. Kondisi ini menyebabkan konflik antara masyarakat petani dengan perusahaan pemegang ijin konsesi hutan dan BBKSDA Riau terus meningkat dan ancaman kebakaran lahan dan hutan juga semakin tinggi. Dengan legalitas penggunaan kekuatan hukum yang dimilikinya, BBKSDA Riau dan para pemegang ijin konsesi hutan berusaha mempertahankan kekuasaan atas lahan dengan menjalankan mekanisme akses berbasis hak dan mekanisme akses struktural dan relasional. Namun, mekanisme ini tidak mampu menghadapi masyarakat dalam jumlah besar atau kelompok individu yang mempunyai identitas sosial kuat, seperti oknum aparat tentara dan polisi. Sumber daya perairan di area inti Cagar Biosfer GSKBB juga merupakan CPRs. Nelayan yang memanfaatkan ikan di dalamnya masih menggunakan alat tangkap tradisional. Kelembagaan (aturan) lokal yang dibangun oleh nelayan setempat mampu menjaga kelestarian ikan meskipun batasan pengguna dan jumlah unit sumber daya yang boleh dimanfaatkan tidak diatur karena populasi ikan menurut mereka masih melimpah. Meskipun demikian, kelembagaan lokal ini masih perlu diselaraskan dengan aturan pengelolaan kawasan suaka margasatwa karena PP No. 28 Tahun 2011 tidak mengatur adanya Blok Pemanfaatan Tradisional di kawasan suaka margasatwa. 3. Stakeholders Cagar Biosfer GSKBB teridentifikasi sebanyak 37 yang

diklasifikasikan ke dalam 11 key players, 9 subjects, 7 context setters, dan 10

crowds. Stakeholders yang termasuk dalam kategori key players adalah BBKSDA Riau, SMF, Komite Nasional MAB Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, BAPPEDA Provinsi Riau, BAPPEDA Kabupaten (Bengkalis, Siak, Dumai), Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa Provinsi Riau, Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten, dan oknum aparat tentara dan polisi. Kerja sama Komite Nasional MAB Indonesia dengan SMF sudah mencapai tingkat kolaborasi, sedangkan dengan Pemerintah

132

Daerah berada pada tingkat koordinasi, sementara itu dengan BBKSDA Riau masih sebatas komunikasi. Kerja sama antara BBKSDA Riau dan SMF berada pada tingkat koalisi dalam melakukan program perlindungan area inti dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

4. Stakeholders yang sudah berpartisipasi dalam implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB masih terbatas pada Komite MAB Indonesia, pengelola kawasan hutan, dan pemerintah daerah, tetapi masih bersifat bussines as usual. Tingkat partisipasi dalam implementasi konsep Cagar Biosfer GKSBB termasuk dalam kategori tokenism.

5. Implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB belum mencapai Sasaran ke-2 Strategi Seville, yaitu memanfaatkan cagar biosfer sebagai model pengelolaan lahan dan pendekatan pembangunan berkelanjutan, dan masih berada pada posisi lemah secara internal. Oleh karena itu, perlu menjalankan lima kebijakan prioritas untuk mengatasi permasalahan tersebut, yaitu: 1) Memperkuat kapasitas BBKSDA Riau untuk meningkatkan intensitas pengelolaan area inti cagar biosfer, 2) Melakukan penggalangan dana untuk mendukung program konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan, 3) Perombakan dan penguatan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar stakeholders, 4) Membentuk KPH untuk meningkatkan intensitas pengelolaan di tingkat tapak, dan 5) Memperjelas hak pengelolaan pada kawasan Hutan Produksi yang tidak dibebani ijin pemanfaatan hasil hutan melalui skema IUPHHK-Restorasi Ekosistem di area inti dan IUPHHK-Hutan Tanaman Rakyat di zona penyangga.

8.2 Saran

Berdasarkan temuan penelitian, ada beberapa saran yang disampaikan: 1. Perlu dirumuskan visi bersama yang mencerminkan kepentingan semua

stakeholders untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB.

2. Perlu revisi UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang terkait definisi cagar biosfer dengan menyesuaikan konsep cagar biosfer yang

baru, dengan usulan narasi “suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem daratan dan pesisir/laut atau kombinasi dari padanya, meliputi kawasan yang dilindungi dan wilayah di sekitarnya yang diakui secara internasional untuk kepentingan konservasi, pengembangan ilmu pengetahuan, dan pembangunan

berkelanjutan”.

3. Perlu revisi PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA dan KPA untuk memberikan hak pemanfaatan sumber daya ikan secara tradisional yang terbukti berkelanjutan di dalam suaka margasatwa.

4. Perlu mengintegrasikan cagar biosfer ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dengan menjadikan Cagar Biosfer GSKBB sebagai salah satu Kawasan Strategis Provinsi Riau.

5. Perlu mempertimbangkan rekayasa pengorganisasian Cagar Biosfer GSKBB dalam rangka perombakan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB.

133