• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Prioritas untuk Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Cagar Biosfer GSKBB

CAGAR BIOSFER GIAM SIAK KECIL BUKIT BATU

7.5 Kebijakan Prioritas untuk Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Cagar Biosfer GSKBB

Berdasarkan analisis SWOT, diperoleh 13 pilihan kebijakan untuk perbaikan pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB.

1. Perombakan dan penguatan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar stakeholders. 2. Melakukan penggalangan dana untuk mendukung program konservasi

keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan.

3. Memperkuat kapasitas BBKSDA Riau untuk meningkatkan intensitas pengelolaan area inti cagar biosfer.

4. Membentuk KPH untuk meningkatkan intensitas pengelolaan di tingkat tapak.

5. Memperjelas hak pengelolaan pada kawasan Hutan Produksi yang tidak dibebani ijin pemanfaatan hasil hutan melalui skema IUPHHK-Restorasi Ekosistem di area inti dan IUPHHK-Hutan Tanaman Rakyat di zona penyangga.

6. Meningkatkan promosi dan kerja sama pengembangan pariwisata di Cagar Biosfer GSKBB.

7. Mengembangkan Cagar Biosfer GSKBB sebagai wahana pendidikan lingkungan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan berbasis ekosistem hutan rawa gambut dan rawa banjiran.

8. Pemberian hak kepada masyarakat lokal untuk memanfaatkan sumber daya rawa banjiran secara berkelanjutan, berbasis wisata alam terbatas dan pemanfaatan ikan.

9. Meningkatkan peran zona penyangga untuk melindungi area inti dari perambahan kawasan melalui Model Desa Konservasi dan Biovillage. 10.Pemulihan ekosistem di kawasan yang rusak akibat perambahan dan

kebakaran.

11.Mengintegrasikan Cagar Biosfer GSKBB ke dalam RTRW dan perencanaan pembangunan wilayah.

12.Meningkatkan penegakan hukum terhadap pelaku kegiatan illegal

(penebangan liar dan perambahan kawasan) dengan pendekatan multidoors. 13.Meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat dalam pemanfaatan sumber

daya secara berkelanjutan.

Sesuai hasil analisis faktor internal dan eksternal di atas (Tabel 7.3 dan Tabel 7.5), posisi implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB masih berada dalam kondisi lingkungan internal yang lemah, sementara itu kondisi lingkungan eksternal cukup kuat sehingga pembahasan berikutnya akan difokuskan pada kebijakan 1-5 yang termasuk dalam Strategi W-O. Untuk menentukan prioritas dari lima pilihan kebijakan tersebut digunakan pendekatan Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM), yaitu alat untuk menilai berbagai pilihan kebijakan yang secara obyektif berdasarkan faktor-faktor keberhasilan penting internal dan eksternal yang telah diidentifikasi sebelumnya (David 2009). Secara konseptual tujuan dari QSPM adalah menetapkan kemenarikan relatif (relative attractiveness)

dari pilihan kebijakan yang beragam, untuk menentukan kebijakan mana yang dianggap paling baik untuk diterapkan (Umar 2008). QSPM menggunakan

119 masukan berupa pilihan kebijakan dari hasil analisis Matriks SWOT (Tabel 7.6) dan bobot masing-masing faktor internal (Tabel 7.3) dan faktor eksternal (Tabel 7.5). Kebijakan prioritas ditentukan berdasarkan nilai Total Attractiveness Score

(TAS) yang diperoleh dari perkalian bobot masing-masing faktor dengan Skor Daya Tarik (Attractiveness Score) masing-masing pilihan kebijakan. Kisaran Skor Daya Tarik adalah: 1 = tidak memiliki daya tarik, 2 = daya tariknya rendah, 3= daya tariknya sedang, 4 = daya tariknya tinggi, dan 5 = daya tariknya sangat tinggi. Dalam memberikan Skor Daya Tarik suatu kebijakan juga mempertimbangkan dua alasan, yaitu memaksimalkan sinergi dan meminimalkan resitensi, artinya suatu kebijakan yang mempunyai daya tarik sangat tinggi adalah yang memiliki peluang sinergi paling tinggi dan resistensi paling rendah.

Berdasarkan Matriks QSPM (Tabel 7.7), kebijakan yang memperoleh nilai

Total Attractiveness Score (TAS) tertinggi sehingga menjadi pilihan utama adalah Kebijakan 3 (nilai TAS 5,929), yakni Memperkuat kapasitas BBKSDA Riau untuk meningkatkan intensitas pengelolaan area inti cagar biosfer, diikuti Kebijakan 2 (nilai TAS 5,516), yakni Melakukan penggalangan dana untuk mendukung program konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan, dan Kebijakan 1 (nilai TAS 5,256), yakni Perombakan dan penguatan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB, dan berikutnya Kebijakan 4 dan Kebijakan 5. Lima kebijakan prioritas yang perlu diterapkan untuk pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB dijelaskan di bawah ini. 1. Memperkuat kapasitas BBKSDA Riau untuk meningkatkan intensitas

pengelolaan area inti cagar biosfer.

Keberhasilan implementasi konsep cagar biosfer ditentukan oleh sejauh mana mampu mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas area inti. Area inti Cagar Biosfer GSKBB, khususnya pada kawasan SM Giam Siak Kecil, terus mengalami tekanan berupa penebangan liar dan perambahan kawasan sehingga kualitas ekosistemnya menurun. Untuk mengelola kawasan SM Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu, BBKSDA Riau telah membentuk tiga Resort, namun belum aktif bekerja di lapangan karena keterbatasan anggaran, SDM, sarana, dan prasarana. Kondisi ini mengakibatkan rendahnya intensitas pengelolaan dan lemahnya pengamanan kawasan sehingga penebangan liar dan perambahan kawasan masih terus berlangsung. Oleh karena itu, kapasitas BBKSDA Riau dalam mengelola dua kawasan tersebut perlu dikuatkan, baik kapasitas Sumber Daya Manusia, sumber dana, dan infrastruktur.

Penguatan kapasitas BBKSDA Riau ini penting untuk memperbaiki tata kelola suaka margasatwa yang merupakan area inti Cagar Biosfer GSKBB, sehingga terjadi perbaikan dalam penguasaan kawasan, pengurusan kawasan, pengelolaan kawasan, dan pemanfaatan kawasan. Untuk ini, BBKSDA Riau perlu membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) dan atau mengembangkan Resort Based Management (RBM) untuk meningkatkan intensitas pengelolaan dua suaka margasatwa tersebut sebagai satu kesatuan pengelolaan. Pengembangan KPHK dan atau RBM ini dapat menjadi program prioritas yang diusulkan untuk didanai dari hibah internasional, sebagaimana pengembangan RBM di SM Bukit Rimbang – Bukit Baling yang didanai dari program Tropical Forest Conservation Action (TFCA) yang dikelola oleh konsorsium WWF Indonesia dengan beberapa LSM lokal di Provinsi Riau.

120

Tabel 7.7 Matriks QSPM untuk penentuan kebijakan prioritas dalam rangka perbaikan pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB

Faktor-faktor Utama Bobota

Kebijakanb

1 2 3 4 5

TAS TAS TAS TAS TAS

Faktor Internal

Luas area inti cagar biosfer 0.082 0.164 0.328 0.410 0.082 0.246 Keragaman ekosistem 0.071 0.142 0.213 0.284 0.071 0.355 Objek dan Daya Tarik Wisata 0.055 0.109 0.164 0.273 0.219 0.055 Lembaga yang mengkoordinasikan dan

mengintegrasikan program dan kegiatan 0.093 0.464 0.372 0.279 0.186 0.093 Ketersediaan SDM 0.087 0.262 0.175 0.437 0.350 0.087 Ketersediaan dana 0.137 0.546 0.683 0.410 0.273 0.137 Ketersediaan sarana dan prasarana 0.066 0.131 0.262 0.328 0.197 0.066 Partisipasi stakeholders 0.093 0.464 0.279 0.372 0.186 0.093 Dukungan stakeholders kunci 0.082 0.410 0.328 0.246 0.164 0.082 Ketersediaan aturan pengelolaan 0.098 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 Rejim penguasaan sumber daya alam 0.060 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 Kelembagaan lokal yang berkelanjutan 0.077 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000

Faktor Eksternal

Akses sumber dana internasional 0.137 0.548 0.685 0.411 0.274 0.137 Dukungan Program MAB UNESCO dan

Komite Nasional MAB Indonesia 0.151 0.603 0.753 0.452 0.301 0.151 Program pengembangan pariwisata di

Sumatera oleh Pemerintah 0.110 0.329 0.548 0.438 0.219 0.110 Rencana pembangunan KPH oleh

KLHK 0.123 0.370 0.123 0.493 0.616 0.247

Skema IUPHHK-Restorasi Ekosistem di

lahan gambut 0.123 0.247 0.370 0.123 0.493 0.616 Kebijakan Perhutanan Sosial 0.096 0.192 0.096 0.288 0.384 0.479 Pengembangan ekonomi regional

berbasis kelapa sawit 0.123 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 Pembangunan jalan di sekitar area inti

Cagar Biosfer GSKBB 0.137 0.274 0.137 0.685 0.548 0.411

Jumlah 5.256 5.516 5.929 4.562 3.364

a

Bobot menunjukkan pengaruh/signifikansi relatif masing-masing faktor internal dan eksternal bagi keberhasilan pencapaian fungsi cagar biosfer yang dicopy dari Tabel 7.3 dan Tabel 7.5

b

Lima pilihan kebijakan prioritas:

1. Perombakan dan penguatan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar stakeholders.

2. Melakukan pengalangan dana untuk mendukung program konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan.

3. Memperkuat kapasitas BBKSDA Riau untuk meningkatkan intensitas pengelolaan area inti cagar biosfer.

4. Membentuk KPH untuk meningkatkan intensitas pengelolaan di tingkat tapak.

5. Memperjelas hak pengelolaan pada kawasan Hutan Produksi yang tidak dibebani ijin pemanfaatan hasil hutan melalui skema IUPHHK-Restorasi Ekosistem di area inti dan IUPHHK-Hutan Tanaman Rakyat di zona penyangga.

121 2. Melakukan penggalangan dana untuk mendukung program konservasi

keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan.

Cagar Biosfer GSKBB mempunyai peran sebagai sarana untuk melaksanakan Konvensi Keanekaragaman Hayati dan situs pembelajaran untuk pembangunan berkelanjutan guna menjawab tantangan dari Agenda 21. Untuk hal ini diperlukan pendanaan yang berkelanjutan. Karena keterbatasan anggaran dari pemerintah dan pemerintah daerah, maka perlu dilakukan penggalangan dana (fund rising), khususnya dari para penerima manfaat langsung sumber daya Cagar Biosfer GSKBB dan hibah internasional. Dengan statusnya sebagai cagar biosfer yang diakui UNESCO dan adanya dukungan dari Komite Nasional MAB Indonesia, diharapkan dapat menarik perhatian besar dari lembaga donor. Mekanisme penggalangan dana internasional dan peruntukkannya untuk mendukung implementasi konsep cagar biosfer mengacu pada Peratuan Pemerintah No. 10 tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah dan Peraturan Presiden No. 80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian.

Untuk melakukan kegiatan penggalangan dana, anggota dan pengurus Badan Koordinasi perlu membentuk lembaga berbadan hukum, antara lain berupa yayasan atau perkumpulan sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Sebaiknya, perhatian lembaga ini fokus pada implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB dan untuk ini dapat bermitra dengan lembaga yang sudah ada, misalnya: Yayasan Belantara yang telah dibentuk oleh Asian Pulp and Paper (APP) atau Perkumpulan MAB Indonesia yang berkantor di Bogor. Lembaga ini dapat mengajukan proposal program dan kegiatan yang mendukung konservasi dan pembangunan berkelanjutan di Cagar Biosfer GSKBB kepada lembaga donor internasional. Lembaga ini dapat menerima dana dari program Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan kehutanan, perkebunan, dan pertambangan yang memanfaatkan sumber daya di Cagar Biosfer GSKBB. Bersama-sama Badan Koordinasi, lembaga ini juga dapat menginisiasi kesepakatan diantara penerima manfaat sumber daya tersebut dan stakeholders

Cagar Biosfer GSKBB lainnya mengenai besaran sumbangan atau kontribusi pendanaan dari masing-masing pihak bagi pelaksanaan program dan kegiatan di Cagar Biosfer GSKBB.

3. Perombakan dan penguatan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar stakeholders.

Implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB yang inklusif dengan wilayah yang luas memerlukan aksi bersama (collective actions) karena sumber daya di dalamnya mempunyai sifat excludability rendah dan subtractability tinggi sehingga rentan terhadap kerusakan jika tingkat pengelolaan dan pengawasan masih rendah, sebagaimana diuraikan pada Bab 3 dan Bab 4. Selain itu, keberhasilan pengelolaan area inti Cagar Biosfer GSKBB sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pengelolaan daerah penyangga dan area transisi. Oleh karena itu, koordinasi perlu terus dilakukan guna meningkatkan hubungan kerja yang baik antara stakeholders di area inti dengan pemerintah daerah dan mitra terkait lainnya. Peningkatan koordinasi diharapkan mampu membangun aksi bersama dan gotong royong dalam rangka mendukung konservasi keanekaragaman hayati

122

dan pembangunan berkelanjutan. Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB sudah dibentuk dari beragam stakeholders, namun sebagian besar pengurus merupakan lembaga pemerintahan dengan jalur birokrasi yang panjang dan peran Sekretariat yang lemah dalam menggerakkan roda organisasi sehingga kinerja koordinasi antar stakeholders sangat lamban.

Perombakan dan penguatan Badan Koordinasi dilakukan dengan tiga langkah: melakukan rekayasa pengorganisasian, memperkuat peran Sekretariat, dan penguatan modal sosial organisasi. Rekayasa pengorganisasian yang perlu dilakukan untuk pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB disajikan pada Gambar 7.1. Rekayasa pengorganisasian dilakukan untuk memperpendek jalur birokrasi sehingga lebih efektif bekerja di lapangan, dengan unsur utama terdiri dari Dewan Cagar Biosfer GSKBB dan Sekretariat. Dewan Cagar Biosfer GSKBB merupakan perwakilan dari unsur Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, pihak swasta, akademisi, LSM, dan masyarakat. Dewan Cagar Biosfer GSKBB berperan memberikan arahan umum kepada Sekretaris Eksekutif dalam mengimplementasikan konsep Cagar Biosfer GSKBB sehingga bersinergi dengan kebijakan pembangunan wilayah. Untuk melaksanakan tugas keseharian Badan Koordinasi diperlukan Sekretariat yang kuat, yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Eksekutif dari kalangan profesional dengan kualifikasi: profesional dan independen, mempunyai komitmen dan tanggung jawab yang tinggi untuk pengembangan organisasi, mumpuni dalam melakukan koordinasi dan komunikasi, memahami konsep cagar biosfer, dan menguasai wilayah Cagar Biosfer GSKBB. Untuk melaksanakan program-program cagar biosfer perlu dibentuk bidang-bidang yang lebih berorientasi pada pencapaian fungsi cagar biosfer, terdiri atas: 1) Bidang Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan, 2) Bidang Pemberdayaan Masyarakat, dan 3) Pendidikan dan Penelitian. Uraian tugas masing-masing unsur dalam Badan Koordinasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6.

Penguatan Sekretariat Badan Koordinasi juga dilakukan dengan memberikan kewenangan dan peran yang strategis sebagai lembaga kolaborasi, koordinasi, dan eksekusi yang didukung oleh anggaran rutin dari pemerintah daerah dan stakeholders lainnya. Sekretariat harus berperan dalam menfasilitasi penyusunan rencana kolaborasi implementasi konsep cagar biosfer yang terpadu dan terintegrasi dengan rencana pembangunan wilayah. Sekretariat harus berperan dalam meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar stakeholders untuk mensinergikan program dan kegiatan di Cagar Biosfer GSKBB. Sekretariat juga harus berperan dalam menfasilitasi evaluasi zonasi Cagar Biosfer GSKBB dengan memperhatikan kondisi kedalaman gambut, wilayah jelajah satwa kunci, dan sosial ekonomi budaya masyarakat. Sekretariat juga harus berperan dalam meningkatkan partisipasi stakeholders, baik berupa dana maupun dukungan dalam bentuk program atau kegiatan terkait dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan. Sekretariat perlu menfasilitasi dan mendorong kinerja bidang-bidang terkait sehingga berjalan sinergis. Sekretariat harus menjalin jejaring kerja dengan para pihak, termasuk dalam lingkup Jaringan Cagar Biosfer Dunia. Jaringan kerja dengan Lembaga Penggalangan Dana dan LSM perlu dilakukan untuk merumuskan program prioritas yang akan diusulkan kepada lembaga donor sehingga terintegrasi dengan rencana kolaborasi implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB.

123

Komite Nasional MAB Indonesia

Sekretariat Eksekutif

· Satgas Perencanaan Kolaboratif

· Satgas Media dan Resolusi Konflik

· Satgas Pengembangan Jejaring Kerja

· Satgas Monitoring dan Evaluasi

Bidang

Pemberdayaan Masyarakat Bidang

Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan

Bidang

Pendidikan dan Penelitian Dewan Cagar Biosfer GSKBB:

Pemerintah Provinsi Riau, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pihak swasta, Akademisi, LSM, Tokoh Masyarakat

Lembaga Penggalangan Dana Majelis Ilmiah: LIPI, Perguruan Tinggi

Peran

Pengarah

Lembaga kolaborasi (koordinasi, eksekusi, dan

penggalangan dana)

Pelaksana program dan kegiatan

Gambar 7.1 Usulan pengorganisasian pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB

124

Untuk menjalankan peran Sekretariat Eksekutif yang strategis tersebut, perlu dibentuk Satuan Tugas (Satgas) sebagai organ Sekretariat. Personel Satgas terdiri atas kalangan profesional dan akademisi yang mempunyai komitmen tinggi, bertanggung jawab, dan profesional. Satgas dibentuk sesuai perkembangan situasi dan kebutuhan (ad hoc), sedangkan yang dibutuhkan saat ini adalah: 1) Satgas perencanaan kolaboratif, 2) Satgas mediasi dan resolusi konflik, 3) Satgas pengembangan jejaring kerja, dan 4) Satgas monitoring dan evaluasi.

Selain masalah struktural, rendahnya kinerja Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB juga disebabkan oleh lemahnya modal sosial mereka. Modal sosial adalah (social capital) kekuatan yang dimiliki oleh suatu komunitas karena adanya saling percaya (mutual trust), jejaring (networking), komunikasi, hirarki kepemimpinan, dan norma tertentu. Selama ini, rasa saling percaya belum tumbuh di antara anggota, bahkan masih banyak pihak yang menganggap bahwa Cagar Biosfer GSKBB hanya merupakan urusan SMF karena dinilai sebagai pihak yang paling banyak mengambil keuntungan dengan adanya deklarasi cagar biosfer. Oleh karena itu, penguatan Badan Koordinasi ini perlu juga dilakukan melalui penguatan modal sosial dengan menumbuhkan saling percaya, membangun jejaring, mengembangkan sistem komunikasi dan koordinasi antara pemimpin dengan anggota komunitas dan antar anggota komunitas (Nurrochmat

et al. 2016). Dengan modal sosial yang kuat, Badan Koordinasi ini diharapkan dapat menjembatani terbangunnya visi bersama dari implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB.

4. Membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk meningkatkan intensitas pengelolaan di tingkat tapak

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61/2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP di Daerah, sebagian urusan pengelolaan hutan lindung (HL) dan hutan produksi (HP) diserahkan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban harus membentuk organisasi KPHL/KPHP sebagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Sesuai UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, wewenang urusan kehutanan yang sebelumnya diberikan kepada Pemerintah Kabupaten selanjutnya dialihkan kepada Pemerintah Provinsi. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Riau perlu segera membentuk Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) untuk perbaikan tata kelola hutan di tingkat tapak di Cagar Biosfer GSKBB. Menurut Kartodihardjo et al.

(2011), pembentukan KPH merupakan prasyarat terselenggaranya pengelolaan hutan berkelanjutan (Sustainable Forest Management) dan berkeadilan. Tugas pokok dan fungsi KPH adalah pada penyelenggaraan pengelolaan hutan di tingkat tapak, sedangkan tugas pokok dan fungsi Dinas Kehutanan adalah penyelenggaraan pengurusan/administrasi kehutanan (Suwarno 2014). Peran KPH akan menggeser titik tumpu peran birokrat kehutanan dari forest administrator

menjadi forest manager, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas tata kelola hutan (Kartodihardjo dan Suwarno 2014).

Pada periode tahun 2009-2020, Pemerintah mencanangkan akan membentuk sekitar 600 unit KPH di seluruh kawasan hutan negara. Sampai saat ini,

125 Pemerintah Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak belum membentuk KPH. Kawasan Hutan Produksi seluas 387.420 ha dan HPT seluas 8.873 ha yang berada di sekitar SM Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu perlu mendapat prioritas pembentukan KPH. Hal ini karena sebagian kawasan hutan tersebut (±45.000 ha) tidak dibebani ijin sehingga tidak tersedia unit pengelola di lapangan, sementara kapasitas Dinas Kehutanan untuk mengelola wilayah ini sangat terbatas. Kondisi ini menyebabkan sumber daya hutan tersebut cenderung open acces sehingga terancam oleh penebangan liar dan perambahan kawasan. Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH, ada empat tahap proses dalam pembentukan KPH, yaitu: usulan rancang bangun KPH oleh Dinas Kehutanan Provinsi, arahan pencadangan wilayah KPH oleh KLHK, usulan penetapan KPH dari Dinas Kehutanan Provinsi, dan Penetapan wilayah KPH oleh KLHK. Kawasan hutan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak tersebut dapat dijadikan 1 wilayah KPH karena merupakan satu kesatuan lansekap untuk mendukung pengelolaan lahan gambut dan implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB. 5. Memperjelas hak pengelolaan pada kawasan Hutan Produksi yang tidak

dibebani ijin pemanfaatan hasil hutan melalui skema IUPHHK-Restorasi Ekosistem di area inti dan IUPHHK-Hutan Tanaman Rakyat di zona penyangga.

Di dalam Cagar Biosfer GSKBB, terdapat kawasan Hutan Produksi yang tidak dibebani ijin pemanfaatan hasil hutan sehingga tidak ada unit manajemen yang mengelola di lapangan dan terancam oleh perambahan kawasan hutan. Kawasan yang dimaksud adalah areal eks HPH PT Dexter Timber Perkasa Indonesia seluas 31.475 ha di area inti cagar biosfer dan areal eks HPH PT Multi Eka Jaya di zona penyangga cagar biosfer. Sejak tahun 1999, kegiatan penebangan liar yang diikuti dengan perambahan kawasan terjadi di areal eks HPH PT Multi Eka Jaya sehingga kemudian sebagian wilayah ini berkembang menjadi permukiman permanen Desa Bukit Kerikil. Jika kondisi ini tidak dikendalikan, perambahan kawasan untuk perkebunan kelapa sawit ini dikhawatirkan akan terus meluas hingga memasuki areal eks HPH PT Dexter Timber Perkasa Indonesia. Agar tidak terjadi open acces pada kawasan Hutan Produksi yang tidak dibebani ijin pemanfaatan tersebut perlu diberikan hak pengelolaan yang jelas melalui skema IUPHHK-Restorasi Ekosistem di area inti dan IUPHHK-Hutan Tanaman Rakyat kepada badan hukum koperasi di zona penyangga.

Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan SK.159/Menhut-II/2004 yang merupakan produk kebijakan perdana terkait restorasi ekositem di hutan produksi, restorasi ekosistem perlu dilakukan karena degradasi sumber daya hutan yang terus meningkat sehingga perlu upaya pemulihan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi (IUPHHK-RE) adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan,

126

perlindungan, dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim, dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Karena tujuannya justru memulihkan kondisi ekosistem hutan, maka Restorasi Ekosistem merupakan salah satu kegiatan atau usaha yang dikecualikan di dalam Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Skema IUPHHK-RE dapat diberikan pada areal eks HPH PT Dexter Timber Perkasa Indonesia karena merupakan kawasan kubah gambut yang penting secara hidrologi dan perlu diperbaiki kualitasnya. Sistem pemanenan yang dilakukan sebelumnya menggunakan teknik semi mekanis, jalur pengangkutan kayu menggunakan rel sehingga kerusakan yang ditinggalkannya terbatas. Namun, sebagian areal yang berbatasan dengan areal eks HPH PT. Multi Eka Jaya mulai terancam oleh kegiatan illegal logging karena tidak ada pengelola di lapangan. Beberapa jenis yang dapat dipilih untuk restorasi hutan rawa gambut di sini adalah jelutung (Dyera lowii Hook f.), meranti bakau (Shorea spp.), ramin (Gonystilus bancanus Kurz.), nyatoh (Palaquium sp.), punak (Tetramerista glabra Miq.), pulai (Alstonia pneumatophora Back.), dan bintangur (Calophyllum soulatri

Burman f., Fl.).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial untuk menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat setempat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan dengan memberikan akses secara legal kepada mereka. Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 - 2019, KLHK mengalokasikan kawasan hutan seluas 12,7 juta ha untuk Perhutanan Sosial dalam bentuk: Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Kemitraan Kehutanan, serta pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Sesuai Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008, dan ditegaskan kembali di dalam Peraturan Menteri LHK No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, bahwa Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.

Sesuai Peraturan Menteri LHK No. 83 Tahun 2016, permohonan Ijin