• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah Pengelolaan Sumber Daya Cagar Biosfer GSKBB

CAGAR BIOSFER GIAM SIAK KECIL BUKIT BATU

7.1 Masalah Pengelolaan Sumber Daya Cagar Biosfer GSKBB

Masalah pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer di GSKBB diidentifikasi berdasarkan kesenjangan antara situasi saat ini dengan situasi harapan sesuai Sasaran (Goal) ke-2 Strategi Seville (UNESCO 1996a), yaitu memanfaatkan cagar biosfer sebagai model pengelolaan lahan dan pendekatan pembangunan berkelanjutan dan apa yang seharusnya dilaksanakan di setiap cagar biosfer menurut Madrid Action Plan (UNESCO 2008). Implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB mengalami kendala berupa ketiadaan aturan formal yang memadai karena aturan pada level konstitusi dan pilihan kolektif, yakni UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PP No. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam jo PP No. 108 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 28 Tahun 2011, hanya mengatur mekanisme pengusulan dan penetapan cagar biosfer. Sementara itu, aturan operasional yang mengikat dan menjelaskan bagaimana cara mengimplementasikan konsep cagar biosfer di lapangan belum tersedia, sehingga pengelolaan cagar biosfer selama ini masih fokus pada penyelenggaraan kawasan suaka margasatwa, sebagai area inti cagar biosfer, karena telah memiliki kelembagaan yang lebih mapan. Proposed Management Plan GSKBB Biosphere Reserve, 2009-2013 yang disusun sebagai kelengkapan usulan ke UNESCO juga tidak dipahami oleh semua stakeholders.

Untuk mewujudkan cagar biosfer sebagai model pengelolaan lahan dan pendekatan pembangunan berkelanjutan perlu keselarasan dan interaksi antar zona di cagar biosfer (UNESCO 1996a). Zonasi yang dikembangkan di Cagar Biosfer GSKBB telah mengikuti arahan Strategi Seville, meliputi area inti, zona penyangga, dan area transisi. Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB yang dipimpin oleh Gubernur Riau belum bekerja optimal dalam menyelenggarakan koordinasi dan komunikasi antar stakeholders untuk mengimplementasikan konsep cagar biosfer. Hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan dan pendanaan yang masih terbatas, serta lemahnya peran sekretariat Badan Koordinasi. Selain itu, struktur organisasi ini didominasi oleh aparatur pemerintah daerah, yang mana keterlibatannya dalam lembaga ini hanya sebagai tugas tambahan, sehingga tidak fokus pada pencapaian fungsi cagar biosfer. Pembagian bidang di dalam struktur organisasi Badan Koordinasi ini hanya mengakomodir tugas pokok dan fungsi masing-masing stakeholder

sebagaimana adanya, dan kurang mendukung pelaksanaan tiga fungsi Badan Koordinasi. Di sisi lain, perwakilan masyarakat di dalam Badan Koordinasi belum

110

ada, padahal perilaku dan kegiatan mereka sangat menentukan pencapaian pembangunan berkelanjutan di zona penyangga dan area transisi. Akibatnya, program dan kegiatan yang dilaksanakan pada masing-masing zona oleh pemerintah daerah dan stakeholders lainnya masih bersifat bussines as usual dan belum terkoordinir dalam rangka implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB sebagai situs bagi promosi konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan.

Sumber daya lahan Cagar Biosfer GSKBB, khususnya di area inti dan sebagian besar zona penyangga merupakan CPRs karena mempunyai sifat

excludability rendah dan subtractability tinggi sehingga sulit mengatasi hadirnya penunggang bebas (free riders), yakni para petani pendatang dan individu yang mempunyai modal identitas sosial kuat yang merambah kawasan. Konflik terbuka antara petani pendatang dengan BBKSDA Riau dan para pemegang konsesi kehutanan sering terjadi. Akibatnya, luas tutupan hutan pada periode 2009 – 2014 di area inti dan zona penyangga menurun, sementara luas lahan perkebunan pada periode yang sama meningkat. Fenomena ini terjadi karena rendahnya intensitas pengelolaan dan tidak jelasnya hak kepemilikan –dalam pengertian bundle of rights- atas lahan tersebut. Berbeda halnya dengan situasi pemanfaatan sumber daya perairan di Cagar Biosfer GSKBB yang berkelanjutan karena nelayan mempunyai kelembagaan (aturan) lokal, tetapi kelembagaan ini belum selaras dengan aturan pengelolaan suaka margasatwa. Hal ini karena PP No. 28 Tahun 2011 tidak mengatur adanya Blok Pemanfaatan Tradisional di dalam kawasan suaka margasatwa.

Komite Nasional MAB Indonesia telah aktif menjalin kolaborasi dengan SMF, BBKSDA Riau, dan pemerintah daerah pada tahap pengusulan Cagar Biosfer GSKBB ke UNESCO, namun tingkat kerja sama ini menurun pada tahap implementasi. Interaksi antara Komite Nasional MAB Indonesia dengan pemerintah daerah masih berada pada tingkat koordinasi, sedangkan interaksi dengan BBKSDA Riau masih sebatas komunikasi. Saat ini, partisipasi

stakeholders dalam implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB masih rendah, inisiatif masih terbatas pada Komite Nasional MAB Indonesia, pengelola kawasan hutan, dan pemerintah daerah, dan masih bersifat bussines as usual. Tingkat partisipasi dalam implementasi konsep Cagar Biosfer GKSBB termasuk dalam kategori tokenism.

Dengan metode klasifikasi (Dunn 2003), sebagaimana situasinya masing- masing digambarkan di atas, dapat dirumuskan lima masalah pengelolaan sumber daya yang menghambat implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB, yaitu: 1) aturan formal tentang pengelolaan cagar biosfer kurang memadai, 2) koordinasi dan komunikasi antar stakeholders masih lemah, 3) tekanan perambahan area inti dan zona penyangga semakin tinggi karena rendahnya intensitas pengelolaan dan tidak jelasnya hak kepemilikan atas lahan tersebut, 4) pemanfaatan sumber daya perairan belum selaras dengan aturan pengelolaan suaka margasatwa, dan 5) partisipasi stakeholders masih rendah. Lima masalah tersebut muncul karena belum adanya visi bersama di antara stakeholders terhadap cagar biosfer.

Situasi di atas menunjukkan bahwa konsep Cagar Biosfer GSKBB belum diimplementasikan sesuai yang diharapkan karena Sasaran ke-2 Strategi Seville, yaitu memanfaatkan cagar biosfer sebagai model pengelolaan lahan dan pendekatan pembangunan berkelanjutan, belum tercapai. Untuk meningkatkan

111 kinerja pengelolaan sumber daya cagar biosfer perlu kebijakan tertentu dengan mempertimbangkan kondisi faktor internal dan eksternal Cagar Biosfer GSKBB. Bagian ini akan memaparkan hasil sintesis faktor-faktor internal dan eksternal dalam implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB berdasarkan fakta-fakta yang disampaikan pada bab-bab sebelumnya dan merumuskan kebijakan pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB ke depan.

7.2 Faktor Internal Pengelolaan Sumber Daya Cagar Biosfer GSKBB