• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bidang III Pengembangan Area Transis

WAKIL KETUA BADAN KOORDINASI:

3.3.4 Relasi Kekuasaan Antar Aktor dalam Pemanfaatan Lahan Cagar Biosfer GSKBB

3.3.4.3 Masyarakat Petan

Sebagian besar mata pencaharian penduduk di Cagar Biosfer GSKBB adalah petani. Jumlah penduduk di kawasan Cagar Biosfer GSKBB pada tahun 2014 sebanyak 327.115 jiwa (Tabel 3.7) yang trsebar di 11 kecamatan dan 93 desa/kelurahan. Ada 9 desa yang berada di area inti cagar biosfer, terdiri atas 4 desa di Kecamatan Pinggir, yaitu: Tasik Serai, Tasik Serai Barat, Tasik Serai Timur, dan Tasik Tebing Serai, 3 desa di Kecamatan Bukit Batu, yaitu: Temiang, Sukajadi, dan Bukit Kerikil, 1 desa di Kecamatan Sungai Mandau, yaitu Desa Tasik Betung, dan 1 desa di Kecamatan Siak, yaitu Buantan Besar (Lampiran 3)..

Pertumbuhan penduduk di Cagar Biosfer GSKBB tergolong tinggi karena migrasi masuk, laju tertinggi di Kecamatan Sungai Mandau (7,33%) dan Kecamatan Pinggir (5,35%). Migrasi masuk mulai meningkat pada tahun 1998, pasca reformasi pemerintahan Indonesia, dan mencapai puncaknya pada tahun 2003-2004 (Hadi et al. 2007). Sebagian besar warga pendatang berasal dari daerah-daerah pengembangan transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara dan beberapa kabupaten di Riau. Sebagian besar dari mereka mempunyai latar belakang suku Jawa, Batak, dan Mandailing (Batak Muslim). Orang Jawa yang berpindah ke wilayah ini termasuk generasi ke 2 dan ke 3 dari keluarga yang ikut dalam program colonisatie oleh Belanda dan transmigrasi oleh Pemerintah RI.

Alasan yang mendorong mereka untuk berpindah dari Sumatera Utara adalah karena faktor ekonomi, antara lain: sempitnya lahan pertanian yang tersedia di daerah asal, adanya pengangguran di bidang perkebunan kelapa sawit di daerah transmigrasi setempat, dan keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan dengan cara membuka perkebunan kelapa sawit rakyat/pribadi. Alasan yang menarik mereka untuk masuk ke wilayah ini adalah karena harga lahan yang murah, hanya dibebani biaya pancang sebesar Rp. 500.000 - 1.000.000 per 2 ha lahan berhutan pada tahun 1998-2000. Selain itu, Orang Melayu sebagai penduduk asli pada umumnya menerima dengan baik kedatangan imigran untuk meningkatkan perkembangan ekonomi di desa dengan adanya usaha pertanian dan perkebunan kelapa sawit yang mereka miliki.

50

Tabel 3.7 Jumlah desa, penduduk dan posisinya di dalam zonasi Cagar Biosfer GSKBB tahun 2014 No Kecamatan Jumlah Desa Jumlah Penduduk Pertumbuhan (%)

Posisi Desa Dalam Zonasi Cagar Biosfer GSKBB A. Kab. Bengkalis

1 Bukit Batu 17 37.659 2,64 2 di area inti dan transisi, 1 di area inti dan penyangga, 8 di zona penyangga dan area transisi, 6 di area transisi

2 Mandau 6 104.125 2,56 2 di zona penyangga dan area transisi, 4 di area transisi 3 Pinggir 12 67.356 5,35 4 di area inti dan zona

penyangga, 3 di zona penyangga, 5 di area transisi

4 Siak Kecil 17 23.677 1,46 17 di area transisi

B. Kab. Siak

1 Sungai Mandau 8 6.031 7,33 1 di area inti dan zona

penyangga, 2 di zona penyangga, 1 di zona penyangga dan area transisi, 4 di area transisi 2 Koto Gasib 3 5.462 0,02 3 di area transisi

3 Siak 8 24.472 3,26 1 di area inti, zona penyangga, dan area transisi, 1 di zona penyangga, 6 di area transisi 4 Bunga Raya 10 23.465 0,31 1 di zona penyangga dan area

transisi, 9 di area transisi 5 Sabak Auh 8 11.227 0,96 8 di area transisi

C. Kota Dumai

1 Medang Kampai

2 7.327 1,94 2 di area transisi

2 Bukit Kapur 2 16.314 1,85 2 di zona penyangga dan area transisi

Jumlah 93 327.115

Sumber: Diolah dari Kecamatan-kecamatan terkait Dalam Angka 2015

Berdasarkan luas lahan yang dimiliki, masyarakat petani di Cagar Biosfer GSKBB dapat dibedakan ke dalam 4 kategori: petani kecil, petani menengah, petani besar, dan buruh tani. Petani kecil rata-rata memiliki lahan seluas < 4 ha, mereka menggarap atau bekerja di atas lahannya sendiri. Petani menengah memiliki lahan seluas 4-10 ha, dan petani besar memiliki lahan > 10 ha Petani menengah dan petani besar biasanya mempekerjakan buruh tani untuk menggarap kebunnya. Buruh tani yang bekerja untuk mengambil upah dari petani menengah dan petani besar biasanya adalah warga pendatang yang belum mampu memiliki lahan kebun sendiri, atau kebun yang dimilikinya belum menghasilkan. Sebagian dari petani menengah dan petani besar berdomisili di kota, antara lain: Siak, Bengkalis, Duri, Dumai, Pekanbaru, dan beberapa kota di luar Provinsi Riau. Mereka biasanya mempunyai profesi lain, antara lain: karyawan swasta, pengusaha, anggota dewan/legislatif, Aparat Sipil Negara, tentara, dan polisi.

51 Ada beberapa cara yang ditempuh petani dalam memperoleh lahan. Bagi masyarakat tempatan, sebagian besar lahan yang diusahakan diperoleh dengan cara membuka hutan dan warisan, sedangkan masyarakat pendatang memperoleh lahan melalui mekanisme jual-beli dan belah pinang. Jual beli dilakukan secara langsung dengan masyarakat setempat atau melalui kepala desa.

Cara belah pinang dilakukan melalui bekerja sama dengan pemilik lahan sebelumnya yang sebagian besar adalah Orang Melayu tempatan. Lahan yang menjadi objek kerja sama biasanya merupakan semak belukar tua bekas perladangan yang sudah diberakan beberapa tahun. Dengan keahlian berkebun dan kemampuan finansial yang terbatas, masyarakat pendatang tersebut menggarap lahan, dimulai dari membersihkan lahan, menyediakan bibit, menanam, dan merawat tanaman sampai umur tertentu yang disepakati kedua belah pihak. Lahan kebun yang telah berhasil tersebut selanjutnya dibagi (dibelah) menjadi dua bagian, masing-masing untuk pemilik lahan semula dan warga pendatang yang mengolah lahan, atau dengan komposisi tertentu sesuai kesepakatan di awal.

Bagi Orang Melayu tempatan, cara belah pinang merupakan strategi untuk memiliki kebun kelapa sawit yang sudah siap menghasilkan/panen ketika mereka tidak mempunyai modal yang cukup, baik secara finansial maupun keahlian berkebun kelapa sawit. Bagi Orang Melayu tempatan, kelapa sawit merupakan komoditas baru karena sebelumnya mereka terbiasa dengan budidaya tanaman karet, sehingga teknik budidaya kelapa sawit belum mereka kuasai. Selain itu, strategi belah pinang juga dapat mempertahankan kepemilikan lahan masyarakat tempatan, dibandingkan dengan cara jual-beli yang banyak melenakan mereka hingga tidak lagi memiliki lahan.