• Tidak ada hasil yang ditemukan

Is It Okay to Cry at Work?

Dalam dokumen PERILAKU ORGANISASI (Halaman 101-105)

As this chapter has shown, emotions are an inevitable part of people’s behavior at work.

At the same time, it’s not entirely clear that we’ve reached a point where people feel comfortable expressing all emotions at work. The reason might be that business culture and etiquette remain poorly suited to handling overt emotional displays. The question is, can organizations become more intelligent about emotional management? Is it ever appropriate to yell, laugh, or cry at work? Some people are skeptical about the virtues of more emotional displays at the workplace. As the chapter notes, emotions are automatic physiological responses to the environment, and as such, they can be difficult to control appropriately.One 22-year-old customer service represen-tative named Laura who was the subject of a case study noted that fear and anger were routinely used as methods to control employees, and employees deeply resented this use of emotions to manipulate them. In another case, the chairman of a major television network made a practice of screaming at employees whenever anything went wrong, leading to badly hurt feelings and a lack of loyalty to the organization. Like Laura, workers at this organization were hesitant to show their true reactions to these emotional outbursts for fear of being branded as “weak” or “ineffectual.” It might seem like these individuals worked in heavily emotional workplaces, but in fact, only a narrow range of emotions was deemed acceptable. Anger appears to be more acceptable than sadness in many organizations, and anger can have serious maladaptive consequences.

Others believe organizations that recognize and work with emotions effectively are more creative, satisfying, and productive. For example, Laura noted that if she could express herhurt feelings without fear, she would be much more satisfied with her work. In other words, the problem with Laura’s organization is not that emotions are displayed, but that emotional displays are handled poorly. Others note that use of emotional knowledge, like being able to read and understand the reactions of others, is crucial for workers anging from salespeople and customer service agents all the way to managers and executives. One survey even found that 88 percent of workers feel being sensitive to the emotions of others is an asset. Management consultant Erika Anderson notes, “Crying at work is transformative and can open the door to change.” The question then is, can organizations take specific steps to become better at allowing emotional displays ithout opening a Pandora’s Box of outbursts?

90 Langkah Menyusun Siklus Akuntansi (Accounting Cycle)—Untuk Perusahaan Dagang

Questions

1) hat factors do you think make some organizations ineffective at managing emotions?

2) Do you think the strategic use and display of emotions serve to protect employees, or does covering your true emotions at work lead to more problems than it solves?

3) Have you ever worked where emotions were used as part of a management style?

Describe the advantages and disadvantages of this approach in your experience.

4) Research shows that acts of co-workers (37 percent) and management (22 percent) cause more negative emotions for employees than do acts of customers (7 percent).

What can Laura’s company do to change its emotional climate?

BAB 5 Kepribadian dan Nilai

K epribadian dan Nilai

Personality (kepribadian) adalah keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa diukur yang ditunjukkan oleh seseorang.

Kepribadian membentuk prilaku setiap individu. Jadi apabila ingin

memahami dengan lebih baik perilaku seseorang dalam suatu organisasi, sangatlah berguna jika kita mengetahui sesuatu tentang kepribadiannya. Pengertian kepribadian para psikolog cenderung mengartikan kepribadian sebagai suatu konsep dinamis yang mendiskripsikan pertumbuhan dan perkembangan seluruh sistem psikologis seseorang.

Definisi kepribadian yang paling sering digunakan di buat oleh Gordon Allort. Ia mengatakan bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam sistem psikofisiologis individu yang menetukan caranya untuk menyesuaikan diri secara unik terhadap lingkungannya. Istilah personality berasal dari kata latin “persona” yang berarti topeng atau kedok, yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain panggung, yang

92 Perilaku Organisasi—Konsep dan Implementasi

maksudnya untuk menggambarkan perilaku, watak, atau pribadi seseorang. Bagi bangsa Roma, “persona” berarti bagaimana seseorang tampak pada orang lain.

Menurut Agus Sujanto dkk (2004), menyatakan bahwa kepribadian adalah suatu totalitas psikofisis yang kompleks dari individu, sehingga nampak dalam tingkah lakunya yang unik.

Sedangkan personality menurut Kartini Kartono dan Dali Gulo dalam Sjarkawim (2006) adalah sifat dan tingkah laku khas seseorang yang membedakannya dengan orang lain; integrasi karakteristik dari struktur-struktur, pola tingkah laku, minat, pendiriran, kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang; segala sesuatu mengenai diri seseorang sebagaimana diketahui oleh orang lain.

Allport juga mendefinisikan personality sebagai susunan sistem-sistem psikofisik yang dinamis dalam diri individu, yang menentukan penyesuaian yang unik terhadap lingkungan. Sistem psikofisik yang dimaksud Allport meliputi kebiasaan, sikap, nilai, keyakinan, keadaan emosional, perasaan dan motif yang bersifat psikologis tetapi mempunyai dasar fisik dalam kelenjar, saraf, dan keadaan fisik anak secara umum. Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepribadian merupakan suatu susunan sistem psikofisik (psikis dan fisik yang berpadu dan saling berinteraksi dalam mengarahkan tingkah laku) yang kompleks dan dinamis dalam diri seorang individu, yang menentukan penyesuaian diri individu tersebut terhadap lingkungannya, sehingga akan tampak dalam tingkah lakunya yang unik dan berbeda dengan orang lain.

Sigmund Freud memandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga sistem yaitu Id, Ego dan Superego. Dan tingkah laku, menurut Freud, tidak lain merupakan hasil dari konflik dan rekonsiliasi ketiga sistem kerpibadian tersebut.

Dari sebagian besar teori kepribadian diatas, dapat kita ambil kesamaan (E.

Koswara):

1) sebagian besar batasan melukiskan kerpibadian sebagai suatu struktur atau organisasi hipotesis, dan tingkah laku dilihat sebagai sesuatu yang diorganisasi dan diintegrasikan oleh kepribadian. Atau dengan kata lain kepribadian dipandang sebagai “organisasi” yang menjadi penentu atau pengarah tingkah laku kita.

2) sebagian besar batasan menekankan perlunya memahami arti perbedaan-perbedaan individual. Dengan istilah “kepribadian”, keunikan dari setiap individu ternyatakan. Dan melalui study tentang kepribadian, sifat-sifat atau kumpulan sifat individu yang membedakannya dengan individu lain diharapkan dapat menjadi jelas atau dapat dipahami. Para teoris kepribadian memandang kepribadian sebagai sesuatu yang unik dan atau khas pada diri setiap orang.

3) sebagian besar batasan menekankan pentingnya melihat kepribadian dari sudut

“sejarah hidup”, perkembangan, dan perspektif. Kepribadian, menurut teoris kepribadian, merepresentasikan proses keterlibatan subyek atau individu atas

Bab 5—Kepribadian dan Nilai 93

pengaruh-pengaruh internal dan eksternal yang mencakup faktor-faktor genetic atau biologis, pengalaman-pengalaman social, dan perubahan lingkungan. Atau dengan kata lain, corak dan keunikan kepribadian individu itu dipengaruhi oleh faktor-faktor bawaan dan lingkungan.

Dalam dokumen PERILAKU ORGANISASI (Halaman 101-105)