• Tidak ada hasil yang ditemukan

John F.Bobby Saragih

Dalam dokumen KEGIATAN EKONOMI DAN KUALITAS PEMUKIMAN (Halaman 66-68)

Staf Pengajar Jurusan Arsitektur – Binus University

[email protected]

Abstrak

Bermain merupakan sesuatu hal yang penting bagi perkembangan anak. Mengingat sedemikian pentingnya bermain, Pemerintah telah mengakomodir kepentingan ini dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Namun kenyataan yang ada banyak anak yang tidak dapat melakukan kegiatan bermain ini sebagaimana mestinya. Bahkan tempat bermain yang sudah disediakan cenderung tidak dapat berfungsi secara maksimal, bahkan ada kecenderungan ditinggalkan oleh anak-anak. Penelitian ini memberikan gambaran tentang tiga faktor yang berpengaruh pada anak pada saat menentukan pilihan tempat bermain. Dengan mengetahui ketiga faktor berpengaruh tersebut, maka hal tersebut dapat digunakan sebagai dasar bagi perencana untuk mengembangkan tempat bermain anak ( khususnya anak usia 6 – 13 tahun ) di lingkungan perumahan formal. Sehingga diharapkan tempat bermain anak tersebut tidak menjadi tempat yang mubajir.

PENDAHULUAN

Bermain merupakan salah satu aktivitas tertua yang pernah ada di dunia ini, diyakini bahwa sejak manusia diciptakan maka bermain sudah menjadi bagian dari hidup manusia. Bermain tidak hanya milik anak-anak tetapi juga milik manusia dewasa. Sedemikian menariknya bermain ini sehingga seorang sejarawan Belanda Johan Huizinga (1872 - 1945) telah memperkenalkan konsep Homo Luden ( manusia bermain ). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Stuart Brown ( dalam Marc Gobe, 2001), dalam artikel National Geographic, mengatakan bahwa bermain merupakan sesuatu yang penting, seperti halnya tidur dan bermimpi, tidak hanya bagi manusia tetapi bagi sebagian binatang. Sebuah studi terhadap 26 orang pembunuh membuktikan bahwa 90% diantara mereka tidak melewati fase bermain yang sewajarnya dalam kehidupan masa anak-anaknya.

Bermain penting bagi lengkapnya perkembangan jiwa anak dan bermain merupakan urusan utama dalam kehidupan anak. Sebagai manusia yang berkembang, maka setiap tahapan kehidupan manusia mempunyai tugas perkembangan yang berbeda, pada anak salah satu tugas perkembangannya adalah bermain, “ For Child, play must be the whole of his or her life, Children learn, make friends and nurture their creativity through play “ (Patricia H. Miller, 1989 ). Sedemikian pentingnya bermain pada anak sehingga kebutuhan akan bermain dimasukan dalam Kovensi PBB No.

44/25 tentang Hak Anak Tanggal 20 November 1989 yang menetapkan beberapa hal penting, salah satu diantaranya adalah : Hak-hak untuk beristirahat dan

bermain dan mempunyai kesempatan yang sama atas kegiatan-kegiatan budaya dan seni.

Untuk memenuhi tugas perkembangan tersebut, maka diperlukan ruang yang kondusif yang dapat memenuhi sebagian besar dari kebutuhan bermain anak. Erik H. Erikson ( 1989) dalam bukunya

Identity and The Life Cycle, menjelaskan bahwa dalam melakukan tugas perkembangannya, maka anak membutuhkan beberapa tempat yang penting, salah satu diantaranya adalah ruang untuk bermain. Kebutuhan ruang bermain tersebut sebenarnya sudah dipenuhi oleh Pemerintah setempat yang telah mengeluarkan standar atau peraturan tata kota yang mengatur tentang dimensi, jarak dan lokasi tertentu. Walaupun demikian, dalam kenyataan yang ada maka tidak semua wilayah kota, khususnya kota-kota di Indonesia, yang mempunyai ruang-ruang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bermain anak- anak. Gejala minimnya ruang bermain semakin diperparah dengan adanya upaya perubahan fungsi lahan, yang awalnya ruang terbuka berubah menjadi ruang terbangun. Berdasarkan data PBB, hingga tahun 2005 saja , diperkirakan separuh dari anak- anak yang bermukim di kota, semakin hari semakin kehilangan tempat bermainnya. Kenyataan tersebut juga terjadi di Jakarta, terlihat dari banyaknya anak- anak yang bermain di tempat- tempat yang tidak layak dipakai sebagai tempat bermain. Hamid P

( 2004 : vi ), seorang pemerhati dan peneliti hak anak, menyimpulkan dari penelitiannya tentang Persepsi Anak Terhadap Kota, bahwa sebagian besar anak di kota melakukan aktivitas bermain pada tempat-tempat yang tidak resmi ( misalnya : jalanan, bantaran kali, taman-taman kota ).

Sementara itu di sisi lain, pada lokasi-lokasi kompleks perumahan yang telah memiliki ruang bermain ternyata sebagian besar anak telah meninggalkan ruang terbuka tersebut sebagai tempat bermainnya. Gejala tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, Seymour Gold, seorang peneliti bidang bermain dan rekreasi ( dalam Joyce Laurens, 2005) mengungkap hasil penelitiannya mengenai tendensi rekreasi dalam tingkat perumahan yang ada di California menemukan bahwa banyak tempat bermain dalam kompleks perumahan yang tidak terpakai. Ada beberapa faktor, salah satu faktor diantaranya sebagaimana diungkapkan oleh Clare Cooper ( dalam Joyce Laurens, 2005 ) mengatakan bahwa banyak anak justru menyukai saat-saat bermain dalam periode yang pendek, seperti diantara pulang sekolah dan waktu makan, atau beberapa saat sebelum makan malam, mereka bermain di lapangan kosong di sekitar rumah, di depan rumah atau di trotoar muka rumah, anak –anak tentu tidak bodoh untuk pergi jauh ke tempat bermain hanya untuk bermain sejenak.

Gejala anak tidak lagi tertarik menggunakan ruang bermain yang telah disedikan juga dibuktikan oleh Nani Zara (2002) yang mengadakan penelitian pada dua Perumahan formal yaitu Perumnas II Depok dan Perumnas Indraprasta II Bogor. Dengan menggunakan metode kuantitatif yang menjaring 27 responden, penelitian tersebut mengungkapkan bahwa 50 % responden merasa kurang puas terhadap fasilitas bermain. Sementara itu di Perumnas II Depok ditemukan juga fakta bahwa sebagian besar ( 56 % ) anak sudah tidak menggunakan ruang terbuka yang di fungsikan sebagai tempat bermain untuk aktivitas bermain mereka, mereka lebih menyenangi bermain di jalanan depan rumah atau di halaman rumahnya. Demikian juga halnya dengan anak yang bermukim di Perumnas Indraprasta II Bogor, sekitar 60 % anak lebih senang bermain di ruang terbuka yang bukan di fungsikan sebagai taman bermain ( jalanan ).

Ternyata fenomena tersebut di atas juga ditemukan di RW 08 Kelurahan Cibodas Baru Perumnas Tangerang, penelitian dari John F.B. Saragih ( 2005 ) menemukan bahwa sebagian anak ada yang menggunakan ruang terbuka yang di fungsikan sebagai taman bermain dan olah raga untuk tempat bermain mereka namun sebagian anak lain ada yang tidak menggunakan ruang tersebut sebagai tempat

bermain. Beralihnya tempat bermain anak dari ruang terbuka dengan fungsi taman bermain dan tempat olah raga tersebut ke ruang terbuka dengan fungsi jalur kendaraan tentunya menjadi masalah bagi lingkungan, bagaimanapun jalur kendaraan ( jalanan ) bukan tempat yang aman dan layak untuk

bermain.

Gambar 1 : Anak Bermain di Jalanan, Lokasi Perumnas III - Tangerang

Mengapa anak-anak lebih menyenangi ruang bermain yang tidak direncanakan ( misalnya : jalanan, kompleks pemakaman, drainase kota, dll ) sebagai tempat bermainnya ? merupakan hal yang menarik untuk diketahui. Penelitian ini akan menggali pengetahuan tentang perilaku bermain anak, khususnya anak usia 6 – 12 tahun yang tinggal di wilayah perkotaan. Perilaku dilihat dari bentuk permainan, waktu bermain dan lokasi bermain.

Dalam kaitannya dengan perancangan kota, pengetahuan ini sangatlah dibutuhkan, pengetahuan akan perilaku bermain akan menolong perencana kota untuk dapat mengembangkan ruang bermain yang sesuai dengan perilaku bermain anak. Mengapa hal ini penting, mengingat kehidupan anak saat ini dibayangi oleh permainan-permainan modern yang tidak lagi mementingkan aspek-aspek social pada anak. mereka cenderung bermain di dalam rumah mereka. TV, Video dan Komputer game merupakan permainan yang saat ini mereka gemari dan telah menggantikan permainan berkelompok lainnya. Merina Burhan, seorang ahli perancangan kota (1999) mengatakan bahwa akibat dari berubahnya lingkungan bermain anak di daerah perkotaan, anak cenderung menjadi lebih egois dan individualistis Pilihan anak untuk bermain di tempat-tempat tersebut, sebenarnya merupakan pilihan terakhir, karena Pemerintah kota tidak menyediakan tempat bermain yang layak bagi mereka. Ruang Terbuka (

Open Space ) yang merupakan bagian dari sistem tata ruang perkotaan, seharusnya mendapat perhatian khusus dari Pemerintah, bahkan pembangunannya selayaknya menjadi prioritas utama, bukan hanya mendapat sisanya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang perencana kota, Hamid Shirvani (1985 :31) dalam bukunya Urban Design Process, ruang terbuka merupakan unsur penting yang perlu direncanakan dengan baik dan dapat diintegrasikan ke dalam perancangan kota, sehingga ruang terbuka yang ada bukanlah ruang sisa dari sebuah desain.

MASALAH

Sebagian masyarakat berpikir bahwa tempat bermain harus dirancang sesuai dengan standard yang ada dengan menekankan aspek visual dan rancangan elemen fisik yang sangat intens, kolam bermain, tugu yang mahal, bunga-bunga yang cantik, padahal banyak kasus tempat yang terlalu bagus ini malah tidak berhasil menjadi ruang publik. Anak-anak di taman tugu pahlawan Surabaya menjadikan kolam yang mengitari museumnya sebagai tempat mandi dan bermain. Kaki tugu yang besar dan melengkung malah dijadikan perosotan. ( Salmina W. Ginting dan Nurlisa Ginting, 2002).

Memperhatikan hasil penelitian di atas, beberapa faktor dimungkinkan menjadi penyebab anak meninggalkan tempat bermain yang sudah disediakan. Oleh sebab itu penelitan ini penting untuk mengetahui hal-hal apa yang dibutuhkan oleh anak dan orang tua dalam upaya memenuhi kegiatan bermain anak pada tempat bermain. Sehingga fasilitas yang disediakan tidak menjadi sesuatu hal yang mubajir dan beralih fungsi.

KAJIAN PUSTAKA

Dalam dokumen KEGIATAN EKONOMI DAN KUALITAS PEMUKIMAN (Halaman 66-68)