Fadly Usman1, Surjono2, Septiana H2, Eddi Basuki K2 dan Ratih 1
Dosen Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya 2
Dosen Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya. [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Kota Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia telah melakukan perkembangan kota yang cukup pesat dan cepat. Namun, perkembangan kota yang pesat dan cepat ini membawa dampak memburuknya kondisi fisik Kota Surabaya. Banjir, infrastruktur yang kurang memadai, permasalahan persampahan dan masih banyak masalah klasik kota lainnya. Sebagai perencana yang melihat kondisi tersebut, memunculkan pertannyaan : apa yang harus kita lakukan atau apa yang telah kami lakukan, karena jumlah lahan atau wilayah perkotaan sangat terbatas, tidak mungkin bertambah.
Kawasan Segiempat Tunjungan dan daerah pusat kota lainnya di Kota Surabaya telah mengalami kondisi yang stagnan dimana dipenuhi oleh padat bangunan dan padat penduduk. Selain jalan sebagai aksesibilitas dari dan untuk pergi ke daerah permukiman, hampir seluruh permukaan tanah tertutup oleh bangunan atau berupa lahan terbangun. Jika dalam perencanaan pembangunan perumahan di Kota Surabaya selalu menjaga konsep rumah horizontal, maka untuk generasi mendatang, Kota Surabaya tidak akan lagi memiliki ruang terbuka yang tersedia untuk daerah pertanian dan ruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota. Semua tentang bagaimana mengatasi tingkat kepadatan tinggi di kawasan permukiman yang terbatas di pusat Kota Surabaya.
Penelitian ini memberikan beberapa gambaran kepada masyarakat yang tinggal dan hidup di tengah Kota Surabaya yang belum dapat menerima konsep bangunan vertikal untuk perumahan mereka. Namun, untuk menciptakan kota modern ditengah permasalahan kota yang kompleks seperti Kota Surabaya, budaya dan pendekatan sosial akan memilih untuk memberikan beberapa ide kepada masyarakat, tentang konsep high rise building.
Kata kunci: bangunan horizontal, high rise building, Segiempat Tunjungan Kota Surabaya.
PENDAHULUAN
Surabaya merupakan Kota Metropolitan yang berkemang sangat pesat dan cepat. Namun, perkembangan Kota Surabaya ini menyebabkan kondisi fisik beberapa tempat di Kota Surabaya menjadi buruk, seperti Banjir, infrastruktur yang kurang memadai, kemacetan lalu lintas, permasalahan persampahan dan banyak masalah klasik kota lainnya yang bermunculan. Kondisi permukiman saat ini berupa lahan terbangun yang sudah mencapai hampir 100%, tidak ada ruang terbuka, letak sarana penunjang yang jauh dari kawasan permukiman, prasarana permukiman yang kurang baik, dan kondisi buruk lainnya. Walaupun letaknya di pusat kota, adanya permasalahan- permasalahan tersebut menyebabkan biaya hidup masyarakat menjadi tinggi. Bukan hanya tentang biaya tinggi untuk transportasi, tapi semua terjadi karena buruknya struktur kota.
Menurut Zainuri (2003), kawasan segiempat Tunjungan merupakan salah satu kawasan pemukiman tertua di kawasan pusat di Surabaya. Kondisi kawasan tersebut merupakan salah satu contoh kondisi stagnan dalam pengembangan pembangunan dan pertumbuhan penduduk di Surabaya. Hampir semua rumah hunian di kawasan segiempat Tunjungan dihuni lebih dari satu keluarga di dalamnya. Ini adalah potret daerah pemukiman tua di pusat kota Surabaya yang memiliki kesan kumuh tetapi bukan daerah yang kotor dan tidak nyaman, dimana beberapa fasilitas perkotaan seperti taman, area olahraga, pusat kesehatan, sekolah, dan fasilitas umum lainnya yang tidak tersedia disana. Jadi untuk memberikan penghidupan yang ideal bagi masyarakatnya, perumahan dan permukiman harus berisi semua fasilitas umum dan hal itu dapat diperoleh apabila kawasan segiempat Tunjungan menerapkan konsep bangunan bertingkat untuk pembangunan kota.
Diawali dengan penelitian kualitatif pada Kawasan Segiempat Tunjungan yang telah dilakukan sebelumnya, diketahui bahwa kondisi permukiman di Kawasan Segiempat Tunjungan pada saat ini ada pada tingkat kumuh sedang dengan banyaknya permasalahan internal kawasan tersebut. Dengan adanya proyeksi pertambahan jumlah penduduk yang cukup signifikan dalam kurun waktu 10 tahun kedepan, maka memungkinkan kondisi kumuh sedang akan menjadi kumuh berat, apabila tidak ada langkah perbaikan dalam penataan permukiman di Kawasan Segiempat Tunjungan.
Penelitian ini memang mengusung pendekatan yang sedikit ekstrim dan diluar kebiasaan yaitu dengan mengangkat kebijakan radikal dan komprehensif untuk kawasan segi empat Tunjungan berupa konsep permukiman berlantai banyak. Penelitian ini diharapkan akan menjadi pola rancang baru dalam penggunaan lahan tengah kota di Surabaya khususnya bagi permukiman padat penduduk, minim kawasan hijau dan lahan ‘potensial’ lainnya di pusat kota Surabaya.
KAJIAN PENGEMBANGAN KAWSAN SEGIEMPAT TUNJUNGAN
Sejak pertama kali istilah “penataan kota” digunakan dalam penelitian-penelitian perkotaan, maka hal ini menunjukkan bahwa telah dimulai era penelitian dengan menggunakan pendekatan yang berbasis kepada penggunaan tools berupa parameter- parameter kota yang baik, menyenangkan (comfort)
dan berkelanjutan. (Jayadinata, 1999)
Dalam penelitian ini sengaja dipilih kawasan hunian padat penduduk di tengah kota Surabaya dengan kasus segiempat Tunjungan. Hal ini mengingat bahwa kota sudah sepatutnya memiliki kawasan yang aman, nyaman, dengan kemudahan sarana dan prasarana pendukung kawasan permukiman kota bagi masyarakatnya. Tidak hanya tentang fasilitas umum seperti sekolah dan pusat layanan kesehatan, tetapi tentang ruang terbuka hijau, taman bermain yang luas dengan hamparan kebun bunga yang menyenangkan pandangan dan sebagainya.
Kenapa harus di tengah kota? Kenapa tidak memulai membangun di pinggir kota yang harga lahan untuk membangun relatif lebih murah? Mungkin sebagian orang akan memberikan solusi demikian yaitu membangun di luar kota yang bersisian dengan kota dengan alasan lahan tersedia, lahan lebih murah dan tentu saja harga jual rumah menjadi lebih murah. Tetapi efek sampingnya adalah lahan produktif untuk pertanian akan dikonversi menjadi lahan permukiman dan jika hal tersebut diterik linier dengan pertambahan penduduk dan waktu maka berapa banyak lahan pertanian akan dikorbankan dan akhir dari skenario tersebut adalah, “kelak, anak kita makan apa? Import beras dari negara tetangga karena lahan produktif untuk
pertanian sudah habis menjadi permukiman denagn konsep landed house.
Ini baru salah satu side effect, bagaimana dengan arus pergerakan dari luar kota dan sebaliknya pada jam-jam sibuk di kota seperti pukul 07.00 pagi atau pukul 16.00 petang. Maka dapat dilihat bagaimana pergerakan arus kendaraan bermotor begitu padat, berapa jumlah polusi tercipta, bensin terkuras, waktu terbuang karena jarak antara rumah dan tempat bekerja salah setting dengan memilih rumah yang relatif murah di luar kota, lebih nyaman, tidak bising, padahal pencipta kebisingan adalah mereka sendiri atau bahkan pemerintah yang membolehkan lahan pertanian disulap menjadi perumahan.
Konsep High Rise Building
Di Indonesia, masyarakat berurbanisasi ke kota- kota lebih besar dalam skala besar, termasuk Kota Surabaya. Pengadaan kawasan permukiman sebagai tempat tinggal bagi masyarakat akan sebanding dengan hilangnya kawasan hijau di perkotaan. Sangat tidak mungkin untuk menerima pendatang baru dari luar Kota Surabaya lagi, mengingat kepadatan penduduk di Kota Surabya sudah lebih dari 8.250 jiwa/Km pada tahun 2004, dan lebih dari 2 9.925 jiwa/Km pada tahun 2008, dan bagaimana 2 dengan sekarang? Kepadatan penduduk kota telah melebihi ambang batas yang ada. Oleh karena itu, perlu adanya suatu rekonstruksi perkotaan untuk Kawasan Segiempat Tunjungan dengan membuat zonasi kawasan permukiman dan kawasan perdagangan dan jasa yang bisa memberikan kenyamanan pada masyarakat untuk tinggal dan bekerja.
Dalam penelitian ini, konsep high rise building
digunakan untuk membandingkan kebutuhan lahan atas perumahan dan permukiman serta upaya untuk menciptakan ruang terbuka baru di tengah kota. Hanya konsep utopian, karena variabel penelitian memang tidak begitu kompleks, kajian budaya dan ekonomi tidak begitu ditekankan, hanya kajian tentang penggunaan lahan, analisis kondisi eksisting dan kajian tentang skenario pembangunan high rise building tersebut di atas lahan padat penduduk di tengah kota seperti di tunjungan.
Salah satu keinginan lain adalah agar titik-titik dan pusat kegiatan penduduk kota dapat dimudahkan dalam pencapaian, tidak ada lagi kendaraan bermotor yang menyemut pada pagi hari dan sore hingga malam hari dari pusat kota ke luar kota ataupun sebaliknya, tidak ada lagi acara membuang waktu karena perjalanan dari rumah ke kota atau kantor yang melelahkan tetapi cukup dengan berjalan kaki maka anak-anak sampai di sekolah mereka, cukup dengan berjalan kaki untuk belanja dan cukup dengan berjalan kaki atau kendaraan umum yang nyaman untuk ke kantor.
Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan
Kota-kota besar yang berkembang tanpa aturan atau tidak memiliki kebijakan pembangunan yang baik dapat menghancurkan kota itu sendiri. Perencanaan kota pun masih dihadapkan pada masalah yang kompleks yaitu konsep pengembangan perumahan baru. Dalam perencanaannya, juga masih ditemukan permasalahan lain seperti pencemaran lingkungan, permasalahan yang disebabkan oleh alam atau manusia, dan lain sebagainya. Hal ini, dapat dicegah dengan adanya kebijakan pencegahan bencana perkotaan, yang dalam paper ini lebih ditekankan pada mengatasi penurunan standar kualitas tempat tinggal di kawasan perkotaan. Kita perlu perencanaan kota yang komprehensif dan sistematis yang mencakup rekonstruksi dasar struktur perkotaan dan fungsinya. Metode rekonstruksi dapat memiliki dua aspek, yaitu jangka panjang dan jangka pendek. Rekonstruksi jangka panjang berupa rekonstruksi keseluruhan kawasan kumuh di Kota Surabaya dan rekonstruksi jangka pendek berupa rekonstuksi salah satu kawasan kumuh yang ada, dan untuk kasus penelitian saat ini dipilih segiempat Tunjungan, Surabaya dengan keunikan dan kekhasan asli Surabaya dan juga hanya di temui di kota-kota metropolis di Insonesia.
Gambar 1 Pengunaan lahan di kawasan studi