Sri Amiranti** dan Erwin Sudarma*** Jurusan Arsitektur FTSP – ITS
URBAN EXPERIENCE Arsitektur Kota
Arsitektur kota mencakup (ujud dan tampilan) bangunan-bangunan yang diciptakan sebagai “urban setting” (Eliss, 2003). Dengan bertambahnya populasi manusia yang hidup di wilayah perkotaan (sekitar separo populasi manusia tinggal di kota), maka arsitektur kota menjadi salah satu bidang perancangan lingkungan yang penting dan sedang berkembang. Pertimbangan khusus dalam perancangan arsitektur kota ini menyangkut praktek hidup dan berkehidupan di kota , termasuk penyediaan perumahan dan tempat kerja berkapasitas tinggi, penciptaan harmoni antara bentuk dan fungsi bangunan (form and function), serta penghadiran arsitektur yang hemat energi sekaligus manusiawi.
Menurut Madanipour (1996), arsitektur kota merupakan (rancangan) kumpulan berbagai bangunan dan artefact (yang membentuk urban setting), serta menyediakan tempat untuk berhubungan sosial (antar penggunanya).
Urban Experience.
Menurut Currant (1983), faktor utama dalam urban experience adalah bagaimana pengguna ruang kota mempersepsi dan menginterpretasi bentuk-bentuk visual yang menyediakan konteks fisikal bagi domain publik. Bagaimana pengguna kota mempersepsi dan menginterpretasi bentuk-bentuk dan ruang-ruang kota yang membentuk setting perkotaan akan berpengaruh kuat terhadap bagaimana mereka menggunakan bentuk dan ruang tersebut. Pada hakekatnya urban experience merupakan eksperiensi kolektif (dari pengguna ruang kota) dari tempat- tempat dan ruang-ruang (dalam kota) yang disusun sebagai penghubung (linkage) antar manusia kota dan untuk interaksi sosial mereka. Dalam urban experience
pengguna kota mengalami, memaknai dan memanfaatkan bentuk dan ruang kotanya.
Currant mengusulkan kualitas ruang kota yang diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan urban experience pengguna kota, antara lain sebagai berikut :
Eksperiensi kolektif dari tempat/ ruang kota yang disusun untuk interaksi sosial.
Eksperiensi tempat/ ruang kota sebagai a spontaneous living theater. Eksperiensi tempat/ ruang kota di
mana manusia datang untuk melihat dan dilihat, melakukan berbagai kegiatan, serta relaksasi.
Eksperiensi tempat/ ruang kota untuk menumbuhkan ”a sense of linkage and continuity” dengan tradisi budaya dan tradisi sejarah.
Eksperiensi tempat/ ruang kota di mana berbelanja tetaplah merupakan eksperiensi sosial yang menyenangkan dan kreatif.
Eksperiensi tempat/ ruang kota untuk bertemu dengan sahabat dan tetangga serta orang-orang asing.
Eksperiensi tempat/ ruang kota untuk berbagi berita dan mengekspresikan pandangan hidup.
Selanjutnya Currant juga mengkategorikan komponen visual urban
experience (baca : komponen bentuk dan ruang sebagai urban setting) sebagai berikut : 1. Built and spatial forms (bentuk- bentuk
spasial dan binaan). Terdiri dari aspek- aspek : bangunan dan ruang luar antar bangunan, bentuk bangunan, bentuk spasial dari ruang publik yang menyampaikan informasi penting di dalamnya. Built and spatial forms ini menyediakan konteks suportif dan ekspresif mendasar untuk urban experience sebagai berikut :
• Kualitas ekspresif bentuk binaan (diinterpretasikan sebagai analogi visual untuk fungsi-fungsi yang ditampilkan, bertindak sebagai signs/ tanda bagi fungsinya, bertindak sebagai simbol bila dikaitkan dengan idea yang mendasarinya, bertindak sebagai sebuah sistem idea).
• Kualitas suportif dan ekspresif dari hubungan antar bangunan dan bentuk- bentuk ruang yang terjadi (ekspresi ide fungsional, pola atau hubungan yang memberikan makna/ meanings). 2. Treatment of defining spaces
(penyelesaian bidang penegas ruang), organisasi fasade dan pemanfaatan bukaan dinding, yang mencakup :
• Skala dan karakter ruang publik.
• Menyediakan visual and functional
linkage antara domain
publik/eksterior dan domain pribadi/ interior.
3. Ground treatment and furnishing
(penyelesaian permukaan tanah dan pemberian perabot di atasnya), bersifat suportif dan ekspresif pada persepsi dan pemanfaatan ruang publik, yang mencakup :
• Cara penyelesaian permukaan tanah (material, tekstur, pola).
• Berbagai elemen yang kita letakkan pada permukaan tanah di ruang publik.
Dalam rangka urban experience untuk pengenalan dan pemahaman suatu kota, Lynch (1960 dalam Porteous, 1977) menyatakan bahwa seyogyanya kota menyediakan urban setting yang yang mempunya karakter :
Legible : mudah dikenali/ dibaca, karena berbagai elemen/ bagian kota dapat dikenali dan diorganisir ke dalam suatu pola yg koheren.
Imageability : kekuatan/ kemampuan elemen/ bagian kota untuk menimbulkan imaji kuat pada pengamatnya yang merupakan kualitas (obyek) perkotaan yg mendukung sifat legible kota.
Beberapa gambar di bawah ini menunjukkan contoh kualitas komponen visual arsitektur kota yang dapat memberikan urban experience positif yang disarankan oleh Currant.
Gambar 2. Contoh kualitas komponen visual
treatment of defining spaces untuk urban experience (Currant, 2003).
Gambar 3. Contoh kualitas komponen visual
ground treatment and furnishing untuk urban experience (Currant, 2003).
C. MAKNA ARSITEKTUR KOTA.
Cook ( 2006) menyatakan bahwa makna merupakan kode-kode dari signifikasi, yang menyampaikan seperangkat sistem relasi dan ideologi. Semua artefak, termasuk obyek- obyek arsitektur (kota), menyatakan secara tidak langsung makna yang dikandungnya. Di dalam makna yang disampaikan, arsitektur (kota) dapat merepresentasikan pola penggunaannya atau melingkup struktur organisasi sosial penggunanya. Makna arsitektur (kota) hadir dan nyata untuk semua orang yang melihatnya (atau bereksperiensi dengannya), tetapi tidaklah bersifat tetap dan tidak terdeterminasikan. Seorang
Seminar Nasional Dies 43 Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra 105
Gambar 1. Contoh kualitas yang
diharapkan dari komponen visual built and spatial forms untuk urban experience
filosof Perancis, Henry Lefebvre (1991) menyatakan teori utamanya tentang makna arsitektur tersebut sebagai berikut :
“The meanings are there for all to see, they are implied, but not fixed to buildings they are not determinate. Architecture is not a space itself, rather a representation of space. The way in which architecture and urban space is used, the individual or social interaction with space, determines the nature of that space. Space is
relational and thus spatial
appropriation can reaffirm meaning or reproduce meaning6. Meaning is not the product of design; it is the product of appropriation or, we might say, space is not designed, it is found”.
Selanjutnya Lefebvre menjelaskan bahwa ruang yang ditemukan (found space) tersebut dapat berbeda (sesuai makna yang diperoleh), yang menyebabkan adanya sifat tidak menentu (indeterminate) dari ruang arsitektur (kota), tergantung individu atau kelompok manusia yang menemukan (makna dan penggunaannya).
Pernyataan Lefebvre di atas makin menegaskan kenyataan bahwa pemaknaan seseorang terhadap ujud fisik arsitektur kotanya sangat dipengaruhi oleh subsistem perilaku (behavioral subsystems) serta motivasi dan kebutuhannya (yaitu : nilai-nilai yang dianut, kebutuhan peran sosialnya, kepribadian, kondisi organismiknya, minat serta eksperiensinya terhadap makna dan penggunaan suatu lingkungan sebelumnya) (Parson, 1966, dalam Lang, 1987 dan Amiranti, 2008).
Arsitektur (kota) memang bukan hanya menyampaikan makna, tetapi juga merupakan konstruk sosial dari penggunanya. Melalui wacana antara makna dan penggunaannya lah sifat
indeterminacy tercipta.
Hershberger (1977) mengkategorikan makna arsitektur atas dua, yaitu makna
representasional (representational meaning) dan makna responsif (responsive
meaning), dimana kategori kedua akan sangat tergantung pada kategori pertama. Dalam makna representasional terkandung persepsi, konsepsi dan idea mengenai lingkungan arsitektur yang dimaknai. Sebagai contoh : kita melihat suatu obyek
berbentuk persegi panjang (persepsi), mengenalinya sebagai sebuah pintu (konsepsi/ imaji) dan mempunyai ide (idea) untuk melewati pintu tersebut. Makna responsif terdiri dari respons/ tanggapan internal terhadap representasi internal yang telah diperoleh dari makna representasionalnya, mencakup sifat-sifat afektif, evaluatif dan preskriptif. Dari contoh obyek pintu yang diberi makna responsif akan muncul perasaan diterima (afektif), penilaian atas estetikanya (evaluatif) dan keputusan untuk menggunakannya (preskiptif).
Sementara itu Weber (1995) membedakan antara meaning (makna) dan
meaningful form (bentuk penuh makna).
Meaning merupakan abstraksi dari suatu obyek sebagai kesatuan pengetahuan operasional yang penuh makna (meaningful), bersifat bebas dari petunjuk khusus tertentu (specific referent), yang mencakup :
• Status dari obyek (bentuk/ form atau situasi/ situation) didalam kelas-kelas obyek yang telah diketahui oleh si pemakna.
• Fungsi/ function dari obyek beserta nilai/ value yang terkandung (misal makna praktis, ideologis, simbolik dan makna lainnya), termasuk tiap pesan/
messages yang akan
dikomunikasikan dan/atau tiap tujuan pemanfaatan, tujuan ideologis, tujuan moral atau simbolik yang akan direpresentasikan. Sedangkan meaningful form (bentuk penuh makna) merupakan realisasi makna melalui penanda-penanda/ signifiers dan konvensi/ convension (individual maupun kolektif) mengenai susunan/ arrangement
(dari obyek/ situasi), yang mencakup :
• Konvensi semantik yang
mengatur penggunaan penanda- penanda denotatif (denotative signifiers) dari ciri ikonik suatu obyek / situasi.
• Sifat simbolik penanda-penanda konotatif (connotative signifiers) dari ciri non-ikonik suatu obyek/ situasi.
• Hubungan sintaktik (syntactic relationships), sepanjang mereka tergantung pada sistem konvensional dan menghasilkan sesuatu dalam gaya tertentu. Weber (1995) menyatakan (urban) form (yang menjadi obyek pemaknaan arsitektur) sebagai totalitas unsur-unsur fisikal kota yang dapat dipersepsi beserta organisasinya, yang mencakup :
• Unsur-unsur fisikal.
• Kesamaan dan perbedaan
diantara unsur-unsur fisikal
tersebut (faktor kompleksitasnya).
• Relasi antara unsur-unsur fisikal kota (faktor tata atur/ orderliness) Menurut Lynch pengguna kota yang mengeksperiensi kotanya untuk memperoleh imaji dari kota, menggunakan 3 (tiga) komponen imaji kota, yaitu :
• Identity (identitas) yang terkait dengan karakter individuality (individualitas), separate entity (kesatuan yang terpisah dari yang lain), distinguished from other (berbeda dari yang lain).
• Structure (struktur) yang dapat dihubungkan satu sama lain serta dapat dihubungkan dengan observernya, baik secara spasial maupun struktural (can be related together and to the observer, spatially and structurally).
• Meaning (makna) tiap obyek sebagai sebuah fakta komprehensif.
C. PROSES PEMAKNAAN
ARSITEKTUR KOTA OLEH