menjadi kebenaran dan kebijakan baru.
3 Strategi politik demikian cepat berubah, sebagai contoh koalisi yang terjadi baik di tingkat Nasional (koalisi yang yang mudah berubah) maupun strategi pilkada (pasangan Saleh Mukadar dan Bambang yang tiba-tiba saja berganti di saat-saat akhir); Demikian juga yang terjadi di ruang perkotaan.
Zoning yang ditetapkan pemerintah, dengan mudah berubah dan mengacaukan strategi-strategi sebelumnya.
Organisasi-organisasi profesi juga terlihat lambat bergerak terutama karena masih ditangani para senior. Padahal perkembangan lapangan dan kebutuhan masyarakat sudah jauh berkembang. 4 Tokoh-tokoh skandal Bank Century, yang begitu cepat dihadirkan untuk talkshow di suatu media, padahal sebelumnya mereka mengikuti acara-acara formal lain yang berat.
sendirian. Maka gabungan Yunior-Senior akan menjadi pasangan yang serasi menapak era ini.
Peluang mengelola kota oleh anak-anak muda sudah tidak bisa ditunda lagi. Namun juga harus dibarengi oleh komponen politisi muda yang punya kesamaan jaman. Selama legislatif kemudian masih didominasi para senior dengan pola pikir lama dan gaya lama., dapat dipastikan Surabaya akan jalan di tempat. Dalam ‘era percepatan’ ini, mengalami kondisi ‘tetap’ saja sudah merupakan suatu kemunduran.
Demikian juga halnya dengan komponen kota yang berlabel Yudikatif, proses regenerasi sudah harus merupakan langkah kongkrit, memberi ruang pada generasi jaman ini. Produk-produk hukum kota lama, yang biasanya masih membawa produk-produk hukum kolonial, se yogyanya sudah disesuaikan dengan kekinian.
//: THE WOMEN
Selain punya kelemahan, perempuan punya banyak kekuatan yang tidak dimiliki pria. Salah satunya adalah kelebihan
multitasking-nya. Kelebihan perempuan lainnya adalah punya tanggung jawab tinggi sebagai ‘family care taker’. Sifat-sifat ini mampu menjadi bagian dari kelebihan perempuan mengelola kota. Dalam konteks Hermawan Kartajaya, kaum Perempuan punya kemampuan ‘managing the market’. Kelebihan perempuan dalam konteks domestik ini perlu diberi peluang dalam korporasi apalagi dalam peran mengelola kota. Dalam posisi ini memang dibutuhkan perempuan dalam sifat-sifat mars agar sejajar dengan pria untuk lebih rasional dan mampu menjadi leader.
Kota memang seperti sebuah rumahtangga besar. Sebuah sasaran konsumerisme di peta globalisasi yang kapitalistik. Dibutuhkan perempuan untuk mengatur desakan konsumerisme anggota keluarganya. Dekade awal milenia tiga ini terlihat jelas bahwa terjadi banyak perkembangan di sosio-budaya masyarakat kota Surabaya. Salah satu yang menonjol adalah perubahan berbagai gaya hidup. Yang perlu disikapi oleh pengelola kota adalah gaya hidup konsumerisme yang mulai merebak dimana- mana. dalam konteks ini perempuan bisa mengawal masalah-masalah perkotaan lebih jeli dan detail ketimbang pria. Disamping perempuan peka dalam ‘sense and respons’.
Dengan posisi tersebut, perempuan punya posisi menguntungkan pula dalam pengelolaan anggaran dan budgeting kota.
Ketika Hermawan Kartajaya me-label perempuan punya kemampuan ‘managing the market’, Surabaya yang mulai dilanda arus
konsumerisme dan perubahan gaya hidup wargakotanya ini, posisi perempuan menguntungkan untuk mengelola kota. Di samping masalah lain perkotaan seperti infrastruktur yang lebih kompleks, terutama hadirnya budaya ‘percepatan’ dimana-mana. ‘Sensitifitas’ perempuan, sebagai kelebihan dibanding laki2 dibutuhkan juga untuk melihat akibat dari ‘budaya percepatan’. Budaya yang meminggirkan hak-hak rakyat kecil. Mesin ekonomi yang berdaya kecil dengan mudah dilindas kekuatan besar megakapitalis atas nama percepatan ekonomi. Perempuan (sebagai pengelola kota) dengan ‘family care taker’ diharapkan mampu melindungi dan mengayomi para Pedagang Kaki Lima yang biasanya menjadi obyek masalah perkotaan, utamanya penertiban.5
Perempuan pengelola kota diharapkan juga mampu menguasai teknologi informasi dan komunikasi. Piranti-piranti itu memampukan banyak kekuatan perempuan semakin teraplikasikan. Teknologi Web 2.0
memungkinkan terjadinya interaksi secara mudah bisa bergerak secara dinamis dan multi- arah. Hermawan Kartajaya melihat perempuan yang punya sifat suka berinteraksi dan berkomunikasi jauh lebih diuntungkan.6 Infrastruktur ini sudah mulai dihadirkan di Surabaya terutama dalam upaya membawa kota Surabaya sebagai Smart-City. Tidak kalah pentingnya adalah fenomena komunitas atau warga dunia maya yang muncul kemudian sebagai akibat dari keberadaan itu.
Kemajuan kota Surabaya akhir-akhir ini salah satunya adalah karena sumbangan tangan- tangan perempuan. Bahkan keberadaan gender perempuan dalam solidnya pemerintahan Bambang D Hartono sangat signifikan. Dengan menonjolnya peran perempuan itu, tidak menutup kemungkinan bahwa pengelola kota Surabaya ke depan dipimpin Perempuan.
5
Perempuan pengelola kota juga diharapkan tidak menghadapkan PKL ‘head to head’ dengan penguasa kota. Posisi sebagai ‘family care taker’ seharusnya punya kemampuan mengantar dan mem-fasilitasi keberadaan mereka dalam struktutr kota secara terencana. Temuan Joseph Goebel yang mengatakan bahwa ‘siapa yang menguasai jalan, dia yang menguasai dunia’. Tentu strategi mengeliminir ‘penguasai jalan’ juga berlaku untuk pertempuran antara warung dengan supermarket besar; becak dan mobil mewah. Demikian juga di peta kesehatan dan pendidikan.
6 Pria biasanya lebih suka bicara satu arah dan menurut amatan Hermawan Kartajaya pria lebih bersifat solitaire. Karena itu pria lebih suka ‘lonely at
the top’ . di lain pihak perempuan suka ber
komunikasi yang kadang-kadang suka kebablasan.
//: THE NETIZEN
Fenomena baru (netizen) ini yang belum banyak diperhatikan orang, apalagi para birokrat. Meskipun Pemerintah Kota Surabaya sadar betul akan pentingnya sarana dan prasarana penunjang pengembangan teknologi Informasi dan komunikasi itu. Dengan semangat dan tujuan membuat Surabaya menjadi Smart City, Surabaya sudah siap dengan fasilitas tersebut. Banyak titik-titik
hotspot kini mudah ditemui di beberapa bagian kota Surabaya. Bahkan banyak kantor dan fasilitas publik yang menyediakan fasilitas itu secara cuma-Cuma. Mudah ditemui fasilitas wi- fi menjadi nilai tambah di banyak fasilitas kota saat ini. Surabaya termasuk maju dalam penyediaan sarana dan prasarana ini. Namun apakah sudah muncul kesadaran bahwa jaringan fisik itu melahirkan kelompok masyarakat yang punya peran besar, karena sifatnya yang berbeda?
Komunitas wargakota dunia maya ini (Netizen) sudah membuktikan kekuatannya untuk membuat yang tadinya tidak bisa menjadi kenyataan. Mereka, yang tidak kenal secara fisik, tidak pernah bertemu muka, bisa punya kekuatan besar menyampaikan pendapatnya, punya kemampuan melawan ke-zolhim-an bahkan menentang kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai. Peran Netizen ini harus mendapat perhatian penting bahkan harus menjadi pemikiran pengelola kota untuk dimanfaatkan secara arif.
Meskipun milenia tiga sudah menapak sepuluh tahun perjalanannya, budaya birokrasi yang sulit dan rumit tetap ada. Sikap-sikap feodalistik masih juga terletup muncul. Rona diskriminasi masih sedikit dirasakan.
Memanfaatkan sifat ‘the world is flat’,
Netizen punya sifat tidak peduli lagi dengan perbedaan vertikal. Ruang maya yang berbeda sifatnya, membuka kemerdekaan mengkritik menjadi sangat terbebaskan. Citizen yang biasanya masih tersekat (minimal) dalam bentuk status, usia, pangkat, jabatan, suku, tidak berlaku bagi Netizen. Karena sifat Netizen yang berbeda. Netizen memang bisa berdebat lebih ‘deep and wide’. Jelas kini citizen yang lokal semakin terdesak oleh Netizen yang global.
Hermawan Kartajaya menggaris bawahi bahwa Netizen mampu ‘organizing the heart’.
Netizen bisa merasakan meskipun tidak pernah bertemu. Mereka lebih emosional dalam membahas sesuatu.
Pengelola kota harus sadar dan memberi ruang pada Netizen dengan segala atribut budaya Netizen ini. Selain daya dukung untuk pengelola kota yang kuat, solid dan cepat (jati diri Teknologi Informasi), daya kritiknya juga bisa berbahaya. Dalam beberapa kasus yang
terjadi akhir-akhir ini, telah membuktikan itu semua.7 Era kesejagatan yang berbasis Teknologi Informasi ini memang menghadirkan kemerdekaan dan keterbukaan. Obesitas informasi juga tidak terlalu sehat untuk pengelolaan sebuah kota. Namun hal ini tidak bisa dihindari. Kesiapan pengelola kota ke depan untuk meng-antisipasi hal ini sangat diperlukan.
Didukung oleh media-massa (media massa cetak/koran dan elektronik/radio-televisi) dengan wilayah yang sama dengan Netizen (di dunia maya), daya kritis terhadap Pengelola Kota semakin kuat. Untuk itu Pengelola kota harus bersiap diri dengan fenomena baru ini. Dalam kajian Hermawan Kartajaya, The Youth
dan The Women yang tidak dominan di tataran
offline, ketika masuk dalam dunia maya, perannya menjadi merajalela. Alasannya adalah karena keduanya mendapat kesempatan untuk terbebaskan ketimbang di realitas offline. Pada peran pengelola kota, gabungan ketiganya bisa dipastikan solid untuk menghadapi Netizen
yang beranggota sama.
Menuju kota Surabaya menjadi Smart- City, Pengelola kota tidak sekedar punya tugas mempersiapkan dan menyediakan sarana dan prasarananya saja, tetapi harus mempelajari banyak aspek tentang keberadaan Netizen ini sendiri. Disamping tugas rutin menggarap masalah-masalah Citizen umumnya.
Pengelola kota harus menyadari bahwa ‘ruang-konvensional’ sudah lenyap di tangan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Jutaan anggota Facebook dan twitter punya ruang sendiri. ‘Ruang’ yang bukan lagi dalam cakupan dan kontrol Pengelola kota. Budaya baru yang semakin horizontal ini punya sikap, paradigma dan perilaku yang berbeda.
Fasilitas kota juga sudah harus mulai disesuaikan dengan perkembangan ini. Seperti model perdagangan, 3-5 tahun lagi toko online
(online-store) diramal akan menjamur. Dengan demikian toko dengan model brick and mortar
(toko konvensional) akan mulai berkurang.
7 Kasus Prita yang mendapat dukungan luarbiasa, tidak hanya muncul dari Citizen saja, tetapi melalui jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, kini semuanya bisa terjadi. Esensi kecepatan sudah dengan mudah dibuktikan dengan dukungan- dukungan. Sebut saja dukungan 1.000.000 orang untuk Bibit–Chandra dalam kasus Bank Century dengan mudah dan cepat di dapat. Marketer hebat di dunia di yakini adalah President Amerika Serikat, Barack Obama yang dalam waktu singkat mendapat dukungan dari warganya. Saat kampanye Pemilu lalu. Point kemenangannya salah satu yang potensial adalah dukungan dari Jejaring Sosial Facebook dan
Twitter. Susilo Bambang Yudoyono melakukan yang sama
Media-massa cetak juga sudah mulai mengurangi cetakan-konvensionalnya. Karena beberapa koran besar sudah merasakan dampak keuntungan finansial. Dalam konteks lingkungan hidup, keputusan-keputusan ini akan meringankan beban kota di bidang pencemaran lingkungan. Tetapi efisiensi model ini akan berdampak pada kurangnya lapangan pekerjaan warga perkotaan. Kasus -kasus semacam ini menjadi contoh dari beberapa permasalahan kota lainnya. Meskipun peluang- peluang masih tetap terbuka di aspek-aspek perkotaan lainnya.
//: THE SENIOR, THE MEN AND
THE CITIZEN
Bagaimanapun, keberadaan senior tetap tidak bisa dipisahkan untuk tetap menjadi pengawal anak-anak muda. Konsep tut wuri Handayani justru semakin menonjol perannya. Para Senior juga tidak serta merta kehilangan peran dan wewenangnya. Para senior yang punya kelenturan dan bisa luwes menghadapi perubahan, tak ubahnya anak-anak muda (young@heart), menjadi mudah cair dengan kondisi dinamis era kesejagatan seperti sekarang ini, mereka yang punya kesempatan yang sama. Bahkan bisa melebihi yang muda, karena kekayaan pengalamannya. Perubahan juga bukan hal yang sulit, selama para Senior punya kemauan untuk itu. Dan Senior-senior ini sadar benar bahwa beberapa konsep-konsep lama yang sudah tidak bisa digunakan lagi, perlu kebesaran hati untuk mengganti dengan yang baru. Menyandingkan yang muda di depan dengan ‘gembala yang baik’ di belakang bisa menjadi patron model kepemimpinan kota Surabaya ke depan.
Ketika perempuan dianggap lebih emosional untuk lemah menjadi leader dan hanya bekerja untuk jangka pendek (tidak se-
visioner pria), maka berbeda dengan model yang dibuktikan Pemerintah Surabaya. Perempuan-perempuan yang memimpin beberapa sektor penting Kota Surabaya, justru merubah keadaan dan pandangan itu. Wajar saja kini banyak perempuan yang lebih ‘Mars’, seperti juga Pria yang mulai menjadi Venus. Pria-pria yang mengerti perempuan dan punya banyak sikap ke-Venus-an juga akan bisa mendapat yang sama. Pria-pria metrosexual dan perempuan yang ‘Mars’ akan menjadi bagian signifikan pembangunan kota Surabaya ke depan. Pria-pria yang lebih sensitif, berfikir detail dan punya sifat ‘family care-taker’ akan bisa mengatasi permasalahan kota yang semakin cepat berubah dan kompleks ini.
Citizen punya banyak kekuatan dalam peran-peran didalam kota. Sebagai pemegang lokalitas yang lebih mendasar, Citizen memang
lebih konservatif menjadi bagian kotanya. Peran ini penting dalam menjaga agar kota tidak tergerus arus globalisasi dan membuat kota kehilangan jati diri. Globalisasi sendiri memang melahirkan global- paradoks, dimana akhirnya lokalitas yang menjadi panglimanya.
Wargakota Surabaya biasa (Citizen) menjadi tulang punggung keberadaan kota Surabaya. Netizen meskipun disebut Hermawan Kartajaya adalah komunitas super, pada hakekatnya dia bukan apa-apa tanpa Citizen.
Netizen dengan paradigmanya sendiri memang punya daya jangkau global yang cair, ketimbang Citizen yang lebih kaku. Sinergi sudah mulai nampak dengan saling dukung ketika terjadi banyak permasalahan.
Menjadi catatan ke depan bahwa pengelola kota memang tidak bisa dibebankan pada The Youth, The Women and The Netizen
saja, tetapi eksistensi The Senior, The Men dan The Citizen juga tetap diperhitungkan untuk ke depan membawa Surabaya menjadi kota era kesejagatan yang maju.
DAFTAR PUSTAKA
Kartajaya, Hermawan, “The Anatomy of New Wave Culture”, Marketeers, Jakarta, 2010. Mitchell, William J, “City of Bits, Space,
Place and The Infobahn”, The MIT Press, Massachusetts, 1995
Piliang, Yasraf Amir, “Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna”, Jalasutra, 2003 .
________________, “Sebuah Dunia Yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme”, Penerbit Mizan, Bandung,1998