• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kabupaten Manokwari

PEMERINTAH PUSAT

SARANA PELAYANAN KESEHATAN

5) Kabupaten Manokwari

Pendanaan bidang infrastruktur diarahkan untuk penyediaan infrastruktur strategis, termasuk prasarana dan sarana sosial ekonomi yang mendukung peningkatan pelayanan publik, terutama masyarakat lokal di wilayah terpencil. Tahun mendapatkan porsi sebesar 11,16 dari dana otonomi khusus atau sebesar Rp 10.194.665.250. Jumlah tersebut lebih kecil dari jumlah pada tahun 2009 yang mencapai lebih dari 11 miliar. Namun dibanding tahun-tahun sebelum 2009 ada peningkatan yang cukup signifikan.

Alokasi dana Otonomi Khusus pada bidang infrastruktur digunakan untuk menunjang penerobosan isolasi daerah melalui penyediaan prasarana jalan, penanganan abrasi pantai dan normalisasi air sungai, serta pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Kebar dan Taige. Program yang dijalankan antara lain

a) Pembangunan jalan dan jembatan terdiri dari pembangunan jalan Sakumi-Neney 4,65 km, jalan Demaisi-Hingk sepanjang 2 km, serta jalan Kampung Inggramui sepanjang 0.3 km.

b) Pembangunan Talud/Turap/Bronjong, terdiri dari pembangunan talud abrasi pantai di Arfai, distrik Manokwari Selatan.

c) Pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau, dan sumberdaya air lainnya, terdiri dari normalisasi sungai Arupi sepanjang 100 meter, normalisasi Sungai Membowi sepanjang 100 meter, dan talud pengaman kantor lurah Sanggeng sepanjang 65 meter.

d) Pembangunan listrik pedesaan, terdiri dari pembangunan listrik tenaga mikrohidro di Distrik Kebar dan penyediaan sarana listrik perkampungan lainnya.

Pembangunan infrastruktur dasar sebagai upaya penerobosan isolasi daerah yang diharapkan akan mempermudah aksesibilitas antara ibu kota kabupaten dengan ibukota distrik serta kampung. Disamping itu diharapkan dengan membangun infrastruktur dasar wilayah, yang meliputi prasarana jalan dan jembatan untuk mengembangkan sentra industri dan produksi pangan, pusat-pusat permukiman penduduk, membuka isolasi daerah, dan membangun prasarana jaringan irigasi untuk mendukung ketahanan pangan, serta menyediakan prasarana air minum, sanitasi, drainase dan air limbah, kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat akan meningkat.

Namun mencermati berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari pemanfaatan dana otonomi khusus bagi bidang infrastruktur. Ada kecenderungan bahwa sasaran program infrastruktur yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada upaya penerobosan isolasi daerah yang upaya mempermudah aksesibilitas. Hal ini khususnya tampak pada awal pelaksanaan otonomi khusus, dimana pemerintah daerah menggunakan dana otonomi khusus untuk infrastruktur

yang tidak strategis bagi penerobosan keterisolasian. Misalnya saja dengan pembangunan rumah dinas camat atau sarana pemerintahan. Seyogyanya kebutuhan tersebut dibangun dengan dana APBD yang bukan bersumber dari dana otonomi khusus. Hal semacam ini menjadikan pelaksanaan otonomi khusus dalam pembangunan infrastruktur tidak sejalan dengan esensinya. Kondisi ini bisa saja terkait dengan ketiadaan juknis yang jelas dalam pemanfaatan dana otonomi khusus. Perkembangan selanjutnya, pada beberapa tahun terakhir terlihat ada sasaran yang lebih tepat sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan. Namun demikian pada beberapa tahun terakhir masih juga dijumpai upaya pembangunan infrastruktur yang kurang strategis sebagaimana diharapkan.

Program pembangunan infratruktur salah satunya juga dijalankan melalui pemanfaatan dana otonomi khusus dalam program Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK). Program ini merupakan pembangunan masyarakat berbasis kampung. Program ini mencakup berbagai potensi, bukan hanya infrastruktur, tetapi semua, misalnya perbaikan gizi dan ekonomi. Hal ini karena berkaitan dan juga ditujukan dalam rangka meningkatkan ekonomi secara holistik. Dana yang dialokasikan dalam program RESPEK ini merupakan sebagian dari dana otonomi khusus yang diterima Provinsi di luar dana yang dialokasikan ke pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Program ini juga termasuk pemberdayaan masyarakat kampung tetapi dengan satu posisi peran aktif dari para pendamping. Seluruh kampung menerima dana tunai langsung (block grant) rata-rata sebesar Rp 100 juta

rupiah. Di Provinsi Papua, pada tahun 2007 dana untuk program RESPEK telah digulirkan

pemerintah Provinsi sebesar lebih dari 411 miliar rupiah. Tahun berikutnya mencapai lebih dari 1,2 triliun, di mana berbeda dari tahun sebelumnya total dana ini mencakup juga infrastruktur (sumber: Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Provinsi Papua). Tahun 2009 sejumlah 320 miliar digulirkan untuk mendanai RESPEK di Provinsi Papua. Tahun 2010 ditingkatkan menjadi 350 miliar dan pada 2011 menjadi 457 miliar. Sementara di Provinsi Papua Barat, Pemerintah Provinsi Papua Barat mulai menyalurkan dana RESPEK pada tahun 2009 sejumlah 122 miliar rupiah. Kemudian pada tahun 2010 menjadi 136,7 miliar rupiah dan menjadi 136,6 miliar rupiah pada tahun 2011.

Untuk hasil-hasil yang dicapai melalui program RESPEK ini memerlukan pengkajian lebih lanjut. Namun demikian bagaimana argumen yang digunakan untuk mengalokasikan dana RESPEK tersebut perlu menjadi catatan khusus. Bagaimana pengelolaannya perlu mendapat perhatian untuk diperbaiki.

Terdapat sejumlah masalah yang mewarnai pelaksanaan pembangunan infrastruktur dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat. Di antaranya menyangkut masalah geografis, di mana sebagian wilayah lokasi merupakan medan yang sulit.

Hal ini antara lain menimbulkan kesulitan dalam memobilisasi alat. Sebagaimana yang dijumpai pada sektor lainnya, pendanaan untuk program infrastruktur juga banyak mengalami keterlambatan pencairan, sehingga pekerjaan lambat dimulai. Di sisi lain kontraktor lokal rata-rata kemampuan dasarnya masih terbatas, untuk memulai pekerjaan harus menunggu pencairan uang muka pekerjaan sebesar 20-30%. Masalah semacam ini menjadi salah satu kendala yang dihadapi pemerintah daerah. Masalah lain terkait dengan pembebasan tanah. Sebagian wilayah terkendala pembebasan tanah ulayat/adat milik masyarakat. Masalah pertanahan ini juga mengakibatkan mahalnya biaya pembangunan infrastruktur.

Salah satu aspek pembangunan infrastruktur yang utama di Provinsi Papua adalah penyediaan dan pembangunan jalan. Jalan merupakan prasarana angkutan darat yang penting untuk memperlancar kegiatan perekonomian. Tersedianya jalan yang berkualitas akan meningkatkan usaha pembangunan khususnya dalam upaya memudahkan mobilitas penduduk dan memperlancar lalu lintas barang dan jasa dari suatu daerah ke daerah lain.

Progres pembangunan jalan di Provinsi Papua dari tahun 2006-2010 menunjukkan adanya fluktuasi (peningkatan dan penurunan) sebagaimana grafik berikut:

Gambar 4.29

Panjang Jalan Menurut Statusnya di Provinsi Papua (km) tahun 2006-2010

Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2006-2010

Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa panjang jalan nasional, provinsi maupun kabupaten/kota terlihat mengalami peningkatan dan penurunan meskipun jumlahnya tidak terlalu drastic. Pada tahun 2006 misalnya, jalan nasional yang menghubungkan antar daerah tercatat sebesar 1.848,25 km, namun pada tahun 2007 dan 2008 panjang jalan nasional ternyata mengalami penurunan sebesar 53,3 km (2,90%) menjadi 1.794,95 km. Demikian pula pada level jalan provinsi pun mengalami penurunan pada tahun 2007 dan 2008 dari 1.562 km menjadi 1.400,63 km atau turun sebanyak 161,5 km (10,33%).

Tabel 4.28

Panjang Jalan Menurut Status Jalan di Provinsi Papua Status Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 Jalan Nasional 1848,25 1794,95 1794,95 2072,36 2072,36 Jalan Provinsi 1562,13 1400,63 1400,63 1498,68 1498,68 Jalan Kabupaten/Kota 13488,33 12131,78 12131,78 12131,78 12131,78 Jumlah 16898,71 15327,36 15327,36 15702,82 15702,82

Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2006-2010.

Pada level jalan kabupaten/kota, penurunan panjang jalan terjadi sepanjang tahun mulai tahu 2007 sampai dengan tahun 2010, yaitu sebesar 1.356,55 km atau sebesar 10,06%, dari 13.488,33 km menjadi 12.131,78 km. Kondisi penurunan panjang jalan kabupaten/kota ini mengindikasikan beberapa hal, misalnya pemerintah kabupaten/kota kurang memberikan perhatian yang cukup pada operasi dan pemeliharaan jalan yang menjadi tanggung jawabnya. Disamping, kurang teralokasikannya anggaran daerah untuk membangun jalan yang baru.

Selanjutnya dari sisi permukaan jalan, ternyata panjang jalan yang diaspal sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah panjang jalan yang ada di Provinsi Papua. Data menunjukkan bahwa kegiatan pengerasan jalan masih menjadi permasalahan serius.

Tabel 4.29

Panjang Jalan Menurut Permukaan Jalan di Provinsi Papua Tahun 2006-2010 Permukaan jalan Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 Diaspal 3221,88 932,78 1596,98 1522,61 1522,61 Kerikil 4456,92 374,55 374,55 697,64 697,64 Tanah 6131,03 93,3 1496,6 1189,8 1189,8 Tdk Dirinci 0 0 101 126,15 126,15 Jumlah 15815,83 3407,63 5577,13 5545,2 5546,2

Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2010.

Tabel di atas memperlihatkan jumlah panjang jalan yang diaspal pada tahun 2006 sepanjang 3221,88 km mengalami penurunan menjadi 932,78 km pada 2007. Kondisi jalan yang diaspal mengalami peningkatan kembali pada tahun 2008 menjadi 1596, 98 atau sepanjang 664,20 km (41,60%). Ini merupakan progress luar biasa, karena kenaikannya mencapai lebih dari 50%. Namun kondisi ini kembali turun pada tahun 2009 dan 2010 menjadi 1.522,61 km atau sepanjang 74,37 km (4,70%). Kondisi permukaan jalan di Provinsi Papua dapat digambarkan dalam grafik sebagai berikut:

Gambar 4.30

Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2010

Kondisi serupa nampak pada permukaan jalan kerikil dimana terjadi penurunan pada tahun 2007 dan 2008 sepanjang 82,37 km atau sebesar 18,03%, demikian pula untuk jalan tanah pada tahun 2007 sepanjang 37,73 km atau sebesar 28,80%.

Tabel 4.30

Kondisi Jalan di Provinsi Papua

Kondisi Jalan Tahun

2006 2007 2008 2009 2010 Baik 112,5 405,95 1461 1356,6 1356,6 Sedang 0 0 587,88 731,87 731,87 Rusak 97,25 579,77 770,14 716,06 716,06 Rusak berat 16 414,91 849,78 640,32 640,32 Tidak dirinci 0 0 204 126,15 126,15 Jumlah 2231,75 3407,63 5880,8 5580 5581

Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2010.

Kondisi jalan yang baik di Provinsi Papua mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, meskipun jumlah peningkatanya masih relatif kecil. Pada tahun 2006 misalnya, panjang jalan dalam kondisi baik sepanjang 112,5 km meningkat menjadi 405,95 km pada tahun 2007. Kondisi tersebut terus membaik pada tahun 2008 menjadi 1.461 km. Namun pada tahun 2009 dan 2010, kondisi jalan dalam kondisi baik mengalami penurunan menjadi 1.356, 60 km atau menurun sebesar 7,14%. Jika digambarkan dalam grafik, maka kondisi jalan di Provinsi Papua terlihat sebagai berikut:

Gambar 4.31

Sumber: BPS Provinsi Papua

Pembangunan dan pemeliharaan jalan di Provinsi Papua dapat dikatakan masih belum memperoleh perhatian yang proporsional dari pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Minimnya perhatian dan alokasi anggaran untuk pembangunan dan pemeliharaan pasarana jalan ini akan menyebabkan semakin lamanya upaya pemerintah provinsi dalam rangka membuka isolasi antardaerah di Provinsi Papua.

Disamping prasarana jalan, infrastruktur yang tak kalah pentingnya adalah jembatan yang menghubungkan antarwilayah/daerah dikarenakan keberadaan sungai dan atau hamparan lainnya yang memerlukan jembatan. Panjang prasarana jembatan di Provinsi Papua terlihat pada grafik berikut:

Gambar 4.32

Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2010.

Dari grafik tersebut dapat dijelaskan bahwa panjang jembatan di Provinsi Papua masih didominasi oleh jembatan kayu. Hal ini berarti bahwa pembangunan jembatan beton dan jembatan baja masih sangat diperlukan penambahan dari tahun ke tahun untuk mengantisipasi medan wilayah Papua yang sangat berat.

Namun yang terjadi pada tahun 2007-2010 justru sebaliknya, yakni terjadi penurunan di hampir semua jenis jembatan di Provinsi Papua, kecuali jembatan baja yang meningkat dari 10.428 km menjadi 10.974,8 km. Dari grafik terlihat terjadi peningkatan pada panjang jembatan baja sepanjang 546,8 km atau sebesar 5%. Angka ini bertahan hingga tahun 2010 atau tidak terdapat kenaikan selama kurang lebih 4 tahun.

Pada infrastruktur pelabuhan udara di Provinsi Papua ternyata belum menunjukkan kondisi yang optimal. Sampai tahun 2010 dilaporkan sebanyak 13 bandara yang terdapat di Provinsi Papua dalam memberikan layanan kepada penduduk Papua dan non Papua.

Gambar 4.33

Sumber : BPS Provinsi Papua, Tahun 2011

Untuk Papua Barat, Pembangunan jalan merupakan salah satu prioritas penting dalam rangka membuka isolasi daerah di Provinsi Papua Barat. Hal tersebut disampaikan Kepala BP3D Provinsi Papua bahwa salah satu misi pembangunan Provinsi Papua Barat adalah meningkatkan ekonomi kerakyatan dengan membuka akses jalan antardaerah. Tabel berikut menjelaskan kondisi panjang jalan di Provinsi Papua Barat pada 2006-2010.

Tabel 4.31

Perkembangan Panjang Jalan Menurut Status Jalan di Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2010 Status Jalan Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 Nasional 345,31 615,81 635,81 1168,16 412,31 Provinsi 488,47 686,175 693,175 973,28 938,48 Kab/Kota 1121,65 3882,222 4071,222 3784,84 4378,43 Jumlah 1955,43 5184,207 5400,207 5926,28 5729,22

Sumber; BPS Provinsi Papua Barat, Tahun 2010.

Tabel di atas menunjukkan panjang jalan di Provinsi Papua Barat yang menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu. Pada 2006 total panjang jalan adalah 1955,43 km bertambah menjadi 5184,207 pada 2007 atau meningkat sebesar 62,28%. Panjang jalan baik jalan nasional, jalan provinsi maupun jalan kabupaten/kota terus mengalami penambahan, diantaranya pada tahun 2008 menjadi 5.400, 207 km atau sebesar 4%, dan kembali bertambah pada 2009 menjadi 5.926,28 km atau sebesar 8,88%. Pada tahun 2010, kondisi panjang jalan di

Provinsi Papua Barat tercatat sepanjang 5.729,22 km atau mengalami penurunan sebesar 3,33%. Gambaran fluktuasi pembangunan dan pemeliharaan jalan di Provinsi Papua Barat terlihat pada gambar berikut:

Gambar 4.34

Perkembangan Panjang Jalan Menurut Statusnya di Provinsi Papua Barat (km) Tahun 2006-2010

Sumber: BPS Provinsi Papua Barat, Tahun 2010

Adapun kondisi permukaan jalan di Provinsi Papua Barat pun menunjukkan kondisi positif, meskipun belum optimal. Peningkatan panjang jalan yang diaspal terlihat pada tahun 2007 yakni dari 875,98 km menjadi 1.137,31 km atau sebesar 4,41%. Panjang jalan yang diaspal kembali bertambah pada tahun 2008 dan 2009 yaitu menjadi 1.164,85 km dan 1.448,24 km atau masing-masing sebesar 0,50% dan 4,80%.

Tabel 4.32

Perkembangan Panjang Jalan Menurut Permukaan Jalan di Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2010

Permukaan jalan Tahun

2006 2007 2008 2009 2010 Diaspal 875,98 1137,31 1164,885 1448,24 1328,49 Kerikil 1036,7 2226,394 2371,201 1887,37 1639,25 Tanah 1094,59 1803,953 1688,171 2220,56 2222,13 Tidak Dirinci 7,5 16,55 141,45 350,11 539,35 Jumlah 5020,77 7191,207 7373,707 7915,28 7739,22 Sumber: BPS Provinsi Papua Barat, Tahun 2010.

Kondisi permukaan jalan yang dikeraskan (kerikil) juga mengalami peningkatan antara tahun 2007-2008 dari 1.036,7 km menjadi 2.226,394 km (20,07%) pada 2007 dan menjadi 2.371,01 km (2,44%) pada 2008. Namun, kondisi permukaan jalan kerikil ini mengalami

penurunan menjadi 1.887,37 km (8,16%) pada 2009 dan kembali turun menjadi 1.639,25 km (4,19%) pada 2010.

Gambar 4.35

Perkembangan Panjang Jalan Menurut Permukaan Jalan Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2010

Sumber: BPS Papua Barat, Tahun 2010

Gambar di atas menunjukkan panjang jalan dengan permukaan kerikil dan tanah masih mendominasi kondisi jalan di Papua Barat. Angka tertinggi terlihat pada permukaan jalan kerikil sepanjang 2.226,394 km dan permukaan jalan tanah sepanjang 2.222,13 km. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah provinsi dalam membuka isolasi daerahnya.

Selanjutnya, terkait dengan infrastruktur transportasi, pada 2006 Papua Barat memiliki 6 bandara yakni Bandara Torea (Fak Fak), Bandara Utarum (Kaimana), Bandara Wasior (Teluk Wondama), Bandara Bintuni (Teluk Bintuni), Bandara Rendani (Manokwari) dan Bandara Deo (Sorong) serta Bandara Teminabuan pada tahun 2007.

Gambar 4.36

Sumber; BPS Provinsi Papua Barat, tahun 2010

Dari gambar diatas tersebtu terlihat bahwa terjadi peningkatan jumlah pelabuhan udara pada Provinsi Papua Barat, bila dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/Kota yang ada pada Provinsi Papua Barat yaitu sebanyak 11 Kabupaten/Kota termasuk juga daerah pemekaran baru artinya dengan peningkatan pada tahun 2010 yaitu sebanyak 7 (tujuh) pelabuhan udara, sebagian Kabupaten/Kota tersebut telah memiliki Pelabuhan Udara.

Mengingat kondisi geografis Provinsi Papua Barat yang tidak seperti daerah Jawa umumnya, Pelabuhan udara menjadi infrasrtuktur yang sangat stratagis (selain jalan) dalam upaya menembus keterisoliran suatu daerah. Ke depan pembangunan infrastruktur pelabuhan udara/bandara diharapkan harus menjadi prioritas atau paling tidak setiap kabupaten/Kota di Provinsi ini memiliki pelabuhan udara.

e. Kependudukan dan Ketenagakerjaan

Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua. Pasal 61 ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 mengamanatkan perlunya penanganan kependudukan untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan peningkatan kualitas dan partisipasi orang asli Papua dalam semua sektor pembangunan.

Salah satu masalah kependudukan di Papua sangat berbeda dengan permasalahan pokok kependudukan Nasional, berkisar pada persoalan kepadatan dan pertumbuhan penduduk. Dengan wilayah yang sangat luas sementara jumlah penduduk yang sedikit menyebabkan Pembangunan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat telah dilaksanakan dalam berbagai bentuk pembangunan sarana dan prasarana fisik. Namun ada kecenderungan bahwa sasaran program infrastruktur yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada upaya penerobosan isolasi daerah yang upaya mempermudah aksesibilitas. Hal ini menjadikan pelaksanaan otonomi khusus dalam pembangunan infrastruktur tidak sejalan dengan esensinya. Kondisi ini bisa saja terkait dengan ketiadaan juknis yang jelas dalam pemanfaatan dana otonomi khusus. Implementasi pembangunan infrastruktur dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat juga diwarnai berbagai masalah mulai dari masalah teknis pendanaan yang mengalami keterlambatan, kondisi medan geografis yang sulit, dan kendala pembebasan tanah ulayat.

tingkat kepadatan yang sangat rendah. Permasalahan kependudukan di Papua lebih dihadapkan pada masalah penyebaran penduduk antara Kota-Desa/Kampung dan pola tinggal yang tersebar dalam kampung-kampung kecil yang terpisah sangat jauh.

Sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini, distribusi penduduk di Provinsi Papua sebagian besar terkonsentrasi di kota Jayapura. Distribusi penduduk yang terendah di Kabupaten Supiori dengan jumlah penduduk sebanyak 15874 jiwa. Sementara di Provinsi Papua Barat, pada grafik 4.38 distribusi penduduk terbesar terdapat di Kota Sorong dan Kabupaten Manokwari. Distribusi penduduk yang terendah di Kabupaten Tambraw yang merupakan daerah pemekaran dengan jumlah penduduk sebanyak 6144 jiwa.

Gambar 4.37

Peta Distribusi Sebaran Penduduk

di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun 2010

Gambar 4.38

Kabupaten/kota di Provinsi Papua pada umumnya memiliki kepadatan penduduk yang rendah. Dari grafik kepadatan penduduk di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua, dapat disaksikan bahwa pada umumnya kabupaten di Provinsi Papua memiliki kepadatan penduduk kurang dari 10 orang per km². Beberapa kabupaten seperti Kabupaten Biak Numfor dan Lanny Jaya memiliki kepadatan penduduk lebih dari 50 orang per km². Kota Jayapura relatif cukup padat dengan kepadatan 326.52 orang/km². Kondisi geografis yang cukup luas dan sulit dijangkau juga menjadikan masalah dalam hal ini. Para pendatang umumnya berada di Kota Jayapura, sehingga kepadatan penduduk di Kota ini sangat jauh berbeda dari daerah lainnya di samping karena kota ini merupakan pusat pemerintahan provinsi dan berbagai aktivitas ekonomi.

Gambar 4.39

Peta Kepadatan Penduduk di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun 2010

Sementara di Provinsi Papua Barat, kondisi kepadatan penduduk juga rendah. Dari gambar kepadatan penduduk di kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat berkisar antara 1.19

orang per km2 sampai 290.3 orang/km2. Kepadatan terendah di Kabupaten Tambraw sementara yang teringgi adalah Kota Sorong. Namun demikian secara umum kepadatan penduduk di Provinsi Papua Barat sampai dengan tahun 2010 pun masih kurang dari 10 orang per km2. Hanya Kabupaten Manokwari kepadatan penduduk 13.7 orang per km2 dan Kota Sorong yang kepadatannya melebihi 10 orang per km2.

Gambar 4.40

Kepadatan Penduduk di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2010

Kondisi ini berimbas pada pelayanan bagi masyarakat, baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat. Bukan saja menyulitkan jangkauan pemberian layanan bagi masyarakat, namun juga menjadi kendala bagi efisiensi penyediaan layanan publik.

Persoalan lain berkaitan penduduk asli Papua. Pemerintah Daerah mencatat bahwa orang asli Papua sebagai penduduk tetap di wilayah Provinsi Papua mengalami pertumbuhan yang sangat lambat dan memprihatinkan karena tidak adanya kebijakan pembangunan di bidang kependudukan yang memberikan perlindungan terhadap keberaaan orang asli Papua. Masuknya penduduk luar Papua tanpa melalui pendendalian dan penertiban yang benar telah berdampak pada munculnya kesenjangan sosial antara penduduk luar dengan orang asli Papua. Di samping itu hal ini juga berdampak pada kurang terlindunginya hak-hak sebagai orang asli Papua. Dari sisi tingkat kesehatan juga berpengaruh terhadap kondisi kependudukan di Papua.

Tingginya angka kematian ibu dan anak menyebabkan lambatnya perkembangan orang asli Papua. Berangkat dari hal ini, Pemerintah Provinsi Papua menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan.

Secara umum kebijakan ini mencakup Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Daerah, baik Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, Hak dan Kewajiban Penduduk Orang Asli Papua dan Bukan Asli Papua, Pengendalian Penduduk, Penertiban Penduduk, Pertumbuhan Penduduk Orang Asli Papua, Administrasi Kependudukan, dan Ketentuan Pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan.

Melalui kebijakan ini Pemerintah Provinsi berwenang membatasi masuknya penduduk luar ke wilayah Provinsi Papua. Disebutkan bahwa setiap orang asli Papua berhak mendapatkan KTP khusus yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Orang asli Papua juga wajib melapor kepada pemerintah kampung, pemerintah kelurahan, dan atau lembaga agama setempat atas setiap peristiwa kelahiran dan kematian atau peristiwa penting lainnya yang dialami, melaporkan perkawinannya kepada instansi pemerintah daerah yang berwenang untuk dicatat dalam buku induk perkawinan dan pemberian akta perkawinan, serta wajib melaporkan pengangkatan anak yang dilakukan.

Sementara itu untuk penduduk bukan asli Papua yang datang ke wilayah Papua untuk kegiatan dan tujuan tertentu berhak mendapatkan Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS) dan Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPM). Penduduk bukan asli Papua diwajibkan untuk memiliki KIPS dan KIPM tersebut. Selain itu bagi penduduk bukan asli Papua diwajibkan membawa surat keterangan domisili dari daerah asal, membawa KTP dari daerah asal saat datang ke Provinsi Papua, membawa surat keterangan dari instansi pemerintah daerah yang berwenang yang memuat tujuan kedatangan ke Provinsi Papua, serta menyediakan biaya sebagai jaminan untuk perjalanan kembali ke daerah asal bagi penduduk yang tidak bekerja sebagai PNS, TNI, POLRI, dan bekerja pada Badan Usaha Swasta.

Melalui peraturan tersebut, Pemerintah Provinsi Papua mengatur pengendalian penduduk yang meliputi: menetapkan prosedur dan tata cara memperoleh kartu identitas bagi penduduk musiman, melakukan penertiban terhadap administrasi kependudukan secara terpadu, berkelanjutan, dan lintas sektor pada bidang sosial, ekonomi budaya dan lingkungan hidup. Bagi orang yang bukan asli Papua diwajibkan melapor kepada Pemerintah Kampung dan/atau kelurahan setempat pada saat pindah atau datang ke wilayah Papua selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah domisili. Badan hukum yang mengelola sarana transportasi laut dan udara wajib menyampaikan laporan tentang penduduk yang datang ke