• Tidak ada hasil yang ditemukan

20130131073026.Evaluasi Otsus Papua Dan Papua Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "20130131073026.Evaluasi Otsus Papua Dan Papua Barat"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

ada bagian ini dijelaskan mengenai latar belakang mengapa dilakukan penelitian ini, tujuan kajian yang ingin dicapai, batasan yang digunakan, metodologi secara singkat dalam penelitian ini dan kerangka kajian serta sistimatika penulisan.

A. Latar Belakang

Otonomi menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindari dengan negeri yang mempunyai luas, penduduk, pulau terbanyak dan suku yang beraneka ragam seperti Indonesia. Otonomi sendiri dapat diartikan sebagai pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (LAN, 2007). Pengalaman Orde Baru dengan pendekatan sentralisasinya ternyata tidak mampu membendung gejolak daerah-daerah yang menginginkan keadilan antara pusat dengan daerah, dikarenakan melalui pendekatan top down tersebut setiap daerah di Indonesia hanya bisa memajukan daerahnya dengan mengikuti segala aturan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Daerah tidak dapat menggali potensi yang dimilikinya guna memajukan dan mensejahterakan masyarakat daerahnya.

Selanjutnya berbagai kebijakan yang tersentralisasi juga belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat dan belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya di Provinsi Papua.

Tahun 1999, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri, namun dalam perjalanannya undang-undang tersebut dianggap belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat masyarakat Papua baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di wilayah Papua. Akhirnya pada Tahun 2001 Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

(2)

Kebijakan Otonomi Khusus Papua pada dasarnya merupakan pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Pemerintah Daerah Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang berarti peran dan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengatur

urusan rumah tangganya, menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Papua bagi kemakmuran rakyat Papua, diharapkan dengan kebijakan ini akan dapat mengurangi kesenjangan di Provinsi Papua dan Papua Barat dengan provinsi-provinsi lainnya dengan memberikan ruang lebih bagi masyarakat lokal Papua dan Papua Barat sebagai subyek utama dalam pembangunan.

Kebijakan Otonomi Khusus Papua tersebut tidak lepas dari sejarah panjang friksi yang terjadi antara daerah ini dan Pusat. Sentimen atas ketidakadilan yang diterima daerah ini telah memunculkan berbagai gejolak dimasa lampau yang mengarah pada proses disintegrasi. Gejolak yang menjadi respon atas ketidakadilan sosial ekonomi yang dialami rakyat Papua tersebut merupakan salah satu ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di tingkat lokal, di Provinsi Papua sendiri hal tersebut menjadi salah satu alasan atas keterbelakangan pembangunan yang dirasakan masyarakat Papua. Provinsi Papua yang kaya akan hasil alam, namun ironisnya Provinsi ini merupakan Provinsi yang paling banyak penduduk miskinnya dan tertinggal pembangunanya. Kondisi tersebut tentu saja mencerminkan kelemahan Negara dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelemahan inilah yang memicu tuntutan atas hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar bagi masyarakat Papua. Latar belakang ini tidak dapat dikesampingkan dalam mengkaji perkembangan pelaksanaan otonomi khusus Papua sampai saat ini.

Setelah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001diterbitkan dan mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2002, segenap Bangsa Indonesia berharap dapat menyaksikan perubahan-perubahan positif yang terjadi di Papua. Gejolak yang pernah dialami, secara politis diharapkan mampu diredam melalui kebijakan tersebut. Kebijakan ini pun dianggap dapat menjawab berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan pembangunan Papua yang tertinggal. Ketimpangan pembangunan Papua yang menyulut beragam masalah harapannya juga dapat dikurangi dan masyarakat Papua menjadi lebih sejahtera. Terlebih setelah terjadi pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

“Masalah yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua berawal dari belum berhasilnya Pemerintah mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, dan pengakuan terhadap hak-hak dasar rakyat Papua. Selain itu, persoalan mendasar seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia dan pengingkaran terhadap hak kesejahteraan rakyat Papua masih belum juga diselesaikan secara adil dan bermartabat”.

Tim Asistensi Otsus Papua (dikutip oleh Sumule, 2002: Djohermansyah Djohan, 2005)

(3)

pada tahun 2003 yang sempat mengalami tarik ulur selama beberapa tahun dan baru diresmikan pada tahun 2008 melalui penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008. Filosofi pemekaran daerah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sejalan dengan pelaksanaan otonomi khusus Papua.

Secara normatif, terdapat beberapa agenda utama yang ingin dicapai melalui kebijakan khusus ini. Pertama adalah agenda untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli melalui pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua dan Papua Barat yang sebelumnya dinilai belum digunakan secara optimal dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat Papua. Paralel dengan agenda tersebut adalah pengurangan kesenjangan antara Provinsi Papua dan Papua Barat dengan Provinsi lainnya. Kedua adalah agenda mewujudkan keadilan, dalam konteks kebijakan khusus ini adalah keadilan ekonomi dalam hal penerimaan hasil-hasil sumber daya alam Papua. Keadilan dalam konteks tersebut diterjemahkan dalam aspek dana perimbangan keuangan Pusat dan daerah Papua/Papua Barat, sementara untuk keadilan dalam konteks pembangunan secara lebih luas akan tampak dari capaian agenda pertama. Ketiga adalah penegakan Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, serta pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar. Keempat adalah penerapan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas, serta dukungan kelembagaan dan kebijakan yang memungkinkan tercapainya ketiga agenda sebelumnya.

Itikad pemerintah dalam mendukung agenda otonomi khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat terindikasi kuat dari meningkatnya jumlah dana Otonomi Khusus yang dialirkan ke kedua Provinsi. Dari sejak dana Otonomi Khusus digulirkan pada tahun 2002 sebesar Rp. 1,38 T, meningkat tajam pada tahun 2010 sebesar Rp. 2,69 T untuk Papua. Adapun Papua Barat yang mulai mendapatkan dana Otonomi Khusus sejak tahun 2009 setelah secara resmi dimekarkan dari Provinsi Papua. Peningkatan dana otonomi khusus dari tahun ke tahun ini seyogyanya mendorong peningkatan pelaksanaan otonomi khusus di kedua Provinsi.

Setidaknya terdapat empat program prioritas yang dilaksanakan untuk memacu perkembangan pembangunan rakyat dan daerah Papua, yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, serta pembangunan infrastruktur. Namun demikian cerita tentang Papua masih banyak didominasi atas keprihatinan yang dirasakan atas hasil-hasil pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan adanya pelajaran positif yang dapat diambil sepanjang pelaksanaan otonomi khusus yang hampir mencapai satu dekade ini. Bagaimana pencapaian agenda utama dari

(4)

kebijakan khusus ini perlu diketahui secara komprehensif. Di samping itu, penting untuk dikaji, sejauh mana Provinsi Papua dan Papua Barat mampu mengejar ketertinggalannya dengan provinsi lainnya sebagaimana diharapkan dengan adanya kebijakan otonomi khusus tersebut.

Kebijakan otonomi khusus tidak serta merta menjamin terselenggaranya pemerintahan daerah yang lebih baik di Papua. Pelaksanaannya memerlukan kapasitas pemerintahan yang memadai. Titik berat otonomi khusus Papua dan Papua Barat berada pada level provinsi. Namun demikian kabupaten/kota dalam provinsi tersebutlah yang secara riil menjadi lokus utama implementasi program pelaksanaan otonomi khusus tersebut. Di sisi lain, pemerintah Pusat juga memiliki peran penting dalam kebijakan ini. Kapasitas dan hubungan antara ketiga level pemerintahan ini perlu ditingkatkan untuk terselenggaranya pemerintahan daerah yang lebih baik di Papua.

Aspek yang penting dari pelaksanaan otonomi khusus adalah bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan. Dari segi kebijakan, sejumlah kebijakan pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat dan berbagai program pembangunan telah diterapkan. Kebijakan tersebut pada akhirnya juga berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya, khususnya finansial. Apakah pilihan-pilihan kebijakan/program dan alokasi sumberdaya telah berjalan optimal, perlu terus dimonitor dan ditingkatkan. Selain itu, pelaksanaan otonomi khusus juga berjalan beriringan dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pengganti Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang-Undang-Undang Sektoral dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Artinya, penerapan kebijakan otonomi khusus tidak dapat diisolasi dari lingkungan kebijakan lainnya. Perlu ada koherensi antar berbagai kebijakan yang bersinggungan dengan provinsi tersebut sehingga terbangun kebijakan yang sinergis.

Dalam perkembangannya, setelah 11 tahun keberlangsungan otonomi khusus di Papua ternyata belum dapat dikatakan berhasil, bila diukur dari 4 (empat) bidang pokok yang menjadi sasaran Otonomi Khusus seperti, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan pembangunan infrastruktur pada kenyataannya masih ditemukan berbagai permasalahan seperti masih banyak angka siswa putus sekolah, minimnya sarana belajar mengajar di kampung-kampung, keterbatasan tenaga pendidik hingga biaya pendidikan yang relatif mahal di sejumlah wilayah akibatnya, angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua masih tetap berada di urutan menengah ke bawah secara nasional, yakni di kisaran 50,0-65,9(BPS).

(5)

Selanjutnya di bidang kesehatan, kondisi pelayanan kesehatan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga masih jauh dari harapan. Kasus kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir, angka gizi buruk, HIV/AIDS, TBC, ispa, malaria, kusta dan penyakit lainya masih banyak terjadi .

Di sektor pemberdayaan ekonomi, pribumi Papua di Kota Jayapura dan sebagian besar kabupaten/kota di Papua masih tetap berjualan di pinggiran jalan berdebu, dibawah terik mata hari, emperan toko dan terus tergusur dari pasar yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dan pembangunan infrastruktur juga tidak banyak memberi manfaat bagi masyarakat asli Papua.

Selanjutnya, di bidang HAM, penegakan dan rekonsiliasi bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM tidak pernah berjalan, karena hingga 11 (sebelas) tahun Otonomi Khusus berlaku tidak pernah terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) maupun pengadilan HAM.

Kegagalan Otonomi Khusus juga disuarakan oleh berbagai lapisan masyarakat Papua, ketidakmanfaatan dari otonomi khusus yang awalnya merupakan suatu jalan dimana dapat menjadi jembatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua sepertinya tidak berjalan mulus. Seperti dilansir oleh TheJakartaglobe.com, Ferry Ayomi anggota Kongres Rakyat Papua

“Pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan otonomi khusus, karena kami (rakyat Papua) masih tertinggal dalam situasi kemiskinan,”

Tuntutan untuk menelaah kebijakan otonomi khusus semakin mengemuka, bukan lagi dalam bentuk telaah namun evaluasi secara menyeluruh dan komprehensif terhadap pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Pemerintah sebagai penanggung jawab akhir pelaksanaan otonomi daerah telah menyatakan siap untuk mengevaluasi otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Untuk itu, Kementerian Dalam Negeri dan Lembaga Administrasi Negara (Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah) serta Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan Indonesia bekerjasama untuk mempersiapkan dan melaksanakan Evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.

Terdapat beberapa argumen yang mendasari pentingnya evaluasi ini dilakukan, diantaranya: Pertama, implikasi dari dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinisi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang, Inpres Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat*) telah memberi ruang kewenangan yang lebih kepada

(6)

Provinsi tersebut. Ibarat dua sisi mata uang logam, dibalik kewenangan ini tentu melekat berbagai tanggung jawab yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pelaksanaan otonomi khusus tersebut harus menghasilkan kinerja yang signifikan mendorong percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Berdasarkan hasil temuan berbagai kajian terdahulu dapat ditarik kesimpulan umum bahwa otonomi khusus belum dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Hal yang paling kasat mata adalah kondisi ketertinggalan Provinsi Papua dan Papua Barat yang masih sangat mencolok. Kinerja yang dipengaruhi dinamika yang terjadi di kedua Provinsi ini perlu dipantau perkembangannya seaktual mungkin.

Kedua, konsekuensi logis dari alasan diterapkannya otonomi khusus di atas berimplikasi pada pengaturan kebijakan, kelembagaan, sumber daya, maupun program pembangunan, yang tidak hanya memerlukan pengaturan khusus yang sesuai, namun bagaimana interaksinya dengan kebijakan umum lainnya merupakan aspek-aspek yang krusial bagi terselenggaranya otonomi khusus dengan baik.

Ketiga, penerapan kebijakan tidak lepas dari berbagai masalah dan tantangan yang harus dihadapi. Diperlukan pemahaman yang komprehensif atas permasalahan dan tantangan yang dihadapi sepanjang perjalanan pelaksanaan otonomi khusus yang dinamis.

Keempat, otonomi khusus Papua dan Papua Barat merupakan pilihan yang masih perlu untuk terus dijalankan, khususnya untuk memperkuat integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua. Namun ke depan perlu ada upaya yang tepat dan berkelanjutan untuk perbaikan pelaksanaan Otonomi Khusus dan percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat.

B. Tujuan Kajian

Secara umum, tujuan Kajian Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat adalah:

1. Mengetahui apa saja masalah-masalah pada level kebijakan yang perlu mendapat perhatian, sebagai bahan pertimbangan perbaikan ke depan;

2. Mengetahui bagaimana implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat terkait pengaturan dan pelaksanaan pengelolaan keuangan, kewenangan-kewenangan khusus, lembaga khusus dan kekhususan lainnya;

3. Mengidentifikasi masalah-masalah kebijakan dan implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat, khususnya terkait pengelolaan keuangan dan pelaksanaan kewenangan khusus;

(7)

4. Mengembangkan strategi perbaikan untuk memperkuat operasional kebijakan dan implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat.

C. Batasan Penelitian

Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas sehingga penelitian dapat terarah dengan baik sesuai tujuan penelitian serta dengan adanya keterbatasan waktu pengerjaan maka perlu adanya batasan penelitian. Batasan penelitian dalam keterkaitan kekhususan lainnya hanya terbatas kepada Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yaitu Perdasi dan Perdasus.

D. Metodologi dan Kerangka Pikir Kajian

1. Teknik Pengumpulan dan Analisa Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah pengumpulan data primer dan sekunder. Data sekunder digunakan untuk data pendukung yang dibutuhkan untuk melengkapi data primer, dapat berupa konsep/literatur, kebijakan, berita media massa, hasil kajian-kajian yang terkait, dan laporan-laporan seperti: Provinsi, Kabupaten/Kota dalam angka yang biasanya disajikan oleh Bappeda Kabupaten dan Kota/Badan Pusat Statistik, Data/Laporan Hasil EKPPD, LAKIP, Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Tahunan, APBD Provinsi Papua dan data-data lainnya yang digunakan untuk menganalisa dan menggambarkan bagaimana pencapaian pembangunan Papua dan Papua Barat pada masa pelaksanaan otonomi khusus dan juga bagaimana kebijakan terimplementasikan di daerah tersebut. Data primer dikumpulkan selain juga melalui kuesioner yang dibagikan kepada responden-responden yang mewakili juga melalui wawancara dengan pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten/kota, perwakilan masyarakat, akademisi dan LSM. Diskusi kelompok terarah (focus

group discussion) juga dilakukan dengan para politisi, akademisi dan komunitas bisnis serta

seminar dengan para pihak terkait yang hasilnya digunakan dalam rangka mendapatkan informasi kebutuhan pengembangan kapasitas daerah Papua dan Papua Barat dalam mewujudkan tujuan otonomi khusus dan diharapkan melalui FGD juga akan didapatkan berbagai informasi yang terkait dengan persepsi, verifikasi, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan dimensi sosial budaya. Wawancara dan FGD dimaksudkan untuk memastikan konsistensi data dan menghindari terjadinya salah tafsir (mis-interpretasi).

2. Daerah Penelitian

Untuk analisa data pelaksanaan otonomi khusus, daerah penelitian mencakup Provinsi Papua dan Propinsi Papua Barat, dan untuk studi lapangan digunakan sampel beberapa daerah yaitu

(8)

Provinsi Papua Barat meliputi Kabupaten Manokwari, Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan sedangkan Provinsi Papua meliputi Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Mimika dan Kabupaten Merauke.

3. Kerangka Pikir Kajian

Kerangka pikir kajian yang dikembangkan dalam penelitian ini, dengan mengacu kepada acuan pokok kebijakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 yaitu Keuangan Khusus, Kewenangan Khusus, dan Kelembagaan Khusus dan Kekhususan Lainnya yang digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Kajian

KEUANGAN DAN PENGELOLAANNYA LEMBAGA KHUSUS KEWENANGAN KHUSUS KEKHUSUSAN LAINNYA  DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PAPUA (DPRP) & DPRPB  MAJELIS PERWAKILAN PAPUA (MRP) & MRPB  PEREKONOMIAN  PENDIDIKAN  KESEHATAN  KEPENDUDUKAN & KETENAGAKERJAAN  LINGKUNGAN HIDUP  SOSIAL  INFRASTRUKTUR

PERDASI & PERDASUS

KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS PAPUA & PAPUA BARAT

ID E N T IF IK A SI M A S A L A

H STRATEGI PERBAIKAN PENYELENGGARAAN

OTONOMI KHUSUS PAPUA DAN PAPUA BARAT

Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa penelitian ini dapat diketahui bahwa untuk menghasilkan strategi perbaikan kebijakan dibutuhkan berbagai masukan–masukan dari identifikasi permasalahan yang terkait komponen-komponen kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat sendiri yaitu keuangan khusus, kewenangan khusus, kelembagaan khusus dan kekhususan lainnya yaitu perdasi dan perdasus.

(9)

E. Sistematika Penyajian

Laporan Kajian

Adapun Sistematika penyajian laporan kajian ini adalah : BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan latar belakang, tujuan kajian, metode dan kerangka pikir kajian dan sistematika penyajian.

BAB II KERANGKA KONSEP

Pada bab ini diuraikan teori-teori evaluasi kebijakan, implementasi kebijakan dan assimetris desentralisasi yang sesuai untuk dijadikan dasar atau landasan untuk membahas tentang kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat.

BAB III KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS PAPUA DAN PAPUA BARAT

Pada bab ini diuraikan penjelasan kebijakan otonomi khusus dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008.

BAB IV DESKRIPSI HASIL PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan sub pokok bahasan yang pertama tentang gambaran umum kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat, Implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat, dan terakhir strategi alternatif perbaikan penyelenggaraan otonomi khusus Papua dan Papua Barat

BAB IV PENUTUP

Pada bab ini diuraikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil laporan yang dibahas dari bab sebelumnya dan saran-saran yang dipandang perlu berdasarkan atas kesimpulan yang dikemukakan.

(10)

BAB II

KERANGKA KONSEP

ada bab ini akan dijelaskan mengenai pengkajian konsep atau teori yang berkaitan dengan desentralisasi asimetris dan implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan otonomi khusus serta pembahasan penelitian yang relevan

A. Pengkajian Teori

1. Desetralisasi Asimetris

Desentralisasi merupakan suatu cara yang efektif dalam memperbaiki bentuk pelayanan dengan mendekatkan penyedia layanan publik dengan lebih memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dalam pendistribusian layanan masyarakat. Desentralisasi juga diakui di negara berkembang sebagai jalan pintas dalam mempercepat pengentasan kemiskinan (poverty reduction) dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic

growth) melalui penataan manajemen pemerintah yang efektif dan efisien (Osborne dan

Gaebler, 1992).

Cornelis Lay1 yang dikutip Suara Karya Online, Desentralisasi merupakan bentuk

koreksi terhadap praktek sentralisasi Orde Baru dengan tujuan mengakomodasi aspirasi dari daerah-daerah yang termarjinalkan, penerapan yang paling ideal untuk Indonesia adalah Desentralisasi asimetri yaitu desentralisasi yang disesuaikan dengan daerah masing-masing artinya tidak disamaratakan secara seragam penerapannya terhadap seluruh daerah di Indonesia.

Kebijakan desentralisasi (Otonomi Khusus) yang diterapkan di Papua, menurut Kausar (2006:2) merupakan refleksi dari pendekatan desentralisasi yang “asimetris”. Artinya, kebijakan desentralisasi yang diterapkan di Papua tidaklah simetris dengan desentralisasi di provinsi lainnya di Indonesia. Pendekatan asimetris dilakukan untuk mengakomodasikan perbedaan yang tajam antara Papua dengan daerah lainnya. Dengan pendekatan kebijakan itu, kekhususan daerah dapat diakomodasikan tanpa harus menciptakan separatisme dalam bentuk pemisahan diri dari negara induk. Dengan demikian, pendekatan desentralisasi di Papua pada hakikatnya tetap dimaksudkan untuk mencapai tujuan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri.

Selain itu berbagai literatur berkaitan dengan devolusi asimetris, juga dapat ditelaah untuk memahami konsep kekhususan otonomi Papua dan Papua Barat. De facto asymmetry

1 Disampaikan saat penyampaian aspirasi dengan Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR, 19 Februari 2010

P

(11)

merujuk pada adanya perbedaan kondisi antara daerah satu dengan lainnya. Misalnya saja dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa. Sehingga muncul perbedaan dalam pemberian otonomi, baik sistem perwakilan atau kewenangan karena adanya perbedaan karakteristik tadi. De jure asymmetry merupakan produk konstitusi yang didesain secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu, kepada daerah tertentu saja dengan alasan yang berbeda.

Asimetri, didefinisikan sebagai perbedaan status dan/atau kekuasaan (power) diantara unit-unit yang menjadi bagian suatu Negara federal atau Negara yang terdesentralisasi yang termaktub dalam konstitusi atau ketentuan hukum lainnya (Hombrado,2001). Adapun desentralisasi asimetris merupakan suatu kondisi dimana tidak semua unit yang terdesentralisasi, diberikan fungsi, kewajiban-kewajiban, sekaligus kekuasaan yang sama. Banyak negara di dunia yang menerapkan desentralisasi asimetris, baik politik maupun administrative (Livack, Jeanni, dkk 1998). Secara teoritis, desentralisasi asimetris berhubungan dengan sebuah transfer kekuasaan fiskal, kewenangan, dan tanggung jawab dengan “takaran yang berbeda” diberbagai daerah yang berbeda dengan mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan suatu negara dan taraf pembangunannya.

Munculnya konsep desentralisasi asimetris (asymmetric decentralisation) berawal dari konsep asymmetric federation yang diperkenalkan oleh Charles Tarlton (1965), dan selanjutnya dikembangkan oleh Andrew Tilin. Menurut Tillin (2006), terdapat dua jenis

asymmetric federation, yakni de facto dan de jure asymmetry. De facto asymmetry merujuk

pada adanya perbedaan kondisi antara daerah satu dengan lainnya. Misalnya saja dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa. Sehingga muncul perbedaan dalam pemberian otonomi, baik sistem perwakilan atau kewenangan karena adanya perbedaan karakteristik tadi. De jure asymmetry merupakan produk konstitusi yang didesain secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu, kepada daerah tertentu saja dengan alasan yang berbeda.

Disebutkan pula oleh Livack, Jeanni, dkk (1998) bahwa dengan banyaknya perbedaan yang ada, baik dalam yurisdiksi politik maupun perbedaan karakteristik urusan rumah tangganya, model “one size fits all” tidak sesuai bagi desentralisasi. Argumennya, instrumen yang berbeda bisa menghasilkan efek yang berbeda dalam kondisi yang berbeda. Demikian pula dengan pendekatan yang berbeda, ini pun bisa saja dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang sama. Untuk mengakomodasi kebutuhan pendekatan bagi perbedaan tersebut,

(12)

kebijakan pusat yang asimetris yakni dengan memperlakukan unit yang berbeda secara berbeda bisa diperlukan untuk mendapatkan hasil (outcome) yang sama.

Desentralisasi asimetris dapat dijumpai dalam berbagai model. Ditinjau dari relasi antara otoritas pusat dan daerah dapat diidentifikasi berbagai tipe kekhususan/asimetri: Pertama, kekhususan/asimetri politis (political asymmetry), diterapkan khususnya untuk alasan non ekonomi dan alasan politis di negara-negara dimana unit pemerintahan daerahnya memiliki kapasitas yang berbeda, atau dimana terdapat unit pemerintahan daerah yang memiliki tugas tanggung jawab yang berbeda. Kedua, kekhususan (asimetri) administratif (administrative asymmetry), kekhususan dicapai dengan adanya kesepakatan antara otoritas pusat dan otoritas daerah dimana kompetensi disepakati dengan mempertimbangkan kapasitas administratif otoritas lokal. Ketiga, kekhususan/asimetri fiskal (fiscal asymmetry). Kekhususan politis maupun administratif pada umumnya diikuti dengan dimensi finansial yang khusus2.

Selain ditemukan kekhususan/asimetri secara de jure, de facto atau keduanya, dapat pula dijumpai kekhususan yang diimplementasikan pada keseluruhan wilayah atau hanya pada wilayah tertentu yang membutuhkan adanya kekhususan. Misalnya ditemukan di Spanyol dan Kanada. Disamping itu, dimungkinkan pula dilakukan desentralisasi asimetrik dengan mendesentralisasikan tugas-tugas secara langsung dari pemerintah pusat kepada swasta daripada pemerintah daerah. Desentralisasi asimetris diberbagai negara diterapkan secara temporer. Terdapat pula desentralisasi asimetris yang diterapkan secara permanen atau untuk jangka waktu yang panjang (long term asymmetrical decentralization).

Contoh yang menarik tentang desentralisasi asimetris dijumpai di Republik Macedonia, dimana desentralisasi fiskal yang asimetris diimplementasikan secara bersyarat (conditional fiscal decentralization based on asymmetric transfer of grants). Dalam hal ini masing-masing Municipal mendapatkan hak yang sama dalam hal kompetensi dan sumber finansial, namun memperhatikan aturan spesifik untuk memasuki langkah selanjutnya dalam proses desentraslisasi. Selain itu, adanya kenyataan bahwa beberapa unit bisa saja tidak memenuhi kriteria akan diperhitungkan sehingga konsekuensinya, unit-unit tersebut akan tetap berada pada tahapan yang lebih rendah. Pendekatan asimetris dalam proses desentralisasi fiskal asimetris di Republik Macedonia berlandaskan pada prinsip bahwa transfer kompetensi dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas

2

Lihat pembahasan oleh Aleksandra Maksimovska Veljanovski, The Model of the Asymmetric Fiscal Decentralisation in the Theory and the Case of Republic of Macedonia, Iustinianus Primus Law Review Vol1.1

(13)

municipal dan alokasi pendapatan (revenue assignment) untuk menjamin kinerja finansial yang tepat dan efektif. Oleh karena itu aktivitas finansial pada tingkat lokal mengalami perbaikan dibanding kondisi sebelumnnya.

Model yang berbeda diterapkan di China, dimana mekanisme desentralisasi ekonomi asimetris diterapkan bersama dengan sentralisasi politik dibawah partai yang berkuasa dengan control yang ketat dari Chinese Communist Party (CCP). Terminologi assimetris dalam hal ini juga memerujuk pada konsep bahwa Pemerintah Pusat masih memegang kendali diatas. Desentralisasi hanya diberlakukan dalam ekonomi .

Terdapat sejumlah tujuan positif tentang manfaat desentralisasi asimetris. Desentralisasi asimetrik bisa menjadi model yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan politis yaitu tujuan stabilitas, integrasi, dan legitimasi bagi pemerintahan nasional. Kekhususan yang dimiliki daerah-daerah berdasarkan sejarah, etnis bahasa, agama, ataupun kombinasinya akan terakomodasikan melalui struktur pemerintahan khusus (Leemans ,1970;Ramses M, 2009). Model desentralisasi asimetris dianggap sebagai berpotensi menyelesaikan konflik yang bersifat politis dan etnis dalam kondisi sosial yang terfragmentasi.Dengan demikian pilihan otonomi khusus secara konsep dapat menjadi strategi untuk mengakomodasi tuntutan dan identitas lokal yang seringkali menimbulkan gejolak perlawanan terhadap pemerintahan nasional.

Alasan lain penerapan desentraslisasi asimetris dilandasi oleh tujuan ekonomi seperti pencapaian efisiensi kepemerintahan daerah, peningkatan kualitas pelayanan. Perbedaan instrument fiskal antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam desentralisasi fiskal asimetris juga dilandasi argumen ekonomis, sebagaimana disampaikan oleh Tiebout (1956)dan Oates (1972) bahwa system yang terdesentralisasi akan lebih mampu mengakomodasi perbedaan pilihan untuk pelayanan publik. Tujuan efisiensi tersebut selaras dengan motif administratif dalam penerapan desentralisasi asimetris, khususnya berkenaan dengan adanya perbedaan kapasitas antar daerah dalam menjalankan administrasi publik.Penyediaan properti dan pelayanan publik serta kebijakan publik yang efisien bergantung pada birokrasi yang berfungsi dengan baik. Di samping itu hal ini juga dipengaruhi oleh institusi politik yang mendukung. Jika daerah memiliki kapasitas yang lebih baik dalam menjalankan pemerintahan daripada daerah lain, akan lebih efisien jika kewenangan fiskal tertentu didesentralisasikan pada daerah yang memiliki kapasitas yang lebih baik daripada diberikan pada daerah yang kapasitasnya tidak memenuhi.

Joachim Wehner berpendapat yang serupa mengenai manfaat desentralisasi asimetris. Menurutnya tatanan yang asimetris bisa saja merupakan produk yang dilandasi tujuan politis, untuk mencegah ketegangan etnis atau religious namun juga dapat dilakukan untuk

(14)

mencapai tujuan-tujuan ekonomi seperti efisiensi, pengelolaan makro ekonomi yang lebih baik, dan harmonisasi dalam bidang administrasi (administrative cohesion)3. Pendekatan

asimetris seperti diterbitkannya aturan fiskal khusus dapat diterapkan di negara yang memiliki banyak perbedaan. Disamping itu, hal semacam ini juga dapat diimplementasikan dengan tujuan politis dimana daerah tertentu mengalami ketimpangan pembangunan dan populasi multietnis.

Devolusi yang diikuti dengan transfer kekuasaan dan pengorganisasian institusi pemerintahan yang substansial serta akses pada sumber daya yang penting dapat meningkatkan identitas regional tanpa melemahkan identitas nasional. Pengalaman semacam ini dapat dilihat pada desentralisasi asimetris diberbagai negara seperti Kanada, Spanyol, maupun Britania.

Desentralisasi asimetris juga diterapkan untuk tujuan hukum (legal reasons). Hal ini dilakukan dalam rangka memenuhi ketentuan konstitusional. Disamping itu, desentralisasi asimetris untuk tujuan ini bisa juga dilakukan dalam rangka menjalankan kesepakatan internasional yang telah diratifikasi (ratified international agreements). Penerapan desentralisasi asimetris, sekalipun memungkinkan tercapainya manfaat sebagaimana disampaikan dalam argumen positif tentang kebijakan tersebut, juga memungkinkan timbulnya berbagai persoalan atau resiko-resiko tertentu. Livack, Jeanni, dkk (1998) mencatat bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan masalah yang fundamental: yakni perlunya suatu hukum yang memperlakukan semua unit dengan sama disatu sisi, sementara disisi lain dihadapan kenyataan bahwa ada perbedaan yang luas diantara unit-unit tersebut. Ditambahkan pula bahwa pendekatan desentralisasi asimetris juga memiliki resiko meningkatkan kesenjangan, karena adanya kekuasaan (power) yang lebih (Livack, Jeanni, dkk, 1998).

Selain itu sejumlah literatur yang mengkaji tentang penerapan desentralisasi asimetris di berbagai negara, memberikan catatan khusus yang perlu dipertimbangkan. Meski model ini dapat dipertimbangkan untuk menyelesaikan konflik politik dan etnis dalam masyarakat yang terfragmentasi, namun tidak menjamin bahwa masyarakat yang terfragmentasi tersebut dapat menjadi lebih koheren jika pemerintah pusat hanya menerapkan desentralisasi politik, administratif, dan fiskal saja. Reformasi lain perlu dilakukan untuk mendukung kebijakan tersebut. Pendekatan asimetris tidak mengarah pada separatism, namun sebaliknya dapat memelihara unitarisme. Akan tetapi kebutuhan riil, kondisi, dan kapasitas masing-masing area haruslah menjadi kriteria pembedaan transfer khusus atas kompetensi dan tanggung jawab dengan tujuan untuk meningkatkan

(15)

kualitas pelayanan publik dalam unit-unit lokal yang dikelola secara berbeda di suatu negara. Sejarah yang ditunjukkan berbagai negara Balkan seperti Macedonia, Serbia, Kosovo memberikan pelajaran bahwa upaya tersebut tidak berjalan tanpa masalah, sementara dalam benak masyarakat mereka tetap menginginkan pendekatan yang berbeda untuk menyelesaikan masalah keseharian mereka. Logika fiskal dalam hal ini bisa terlihat tidak relevan ketika dihadapkan pada masalah keseharian yang dihadapi masyarakat lokal. Diperlukan suatu model desentralisasi yang spesifik. Livack, Jeanni, dkk (1998) juga memberikan catatan bahwa pilihan prinsip-prinsip (model) yang diterapkan dalam desentralisasi asimetris mempengaruhi keberhasilannya.

Di berbagai negara kesatuan, contoh penerapan desentralisasi asimetrik dapat dijumpai di Spanyol-Catalonia, Basque Country, dan Galicia, Italia-di 5 (lima) daerah, Perancis- Corsica, Denmark- Greenland, Tanzania- Zanzibar, UK-Irlandia Utara, Scotland, Wales, Finlandia- Sami dan sebagainya. Di Spanyol, pemerintah pusat mengatur level otonomi yang berbeda bagi daerah. Catalonia, Basque Country, dan Galicia memiliki derajat otonomi yang cenderung lebih besar dibanding daerah lain. Hal ini mempertimbangkan sentimen nasionalis dan hak-hak yang telah dimiliki daerah-daerah tersebut secara historis. Desentralisasi fiskal asimetris mampu memenuhi tuntutan nasionalistik dan menurunkan ketegangan antar daerah di Spanyol dan menjadi landasan yang penting dalam transisi menuju demokrasi4.

Italia, menerapkan desentralisasi asimetris yang dituangkan dalam hukum konstitusi yang disahkan oleh Parlemen Italia. Terdapat lima daerah, yakni Sardinia, Sicily, Trentino-Alto Adige/Südtirol, Aosta Valley, dan Friuli-Venezia Giulia, yang memiliki otonomi yang khusus. Status otonomi khusus tersebut memberikan kekuasaan yang relatif lebih besar dalam hal legislasi dan administrasi.Di samping itu, daerah tersebut juga memiliki otonomi finansial yang signifikan. Friuli-Venezia Giulia memiliki 60% dari keseluruhan pajak, sementara Sicily memiliki 100% dari pajak dan daerah-daerah tersebut memiliki kebebasan menentukan bagaimana pendapatan tersebut digunakan. Otonomi khusus tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang dihuni penduduk berbahasa minoritas. Aosta Valley dihuni penduduk berbahasa Prancis, Friulli-Venezia Giulia penduduknya kebanyakan berbahasa Slovenia, sementara Trentino-Alto Adige/Südtirol penduduknya mayoritas berbahasa Jerman. Di samping itu, kondisi geografis yang terisolasi juga turut menjadi pertimbangan.

4 Teresa Garcia-Milà dan Therese J. McGuire, 2002, Fiscal Decentralization in Spain: An Asymmetric

(16)

Dalam praktek otonomi daerah di Indonesia paling tidak terdapat tiga bentuk yang dapat dipertimbangkan dan/atau dikembangkan lebih lanjut. Pertama, desentralisasi asimetris yang dikemas dalam kerangka Undang-Undang yang berlaku saat ini, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kedua, desentralisasi asimetris sesungguhnya juga sudah terjadi di Indonesia dalam bentuk variasi otonomi yang diberikan kepada daerah. Saat ini, terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1) otonomi luas untuk kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk provinsi, 3) otonomi khusus untuk Papua ( Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001) dan Nangroe Aceh Darussalam (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006), serta 4) otonomi khusus Jakarta sebagai Ibukota Negara (Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007).

Desentralisasi asimetris yang dianut dalam Undang-Undang tentang Otonomi khusus Papua mencakup aspek politis dan fiskal. Dalam banyak hal, tujuan politis dan ekonomis cenderung mewarnai kebijakan otonomi khusus Provinsi Papua sebagaimana disinggung dalam penjelasan konsep di atas. Kebijakan ini tidaklah permanen, meski diterapkan dalam jangka panjang, pada akhirnya kekhususan dalam hal perimbangan keuangan akan dikurangi setelah jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan.

2. Implementasi Kebijakan dan Evaluasi Kebijakan Otonomi Khusus

Implementasi menurut kamus Webster berasal dari kata to implement

(mengimplementasikan) yang juga berarti menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu dan to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Oleh karena itu definisi implementasi kebijakan banyak dikemukakan oleh para ahli lebih difokuskan pada dampak atau akibat dari suatu kebijakan yang dilakukan oleh individu-individu, kelompok-kelompok atau para aktor yang terkait dalam organisasi pelaksana.

Dalam bahasa Pressman dan Wildavsky (1973), kebijakan adalah suatu hipotesis yang berisi kondisi awal dan prediksi hasil-hasilnya. Oleh karena itu implementasi disebut sebagai ‘process of interaction between the setting of goals and actions geared to achieve them. It is

essentially and ability to ‘forge links’ in a causal chain so as to put policy into effect’. Menurut

mereka implementasi akan berjalan tidak efektif jika hubungan antara berbagai lembaga yang terlibat memperlihatkan ‘ketidakcakapan dalam mengimplementasikan (implementation

deficit)’. Tujuan harus jelas didefinisikan dan dimengerti, sumberdaya harus memadai, rantai

komando harus mampu menyatukan dan mengontrol sumberdaya. Di samping itu harus ada komunikasi yang efektif dalam sistem dan ada kontrol yang baik atas individu dan organisasi yang terlibat dalam tugas-tugas yang ada. Pressman dan Wildavsky juga berpendapat bahwa implementasi haruslah merupakan proses yang linier dimana arah kebijakan diterjemahkan

(17)

menjadi aktivitas-aktivitas program dengan sedikit mungkin adanya deviasi. Kemudian, pembuat kebijakan berdasarkan pemikiran Pressman dan Wildavsky mempunyai peranan yang paling signifikan karena merupakan satu-satunya tokoh penting dan lainnya merupakan pelaksana saja dalam proses implementasi tersebut. Oleh karenanya, dalam pandangan mereka implementasi membutuhkan sistem kontrol dan komunikasi serta sumber daya dari atas ke bawah (top down) yang memadai (Parson, 1995).

Dalam perkembangan selanjutnya muncul berbagai pendapat tentang fenomena yang kompleks dari implementasi kebijakan5. Analisis tentang implemantasi perlu memperhatikan

fenomena tersebut yang mencakup: (1) bentuk kebijakan dan kontennya, (2) organisasi dan sumber dayanya; (3) pelaku termasuk didalamnya mengenai talenta-talenta, motivasi-motivasi, kecenderungan-kecendungan, dan hubungan/relasi antar personal termasuk pola komunikasinya. Studi yang dilakukan oleh Wildavsky dan Majone serta Browne selanjutnya menyimpulkan bahwa proses implementasi melibatkan peran pelaksana dalam merumuskan kebijakan sebagaimana dalam melaksanakan tujuan kebijakan yang ditetapkan dari atas (Parson, 1995). Hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam pendekatan yang murni top

down dalam implemantasi.

Kelemahan lain ditunjukkan oleh Michael Lipsky dimana pendekatan top down tidak memperhitungkan peran para aktor dan tingkatan dalam proses implementasi. Disebutkan bahwa pelaksana di lapangan (street-level) harus diperhitungkan. Hal ini memunculkan model

bottom-up models, yang mana member penekanan pada fakta bahwa para pelaksana di

lapangan memiliki ruang diskresi dalam mengimplementasikan kebijakan (Parson, 1995). Pada implementasi kebijakan pada dasarnya terdapat ruang diskresi yang bisa saja sangat luas, karena kebijakan atau undang-undang mengandung elemen yang dapat diinterpretasikan secara berbeda-beda (interpretative element). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Davis, 1969 (dikutip oleh Parson, 1995) : ‘A public officer has discretion

wherever the effective limits on his power leave him free to make a choice among possible courses of action and inaction. Whether the mode of implementation is top down or bottom up, those on the front line of policy delivery have varying bands of discretion over how they choose to exercise the rule which they are employed to apply’. Pendapat tersebut dapat dipahami bahwa sepanjang

otoritas yang dimilikinya, pelaksana kebijakan bisa memilih apa yang dikehendakinya untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan. Apapun pendekatannya (baik top down atau bottom up), para pelaksana kebijakan memiliki banyak pilihan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan

5 Konsep ini dianggap sebagai generasi kedua dalam studi implementasi. Dalam kelompok ini antara lain

adalah Daniel Mazmanian dan Paul Saatier (1975), Donald S. Van Meter dan Carls E. Van Horn menulis buku yang berjudul ”The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework in Administration and Society” serta Merilee S. Grindle menulis buku yang berjudul “Politics and Policy Implementation in The Third World”.

(18)

yang telah ditetapkan. Adanya diskresi ini di satu sisi bisa memudahkan para pelaksana, namun jelas juga dapat menimbulkan masalah.

Perkembangan selanjutnya, muncul konsep implementasi kebijakan generasi ketiga yang lebih mengintegrasikan pertimbangan-pertimbangan utama dengan variable-variabel penelitian top-down dan bottom-up.6 Dalam pendekatan ini lebih difokuskan kepada desain

kebijakan dan jejaring kebijakan serta implikasinya terhadap bagaimana keberhasilan dari implementasi kebijakan. Elemen tersebut merupakan hal terpenting yang akan dievaluasi atau dengan kata lain seberapa baik suatu program dan kebijakan itu didesain akan mempengaruhi tingkat keberhasilan dari implementasinya dalam jejaring kebijakan tertentu. Integrasi kedua elemen tersebut memungkinkan masalah yang timbul akibat adanya diskresi dalam implementasi dapat dikelola.

Terkait dengan kebijakan otonomi khusus, setelah pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat menerima mandat dan tanggung jawab baru tersebut yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pelaksanaannya (implemantasinya). Oleh karena itu dalam perspektif para pelaksana di daerah, desentralisasi tidak hanya berarti sebuah tanggung jawab baru yang kompleks, namun juga suatu bentuk hubungan yang berbeda dengan berbagai tingkatan pemerintahan yang harus dikelola secara simultan. Bagi mereka, hal ini menjadi arena baru-dengan mandat, aturan, tingkat kesulitan yang baru, dimana mereka dituntut untuk berkinerja. Hal ini bisa saja menjadikan seperti apa bentuk desentralisasinya tidak terlalu diambil pusing. Namun yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah daerah beradaptasi dengan tuntutan dan harapan yang baru serta bagaimana mengelola kompleksitas tanggung jawab yang didesentralisasikan (Grindle,2007) .

Ada karakteristik tertentu dalam implementasi kebijakan desentralisasi, sehingga faktor yang bisa mempengaruhi keberhasilannya pun khas untuk kebijakan sejenis ini. Cheema dan Rondinelli (1983, hal. 26-31) menyebutkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan desentralisasi. Sebagaimana diilustrasikan dalam gambar, faktor tersebut mencakup kondisi lingkungan, hubungan antar organisasi, sumberdaya untuk implementasi program, karakteristik lembaga pelaksana, yang keterkaitan mempengaruhi kinerja dan dampak implementasi kebijakan desentralisasi.

6

Generasi ketiga ini antara lain dimotori oleh Malcolm L Goggin, Ann Ann O’M Bownman, James Lester dan Lautence J O’toole dengan bukunya yang berjudul “Implementation Theory and Practice – Toward a third Generation”.

(19)

Gambar 2.1

Proses Implementasi Program menurut G. Shabir Cheema dan Dennis A. Rondinelli

Kondisi Lingkungan 1. Tipe system Pol 2. Struktur pembangunan Kebijakan 3. karakteristik struktur politik lokal 4. kendala sumberdaya 5. sosio kultural 6. Derajad keterlibatan para penerima program 7. Tersedianya infrastruktur fisik yg cukup

Hub. Antar Organisasi 1. Kejelasan & konsistensi sasaran program 2. Pembagian fungsi antar instansi yang pantas 3. Standardisasi prosedur perencanaan, anggaran, implementasi & evaluasi 4. Ketepatan, konsistensi & kualitas komunikasi antar instansi

5. Efektivitas jejaring utk mendukung program

Sumberdaya Organisasi 1. control terhadap sumber dana.

2. keseimbangan antara pembagian anggaran & kegiatan program 3. Ketepatan alokasi angg 4. pendapatan yg cukup utk pengeluaran 5. Dukungan pemimpin pol pusat 6. dukungan pemimpin politik lokal 7. komitmen birokras i

Karakteristik & Kapabilitas Instansi Pelaksana : 1. Ketrampilan teknis , manajerial & politis petugas 2. Kemampuan utk mengkoordinasi, mengontrol & mengintegrasikn kepts . 3. Dukungan & sumberdaya pol instansi

4. 4. Sifat kom internal 5. Hub yg baik antara instansi

dg kel sasaran 6. Hub instansi dg pihak diluar pemt & NGO 7. Kualitas pemimpin instansi yg bersangkutan 8. komitmen petugas terhadp program 9. kedudukan instansi dlm hirarki sistem adm

Kinerja dan Dampak 1. Tingkat sejauh mana program dpt mencapai sasaran 2. adanya perubahan kemampuan adm pd orgs lokal

3. Berbagai keluaran & hsl yg lain

Sumber: Subarsono, 2005:102

Lebih lanjut, pendapat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.  Kondisi lingkungan (environtmental conditions)

Pemahaman akan kondisi sosial ekonomi dan politik yang melatarbelakangi munculnya suatu kebijakan sangat diperlukan untuk menganalisa implementasi kebijakan. Suatu kebijakan muncul dari lingkungan sosial ekonomi yang spesifik dan kompleks serta lingkungan politis. Hal ini tidak saja menentukan substansi dari suatu kebijakan, namun juga bentuk dari hubungan antar organisasi yang terlibat didalamnya beserta karakteristik pelaksana beserta jumlah dan jenis sumberdaya yang digunakan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

Hubungan antar organisasi (interorganizational relationship)

Keberhasilan suatu kebijakan memerlukan interaksi dan koordinasi organisasi pemerintahan pada berbagai level, baik nasional, regional, maupun di tingkat lokal. Hal ini utamanya dalam tindakan yang saling mendukung yang perlu dilakukan organisasi tersebut dan kerjasama dengan berbagai pihak lain, termasuk dengan para penerima manfaat program. Efektifitas hubungan antar organisasi tersebut bisa saja dipengaruhi oleh berbagai hal: a) kejelasan dan konsistensi tujuan kebijakan serta sejauhmana lembaga pelaksana mendapatkan arahan yang jelas untuk menjalankan aktivitas tersebut; b) alokasi fungsi-fungsi yang sesuai, berdasarkan kapasitas dan sumberdaya yang dimiliki; c) sejauhmana perencanaan, penganggaran, dan prosedur implementasi diatur, sehingga

(20)

dapat meminimalkan interpretasi yang tidak sesuai, dimana dapat menyebabkan implementasi sulit dikoordinasikan; d) akurasi, konsistensi, dan kualitas hubungan komunikasi yang memungkinkan organisasi yang terlibat memahami peran dan tugasnya dalam mendukung satu sama lain; e) efektivitas hubungan unit-unit administratif yang terdesentralisasi yang menjamin interaksi antar organisasi dan koordinasi kegiatan.  Sumberdaya untuk implementasi program (resource for policy and program

implementation)

Kondisi lingkungan dan hubungan organisasi yang kondusif penting bagi implementasi, namun itu saja tidak cukup. Sejauhmana pelaksana menerima dukungan finansial, administratif, serta dukungan teknis yang memadai, juga menentukan hasil dari implementasi. Implementasi kebijakan desentralisasi juga dapat dipengaruhi sejauhmana pelaksana kebijakan memiliki kontrol terhadap dana yang ada, sejauhmana kecukupan alokasi anggaran maupun ketersediaanya pada waktu yang tepat, maupun seberapa cukup dana yang dimiliki dibanding pengeluaran yang ada. Agar pemerintah daerah mampu melaksanakan kebijakan desentralisasi, diperlukan dukungan dari pimpinan politik, pejabat lokal maupun elit, serta memerlukan dukungan administratif dan teknis dari pemerintah pusat.

Karakteristik lembaga pelaksana (characteristic of implementing agencies)

Hal ini mencakup kemampuan teknis, manajerial, maupun politis lembaga pelaksana. Disamping itu juga kapasitas untuk mengkoordinasikan, mengontrol, dan mengintegrasikan keputusan dari sub-unit yang ada, ditambah dengan dukungan politis dari pimpinan politik nasional. Selain itu hal-hal seperti kualitas komunikasi internal, kepemimpinan organisasi pelaksana, maupun penerimaan dan komitmen untuk mewujudkan tujuan kebijakan juga dapat mempengaruhi hasil-hasil implementasi kebijakan desentralisasi.

Hal lain yang mempengaruhi implementasi kebijakan desentralisasi adalah adanya diskresi dalam kebijakan tersebut. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Davis di atas, implementasi kebijakan otonomi khusus memiliki suatu ruang diskresi didalam pelaksanaannya. Kebijakan tersebut mengandung elemen interpretatif, yang dapat saja diinterpretatisikan secara berbeda oleh pelaksanaanya. Akibatnya, adanya diskresi yang keliru dalam implementasi kebijakan bisa berpengaruh terhadap hasil-hasil kebijakan. Oleh karena itu, bukan saja desain kebijakan yang perlu mendapat perhatian, namun juga dukungan dalam implementasi yang mampu mengarahkan diskresi para pelaksana agar berjalan sesuai dengan tujuan. Dalam hal ini integrasi antara peran dari pemerintah pusat kepada pelaksana di

(21)

lapangan (top down) dan kemampuan pemerintah daerah di lapangan (bottom-up) sangat menentukan.

Implementasi kebijakan haruslah menampilkan keefektifan dari kebijakan itu sendiri (Riant Nugroho;2006), oleh karenanya pada prinsipnya harus memenuhi “empat tepat” yang penting dalam keefektifan implementasi kebijakan, yaitu :

1. Apakah kebijakannya sendiri sudah tepat

Ketepatan kebijakan dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan.

2. Ketepatan pelaksana

Aktor implementasi bukan hanya pemerintah, ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah-masyarakat/swasta atau implementasi kebjakan yang diswastakan (privatization atau contracting out).

3. Ketepatan target implementasi

Ketepatan di sini berdasarkan atas tiga hal, yaitu: pertama, apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan intervensi yang lain. Kedua, apakah targetnya dalam kondisi siap untuk diintervensi ataukah tidak, ketiga, apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui implementasi kebijakan sebelumnya.

4. Apakah lingkungan implementasi sudah tepat

Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu (1) lingkungan kebijakan, merupakan interaksi diantara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan dan lembaga lain yang terkait; (2) lingkungan eksternal kebijakan yang terdiri atas public opinion, persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan, interpretive institutions yang berkenaan dengan interprestasi dari lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat.

Pasarnya setiap kebijakan negara (public policy) mengandung resiko untuk mengalami kegagalan. Hogwood dan Gunn (1986), menjelaskan berbagai penyebab dari kegagalan suatu kebijakan (policy failure) dapat dibagi menjadi 2 katagori, yaitu: (1) karena “non

implementation” (tidak terimplementasikan), dan (2) karena “unsuccessful” (implementasi yang

tidak berhasil). Tidak terimplementasikannya suatu kebijakan itu berarti bahwa kebijakan itu tidak dilaksanakan sesuai dengan direncanakan. Sedangkan implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi bila suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sudah sesuai rencana, dengan mengingat kondisi eksternal ternyata sangat tidak menguntungkan, maka kebijakan tersebut tidak dapat berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang telah dikehendaki.

Oleh karena itu kebijakan memerlukan evaluasi. Evaluasi kebijakan pada dasarnya adalah suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan membuahkan hasil yaitu

(22)

dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan atau target kebijakan yang ditentukan (Darwin, 1994: 34).

Terkait dengan kebijakan otonomi khusus, evaluasi ini perlu dilakukan. Terlebih mengingat dalam berbagai literatur tentang desentralisasi, praktek yang ada memperlihatkan bahwa pelaksanaan kebijakan desentralisasi bisa saja justru menimbulkan dampak yang tidak diinginkan atau tujuan yang tidak tercapai.

Menurut Sofian Efendi, evaluasi kebijakan publik dapat ditujukan untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu:

1. Bagaimana kinerja kebijakan publik? Jawabannya berkenaan dengan kinerja implementasi publik (variasi dari outcome) terhadap variabel independen tertentu.

2. Faktor-faktor apa saja yang menimbulkan variasi itu? Jawabannya berkaitan dengan faktor kebijakan itu sendiri, organisasi implementasi kebijakan, dan lingkungan implementasi kebijakan yang mempengaruhi variasi outcome dari implementasi kebijakan.

3. Bagaimana strategi meningkatkan kinerja implementasi kebijakan publik? Pertanyaan ini berkenaan dengan “tugas” dari pengevaluasi untuk memilih variabel-variabel yang dapat diubah, atau actionable variabel-variabel yang bersifat natural atau variabel lain yang tidak dapat dan dimasukkan sebagai variabel evaluasi.

Evaluasi merupakan penilaian terhadap suatu persoalan yang umumnya menunjuk baik buruknya persoalan tersebut. Dalam kaitannya dengan suatu program biasanya evaluasi dilakukan dalam rangka mengukur efek suatu program dalam mencapai tujuan yang ditetapkan (Hanafi & Guntur, 1984:16). Evaluasi kebijakan dilakukan untuk mengetahui 4 aspek yaitu:

1. Proses pembuatan kebijakan 2. Proses implementasi kebijakan, 3. Konsekuensi kebijakan,

4. Efektivitas dampak kebijakan (Wibowo, 1994: 9).

Pada prinsipnya model evaluasi kebijakan sangat bervariasi tergantung dari tujuan dan level yang akan dicapai. Dari segi waktu, evaluasi dibagi menjadi dua yaitu evaluasi preventif kebijakan dan evaluasi sumatif kebijakan. Evaluasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat merupakan evaluasi setelah kebijakan, dikarenakan kebijakan otonomi khusus yaitu UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 telah dilaksanakan.

Selanjutnya berbagai macam keputusan dapat diambil atas dasar evaluasi yang dilakukan beberapa diantaranya yang dapat dilakukan adalah: (1) meneruskan dan mengakhiri program,

(23)

(2) memperbaiki praktek dan prosedur administrasi, (3) menambah atau mengurangi strategi dan teknik implementasi, (4) melembagakan program ke tempat lain, (5) mengalokasikan sumber daya ke program lain dan (6) menerima dan menolak pendekatan/teori yang dipakai (Wibawa,op.cit:12). Dari kelima keputusan yang diambil atas dasar evaluasi dilihat dari jenis kebijakan yang dievaluasi.

B. Pembahasan Penelitian Yang Relevan

Penelitian kinerja otonomi khusus Papua yang telah dilakukan pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Kemitraan bekerjasama dengan Kemendagri yang merupakan sintesa hasil implementasi kebijakan otonomi khusus di Provinsi Papua. Adapun hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kinerja otonomi khusus selama lima tahun implementasi masih belum mencapai kinerja yang diharapkan. Special-Autonomy dari Papua masih banyak dipahami sebagai Special-Automoney dan otonomi khusus juga mendapatkan dukungan dana khusus yang jumlahnya semakin meningkat sejak 2002-2007, namun demikian injeksi dana otonomi khusus, belum menunjukkan keterkaitan dengan upaya penanggulangan kemiskinan di Papua, kemiskinan di Papua tetap memprihatinkan, baik dilihat dari segi rerata kemiskinan di dalam Papua, juga dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional yang pada tahun 2008.

Beberapa penelitian yang relevan dengan otonomi khusus yang relevan, antara lain: 1. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2003 oleh Fibiolla Irianni bertujuan menganalisis

Pendapatan Asli Daerah Propinsi Papua dan menganalisis Dana Perimbangan Propinsi Papua dengan diterapkannya UU Nomor 21 Tahun 2001, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Intergovermental Transfer dengan data yang digunakan dalam penelitian merupakan data sekunder yang sumbernya dari biro anggaran, BPS, Bappeda Propinsi Papua dan Kementerian Keuangan. Temuan utama dari penelitian ini adalah jumlah penduduk, banyak sekolah, panjang jalan dan jumlah penduduk miskin mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kebutuhan dana Propinsi Papua sedangkan perkembangan PAD Propinsi Papua bila ditinjau dari nilai nominalnya dari tahun ke tahun terus menunjukkan kenaikan tetapi bila ditinjau dari nilai riilnya menunjukkan gambaran yang kurang menguntungkan, dengan kata lain PAD Propinsi Papua masih relatif rendah sehingga mengakibatkan ketergantungan kepada pusat masih tinggi.

2. Penelitian evaluasi terhadap kebijakan pemberian dana otonomi khusus kepada Propinsi Papua yang dilakukan oleh Winardito, bertujuan untuk mengetahui pemberian kekhususan yang diwujudkan dengan pemberian dana otonomi khusus yang berupa dana penerimaan khusus dan Dana Bagi Hasil Minyak Bumi dan Gas Alam yang prosentasenya lebih besar

(24)

dibandingkan daerah lain di Indonesia, disamping juga dana perimbangan lainnya, dari hasil penelitian diketahui bahwa alasan utama diberikannya otonomi khusus pemberian dana otonomi khusus kepada Provinsi Papua faktor politis, yakni untuk mereduksi keinginan sebagian masyarakat Papua untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam 3 (tiga) tahun pemberlakuannya, dana otonomi khusus juga ternyata tidak efektif karena bagian terbesar dana otonomi khusus tidak digunakan untuk pendidikan dan kesehatan (perbaikan gizi masyarakat) namun dibagikan secara hampir merata ke semua sektor pemerintahan yang menjadi kewenangan Provinsi Papua.

3. Penelitian peningkatan kualitas sumber daya manusia Majelis Rakyat Papua dalam pelaksanaan tugas dan wewenang yang dilakukan pada tahun 2008 oleh Esau Hombore, bertujuan mengetahui upaya meningkatkan kualitas SDM MRP dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dan mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk menjembatani perbedaan pendapat antara DPRP dan MRP, dari hasil penelitian diketahui bahwa dalam upaya untuk meningkatkan kualitas MRP dapat dilakukan melalui penetapan beberapa kegiatan yang berguna untuk meningkatkan wawasan anggota MRP antara lain dengan Workshop, Diklat,

Capacity Building, kerjasama dengan lembaga lain (LSM, LMA, Akademik) dan studi banding,

peningkatan juga dapat dilakukan melalui pengembangan kemitraan yang dilakukan bersama-sama dengan DPRP dan tak kalah pentingnya adalah penyediaan sarana dan prasarana yang memadai bagi anggota MRP.

(25)

BAB III

KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS PAPUA DAN PAPUA BARAT

ada bagian ini akan dijelaskan mengenai kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat dilihat dari proses kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat itu sendiri serta muatan kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat

A. Proses Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Reformasi disegala aspek kehidupan dalam berbangsa dan bernegara yang ditandai dengan terjadinya pengalihan kepemimpinan nasional dari Soeharto kepada B.J. Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia berimplikasi secara signifikan terhadap konstelasi politik nasional. Pemerintahan di masa Soeharto yang semula bersifat sentralistik kemudian dalam masa B.J. Habibie berubah menjadi desentralistik, yang berorientasi demokratis dan partisipatif. Sejumlah agenda perubahan yang dilakukan oleh Presiden B.J. Habibie seluruhnya diarahkan pada upaya menciptakan suasana demokratis dan partisipatif dalam berbangsa dan bernegara. Begitu juga dalam penanganan permasalahan politik terkait dengan keinginan masyarakat Papua yang dikenal pada saat itu sebagai “Tim Seratus”, yang menyampaikan keinginan untuk memisahkan diri “merdeka” dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat bertemu secara langsung dengan Presiden Habibie di Istana Negara Jakarta pada tanggal 26 Pebruari 1999. Dalam merespons tuntutan tersebut kemudian didesainlah strategi alternatif yang dianggap mampu untuk membendung keinginan rakyat Papua untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu dari strategi tersebut adalah melalui kebijakan “Pemekaran Wilayah Provinsi Irian Jaya”.

Kebijakan tersebut sebenarnya merupakan suatu rencana kebijakan yang telah dibuat sejak tahun 1984 berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri yang diawali dengan adanya aspirasi dari sekelompok kecil masayarakat Papua yang menginginkan pemekaran. Atas dasar itulah maka ditetapkanlah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 1986 dibentuk 3 (tiga) Wilayah Pembantu Gubernur, yang dipandang sebagai embrio bagi pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I baru di Irian Jaya. Namun dalam perkembangannya lebih dari satu dasawarsa, rencana pemekaran Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya tidak pernah terealisasi, dengan alasan utama keterbatasan anggaran negara. (Uncen, 2003)

Rencana Pemekaran Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya terealisasikan pada tanggal 4 Oktober 1999, dengan dilegitimasinya UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang

(26)

Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Kebijakan ini kemudian diikuti dengan pengangkatan Drs. Herman Monim sebagai Pejabat Gubernur Irian Jaya Tengah dan Brigjen. TNI Marinir (Purn.) Abraham Atururi sebagai Pejabat Gubernur Irian Jaya Barat berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 327/M Tahun 1999, pada tanggal 5 Oktober 1999.

Kebijakan pemekaran propinsi daerah Tingkat I Irian Jaya, khususnya yang terkait dengan pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat mendapat penolakan dari berbagai kalangan masyarakat di Papua, yang ditandai dengan aksi demonstrasi besar-besaran termasuk menduduki gedung DPRD Propinsi Irian Jaya dan Kantor Gubernur Dok II Jayapura pada tanggal 14-15 Oktober 1999. Aksi penolakan ini direspon oleh DPRD Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua) dan kemudian dilegitimasi dengan Keputusan DPRD. Nomor 11/DPRD/1999 Tentang Pernyataan Pendapat DPRD Provinsi Irian Jaya kepada Pemerintah Pusat untuk Menolak Pemekaran Provinsi Irian Jaya dan usul Pencabutan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 327/M Tahun 1999 tanggal 5 Oktober 1999.

Aksi penolakan ini didasari oleh beberapa alasan: (1) kebijakan pemekaran wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya tersebut dilakukan tanpa melalui proses konsultasi rakyat; (2) kebijakan pemekaran wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya tersebut tidak sesuai dengan rekomendasi yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Irian Jaya, yang antara lain menyebutkan bahwa pemekaran wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya menjadi 2 (dua) Propinsi, yaitu: (a) Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya Timur, dengan ibukota di Jayapura, meliputi: Kabupaten Jayapura, Kodya Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Jayawijaya, dan Kabupaten Puncak Jaya; (b) Propinsi daerah Tingkat I Irian Jaya Barat, dengan ibukota di Manokwari, meliputi: Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Nabire, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, dan Kotif Sorong. (3) Kebijakan Pemekaran Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya lebih berorientasi sebagai strategi untuk memperkokoh integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa bermaksud untuk mengangkat harkat dan martabat orang Papua melalui akselerasi pembangunan secara berkeadilan. Hal ini terbukti dari format pembagian wilayah yang kurang memperhatikan aspek kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, dan kemampuan ekonomi.

Pada tanggal 19 Oktober 1999, dalam Sidang Umum MPR, pada Paripurna ke-12, ditetapkan Tap MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara

Gambar

Gambar 1.1   Kerangka Pikir Kajian
Gambar 4.6. Contoh Pengalokasian dan Pencatatan  Dana Otonomi Khusus yang tidak pada porsinya
Tabel berikut memperlihatkan perkembangan PDRB atas dasar harga konstan di Provinsi  Papua  menurut  berbagai  lapangan  usaha  (sektor)  dari  tahun  2008-2010
Tabel  di  atas  menunjukkan  panjang  jalan  di  Provinsi  Papua  Barat  yang  menunjukkan  peningkatan dari waktu ke waktu
+5

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh PT CDM Indonesia Jaya 6) dinyatakan bahwa pembangunan proyek PLTMH ini tidak layak secara ekonomis dengan alasan keuntungan dari

Relation Database Management System (RDBMS) atau Sistem Manajemen Database Relation digunakan untuk menyimpan informasi dimana user dapat melihat dengan cara

(1) Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum dipimpin oleh seorang kepala seksi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Camat, yang mempunyai tugas

Dari perencanaan ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:  Unit pengolahan yang diperlukan untuk mengolah air banjir di Surabaya menjadi air minum adalah unit

Kasus malaria positif: Selama tahun 2005 atau satu tahun sesudah gempa bumi dan tsunami, di antara 29.760 kasus malaria klinis di seluruh kabupaten hasil Passive Case Detection

Penelitian ini menggunakan instrumen SGRQ versi Indonesia sebagai alat pengumpul data untuk mengukur kualitas hidup pada pasien yang sedang mengalami kontrol PPOK di

Apabila tabungan hanya ditimbun tanpa diinvestasikan, hal tersebut bagaikan harta yang tidak berguna karena Islam tidak menyukai adanya tindakan penimbunan harta

yang melibatkan sebagian besar dari satu atau kedua rongga pleura. /apat pula terjadi perubahan pleura parietal. =ika nanah yang tertimbun tersebut tidak disalurkan keluar, maka