• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.10 Kajian Keberlangsungan Penyalur Kredit Usaha Rakyat

Sebelum KUR ini diluncurkan masih banyak kredit usaha yang disalurkan masih sekedar berdasarkan pendekatan proyek saja dan pendekatan top down. Pendekatan ini belum mendasarkan pada aspirasi dari bawah sehingga belum

banyak menyentuh kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat. Sehingga skim kredit selama ini tidak mampu berlanjut karena mengalami kegagalan baik mengenai dampaknya apalagi dalam pengembalian kredit. Kredit seperti ini biasanya masih bersifat sektoral saja. Dengan demikian keberlanjutan atau sustainability tidak terjadi karena biasanya skim kredit yang berdasarkan proyek dan pendekatan top down ini banyak rekayasa dan tidak alami. Berbicara mengenai skim kredit dengan pendekatan proyek atau program berarti terdapat juga skim kredit yang tidak berdasarkan pendekatan proyek atau program. skim kredit tersebut adalah kredit non program. Hal ini berarti kredit tersebut mengenakan persyaratan umum yang perbankan lakukan seperti tingkat suku bunga yang dikenakan merupakan tingkat bunga komersial. Skim KUR sekarang ini menggunakan tingkat bunga komersial. Selain itu bedanya dengan skim kredit kredit sebelumnya yang menggunakan pendekatan proyek adalah penyaluran KUR dilindungi oleh lembaga penjaminan PT Jamkrindo dan PT Askrindo, sehingga bank penyalur akan mendapatkan jaminan atas dana yang sudah disalurkan. Banyak skim kredit dengan tingkat bunga rendah atau kadang sama sekali tidak mengenakan bunga bahkan tanpa kewajiban pengembalian kredit justru malah tidak mengentaskan kemiskinan, karena bisa jadi pemberian cuma cuma tidak menciptakan kreativitas dan menyebabkan ketergantungan saja.

Berkelanjutan berarti penerima kredit memiliki kemampuan untuk membayar kembali hutang pokok beserta bunganya. Biaya biaya yang dikeluarkan termasuk biaya untuk memperoleh kredit tersebut terbayarkan oleh pendapatan yang diterima karena meningkatnya produksi setelah diterimanya kredit. Tingkat kelancaran pembayaran juga biasanya menunjukkan nasabah viable untuk mendapatkan kredit lagi. Dari sisi penyalur kredit, berkelanjutan berarti pendapatan yang diperoleh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan untuk menyalurkan kredit tersebut. Dengan kata lain bank penyalur KUR mencapai viabilitas finansial. Berkelanjutan juga berarti bank akan menyalurkan kembali kredit kepada unit usaha yang semakin luas atau meminjamkan kembali kepada pihak unit usaha yang telah selesai membayar semua kewajibannya. Banyak pendekatan analisis yang dapat digunakan untuk mengkaji tentang keberlanjutan suatu skim kredit. Namun pendekatan yang komprehensif dengan memperhatikan dua sisi (lembaga dan nasabah) sekaligus masih terbatas. Sebuah pendekatan analisis yang cukup komprehensif yang pernah dilakukan dan dapat menggambarkan secara utuh tentang keberlanjutan sebuah skim dengan memperhatikan sisi nasabah dan lembaga adalah pendekatan yang dilakukan oleh Syukur (2002). Menurut Syukur keberlanjutan (sustainable) suatu skim kredit berkaitan dengan masalah: (1) viabilitas finansial, (2) viabilitas kelembagaan (manajerial), dan (3) viabilitas peserta program (peminjam). Keberlanjutan menunjuk pada suatu kondisi dimana suatu skim dapat bertahan hidup untuk waktu yang lama.

Viabilitas finansial berarti bahwa skim kredit dapat menutupi seluruh ongkos operasi dari pendapatan yang diperoleh (bunga) dari peminjam pada suatu periode waktu tertentu. Viabilitas kelembagaan berkaitan dengan sejauhmana kelembagaan (delivery system) kredit yang dibangun dapat memberikan pelayanan dengan landasan yang kuat dan dapat dijamin keberlanjutannya. Sedangkan viabilitas peminjam adalah suatu kondisi dimana keuntungan dari usaha oleh peminjam yang berasal dari pinjaman tersebut dapat menutupi semua biaya

31 pinjaman dan pokok pinjaman. Selain itu peminjam masih memperoleh keuntungan untuk pengembangan usahanya dan dapt meningkatkan pendapatannya. Tingkat pengembalian pinjaman yang tinggi dan adanya kemampuan untuk pemupukan modal melalui akumulasi modal dalam bentuk tabungan adalah syarat keharusan (necessary condition) bagi keberlanjutan suatu skim kredit, begitu juga viabilitas finansial. Sedangkan viabilitas kelembagaan adalah suatu syarat kecukupan (sufficient condition) yang harus dipenuhi agar skim tersebut memiliki kemampuan replicability dan acceptable oleh masyarakat sasaran.

Syukur menemukan bahwa selama penelitiannya antara tahun 1993 sampai 1999 untuk kredit karya usaha mandiri, hanya pada tahun 1993 dan 1994 terjadi viabilitas finansial, dan tahun 1995 sampai tahun 1999 tidak terjadi viabilitas karena pendapatan bunga tidak bisa menutupi biaya operasional KUM tersebut.

Kredit mikro dianggap tidak menguntungkan bagi perbankan, karena biaya yang dikeluarkan untuk pembiayaan masyarakat miskin dianggap mahal dan banyak hambatan (Demirguc-Kunt and Klapper 2012). Banyak penelitian, kredit mikro bermanfaat bagi masyarakat, namun sebaliknya perusahaan pembiayaan mikronya tidak berlanjut. Banyak pembiayaan mikro memiliki marjin yang tipis karena tidak efisien. Oleh karena itu, produktifitas dalam dunia perbankan sangat penting dianalisis. Menurut Parasuraman (2010) bank harus berusaha untuk meningkatkan kemampuannya untuk mengubah input termasuk deposito dan tabungan untuk disalurkan dalam bentuk pinjaman sebagai output. Terkadang biaya untuk menyalurkan kredit lebih besar dibandingkan dengan pendapatannya.

KUR disalurkan melalui beberapa bank yang ditunjuk oleh pemerintah, namun kenyataannya tidak semua bank melayani segmen rumah tangga mikro. Kenyataannya, masih banyak bank yang memilih melayani nasabah besar, baik karena alasan lebih efisien ataupun kredit mikro dianggap lebih beresiko. Penyaluran KUR mikro ini lebih dari 90 persen dikuasai oleh sebuah bank nasional yang memiliki jaringan terluas di Indonesia. Dengan demikian, perlu kiranya studi ini bertujuan untuk menganalisis seberapa jauh bank-bank unit dari bank terbesar penyalur KUR tersebut bisa efisien dan produktif. Karena syarat program berlangsung adalah dari sisi supply maupun demand harus sama-sama menguntungkan. Suatu sistem perbankan yang efisien akan menghasilkan keberlangsungan dan menguntungkan konsumer. Dari sudut pandang ekonomi, hanya yang memiliki produktifitas yang tinggi akan mampu bertahan dalam kondisi persaingan karena marjin akan semakin menurun dan yang tidak efisien akan tersingkir (Burger and Moormann 2008). Beberapa bank yang ditunjuk untuk menyalurkan KUR mikro tidak sanggup mencapai lapisan rumah tangga yang berpendapatan rendah, karena pinjaman mikro biasanya berbiaya mahal. Akibatnya bunga yang dikenakan harus tinggi akhirnya tidak mampu efisien dan bertahan. Oleh karena itu, sering ada tradeoff antara menjangkau (outreach) masyarakat miskin atau keberlangsungan dan efisien. Dari data nasional mengenai KUR mikro, jangkauan kredit dilihat dari rata-rata besarnya pinjaman adalah Rp 8,3 juta per nasabah. Tingkat NPL nya untuk mikro hanya sekiatar 2 persen lebih rendah dibanding dengan kredit bukan mikro.

Efisiensi dan efektifitas merupakan alat management yang saling terkait. Efektifitas berkaitan dengan hasil yang bisa dimaksimalkan dan efisiensi berkaitan dengan minimalisasi biaya. Dengan kata lain Falkena et al. (2004) membedakan

efisiensi perbankan antara efisiensi alokatif dan teknis. Efisiensi alokatif adalah sejauh mana sumber daya yang ada dialokasikan untuk penggunaan dengan nilai yang diharapkan tertinggi. Sebuah perusahaan secara teknis efisien jika menghasilkan serangkaian output menggunakan sejumlah terkecil yang mungkin dari input.