• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Konsep Kemiskinan dan Kesejahteraan

Kondisi perekonomian suatu Negara ditentukan oleh variable-variabel makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, yang kemudian dikaitkan dengan faktor investasi dan tenaga kerja serta faktor-faktor yang mempengaruhi kedua variabel tersebut. Akhir-akhir ini pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung meningkat. Namun selama lima tahun terakhir, pengurangan laju kemiskinan dan pengangguran semakin melambat. Siregar (2009) menuliskan bahwa diperlukan perbaikan struktur perekonomian Indonesia agar pertumbuhan ekonomi menjadi lebih sensitif terhadap pengurangan pengangguran dan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi seyogyanya berasal dari sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja, sehingga pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pengurangan pengangguran. Berdasarkan penelitian selama kurun waktu 2002 sampai 2005, diketahui bahwa terjadi penurunan kontribusi sektor-sektor pertanian, perdagangan dan industry, dimana sektor-sektor tersebut yang selama ini mampu menyerap banyak tenaga kerja. Sehingga penurunan kontribusi terhadap PDB dapat berimplikasi pada ketidakmampuannya untuk menyerap tambahan angkatan kerja baru sehingga secara keseluruhan pengangguran semakin bertambah. Hal ini dapat dipandang sebagai salah satu jawaban terhadap paradoks pertumbuhan- pengangguran di Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi yang cepat adalah syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan laju pengangguran. Syarat kecukupannya (sufficient condition) ialah peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Peningkatan kualitas dimaksud antara lain ialah pertumbuhan ekonomi tersebut dapat „dinikmati‟ secara relatif merata oleh segenap produsen, „kebocoran‟ (leakages) yang menyertainya dapat terus diminimalkan, dan berkelanjutan (sustainable). Laju pengangguran tersebut akan dapat diturunkan secara lebih

17 cepat apabila pertumbuhan ekonomi dipacu pada sektor-sektor padat karya. Dengan kata lain, investasi riil perlu dilipatgandakan dan difokuskan kearah sektor-sektor tersebut (Siregar 2009).

Upaya peningkatan kinerja ekonomi sangat ditentukan oleh keberhasilan menjalankan transformasi struktural perkonomian (Cooper 2005). Transformasi struktural baru dapat dikatakan berhasil apabila kenaikan peranan manufaktur (dan kenaikan ekspor) disertai dengan berkurangnya tenagakerja di sektor pertanian (karena secara signifikan diserap oleh sektor manufakturing). Negara Negara yang saat ini kurang berkembang, menurut Cooper, disebabkan oleh kegagalan mereka menjalankan transformasi tersebut. Kegagalan menciptakan stabilitas sosial dan insentif yang tepat atas upaya upaya pengembangan kegiatan penting yang beresiko, kekurangmampuan dalam memanfaatkan keterbukaan dan integrasi perekonomian global merupakan penyebab kegagalan dalam kinerja ekonomi.

Cheyne, O‟Brien dan Belgrave (1998) mengatakan bahwa kemiskinan merupakan persoalan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Ini berarti strategi penanggulangan kemiskinan bersifat “residual” sementara, yang melibatkan keluarga, kelompok swadaya atau lembaga keagamaan. Negara akan turut campur ketika lembaga-lembaga negara tidak lagi mampu menjalankan tugasnya. Penerapan Jaminan Pengaman Sosial (JPS) di Indonesia adalah contoh nyata pengaruh teori ini.

Kategori lain tentang kemiskinan adalah kemiskinan struktural yaitu disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses kelompok kepada sumber-sumber kemasyarakatan. Sehingga perlu ada sistem negara yang mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Sejalan dengan konsep kesejahteraan yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (2000) menerangkan bahwa untuk melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga suatu wilayah ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuran, antara lain adalah : 1) Tingkat pendapatan keluarga; 2) Komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan pengeluaran untuk pangan dengan non-pangan; 3) Tingkat pendidikan keluarga; 4) Tingkat kesehatan keluarga, dan; 5) Kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga.

Bagaimana potret kemiskinan Indonesia, BPS memiliki indikator kemiskinan untuk mengukurnya. Bank Dunia (2000) mengartikan bahwa kemiskinan adalah kekurangan, yang sering diukur dengan tingkat kesejahteraan. Dalam banyak kasus, kemiskinan telah diukur dengan terminologi kesejahteraan ekonomi, seperti pendapatan dan konsumsi. Seseorang dikatakan miskin bila ia berada di bawah tingkat kesejahteraan minimum tertentu yang telah disepakati. Niemietz (2011) menyatakan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk membeli barang-barang kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, papan dan obat-obatan. Sedangkan BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan perhitungan Maret 2010,

standar kemiskinan adalah sebesar Rp 211.000 yang digunakan untuk pemenuhan makanan sebesar Rp155.615/bulan dan non makanan Rp56.000/bulan. Bahan pokok untuk kecukupan gizi sebanyak 2100 kalori per hari atau senilai Rp 5.000 per hari atau Rp155.615 per bulan. Kedua, kebutuhan non makanan seperti kesehatan, pendidikan, transportasi. Indikator tersebut, bukan hanya dilihat dari pendapatan masyarakat, namun juga merupakan kombinasi dari bantuan pihak lain termasuk bantuan Pemerintah. Besarnya kebutuhan sebagai indikator kemiskinan tersebut berbeda beda antar daerah.

Seseorang dapat dikatakan miskin atau hidup dalam kemiskinan jika pendapatan atau aksesnya terhadap barang dan jasa relatif rendah dibandingkan dengan rata rata orang lain dalam perekonomian tersebut. Secara absolut, seseorang yang dinyatakan miskin apabila tingkat pendapatan atau standar hidupnya secara absolut berada dibawah tingkat subsisten. Ukuran subsistensi tersebut dapat diproksi dengan garis kemiskinan. Secara umum, kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar standar atas setiap aspek kehidupan (Siregar dkk, 2007). Variabel lain yang berkaitan dengan kemiskinan adalah inflasi. Ketika suatu rumah tangga memiliki pendapatan sedikit diatas garis kemiskinan, dan ketika pertumbuhan pendapatannya sangat lambat, dan atau lebih rendah dari laju inflasi, maka barang dan jasa yang dapat dibelinya menjadi lebih sedikit. Laju inflasi tersebut juga akan menggeser garis kemiskinan ke atas. Kombinasi dari pertumbuhan pendapatan yang lambat dan laju inflasi yang relatif tinggi akan menyebabkan rumah tangga tersebut jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi bukan satu-satunya variabel untuk mengurangi kemiskinan, variabel lain, seperti laju inflasi, juga berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin.

Menurut Nasution (2013) penyebab kemiskinan di Indonesia antara lain adalah; 1) kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia di Indonesia. BPS menyatakan jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2012 mencapai 120,4 juta orang. Tingkat pengangguran terbuka mencapai 6,32 persen atau 7,61 juta orang. Pekerja pada jenjang pendidikan SD masih mendominasi yaitu sebesar 55,5 juta orang. 2) tidak meratanya pendapatan penduduk Indonesia. Rata-rata pendapatan per kapita Indonesia tahun 2012 adalah $ 3.452 per orang per tahun. 3) Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah. Angka rata rata lama sekolah di Indonesia baru 7.95 tahun atau tidak lulus sekolah menengah pertama (SMP). 4) Rendahnya derajat kesehatan. Rata-rata angkatan harapan hidup Indonesia sebesar 70,7 tahun. 5) Biaya kehidupan yang semakin tinggi. Angka inflasi yang tinggi tidak berbanding lurus dengan pendapatan masyarakat. 6) kurangnya perhatian dari pemerintah. Kementerian Pembangunan daerah Tertinggal (PDT) menyatakan jumlah daerah tertinggal di Indonesia 183 kabupaten dari 33 provinsi yang tersebar di Tanah air. Dari total daerah tertinggal tersebut, sekitar 70 persen berada pada wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Kesejahteraan masyarakat menengah kebawah dapat direpresentasikan dari tingkat hidup masyarakat. Tingkat hidup masyarakat ditandai dengan terentaskannya dari kemiskinan, tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan tingkat produktivitas masyarakat.

Dalam mengukur tingkat kemiskinan dan kesejahteraan, pada umumnya para pakar ekonomika menggunakan pendapatan (income) per kapita (GDP per kapita) sebagai indikator kemiskinan. GDP atau gross domestic product, yang

19 mencerminkan kemampuan penduduk dalam wilayah/Negara tertentu untuk menghasilkan income. Semakin kecil GDP per kapita yang dihasilkan oleh suatu masyarakat, maka semakin miskin masyarakat itu. Suman (2007) menuliskan bahwa para kritikus berpendapat bahwa indikator ini hanya mencerminkan kuantitas, dan tidak berbicara tentang kualitas hidup masyarakat. Dari sini kemudian lahir indikator alternatif untuk mengukur kemiskinan, yaitu Physical Quality of Life Index (PQLI) atau lebih dikenal sebagai basic need approach. PQLI adalah sebuah indikator kesejahteraan yang mempertimbangkan kecukupan sandang, pangan, dan kecukupan papan. Dengan begitu kita akan mengkaitkan „apa yang terlihat‟ dengan anugerah-anugerah lainnya yang bersifat non-uang (non ekonomi murni) dan non fisik seperti kesehatan dan pendidikan.

BPS pun mengenal apa yang disebut dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM disusun dari tiga komponen yaitu: lamanya hidup diukur dengan harapan hidup pada saat lahir; tingkat pendidikan, diukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk 15 tahun keatas (dengan bobot dua per tiga) dan rata rata lamanya sekolah (dengan bobot sepertiga), dan tingkat kehidupan yang layak, diukur dengan pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan purchasing power parity (PPP rupiah). Pembangunan manusia yang berhasil akan membuat usia rata rata masyarakat meningkat; juga ditandai dengan peningkatan pengetahuan yang bermuara pada peningkatan kualitas SDM. Pencapaian dua hal ini selanjutnya akan meningkatkan mutu hidup dalam arti layak.

Uraian diatas menegaskan bahwa pendapatan masyarakat atau GDP, bukanlah satu-satunya indikator untuk mengukur kemiskinan. Kemiskinan bukan lagi hanya menyangkut uang nominal yang diterima sebagai pendapatan (income). Kemiskinan tidak juga hanya berbicara tentang ketersediaan sandang, pangan, papan, tapi juga mempertimbangkan aspek pendidikan dan kesehatan.