• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.2 Metode Penelitian

3.2.6 Variabel-Variabel untuk Pembayaran Kembali KUR

Jumlah sampel dalam penelitian ini ada 155 responden rumah tangga usaha mikro yang mendapat KUR. Dalam penelitian ini menggunakan regresi logistik untuk menentukan faktor-faktor determinan yang mempengaruhi usaha mikro membayar KUR. Penelitian lain menggunakan logit juga dilakukan oleh (Tundui dan Tundui 2013; Mokhtar et al. 2012). Metode lain seperti dengan probit (Godquin 2004; Vitor 2012; Setargie 2013; Wongnaa dan Vitor 2013), dan tobit (Gebeyehu et al. 2013).

Dalam penelitian ini menggunakan karakteristik peminjam, karakteristik usaha dan karakteristik pinjaman seperti yang ada di tabel 4.3 yang merujuk pada penelitian Roslan and Karim (2009). Nawai dan Shariff (2013) menambahkah karakteristik lembaga keuangan.

Tabel 3.3 Deskripsi variabel-variabel pembayaran kembali kredit usaha rakyat

Nama Variabel Tipe Variabel Penjelasan

p(xi) Biner Pembayaran KUR (1= lancar, 0= terlambat),

lancar = terlambat tidak lebih dari 2 kali Karakteristik peminjam;

Jenis kelamin Biner Jenis kelamin pemilik usaha mikro (1 = laki- laki, 0 = perempuan)

Usia Kontinu Usia pemilik usaha mikro Tingkat pendidikan

Pendidikan_1 Biner 1 = SD, 0 lainnya Pendidikan_2 Biner 2 = SMP, 0 lainnya Pendidikan_3 Biner 3 = SMA, 0 lainnya

Pengeluaran makanan Kontinu Jumlah pengeluaran RT untuk makanan/bulan Pekerjaan sampingan Biner 1 = memiliki pekerjaan sampingan, 0 tidak Pasangan bekerja Biner 1 = Suami/istri bekerja, 0 tidak

Jumlah tanggungan Kontinu Jumlah anak yang masih ditanggung Karakteristik usaha;

Jarak Kontinu Lokasi usaha ke bank (km) Jenis usaha

Jenis usaha_1 Biner 1 = dagang dan ritel, 0 lainnya Jenis usaha_2 Biner 2 = jasa, 0 lainnya

Jenis usaha_3 Biner 3 = pengolahan, 0 lainnya

Lama usaha Kontinu Berapa lama usaha berdiri (tahun)

Hambatan usaha Biner Hambatan yang dihadapi oleh usaha mikro (1= modal, 0 marketing)

41

Nama Variabel Tipe Variabel Penjelasan

Penjualan Kontinu Penjualan per minggu (Rp) Modal kerja Kontinu Modal kerja per minggu (Rp)

Pengalihan pinjaman Biner Pengalihan penggunaan kredit, 1 = ya, 0 tidak Sumber pinjaman lain Biner Sumber pinjaman lain, 1 = ya, 0 hanya KUR Karakteristik pinjaman;

Jaminan

Jaminan_1 Biner 1 = tidak ada jaminan, 0 lainnya Jaminan_2 Biner 2 = BPKB motor, 0 lainnya

Pembatasan kredit Biner Apakah pinjaman disetujui sesuai dengan yang diminta (credit constrained), 1= disetujui semua, 0 lainnya

Periode angsuran Kontinu Lamanya angsuran (bulan)

3.2.7 Propensity Score Matching atau Pencocokan Nilai-Kedekatan

Metode propensity score matching (PSM)/ Pencocokan nilai- kedekatan yaitu memadankan antara subyek/anggota terpajan (treatment Variable) atau dalam kelompok partisipan dengan kondisi tidak terpajan (control variable) atau non partisipan dengan menggunakan nilai propensity scorenya atau probabilitas dari terpajan atau yang mendapat perlakuan (atau keduanya) dengan menggunakan karakteristik yang dapat diamati agar dapat melakukan analisis yang lebih baik terhadap hasil pencapaian. Metode PSM ini pertama kali dikenalkan oleh Rosenbaum dan Rubin (1983) dan dikembangkan oleh Heckman (1997).

Alasan evaluasi dampak dengan menggunakan propensity score ini untuk mengurangi bias karena dalam penelitian observasi selalu memiliki masalah dalam penarikan kesimpulan karena adanya potensial confounding, sehingga kurang tepat jika dua kondisi tersebut dibandingkan meskipun sudah dilakukan adjustment melalui regresi karena masih ada potensi bias. Teknik analisis yang menggunakan propensity score dalam studi observasi dapat melakukan adjustment pada covariat pada dua kelompok dan dapat mengurangi bias lebih baik dibandingkan dengan teknik modeling pada analisis multivariate yang konvensional. Teknik analisis ini melakukan matching melalui nilai propensity dari subjek yang terpajan dan subjek tidak terpajan. Nilai propensity merupakan nilai probabilitas subyek jika tidak terpajan, yang ada kenyataan subyek adalah dalam keadaan terpajan (kontra fakta).

Prosedur atau langkah dalam PSM adalah pertama terkait dengan model yang akan digunakan untuk mengestimasi, dan variabel yang akan dimasukkan dalam model.

Model yang digunakan untuk proses pencocokan skor PSM dengan regresi probit dengan variabel-variabel seperti terangkum dalam tabel 3.4 dibawah. Menurut Caliendo dan Kopeinig (2005) hasil dari regresi logistik dengan model probit hampir mirip. Dalam penelitian ini, model probit digunakan untuk memgestimasi probabilitas akses KUR. Model probit nya sebagai berikut;

P (Yi = 1│Xi) = ᶲ(β0 + β1Xi1 + ...+βpXip) = ∫ ฀ ) (4) Selanjutnya, memilih algoritma pemadanan (matching). Dalam proses pencocokan antar covariat, beberapa teknik bisa dilakukan dalam tahapan ini

seperti; (1) nearest neighbor matching (NNM), (2) Radius matching, (3) Kernel matching, dan (4) stratification matching. Dalam penelitian ini hanya digunakan nearest neighbor without replacement, yang maksudnya adalah proses pencocokan masing masing kovariat hanya memiliki satu kali kesempatan. Metode NNM ini memilih skor terdekat dari covariat dari kelompok kontrol. Proses pencocokan dengan metode NNM ini baik untuk kecenderungan antara kelompok treatment dan kelompok kontrol yang serupa (Backer dan Ichino 2002). Untuk Pemilihan metode pencocokan ini belum ditemukan literatur mana metode yang paling baik diantaranya. Ketiga, melihat overlap dan common support antara kelompok terpajan dengan kelompok tidak terpajan pada saat dibandingkan dengan melihat distribusi keduanya. Dalam tahap ini beberapa observasi dikeluarkan karena memiliki skor terlalu tinggi ataupun terlalu rendah. Bersamaan dengan itu uji keseimbangan (the balancing test) dilakukan untuk mengecek rata-rata dari PSM tersebut tidak terlalu berbeda antara kelompok treatment dengan kelompok kontrol. Setelah itu perbedaan dari variabel hasil dilakukan dengan melihat perbedaan rata-rata dari kelompok treatment dengan kontrol. Perbedaan inilah yang mencerminkan dampak dari treatment tersebut, yang dikenal dengan istilah average effect of treatment for the treated (ATT).

Keempat, mengukur kualitas pencocokan (assessing match quality). Rosenbaum dan Rubin (1985) merekomendasikan dengan standardized bias (SB) dan t-test. Jika covariates X terdisitribusi acak pada kelompok terpajan dan tidak terpajan maka nilai pseudo-R2 harusnya cukup rendah.

Dalam model ekonometrika untuk melihat dampak ini, maka metode PSM dan average treatment effect on the treated (ATT) diterapkan untuk mengukur dampak pada variabel-variabel hasil yang merupakan pengembangan dari penelitian Dino dan Regasa (2014) seperti modal kerja, penjualan, keuntungan, tabungan, pendapatan sampingan, total pendapatan, pengeluaran untuk makanan, penyerapan tenaga kerja, kondisi tempat tinggal dan kondisi kepemilikan aset. Hipotesa yang dibangun adalah KUR memberikan dampak pada peningkatan modal kerja, penjualan, keuntungan, tabungan, pendapatan sampingan, total pendapatan, pengeluaran untuk makanan, penyerapan tenaga kerja, kondisi tempat tinggal dan kondisi kepemilikan aset.

Dalam pemodelan, untuk mengukur dampak atas hasil pada kelompok usaha mikro yang mendapat KUR (kelompok treatment) dengan yang tidak dengan estimasi perbedaan menurut Rubin (1973) dalam Ghalib (2011) sebagai berikut:

∆i = (5)

Dimana ∆i adalah dampak treatment pada individu i , dimana i = 1,2, …,N. dan merupakan potensi hasil dari usaha mikro partisipan dan usaha mikro non partisipan. Persamaan (5) tersebut menggunakan data cross section dan seharusnya menghitung perbedaan hasil antara sesudah dan sebelum treatment masing masing pelaku usaha mikro. Namun tidak mungkin dilakukan penghitungan langsung menggunakan cross section dan menghitung perbedaan antara sebelum dan sesudah treatment pada tiap pelaku usaha yang sama. Oleh karena itu persamaan (5) dimodifikasi dengan mengestimasi average treatment effects on the treated, ∆TT, sebagai berikut;

43 ∆TT ini mengukur perbedaan antara hasil yang diharapkan pada partisipan pelaku usaha mikro dengan KUR dengan hasil hipotikal apabila pelaku usaha tersebut tanpa KUR. Persamaan (6) ini digunakan untuk menjawab pertanyaan kontra fakta bagaimana hasil yang terjadi jika pelaku usaha yang mendapat KUR tersebut tidak mendapat KUR. Inilah yang merupakan selection bias dari persamaan tersebut, karena E(Y0 |D=1) tidak diobservasi dalam penelitian ini. Andaikan dipakai E(Y0 |D=1) = E(Y0 |D=0) maka usaha mikro yang tidak mendapat KUR bisa digunakan sebagai kelompok pembanding atau control. Skenario bias observasi ini menimbulkan self selection bias, yaitu pada pelaku usaha mikro KUR tidak bisa dilakukan sebagai partisipan pada waktu yang sama sebagai penerima KUR dan sebelum menerima KUR. Rosenbaum dan Rubin (1985) merekomendasikan untuk memakai propensity score matching (PSM) untuk mengatasi seleksi bias disini karena bisa mengatasi masalah multi dimensi, yang timbul dari adanya prosedur pencocokan kovariat yang banyak termasuk bias karena tidak terobservasi. Bias disini bisa berupa perbedaan antara hasil pelaku usaha KUR dan pelaku usaha tanpa KUR, yang dapat dirumuskan sebagai berikut;

Bias = E(Y1 |D=1) - E(Y0 |D=0) (7)

Persamaan (7) mampu menangkap dampak partisipan yang mendapat perlakuan (treated participant), selanjutkan kita membuang dampak partisipan yang tidak mendapat perlakuan (non-treated participant) sebagai berikut;

E(Y0 |D=0) - E(Y0 |D=1) (8)

Persamaan (9) berikut mendefinisikan sebagian pelaku usaha mikro yang bukan partisipan dan tidak mendapatkan KUR. Oleh karena itu, bias merupakan perbedaan antara dampak pada partisipan yang mendapat perlakuan (KUR) dan perbedaan antara dampak atas partisipan yang tidak mendapat perlakuan dan bukan partisipan.

∆TT - [E(Y0 |D=0) - E(Y0 |D=1)] =

E(Y1 |D=1) - E(Y0 |D=1) - E(Y0 |D=0) + E(Y0 |D=1) (9) ∆TT - [E(Y0

|D=0) - E(Y0 |D=1)] = E(Y1 |D=1) - E(Y0 |D=0) (10) Idealnya bias = 0 yang berimplikasi pada

E(Y1 |D=1) - E(Y0 |D=0) = 0 E(Y1 |D=1) = E(Y0 |D=0) (11) Oleh karena itu ∆TT bisa mengatasi masalah self selection dengan menggunakan persamaan (11). Estimasi PSM oleh Rosenbaum dirumuskan sebagai berikut;

P(D=1|X) = P(X) (12)

Model ini kemudian menggunakan model logit atau probit sebagai berikut; P(D=1|X) = p(Y*>0|X) = P(µ>-Xβ|X) = 1 – G(-Xβ) = G(Xβ) (13) Dimana 0< G(Xβ)<1, untuk semua nilai kovariat X, Xβ = ∑ dan G adalah fungsi kumulatif standar normal. Persamaan (9) merupakan non-linear karenanya metode estimasinya menggunakan maximum likehood estimation. Oleh karena itu estimasi PSM dari ∆TT bebas seleksi bias, dan estimasi PSM dirumuskan sebagai berikut;

)׀ [ |D=1,P(X)) – E( | ))] (14)

Propensity Score Matching (PSM) sudah diterapkan dalam berbagai bidang yang luas dalam mengevaluasi suatu dampak, yang biasanya penelitian eksperimen. Penggunaan PSM untuk evaluasi program non-eksperimen atau

observasi di negara-negara berkembang masih jarang (Ravallion 2008) tapi mulai muncul akhir-akhir ini seperti yang dilakukan oleh (Ifelunini & Wosowei 2012; Vitor 2012; Diro et al. 2014; Duong & Thanh 2015) dalam menguji dampak pembiayaan mikro.

Data yang digunakan sebanyak 332 responden, terdiri dari 155 sebagai kelompok treatment dan 177 responden sebagai kelompok kontrol. Data primer dilakukan melalui pertanyaan dan kuesioner untuk mengumpulkan informasi yang digunakan untuk mengukur dampak kredit usaha rakyat pada ekonomi rumah tangga usaha mikro.

Tabel 3.4 Deskripsi variabel-variabel dalam model probit

Nama Variabel Tipe Variabel Penjelasan

P(Yi) Biner Akses KUR (1= KUR, 0= tidak)

Karakteristik peminjam;

Jenis kelamin Biner Jenis kelamin pemilik usaha mikro (1 = laki- laki, 0 = perempuan)

Usia Kontinu Usia pemilik usaha mikro

Status perkawinan Biner Status perkawinan (1 = menikah, 0= lainnya) Pendidikan Kontinu 1 = SD, 2 = SMP, 3= SMA, 4= kuliah Jumlah tanggungan Kontinu Jumlah anak yang masih ditanggung

Jenis usaha Kontinu Jenis usaha (1=dagang, 2=jasa, 3 pengolahan) Lama usaha Kontinu Berapa lama usaha berdiri (tahun)

Jarak Kontinu Lokasi usaha ke bank (km) Jumlah jam kerja Kontinu Berapa jam kerja per minggu

Hambatan usaha Biner Hambatan yang dihadapi oleh usaha mikro (1= modal, 0 marketing)

Rekening bank Biner Memiliki rekening bank sebelum pinjam KUR (1= ya, 0 = tidak)

Pekerjaan sampingan Biner 1 = memiliki pekerjaan sampingan, 0 tidak Pasangan bekerja Biner 1 = Suami/istri bekerja, 0 tidak

Sumber pinjaman lain Biner Sumber pinjaman lain, 1 = ya, 0 hanya KUR

3.2.8 Data Envelopment Analysis (DEA)

Pengukuran efisiensi dalam penelitian ini dengan data envelopment analysis (DEA). Ada beberapa model yang dikembangkan dalam metodologi DEA (Charnes et al. 1978 dan Banker et al. 1984). Charnes menggunakan model input- oriented dengan asumsi tingkat pengembalian yang konstan (Constant Return to Scales/CRS). Pendekatan tersebut kemudian bisa dikembangkan dengan menggunakan model output-oriented dengan menggunakan asumsi Variable Return to Scales (VRS) diperkenalkan oleh Banker, Charnes, dan Cooper (1984). Hasil perhitungan DEA dengan model VRS ini disebut dengan efisiensi teknik (Technical Efficiency= TE). Dalam mengukur efisiensi setiap unit kegiatan ekonomi (UKE) atau Decision making unit (DMU) diperoleh dari maksimasi dari rasio rata-rata tertimbang output terhadap rata-rata tertimbang input, yang dirumuskan dalam bentuk berikut (Charnes et al. 1978),

Max h0 = ∑ ∑ (15) s.t = ∑

45 ur, vi ≥ 0; r = 1,...,s; i = 1, ..., m

yrj, xij semua positif sebagai output dan input dari DMU, dan ur, vi ≥ 0 adalah masing-masing bobot dari output yr ke j dan input xi ke j.

Dari kedua pendekatan TE CRS dan TE VRS ini dapat diformulasikan perhitungan kinerja efisiensi skala (Scale Efficiency = SE). Berdasarkan skor kedua ET ini, Efisiensi skala didefinisikan sebagai:

SE =

(16)

Nilai efisiensi DEA ini didefinisikan tidak oleh standar mutlak tetapi relatif antara bank-bank unitnya. Fitur inilah yang membedakan DEA dari pendekatan parametrik seperti stochastic frontier approach (SFA), yang membutuhkan bentuk fungsi model tertentu. DEA dipakai dalam penelitian ini juga karena masing- masing bank unit memiliki karakteristik yang sama. Tujuan dari DEA ini adalah untuk menentukan bank-bank unit mana yang beroperasi pada efisien frontier atau tidak. Jika kombinasi input-output bank-bank unit tersebut terletak di frontier set maka dianggap efisien, dan sekaligus menjadi envelope yang menutupi seluruh set data yang ada atau dengan kata lain menutupi bank-bank unit yang tidak efisien yang terletak di dalam frontier atau dalam “amplop” (envelope) .

Efisien relatif dalam penelitian ini dengan ukuran efisiensi digambarkan secara teknis berdasarkan output-oriented (gambar 3.3). Apabila terdapat 2 output, yaitu Y1 san Y2, oleh karena itu kombinasi di titik A adalah tidak efisien karena berada di bawah kurva kemungkinan produksi.

.

Jarak A ke frontier set dalam penelitian ini merupakan fungsi jarak output Farrel (Fo), dikenalkan oleh Farrel tahun 1957 yaitu mewakili ketidakefisien secara teknis yang merupakan tingkat output-output yang seharusnya dapat ditingkatkan tanpa menambah input yang ada. Ketika Fo adalah 1, maka bank unit dianggap efisien. Tapi bila score Fo diatas 1 maka kondisi ini menunjukkan keadaan output yang bisa ditingkatkan.

Y2

Y1

Gambar 3.3 Ilustrasi frontier dalam DEA Sumber: Vennesland, 2005

Secara matematis model efisiensi untuk bank-bank unit kʹ dapat dilihat dari persamaan dibawah ini yang diadopsi dari Vannesland (2005) dalam penelitian pembangunan pedesaan: Fo (Xkʹ , Ykʹǀ C,S) = Maxλkʹ (17) s.t ∑ ฀ ฀ ) (18) ∑ ) (19) Zk≥ 0 (CRS) k= 1…K (20)

Fo = fungsi jarak output Farrell. X = input, Y =output dan = masing- masing bank-bank unit, C = CRS, S = strong disposability of outputs atau dapat dikatakan bahwasanya output dapat ditingkatkan lagi dengan input yang sama atau tanpa mengeluarkan biaya tambahan, Zk = variable intensitas (bobot). Peran Z dalam model ini adalah untuk membangun referensi teknologi. Nilai-nilai variable intensitas membuat frontier, yang menggambarkan keadaan sebenarnya atau merupakan hipotesa dari kinerja di bank-bank unit dimana dengan menggunakan input yang sama dapat memproduksi output yang lebih banyak.

Dalam mengukur efisiensi bank, ada dua metode yang bisa digunakan yaitu parametrik dan non parametrik. Untuk parametrik banyak penelitian yang menggunakan stochastic frontier approach (SFA) seperti yang dilakukan oleh (Baten & Kamil 2010; Tahir & Haron 2010). Sedangkan pengukuran efisiensi dengan menggunakan data envelopment analysis (DEA) telah luas digunakan dalam bidang perbankan (Tahir et al. 2009; Fethi and Pasiouras 2010; Motlagh et al. 2011; Suzuki and Sastrosuwito 2011; Gordo 2013). DEA juga digunakan untuk mengukur efisiensi dari berbagai bidang, seperti rural economic development (Vennesland 2005), poultry farm (Heidari 2011) dan di bidang transportasi (Bhagavath 2013). Fethi dan Pasiouras (2010) mengatakan bahwa DEA paling umum digunakan dalam pengukuran kinerja bank.

Keuntungan DEA ini adalah mudah menggabungkan beberapa input maupun output untuk menghitung efisiensi teknik. Namun keterbatasan DEA adalah ketika menafsirkan hasil lebih deterministik, hanya mengukur efisiensi relatif terhadap sampel terbaik yang dihasilkan. Sehingga hal ini tidak bermakna untuk membandingkan skor antara dua studi yang berbeda (Bhagavath 2013).

Di dalam pendekatan dengan DEA, tidak ada konsesus yang baku mengenai pengertian variabel output-input yang digunakan dalam studi efisiensi perbankan (Gordo 2013). Mhanagopal dan Chandrasekaran (2014) mengatakan bahwa DEA menggunakan beberapa input dan output untuk analisis efisiensi tetapi tidak memberikan panduan dalam memilih setiap variabel dan karenanya peneliti memilih variabel input dan output sendiri. Namun, jumlah Decision making unit (DMU) sebaiknya minimal tiga kali dari penjumlahan variabel-variabelnya. Secara umum, ada 2 pendekatan yang digunakan dalam model DEA, yaitu pendekatan intermediasi (financial intermediaries) dan pendekatan produksi. Pendekatan yang pertama adalah fungsi bank sebagai perantara yang meminjam dana dari depositor dan meminjamkannya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih. Dalam kasus ini, maka output bank adalah pinjaman, sedangkan inputnya

47 berbagai biaya yang dikeluarkan seperti bunga bank, biaya tenaga kerja maupun biaya operasional. Dalam penelitian Efendic (2009) menganalisis efisiensi dari bank konvensional dan bank syariah dengan pendekatan intermediasi, maka variabel input yang digunakan adalah total deposito, aset tetap dan tenaga kerja. Sedangkan variabel outputnya adalah pinjaman bersih dan pendapatan aset lainnya. Variabel output dan input yang digunakan Efendic mirip dengan penelitian Varias dan sofianopoulou (2012) di Yunani yang mengevaluasi efisiensi bank komersil. Tahir et al. (2009) mengevalusi efisiensi antara bank domestik dan asing di Malaysia, dan ternyata bank domestik lebih efisiensi. Variabel input yang digunakan adalah total deposito dan biaya overhead, sedangkan outputnya adalah pendapatan dari aset bank. Sebaliknya untuk pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan produksi dimana deposito diperlakukan sebagai outputnya dan biaya operasional termasuk biaya tenaga kerja diperlakukan sebagai inputnya. Sathye (2001) menggunakan tenaga kerja, modal dan dana yang bisa dipinjamkan sebagai input, sedangkan pinjaman dan permintaan deposito sebagai outputnya. Tidak dilakukan klasifikasi jenis pinjaman dalam penelitiannya. Hasil penelitian Sathye menyimpulkan bahwa efisiensi bank-bank Australia masih dibawah rata-rata efisiensi bank di dunia.

Beberapa peneliti yang menggunakan DEA ada yang lebih suka memasukkan jumlah tenaga kerja ataupun jumlah nasabah dibandingkan dengan jumlah nilainya, namun banyak yang menyukai menggunakan besarnya nilai dalam mata uangnya, dengan alasan; pertama, bank bersaing untuk merebut pangsa pasar secara nilai bukan jumlah accountnya. Kedua, account yang berbeda memiliki biaya yang berbeda. Ketiga, bank memiliki multi servis yang ukurannya hanya bisa dinilai dengan jumlah uangnya.

Dalam penelitian ini, output yang digunakan dalam program DEA adalah jumlah KUR yang disalurkan, pendapatan provisi dan jasa serta pendapatan bunga bersih. Sedangkan input dimasukkan total deposit, beban bunga, beban hadiah/penjaminan, beban penyisihan kerugian, biaya tenaga kerja, biaya umum dan administrasi serta beban operasi.