• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kaum Miskin dan Tersingkir dalam Kitab Suci

PENDIDIKAN BAGI KAUM MISKIN DAN TERSINGKIR MELALUI CURA PERSONALIS DALAM GEREJA

2.2.1 Kaum Miskin dan Tersingkir dalam Kitab Suci

Konsep orang miskin dalam Perjanjian Lama mengacu pada situasi sosial yang rendah dan tertindas. Kata yang sering digunakan ani (Ibrani) yang mengacu pada

‘orang miskin’ dalam artian sosio ekonomis dan anaw yang lebih menunjuk pada kemiskinan rohani: orang yang lemah-lembut dan rendah hati, yang merasa dirinya kecil (di hadapan Allah). Kata lainnya yang digunakan adalah kata ‘ebyon mengacu pada orang yang mengharapkan sesuatu, misalnya: pengemis. Kata dal juga sering digunakan untuk menunjukkan kelemahan jasmani dan miskin material. Kata rash menunjuk pada kemiskinan ekonomi yang parah dan kata lain lagi adalah misken mengacu pada orang yang bergantung dan tunduk pada orang lain. Terminologi tentang makna kemiskinan dalam Perjanjian Lama ini ingin memperlihatkan bahwa orang miskin amat diperhatikan dalam Perjanjian Lama. Perjanjian Lama tidak saja memperhatikan sebagai orang-orang yang patut untuk dikasihani tetapi lebih pada peran mereka dalam sejarah keselamatan.45

Dalam Perjanjian Lama, kemiskinan kerap dipandang dan dimaknai sebagai sesuatu yang negatif, merupakan suatu tanda hukuman dan kutukan dari Allah (bdk.

Im 26:14-26; Ul 28:15-24; Yes 3:24; Ams 6:6-11, 23:21, 21:17, Sir 40:28).

45 Hortensius Mandaru, Solidaritas Kaya-Miskin menurut Lukas, Kanisius, Yogyakarta, 1992, 24-25.

38 Sementara kekayaan dipandang sebagai sesuatu berkat atau anugerah dari Allah yang patut disyukuri (Sir 47:18, Ayb 42:10). Namun patut dicatat pula bahwa dalam Perjanjian Lama, orang miskin juga mendapatkan perhatian yang cukup besar dari Allah yakni tema tentang Yahwe pembela orang miskin yang diperlakukan tidak adil (Kel 20:22-23:33), perhatian kepada para budak dan penghapusan utang dibebaskan pada tahun Sabat dan Yobel dan tah (Ul 15, Im 25). Para nabi pun diutus Yahwe sebagai menyuarakan keadilan bagi orang yang tertindas dan diberlakukan tidak adil (Am 2:6; 4:1; 6:4-6; 5:11-12; 8:4-5). Demikian pula dengan para nabi-nabi lainnnya seperti Yesaya, Hosea, Mikha, Yeremia, Yehezkiel. Tema perhatian terhadap orang miskin dan ketidakadilan kiranya menjadi tema pokok pula dalam Perjanjian Lama, di mana kesetiaan terhadap perjanjian menuntut keadilan sosial, sebab Yahwe adalah pelindung orang miskin dan malang.46

Pada konteks Perjanjian Baru, oleh karena situasi politik dan pemerintahan, muncullah kelas-kelas sosial dalam masyarakat Palestina. Pertama kelas kaya, yakni lingkungan istana raja, pedagang besar, tuan tanah yang besar, pegawai pajak, banker, para anggota Sanhedrin, keluarga imam besar. Kedua, kelas menengah yang terdiri dari para pedagang eceran, tukang dan ahli-ahli kejuruan yang menjual hasil karya mereka. Ketiga, kelas miskin yang terbagi menjadi dua kelompok:

miskin tapi masih bisa mencari nafkah seperti budak, buruh harian dengan upah sedinar sehari dan kelompok miskin kedua ialah mereka yang hidup dari sumbangan/derma. Kelompok miskin kedua inilah yang paling menyedihkan keadaannya. Para pengemis, orang sakit, buta, timpang kusta dan melarat adalah

46 Hortensius Mandaru, Solidaritas Kaya-Miskin menurut Lukas, 26-30.

39 bagian dari kelompok ini. Mereka adalah kelompok tanpa harapan baik secara sosial maupun religius. Para yatim dan janda meski secara ekonomis dipelihara dan diperhatikan secara khusus, namun juga dimasukkan dalam kelompok miskin ini.

Pada zaman Yesus masih banyak masyarakat terdiri atas orang miskin.

Perhatian kepada orang miskin di Palestina sebenarnya cukup besar, pajak perpuluhan setiap tiga atau enam tahun. Mereka juga diperbolehkan mengambil sisa-sisa panen dari ladang selama tahun Sabat. Sumbangan-sumbangan sukarela pada hari raya, setengah sepersepuluhan yang kedua di Yerusalem juga disumbangkan untuk orang miskin. Selain itu ada pula kelompok-kelompok keagamaan yang terpanggil untuk membantu orang miskin seperti kaum Esseni, kelompok Farisi juga orang-orang Yahudi-helenistik diaspora di Yerusalem. Dalam perkembanganya bantuan bagi orang miskin diusahakan secara sistematis di sinagoga-sinagoga dengan pemeliharaan secara harian bagi orang miskin yang menetap sementara berupa makanan dan pemeliharaan mingguan untuk yang menetap di kota berupa pakaian dan makanan.

Secara umum sebenarnya pada zaman Yesus orang miskin bukan berarti tanpa bantuan dan diperhatikan. Namun, di lain pihak banyak pula orang miskin yang direndahkan oleh para pemimpin dan guru agama, dibebani hukum dan pajak.

Situasi dan kondisi kemiskinan yang secara umum inilah yang akhirnya menjadi sasaran pewartaan Yesus yakni mereka yang dipandang sebelah mata dan tidak memiliki akses untuk hidup yang layak. Dalam Injil Lukas nampak perhatian dan penekanan khusus kepada kaum miskin. Lukas memakai kata ptochos, ‘miskin’

40 sebanyak sepuluh kali, sementara Matius dan Markus hanya lima kali.47 Perhatian kepada kaum miskin sangat kuat ditonjolkan oleh Lukas dalam Sabda Yesus yang membacakan nas dari Yesaya 61:1, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin…

(Luk 4:18). Sabda ini hendak mengatakan bahwa pelayanan Yesus yang pertama diperuntukkan bagi kaum miskin. Hal lain lagi juga ditangkap dari para utusan Yohanes Pembaptis yang bertanya, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” (Luk 7:19) yang kemudian disusul oleh jawaban Yesus dengan mengingatkan orang pada karya-karya belas kasihan-Nya, “orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Luk 7:22).48 Lukas menampilkan tindakan-tindakan konkret Yesus yang ditujukkan kepada orang-orang yang berada dalam kesulitan yang nyata. Orang miskin yang dimaksudkan di sini merupakan kelompok sendiri yakni mereka yang ditimpa kekurangan materi dan mengalami pemerasan. Mereka sungguh-sungguh berada dalam situasi penderitaan yang riil. Dalam tindakan belas kasih Yesus kepada orang sakit dan miskin inilah nampak saat penyelamatan Allah bagi mereka.

47 Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru, diterjemahkan dari New Testament Theology, oleh H.

Pidyarto, Gandum Mas, Malang 1996, 290

48 Bdk. Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru, diterjemahkan dari New Testament Theology, oleh H. Pidyarto, Gandum Mas, 290.

41 Panggilan Gereja adalah meneruskan perutusan Yesus guna mewartakan Kerajaan Allah. Hal ini termaktub dalam ungkapan dalam Kitab Nabi Yesaya yang dibaca Yesus dalam Injil Lukas:

Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang-orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk 4: 18-19)

Dalam pengejawantahan teks ini, Gereja melaksanakan banyak karya demi mencapai keadilan sosial. Salah satu bentuk ketidakadilan itu adalah kemiskinan.

Kemiskinan menjadi warna kehidupan manusia di dunia ini dan selalu ada dari zaman ke zaman. Dampak kemiskinan adalah orang kehilangan hak dan martabatnya. Gereja melalui ajaran-ajarannya secara tegas memperjuangkan martabat manusia sebagai citra Allah. Pilihan untuk mengutamakan kaum miskin tersebut dirumuskan sebagai bentuk prioritas dalam mengamalkan cinta kasih Kristiani.49 Perjuangan mengentaskan kemiskinan menemukan satu motivasinya yang kuat dalam pilihan atau cinta kasih dari pihak Gereja.50

Tugas perutusan mewartakan Injil mengungkapkan jati dirinya yang terdalam.

Gereja ada untuk menyiarkan Injil: mewartakan, mengajar dan menyalurkan karunia rahmat kepada semua orang (EN art. 14). Pilihan mengutamakan kaum miskin bagi Gereja merupakan amanat sosial Injil yang bukan sekedar teori belaka melainkan sebagai dasar nyata dan motivasi untuk bertindak. Amanat sosial Injil

49 Bdk. CA art. 11.

50 Bdk. Yohanes Paulus II, Amanat pada Musyawarah Paripurna Ketiga Para Uskup Amerika Latin, Puebla, Mexico (28 Januari 1979), I/8: AAS 71 (1979), 194-195.

42 tersebut merupakan amanat Kristus sendiri, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Teks ini menginspirasi dan menggerakkan jemaat Kristiani awal dan para religius untuk membagikan harta miliknya dan membaktikan diri kepada yang miskin dan tersingkir melalui amal kemurahan hati dengan mendirikan tempat-tempat penampungan kaum miskin maupun rumah-rumah sakit bagi mereka.

Dalam usaha mewartakan Kerajaan Allah di tengah dunia, Gereja memperjuangkan terciptanya suatu tatanan masyarakat yang adil. Yesus dalam karya perutusan-Nya mengangkat keseluruhan tradisi Perjanjian Lama yang berkenan dengan barang-barang ekonomi, kekayaan dan kemiskinan dan memberikan kejelasan yang besar serta kepenuhan kepada semuanya itu (bdk. Mat 6:24, 13:22; Luk 6:20-24; 12:15-21; Rm 14:6-8; 1 Tim 4:4). Ia datang untuk menegakkan Kerajaan Allah, melalui karunia Roh-Nya dan pertobatan hati manusia diajak untuk hidup dalam gaya baru kehidupan sosial di dalam keadilan, persaudaraan, solidaritas dan kesediaan berbagi. Oleh karunia Roh-Nya ini pula Gereja dipanggil untuk melanjutkan karya Yesus dengan memberi keadilan kepada kaum miskin, membebaskan orang-orang tertindas, menghibur yang berduka, secara aktif mengupayakan sebuah tatanan sosial yang baru dengan cara-cara penyelesaian yang memadai atas kemiskinan material dapat ditawarkan dan

43 mengendalikan kekuatan yang hendak menghalangi upaya-upaya pembebasan kaum lemah dari penderitaan dan perbudakan. 51

Sejak awal mula, Gereja memberi perhatian dan cinta kasih terhadap orang miskin sebagai bentuk kepedulian atas penderitaan manusia. Keanekaragaman bentuk kelemahan manusia: kekurangan material, ketidakadilan, penindasan, penyakit jasmani-rohani, dan kematian menjadi bukti nyata tentang keadaan kelemahan bawaan perlunya keselamatan. Kristus menanggung penderitaan dan kelemahan manusia melalui penebusan dengan mengidentifikasikan Diri dengan saudara-Nya yang paling hina agar manusia beroleh keselamatan. Gereja, sebagai sakramen keselamatan dunia, diutus untuk senantiasa mengarahkan pandangan kepada mereka semua yang memprihatinkan dengan cinta utama. Gereja yang sejak awal, tanpa memperhitungkan kelemahan dari banyak anggotanya, bekerja tanpa henti-hentinya, supaya membantu, membela, dan membebaskan yang tertindas.

Gereja melakukannya melalui karya amal yang tak terhitung jumlahnya, yang masih dibutuhkan, selalu dan di mana-mana.52

Kehadiran Gereja di tengah kaum miskin menjadi tanda tiada hentinya karya Roh Kudus di tengah dunia. Gereja memanggil putera-puterinya untuk turut serta dalam menanggung penderitaan, penindasan dan penganiayaan terhadap kaum miskin dan menghayatinya dalam daging dan hatinya sebagai sengsara Kristus dan memberi kesaksian akan kebangkitan-Nya. Gereja mengajak untuk melakukan

51 Kompendium Ajaran Sosial Gereja art. 325.

http://www.vatican.va/roman_curia/pontifical_councils/justpeace/documents/kompendium_text _id.pdf (27 Oktober 2015).

52 CDF, Instr. “Libertatis conscientia” 68 seperti dikutip oleh Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik, Arnoldus, Ende, 2007, art 2448, 589. Diterjemahkan dari edisi Jerman oleh P. Herman Embuiru.

44 perombakan radikal dunia dalam misteri Paska Tuhan yang akan memberi makna sepenuhnya kepada daya upaya orang-orang, khususnya kaum muda, untuk mengurangi ketidakadilan, kekerasan, rasa benci dan untuk serentak maju dalam keadilan, kebebasan, persaudaraan dan cintakasih.53

Dalam ensikliknya, Mater et Magistra, Paus Yohanes XXIII menekankan tugas Gereja Katolik menurut maksud pendirinya, yakni Yesus Kristus. Gereja didirikan untuk menampung dunia dalam rangkulan cinta kasihnya, supaya orang-orang setiap zaman menemukan di dalamnya penyempurnaan mereka pada tata hidup yang lebih luhur, serta keselamatan mereka (MM art. 1). Dalam keadaan dunia yang serba berubah setiap zamannya, Gereja senantiasa diajak untuk menjunjung martabat manusia dengan mempedulikan tuntutan-tuntutan hidup manusia sehari-hari. Gereja mencoba juga memperhatikan kehidupan dengan pendapatan layak, pendidikan dan kesejahteraan dan kemakmuran terutama bagi mereka yang miskin.

Keprihatinan terhadap kaum miskin tersebut secara khusus bagi mereka yang dirampas hak-hak asasi manusiawinya. Pilihan atau sikap itu mewarnai kehidupan setiap orang Kristen, sejauh ia berusaha meneladan kehidupan Kristus, tetapi diterapkan juga pada pokok-pokok tanggung jawab sosial. Cinta kasih yang mengutamakan kaum miskin mau tidak mau merangkul massa yang tak terbilang mereka yang lapar, serba kekurangan, tunawisma, tuna pelayanan kesehatan, dan terutama tanpa harapan akan masa depan yang lebih cerah (SRS art. 42).

Selanjutnya, Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Centesimus Annus, (Kenangan Ulang Tahun ke-seratus Ensiklik “Rerum Novarum”) mengingatkan

53 Bdk. Convenientes ex Universo art. 76.

45 kembali bahwa amanat sosial Gereja yang mengutamakan kaum miskin akan berwibawa dan layak dipercaya terutama karena berdasarkan kesaksian, lewat tindakan nyata dari pada keserasian dan konsistensi intrinsiknya. Sikap mengutamakan kaum miskin tidak hanya terbatas pada kemiskinan material, karena dalam masyarakat sekarang terdapat juga banyak jenis kemiskinan, bukan di bidang perekonomian semata-mata, melainkan juga di bidang pendidikan dan keagamaan.54 Cinta kasih terhadap sesama terlebih terhadap kaum miskin yang bagi Gereja menampilkan Kristus, diwujudkan secara nyata melalui usaha memajukan keadilan. Keadilan takkan pernah tercapai sepenuhnya, selama orang miskin, yang meminta bantuan untuk mempertahankan hidupnya, masih dianggap mengganggu atau suatu beban, dan bukan sebagai kesempatan untuk beramal baik, dan peluang untuk memperkaya kepribadian.55

Salah satu bentuk dari pengentasan kemiskinan ini adalah dengan mengembangkan kaum muda melalui pendidikan. Cara ini juga ditempuh oleh Gereja, bukan hanya dengan membebaskan mereka dari kemiskinan secara ekonomi tetapi juga dengan membantu mereka terbebas dari kemiskinan secara budaya dan mental. Untuk itulah, Gereja melalui lembaga-lembaga pendidikan Katolik memiliki kekhasan yang diharapkan mampu membebaskan manusia dari berbagai kemiskinan yang dialaminya. Bagian berikut akan lebih berbicara tentang upaya Gereja membangun pendidikan yang membebaskan manusia dari kemiskinan.

54 Bdk. CA art. 57.

55 Bdk. CA art. 58.

46 2.2.2 Pilihan Gereja untuk Terlibat di Dunia Pendidikan

Secara istimewa pendidikan termasuk tugas Gereja. Melalui pendidikan, Gereja mewartakan jalan keselamatan pada semua orang, menyalurkan kehidupan Kristus kepada umat beriman, serta tiada hentinya penuh perhatian membantu mereka, supaya mampu meraih kepenuhan hidup. Jadi bagi para putera-puterinya, Gereja selaku Bunda wajib menyelenggarakan pendidikan, supaya seluruh hidup mereka diresapi oleh semangat Kristus. Gereja juga memberi pendidikan bagi mereka yang tidak dalam kesatuan dengannya, guna menyumbangkan bantuannya kepada semua bangsa, untuk mendukung penyempurnaan pribadi manusia seutuhnya, juga demi kesejahteraan masyarakat dunia, dan demi pembangunan dunia sehingga menjadi makin manusiawi (bdk. GE 3).

Pendidikan merupakan suatu hal yang penting bagi setiap manusia. Melalui pengalaman hidup, perjumpaan dan interaksi dengan sesama serta aneka peristiwa yang dialami, manusia berkembang dan memiliki banyak pengetahuan. Manusia dijuluki sebagai animal educandum sekaligus animal educandus, yang berarti makhluk yang dididik sekaligus makhluk yang mendidik. Artinya, manusia adalah mahkluk yang senantiasa terlibat dalam proses pendidikan, baik pendidikan bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri. Dalam arti yang luas pendidikan terjadi melalui tiga tahap upaya utama, yaitu pembiasaan, pembelajaran dan peneladanan.56 Ketiga upaya tersebut sebenarnya menjadi tahap awal pendidikan

56 Fuad Hasan, Pendidikan adalah Pembudayaan, dalam kumpulan makalah Tonny D. Widiastono (edt), Pendidikan Manusia Indonesia, Kompas, Jakarta, 2004,52.

47 yang terjadi di dalam keluarga. Proses pendidikan selanjutnya terjadi di dalam sebuah institusi yang disebut sebagai sekolah. Pendidikan di sekolah atau biasa dikenal sebagai pendidikan formal dilaksanakan secara teratur, sistematis, berjenjang. Pendidikan formal ini dibagi dalam jenjang waktu mulai dari Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi. Dalam perspektif Gereja Katolik, pendidikan bertujuan mencapai pembinaan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya dan demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat. Hal ini mengingat bahwa manusia termasuk anggotanya dan bila sudah dewasa ikut berperan menunaikan tugas kewajibannya (GE 1).

Pendidikan menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan taraf hidup manusia.

Gereja sebagai bagian dari masyarakat melihat bahwa kemampuan perencanaan dari sebuah masyarakat yang terarah pada kesejahteraan umum. Perencanaan itu tertuju pada masa depan berdasarkan prospek lapangan kerja yang mampu ditawarkan. Adanya tingkat pengangguran dipengaruhi oleh adanya kehadiran sistem-sistem pengajaran yang ketinggalan zaman. Di samping itu aneka kesulitan dalam memperoleh akses pada pembentukan profesi serta pasar kerja menghadirkan pula suatu kendala yang besar bagi banyak kaum muda menuju jalan kepenuhan manusiawi dan profesional. Orang-orang yang menggangur atau setengah menganggur mengalami berbagai konsekuensi negatif mendasar yang diciptakan situasi semacam itu dalam kepribadian mereka. Akibatnya, mereka beresiko disisihkan dalam masyarakat dan menjadi korban pengucilan.57 Dari sini, ditemukan bahwa mempertahankan kerja tergantung juga pada berbagai kecakapan

57 Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2436.

48 profesional. Disadari sungguh bahwa sistem pendidikan dan pengajaran mestinya tidak boleh mengabaikan pembinaan manusiawi atau teknologis yang mutlak diperlukan agar berguna dalam menuntaskan tanggung jawab seseorang.58 Oleh karenanya, kaum muda perlu diajari bertindak seturut kehendak dan prakarsanya sendiri untuk mengemban tanggung jawab menghadapi resiko-resiko yang terkait dengan perkembangan konteks ekonomi yang sulit diprediksi. Pendidikan dan kursus-kursus persiapan bagi kaum muda sangat penting diberikan sebagai bekal bagi kehidupan mereka. Dalam hal ini, komitmen kepada pendidikan dan pembinaan pribadi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan Katolik tampil sebagai perhatian utama tindakan sosial orang-orang Kristiani.59 Dalam hal ini, pendidikan Katolik secara serentak harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Kaum muda yang menjadi anggota masyarakat perlu dipersiapkan dalam tugas-tugas yang kelak akan diambil ketika ia sudah menjadi dewasa.60

Ensiklik Paus Pius XI Divini Illius Magistri tentang Pendidikan Kristen Bagi Kaum Muda (31 Desember 1929) menjadi salah satu bukti nyata bahwa Gereja dengan serius berupaya memikirkan pendidikan bagi generasi muda. Perhatian Gereja terhadap pendidikan sebelumnya memang tidak pernah dibicarakan sebanyak yang dibicarakan dalam ensiklik ini. Di tengah kemajuan dunia yang menawarkan aneka kemudahan dan kenikmatannya, manusia sebenarnya rindu

58 Bdk. Kompendium Ajaran Sosial Gereja art. 290,

http://www.vatican.va/roman_curia/pontifical_councils/justpeace/documents/kompendium_text _id.pdf (27 Oktober 2015).

59 Bdk, Kompendium Ajaran Sosial Gereja art. 557,

http://www.vatican.va/roman_curia/pontifical_councils/justpeace/documents/kompendium_text _id.pdf (27 Oktober 2015).

60 Kompendium Ajaran Sosial Gereja art. 242,

http://www.vatican.va/roman_curia/pontifical_councils/justpeace/documents/kompendium_text _id.pdf (27 Oktober 2015).

49 suatu kesempurnaan hidup yang lebih tinggi dari sekedar kelimpahan materi.

Kerinduan itu diletakkan oleh Allah di dalam kodrat manusia berbudi. Oleh karenanya melalui pendidikanlah manusia ingin mencapai kesempurnaan yang dirindukan tersebut.61 Divini Illius Magistri menyebut pendidikan pada hakikatnya berusaha membentuk manusia dan membawanya kepada perilaku hidup yang semestinya untuk mencapai tujuan yang luhur ke arah mana manusia diciptakan.

Dari sini dapat dikatakan bahwa tidak mungkin ada pendidikan yang sejati yang tidak seluruhnya diarahkan kepada tujuan terakhir itu, yakni kesempurnaan hidup atau Allah sendiri.62

Peran dan tugas mendidik yang utama adalah orangtua atau keluarga sebagai tempat awal penanaman nilai-nilai luhur dalam diri anak-anak. Peran dan tugas Negara dalam mendidik terkait dengan upaya mendampingi guna mencapai tujuan bersama yakni kesejahteraan umum di dunia. Sementara peran dan tugas Gereja dalam mendidik lebih terkait dengan usaha untuk mencapai keselamatan manusia yang kekal, membawanya kepada kesempurnaan dan kebenaran hidup. Pokok-pokok dalam ensiklik Divini Illius Magistri dipergunakan sebagai referensi dan draft oleh Gereja untuk menyusun ajarannya tentang pendidikan bagi kaum muda melalui dokumen Konsili Vatikan II, Pernyataan Tentang Pendidikan Kristen (Gravissimum Educationis) yang dimaklumkan pada tanggal 28 Oktober 1965 oleh Paus Paulus VI. Dokumen Gravissimum Educationis menyebut bahwa Konsili melihat sangat pentingnya pendidikan dalam hidup manusia. Pendidikan

61 Bdk. Divini Illius Magistri art.6.

62 Bdk. Divini Illius Magistri art.9.

50 berpengaruh besar dalam perkembangan masyarakat zaman sekarang. Pembinaan kaum muda yang terus menerus kiranya menjadi hal yang mendesak untuk diperhatikan. Pertumbuhan jumlah kaum muda usia didik yang begitu pesat mengajak Gereja untuk berperan dalam pengembangan dan perluasan pendidikan.

Dalam dokumen juga diterangkan bahwa semua orang berdasarkan martabat mereka selaku pribadi, baik dari suku, kondisi, atau usia mana pun, mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas pendidikan tanpa mengabaikan sifat perangai dan tradisi warisan leluhur dan terbuka bagi persaudaraan (bdk. GE 1).

Menurut Gravissimum Educationis, pendidikan tidak hanya bertujuan pendewasaan tetapi juga membantu peserta didik, khususnya bagi mereka yang telah dibaptis, untuk semakin menyadari karunia iman dari karya misteri keselamatan Allah. Kesadaran ini membawa mereka kepada sikap bersujud kepada Allah dalam Roh dan kebenaran sebagai manusia baru yang mencapai kedewasaan penuh (GE 2). Proses pendidikan pada tahap dasar terjadi di dalam keluarga oleh karenanya tugas menyelenggarakan pendidikan pertama-tama menjadi tanggung jawab keluarga. Dalam pendidikan di keluarga, orang tua berkewajiban menciptakan lingkungan keluarga yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sehingga menunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak. Tugas mendidik yang pertama adalah wewenang keluarga namun juga membutuhkan bantuan seluruh masyarakat. Selanjutnya pendidikan merupakan tanggung jawab masyarakat, khususnya mereka yang diserahi oleh orangtua dalam mendidik. Tugas mendidik juga ada pada Gereja, bukan saja karena ia dapat dianggap masyarakat manusia yang mampu mendidik, tetapi terutama

51 karena ia wajib mewartakan jalan keselamatan kepada semua orang. Selain itu tugas Gereja juga menyalurkan hidup Kristus kepada orang beriman dan membantu mereka mencapai kepenuhan hidup (bdk. GE 3).

Sekolah memiliki peran dan bobot yang khusus sebagai sarana pewartaan sebab

Sekolah memiliki peran dan bobot yang khusus sebagai sarana pewartaan sebab