• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN YANG BERPIHAK KEPADA YANG MISKIN DAN TERSINGKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENDIDIKAN YANG BERPIHAK KEPADA YANG MISKIN DAN TERSINGKIR"

Copied!
484
0
0

Teks penuh

(1)

TEO

PENDIDIKAN YANG BERPIHAK KEPADA YANG MISKIN DAN TERSINGKIR Studi Kasus Di Sekolah-Sekolah Theresiana

Yayasan Bernardus Semarang

TESIS

Oleh:

L. Andika Bhayangkara NIM 136312002

FAKULTAS TEOLOGI

PROGRAM STUDI MAGISTER TEOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2017

(2)

i

TEO

PENDIDIKAN YANG BERPIHAK KEPADA YANG MISKIN DAN TERSINGKIR Studi Kasus Di Sekolah-Sekolah Theresiana

Yayasan Bernardus Semarang

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Teologi

Program Studi Magister Teologi

Oleh:

L. Andika Bhayangkara NIM 136312002

FAKULTAS TEOLOGI

PROGRAM STUDI MAGISTER TEOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2017

(3)

ii

TESIS

PENDIDIKAN YANG BERPIHAK KEPADA YANG MISKIN DAN TERSINGKIR

Studi Kasus Di Sekolah-Sekolah Theresiana Yayasan Bernardus Semarang

Oleh:

L. Andika Bhayangkara NIM 136312002

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 18 Januari 2017

dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama lengkap Tanda tangan

Ketua : Dr. M. Purwatma, Pr. ………

Sekretaris : Dr. C.B. Mulyatno, Pr. ………

Anggota : Dr. T. Krispurwana Cahyadi, SJ. ………

Yogyakarta, ………... 2017 Universitas Sanata Dharma

Fakultas Teologi Dekan,

Dr. Emanuel Pranawa Dhatu Ms., Pr.

(4)

iii

PERNYATAAN MENGENAI KEASLIAN TESIS

Dengan ini, saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul:

PENDIDIKAN YANG BERPIHAK KEPADA YANG MISKIN DAN TERSINGKIR

Studi Kasus Di Sekolah-Sekolah Theresiana Yayasan Bernardus Semarang

tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, ...

Penulis,

L. Andika Bhayangkara NIM: 136312002

(5)

iv

ABSTRAK

Setiap orang mempunyai hak atas pendidikan yang layak. Pada kenyataannya masih banyak orang belum bisa mendapatkan pendidikan karena faktor kemiskinan.

Pelayanan pendidikan bagi orang miskin menjadi penting sebagai upaya menghormati hak-hak mereka atas pendidikan yang layak. Dalam dunia pendidikan, bentuk kemiskinan mulai berkembang tidak hanya kemiskinan materiil tetapi muncul pula bentuk-bentuk kemiskinan baru dalam anak didik. Pendidikan merupakan salah satu perhatian dari karya pelayanan Gereja khususnya pendidikan bagi orang miskin dan tersingkir. Sekolah-sekolah Theresiana sebagai lembaga pendidikan Katolik dipanggil dan turut bertanggung jawab pula untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi orang miskin dan tersingkir. Lalu, apakah Sekolah- sekolah Theresiana masih mengupayakan opsinya pelayanannya kepada yang miskin dan tersingkir sekarang ini? Penelitian ini menjadi sebuah usaha untuk menjawab pertanyaan tersebut, yakni dengan menggali informasi terkait dengan pemahaman, penghayatan dan perwujudan opsi kepada yang miskin dan tersingkir.

Dalam menjalankan karya pelayanannya, Sekolah-sekolah Theresiana menghidupi salah satu nilai dasar yakni peduli. Dalam nilai peduli ini, terdapat semangat cura personalis 3N (nresnani, ngopeni, nggemateni) bagi pendampingan anak didik. Semangat 3N ini menjadi salah satu cara untuk tetap memberi perhatian kepada yang miskin dan tersingkir. Penelitian ini dilakukan di Sekolah-sekolah Menengah Theresiana, di beberapa tempat di Jawa Tengah. Subyek penelitian adalah guru dan anak didik. Proses pengumpulan data menggunakan metode campuran yakni metode kualitatif dan kuantitatif.

Dari hasil dan analisa penelitian dapat disimpulkan bahwa opsi pelayanan kepada yang miskin dan tersingkir tetap dijalankan di Sekolah-sekolah Theresiana.

Dalam semangat 3N para pendidik memberikan perhatian dan kasihnya bagi anak- anak didiknya. Inilah salah satu bentuk pewartaan kabar baik di sekolah yakni melayani mereka dengan penuh kasih (nresnani, ngopeni dan nggemateni).

(6)

v

ABSTRACT

Everyone has the right to get a proper education. In fact, many people still have not been able to get education due to poverty. The education service of education for the poor is important in as effort to respect their rights over a proper education. In the education world, poverty develops not only in its material form but also in the protege as its new form. Education is one of concern of the service of the Church, especially education for the poor and marginalized. Theresiana schools as Catholic institutions are called to demonstrate its responsibility to provide education services for the poor and marginalized. Then, do Theresiana schools still seeking options its ministry to the poor and marginalized now? This research is an attempt to answer this question, by digging up the information related to the understanding, the full and total comprehension, and the realization of the option for the poor and marginalized.

In carrying out the work of its service, Theresiana schools live out one basic value i.e. care. In this matter, there is a spirit of cura personalis 3N (nresnani, ngopeni, nggemateni) for students mentoring. This 3N spirit become, one way to

keep paying attention to the poor and marginalized. This research was conducted at some Theresiana secondary schools, in central Java. The subject of this research is the teachers and the students. The process of collecting data is using a mixed methods i.e. qualitative and quantitative methods.

From this research it can be concluded that the option of education service to the poor and marginalized still run in Theresiana schools. In the spirit of 3N, the educators give their attention and love to the proteges. This is one form of preaching the Good News in the school i.e., serving the poor and the marginalized with love (nresnani, ngopeni and nggemateni).

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Pendidikan merupakan salah satu hal penting dalam manusia. Melalui pendidikan manusia mampu berkembang untuk mencapai keutuhan hidup.

Pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini begitu kuat bagi generasi muda. Perhatian pendidikan bagi kaum muda ditengah arus zaman menjadi salah satu pastoral Gereja. Melalui lembaga pendidikan Katolik dan ajarannya, Gereja hadir dan terlibat dalam upaya pendampingan generasi muda.

Sekolah Theresiana menjadi salah satu lembaga pendidikan Katolik yang turut bertanggung jawab atas pendampingan generasi muda. Perhatian dan tanggung jawab sudah diawali dan dirintis oleh para misionaris, pendiri dan pelaksana sekolah Theresiana dengan memberikan pelayanan pendidikan kepada yang miskin dan tersingkir. Fokus pelayanan mengutamakan kaum lemah, miskin dan tersingkir menjadi pilihan pelayanan Gereja. Demikian pula dengan Sekolah Theresiana yang adalah bagian dari Gereja ditantang untuk terus mempertahankan pelayanannya bagi yang miskin dan tersingkir. Hal inilah yang mendasari penulis untuk menemukan jawaban atas pertanyaan, “Apakah Sekolah Theresiana masih mengupayakan pilihan pelayanannya bagi yang miskin dan tersingkir?” di tengah arus perkembangan zaman sekarang ini.

Tesis ini ada karena banyak pihak berpartisipasi dalam membantu dan mendukung secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya penulis berterima kasih kepada:

(8)

vii

1. Allah Tritunggal Maha Kudus yang senantiasa setia mendampingi, dan tidak jemu-jemu membangkitkan semangat dalam menyelesaikan studi ini.

2. Bapak Ig. Sudirjo dan Ibu I.A. Sri Rahayu beserta seluruh keluarga besar kakak dan adik tercinta atas doa restu, dukungan semangat dan segala yang telah diberikan. Tuhan memberkati.

3. Mgr. Johannes Pujasumarta (alm.) dan Rm. FX. Sukendar Wignyosumarta, Pr., selaku pejabat di Keuskupan Agung Semarang yang telah memberi kesempatan dan kepercayaan kepada penulis untuk menggeluti panggilan melalui studi program magister teologi.

4. Rm. J. Kristanto, Pr, Rektor Seminari Tinggi St. Paulus dan para staff yang selalu memberikan dukungan, bimbingan dan kesabarannya hingga tesis dapat diselesaikan.

5. Rm. Dr. Mateus Purwatma, Pr, sebagai pembimbing pertama dan Rm. Dr. T.

Krispurwana cahyadi, SJ sebagai pembimbing kedua. Terima kasih telah mendampingi dengan penuh kasih, kesabaran, perhatian serta kemurahatiannya mau merelakan waktu untuk membimbing dan menemani perjuangan penulis, di tengah-tengah kesibukan beliau-beliau.

6. Rm. Dr. E.P.D. Martasudjita, Pr, selaku pembimbing tingkat VII yang telah menjadi “teman” sekaligus orangtua, senantiasa mengingatkan dan atas sapaan personalnya.

7. Seluruh umat Paroki Kristus Raja Ungaran, secara khusus umat di lingkungan St. Simon Zelot atas dukungan dan doa yang diberikan.

(9)

viii

8. Mas Suwandi, Mas Lismi di perpustakaan Seminari Tinggi St. Paulus dan Para karyawan perpustakaan Kolsani yang membantu dalam penyediaan dan pencarian sumber-sumber bacaan bagi tulisan ini.

9. Teman-teman tingkat VII lama dan tingkat VII baru terima kasih telah menjadi bagian hidupku. Para karyawan di Seminari Tinggi St. Paulus yang mendukung melalui doa dan sapaan sehari-hari.

10. Semua pribadi yang tidak dapat disebut satu per satu, yang telah memberikan dukungan dan dorongan sehingga tesis in selesai

Tulisan ini kiranya masih jauh dari sempurna. Penulis sadar akan keterbatasan dalam mengolah dan menganalisa data penelitian secara tepat dan mendalam. Oleh karenanya, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari Anda demi sempurnanya tulisan ini. Semoga kita semua semakin peduli dan mengasihi sesama terlebih saudara-saudari yang lemah, miskin dan tersingkir sebagaimana Kristus telah memberi teladan kepada kita. Deo Gratias.

Penulis

(10)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR SKEMA ... xix

DAFTAR SINGKATAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.1.1 Filsafat Pendidikan ... 5

1.1.2 Peran Pendidik dalam Pendidikan ... 10

1.1.3 Perhatian Gereja tentang Masalah Pendidikan ... 11

1.1.4 Sekolah-Sekolah Katolik Theresiana ... 14

1.1.5 Guru Sebagai Pengasuh Peserta Didik ... 18

1.1.6 Cura Personalis dalam Sekolah-Sekolah Theresiana ... 20

1.2 Pokok Permasalahan ... 23

1.3 Tujuan Penelitian ... 24

(11)

x

1.4 Manfaat Penelitian ... 24

1.5 Literatur Review ... 25

1.6 Hipotesis ... 27

1.7 Kerangka Teori ... 28

1.8 Metode Penelitian ... 31

1.9 Sistematika Penulisan ... 33

BAB II PENDIDIKAN BAGI KAUM MISKIN DAN TERSINGKIR MELALUI CURA PERSONALIS DALAM GEREJA ... 36

2.1 Pengantar ... 36

2.2 Keberpihakan Gereja bagi Kaum Miskin dan Tersingkir ... 37

2.2.1 Pilihan Gereja untuk Terlibat di Dunia Pendidikan ... 37

2.2.2 Pendidikan bagi Kaum Miskin dan Tersingkir ... 46

2.3 Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Pendidikan Gereja Katolik ... 55

2.3.1 Peran Sekolah Katolik dalam Pendidikan Katolik ... 56

2.3.2 Peran Kaum Tertahbis dalam Pendidikan Katolik ... 59

2.3.3 Peran Awam dalam Pendidikan Katolik ... 60

2.3.4 Peran Orang Tua dalam Pendidikan Katolik... 64

2.4 Pendampingan Cura Personalis ... 65

2.5 Rangkuman ... 74

(12)

xi

BAB III SEKOLAH-SEKOLAH KATOLIK THERESIANA: SEJARAH PERKEMBANGAN DAN CURA PERSONALIS 3N (NRESNANI,

NGOPENI, NGGEMATENI) ... 76

3.1 Pengantar ... 76

3.2 Sejarah Yayasan Bernardus ... 77

3.2.1 Sekolah-Sekolah Theresiana Yayasan Bernardus Semarang ... 79

3.2.1.1 Masa Penggembalaan Pastor Simon Beekman, SJ ... 80

3.2.1.2 Masa Penggembalaan Pastor Chang Peng Tu, Pr ... 84

3.2.1.3 Masa Penggembalaan Pastor Heribertus Natasusila, Pr ... 89

3.2.1.4 Masa Penggembalaan Pastor Agustinus Tri Hartono, Pr ... 91

3.2.1.5 Masa Penggembalaan Pastor Materius Kristiyanto, Pr ... 92

3.2.2 Kronologi Sejarah Sekolah-Sekolah Theresiana ... 94

3.3 Spiritualitas Cura Personalis 3N (Nresnani, Ngopeni, Nggemateni) di Sekolah-Sekolah Theresiana ... 100

3.3.1 Awal Mula Lahirnya 3N (Nresnani, Ngopeni, Nggemateni) ... 100

3.3.2 Spiritualitas Nresnani ... 107

3.3.3 Spiritualitas Ngopeni ... 108

3.3.4 Spiritualitas Nggemateni ... 109

3.4 Pelaksanaan Cura Personalis 3N di Sekolah-Sekolah Theresiana .. 112

3.5 Rangkuman ... 116

(13)

xii

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN, ANALISA DAN SINTESA

PENELITIAN ... 118

4.1 Pengantar ... 118

4.2 Tahap Penelitian ... 118

4.2.1 Tahap Persiapan Penelitian ... 119

4.2.1.1 Metode Penelitian dan Alasan... 119

4.2.1.2 Tempat Penelitian ... 121

4.2.1.3 Instrumen Penelitian ... 125

4.2.1.4 Populasi dan Sampel ... 126

4.2.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 128

4.2.2.1 Teknik Pengumpulan Data ... 128

4.2.2.2 Metode Pengujian Instrumen ... 132

4.3 Pengumpulan Data dan Analisa Data... 151

4.3.1 Data Kualitatif ... 151

4.3.1.1 Karakteristik Narasumber ... 152

4.3.1.2 Pemahaman tentang Sekolah Katolik yang Berpihak kepada yang Miskin dan Tersingkir ... 152

4.3.1.3 Penghayatan Sebagai Pendidik di Sekolah Katolik Theresiana ... 159

4.3.1.4 Perwujudan Opsi Sekolah Theresiana bagi yang Miskin dan Tersingkir ... 187

4.3.2 Data Kualitatif ... 204

4.3.2.1 Karakteristik Responden Anak Didik ... 204

4.3.2.2 Analisis Deskriptif ... 206

(14)

xiii

4.4 Sintesa Analisis Data KUALITATIF-Kuantitatif ... 213

4.4.1 Pemahaman Para Guru tentang Keadaan Nyata Siswa Saat Ini... 213

4.4.2 Pemahaman Para Guru tentang Usaha Sekolah Merangkul Kemiskinan Sosial ... 215

4.4.3 Panggilan untuk Memperhatikan Siswa Secara Personal ... 220

4.4.4 Tanggapan Anak Didik atas tentang 3N ... 234

4.4.4.1 Pemahaman dan Pemaknaan 3N dari Para Alumni ... 234

4.4.4.2 Pemahaman dan Implementasi 3N dari Para Siswa ... 239

4.4.4.3 Tanggapan Para Siswa atas Pelayanan Guru Melalui 3N ... 246

4.5 Rangkuman ... 248

BAB V PANGGILAN UNTUK MENGASIHI DAN BERBELA RASA KEPADA KAUM MISKIN DAN TERSINGKIR MELALUI SEKOLAH KATOLIK ... 250

5.1 Pengantar ... 250

5.2 Refleksi Teologis ... 250

5.2.1 Panggilan Sebagai Murid Kristus ... 251

5.2.2 Panggilan untuk Semakin Menyerupai Kristus ... 258

5.3 Refleksi Pendidikan dalam Ajaran Gereja ... 264

5.4 Refleksi Pastoral ... 274

5.4.1 Guru sebagai Gembala yang Baik ... 274

5.4.2 Membangun Budaya Kasih dalam Sekolah Katolik di Keuskupan Agung Semarang ... 284

(15)

xiv

5.5 Rangkuman ... 290

BAB VI PENUTUP ... 291

6.1 Kesimpulan ... 291

6.2 Tinjauan Kritis ... 296

6.2.1 Apresiasi ... 296

6.2.2 Usulan ... 299

6.2.2.1 Untuk Keuskupan Agung Semarang ... 299

6.2.2.2 Untuk Direktorat Yayayan Bernardus Semarang ... 300

6.2.2.3 Untuk Para Guru ... 302

6.2.2.4 Untuk Para Murid ... 306

DAFTAR PUSTAKA ... 308

LAMPIRAN ... 321

1. Surat Permohonan Ijin Penelitian ... 321

2. Surat Persetujuan Penelitian ... 322

3. Akte Pendirian Yayasan Bernardus ... 323

4. Surat Vikaris Apostolik Semarang, Mgr. A. Soegijapranata SJ, kepada Ketua Yayasan Bernardus, No. 816/B/VIII/58 perihal Sekolah Yu Te, tertanggal 14 November 1958 ... 329

5. Surat Uskup Agung Semarang, Mgr. J. Darmojuwono, kepada Kepala Biro Pendidikan Asing di Jakarta, No. 294/B/VIII/a/10/64 perihal status SD Yu Te/Yayasan Bernardus, tertanggal 13 Juni 1964 ... 330

(16)

xv

6. Artikel sebuah Koran pada April 1966 tentang Sekolah-sekolah Tionghoa

Asing Dijadikan Sekolah Nasional, ... 331

7. Surat Uskup Agung Semarang, Mgr. J. Darmojuwono kepada Panglima KODAM VII/Diponegoro, No. 284/B/VIII/a/10/66 perihal STK dan SD Yu Te asing Katolik dari Yayasan Nasional Katolik, tertanggal 4 Mei 1966 ... 332

8. Surat Yayasan Bernardus kepada Menteri P. D. dan K, melalui Perwakilan Departemen P.D dan K Jawa Tengah, No. 29/syt/jb/66, perihal perubahan Sekolah Yu Te menjadi Sekolah Theresiana. ... 334

9. Surat Pemberitahuan kepada Kepala-Kepala Sekolah Theresiana, No.029/A.II/DYB/E.I/VIII/04, tertanggal 11 Agustus 2004 ... 335

10. Daftar Pertanyaan Wawancara ... 342

11. Daftar Pertanyaan (kuesioner) ... 345

12. Transkrip Verbatim Wawancara Narasumber ... 349

a. Aloicia Yuniarti Srihardani (SMP Theresiana Bedono) ... 349

b. Agustinus Sentot Suparyono (SMP Theresiana Bandungan) ... 355

c. Petrus Adi Atmoko (SMP Theresiana Sumowono) ... 364

d. Johny B. Horsman (SMP Theresiana Tanah Mas Semarang) ... 377

e. Gabriel Unik Mekanika Purbandaning (SMP Theresiana 01 Semarang ... 384

f. Antonius Subagyo (SMA Theresiana Salatiga) ... 401

g. Maria Magdalena Warningsih (SMA Theresiana Weleri) ... 415

h. YL. Agus Suwarso (SMA Theresiana 01 Semarang) ... 425

i. YT. Eddy Sulistyanto (SMK Theresiana Farming Bandungan) ... 434

(17)

xvi

j. Yohanes Dwi Winarto (SMK Theresiana Semarang) ... 443 13. Surat Persetujuan Hasil Wawancara ... 453 14. Gambar Dokumentasi ... 455

(18)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Daftar Sekolah-sekolah Theresiana ... 94

Tabel 4.1 Jumlah Populasi Sekolah Menengah Theresiana ... 126

Tabel 4.2 Jumlah Sampel Anak Didik per-Sekolah ... 127

Tabel 4.3 Correlations (a) ... 137

Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Pengujian Validitas Konstruk (a) ... 138

Tabel 4.5 Correlations (b) ... 139

Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Pengujian Validitas Konstruk (b) ... 140

Tabel 4.7 Correlations (c) ... 141

Tabel 4.8 Hasil Perhitungan Pengujian Validitas Konstruk (c) ... 142

Tabel 4.9 Case Processing Summary (a) ... 143

Tabel 4.10 Reliability Statistics (a) ... 143

Tabel 4.11 Item Statistics (a) ... 144

Tabel 4.12 Inter-Item Correlation Matrix (a) ... 144

Tabel 4.13 Item-Total Statistics (a) ... 145

Tabel 4.14 Scale Statistics (a) ... 145

Tabel 4.15 Case Processing Summary (b) ... 146

Tabel 4.16 Reliability Statistics (b) ... 146

Tabel 4.17 Item Statistics (b) ... 146

Tabel 4.18 Inter-Item Correlation Matrix (b) ... 147

Tabel 4.19 Item-Total Statistics (b) ... 147

Tabel 4.20 Scale Statistics (b) ... 147

(19)

xviii

Tabel 4.21 Case Processing Summary (c) ... 148

Tabel 4.22 Reliability Statistics (c) ... 148

Tabel 4.23 Item Statistics (c) ... 149

Tabel 4.24 Inter-Item Correlation Matrix (c) ... 149

Tabel 4.25 Item-Total Statistics (c) ... 150

Tabel 4.26 Scale Statistics (c) ... 150

Tabel 4.27 Karakteristik Responden Anak Didik Berdasarkan Jenis Kelamin .. 204

Tabel 4.28 Karakteristik Responden Anak Didik Berdasarkan Sekolah dan Jenis Kelamin ... 205

Tabel 4.29 Respon Anak Didik atas Tindakan Guru yang Nresnani ... 207

Tabel 4.30 Respon Anak Didik atas Tindakan Guru yang Ngopeni ... 208

Tabel 4.31 Respon Anak Didik atas Tindakan Guru yang Nggemateni ... 210

Tabel 4.32 Kategori Tingkat Variabel ... 212

(20)

xix

DAFTAR SKEMA

Skema 4.1 Metode campuran concurrent embedded ... 121

(21)

xx

DAFTAR SINGKATAN

A. Dokumen

AA : Apostolicam Actuositatem: Dekrit tentang Kerasulan Awam, Dokumen Konsili Vatikan II, 1965.

CA : Centesimus Annus: Ulang Tahun ke Seratus (Kenangan Ulang Tahun Keseratus Ensiklik Rerum Novarum), Ensiklik Paus Yohanes Paulus II, 1991.

CS : The Catholic School: Sekolah Katolik, Dokumen Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1977.

CSTM : The Catholic School on the Threshold of the Third Millennium:

Dokumen tentang Sekolah Katolik Memasuki Milenium Ketiga dari Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1997.

CPTS : Consecrated Persons and Their Mission in School: Pribadi yang Dikhususkan dan Misinya di Sekolah, Dokumen Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 2002.

CU : Convenientes ex Universo: Berhimpun dari Seluruh Dunia (Amanat Sinode Para Uskup di Roma tentang Keadilan Dunia), Amanat Sinode Uskup Paus Paulus VI, 1971.

EN : Evangelii Nuntiandi: Mewartakan Injil, Anjuran Apostolik Paus Paulus VI, 1975.

GE : Gravissimum Educationis: Pernyataan tentang Pendidikan Kristen, Dokumen Konsili Vatikan II, 1965.

GS : Gaudium et Spes: Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, Dokumen Konsili Vatikan II, 1965.

MM : Mater et Magistra: Ibu dan Guru, Ensiklik Paus Yohanes XXIII, 1961.

SRS : Sollicitudo Rei Socialis: Keprihatinan Sosial, Ensiklik Paus Yohanes Paulus II, 1987.

(22)

xxi

LCS : Lay Catholics in Schools: Awam Katolik di Sekolah sebagai Saksi Iman, Dokumen Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1982.

LG : Lumen Gentium: Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Dokumen Konsili Vatikan II, 1964.

B. Istilah-istilah Umum

art. : artikel bdk. : bandingkan

CDF : Congregation for the Doctrine of the Faith KHK : Kitab Hukum Kanonik

Komdik : Komisi Pendidikan

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia lih. : lihat

Luk : Lukas Mat : Matius Mrk : Markus

NIV : New International Version NS : Narasumber

P : Peneliti Rm : Roma Tim : Timotius Yoh : Yohanes

(23)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam praksis pendidikan di sekolah dewasa ini, peserta didik memiliki problematikanya masing-masing. Masalah perekonomian keluarga sering kali menjadi faktor umum bagi orang tua untuk menentukan anak-anaknya mendapatkan pendidikan formal atau tidak. Setiap orang tua tentu mendambakan pendidikan yang memadai bagi anak-anaknya. Namun, banyak pula pandangan orang tua yang sudah puas dengan ‘asal dapat sekolah’ tanpa mempertimbangkan dan memperhitungkan aspek pendampingan bagi anak-anaknya. Alasan umumnya adalah percaya pada lembaga yang namanya sekolah. Sementara di sisi lain tidak sedikit orang tua mencarikan sekolah favorit bagi anak-anaknya untuk menunjang pengembangan bakat, adanya kelengkapan fasilitas penunjang lain bagi anak- anaknya, meski biaya yang dikeluarkan cukup besar. Bagi orang tua yang mampu, sekolah favorit bukan menjadi masalah namun bagi orang tua dengan ekonomi pas- pasan tentu akan berpikir ulang untuk menyekolahkannya di sana.

Pendidikan merupakan hal yang penting bagi setiap orang. Pendidikan menjadi salah satu hak dasar bagi setiap warga negara. Dalam amandemen Undang-Undang

(24)

2 Dasar 1945 Ayat (1) menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan Ayat (2) menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Hal tersebut menjelaskan, bahwa untuk mencerdaskan perikehidupan bangsa, pemerintah menjamin hak setiap warganya untuk mendapatkan pendidikan dan setiap warga negara wajib untuk mengikuti pendidikan.

Suatu hal yang ironis ketika melihat laporan UNESCO pada bulan Januari 2014 yang menggambarkan masih banyak kelompok masyarakat, terutama anak-anak dan perempuan dari kelompok marjinal yang belum dapat menikmati akses pendidikan secara layak.1 Jumlah anak putus sekolah seperti tertulis dalam sebuah halaman berita dikatakan demikian:

Merujuk data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pada 2015-2016 terdapat sekitar 946.013 siswa lulus SD yang ternyata tidak mampu melanjutkan ke tingkat menengah (SMP). Hal ini diperparah dengan data 51.541 orang jumlah siswa yang melanjutkan pendidikan ke SMP ternyata tidak lulus. Artinya, ada 997.445 orang anak Indonesia yang hanya berijazah SD di tahun 2015 hingga tahun 2016.2

Gerakan Education For All (EFA) yang disepakati pada tahun 2000 dan berakhir pada tahun 2015 dalam kenyataannya masih banyak target yang belum terpenuhi termasuk dalam bidang pendidikan. Alasan umum faktor putusnya sekolah adalah masalah ekonomi.

1 Diakses dari http://new-indonesia.org/home/indeks-event-seknas/192-mempertanyakan-kembali- kemajuan-pendidikan-indonesia.html. (10 Juni 2015).

2 Diakses dari http://www.jawapos.com/read/2016/10/17/58205/angka-putus-sekolah-di-indonesia- masih-tinggi (30 Januari 2017)

(25)

3 Data laporan dari Millenium Development Goals (MDGs) dari PBB untuk Indonesia menuliskan alasan mengapa anak-anak putus sekolah adalah karena orang tua memerlukan mereka untuk bekerja sementara lainnya karena tidak mampu membayar biaya sekolah. Sekitar sepertiga keluarga termiskin mengatakan bahwa mereka memiliki masalah untuk membayar uang sekolah dan biaya lainnya.

Orang tua memang harus membayar dalam jumlah yang besar, baik untuk uang sekolah ataupun seragam. Selain itu, untuk transportasi, makanan, buku atau perlengkapan tambahan.3 Data sensus sosial ekonomi nasional 2015 menunjukkan ada sekitar 1 juta anak-anak tidak bersekolah SD atau SMP. Diperkirakan 2,7 juta anak-anak Indonesia yang bekerja, setengahnya berada di bawah usia 13. Sebagian dari mereka yang bekerja ada pula yang ikut dalam beberapa bentuk pendidikan, namun waktu yang digunakan dalam belajar tersebut sangat terbatas. Akibatnya berpengaruh pada proses pencapaian potensi mereka kurang bisa secara penuh.4

Selain faktor ekonomi, problem yang dihadapi oleh peserta didikpun cukup komplek, mulai dari keluarga yang tidak harmonis (broken), masalah relasi dengan teman hingga kenakalan remaja lainnya. Tak jarang pula mereka mengambil jarak dalam membangun relasi akibat latar belakang sosial-ekonomi dan keluarga.

Problematika peserta didik tersebut patut diperhatikan dan menjadi keprihatinan serius untuk menjadi bahan refleksi terkait dengan pola pendampingan peserta didik. Beberapa fenomena yang ada terkait problematika peserta didik itu di antara

3 Peter Stalker, Mewujudkan Pendidikan Dasar untuk Semua, Laporan MDGs UNESCO untuk Indonesia, 2008, 10.

4 Diakses dari https://www.unicef.org/indonesia/children_2833.html (30 Januari 2017).

(26)

4 seperti: Seorang siswa kelas XI berinisial RM5 yang terlibat tindakan pemukulan terhadap adik kelasnya. Korban dilarikan ke rumah sakit oleh orang tuanya untuk divisum dan membawa kasus pemukulan ini ke pihak kepolisian. Awal mula permasalahan dikarena pelaku dikatakan asu6 oleh korban dan karena hasutan salah satu temannya, pelaku akhirnya melakukan tindakan pemukulan. Pelaku pemukulan dikenakan wajib lapor setiap hari Senin dan Kamis ke kantor kepolisian.

Kasus pemukulan serupa juga pernah terjadi sebelumnya oleh siswa lain. Motif yang mendasari pemukulan karena masalah hutang atau pinjaman uang yang belum dibayarkan.

JS7 selama beberapa minggu tidak masuk kelas. Alasan utama yang membuatnya tidak masuk adalah malu karena uang sekolah belum dilunasi. Hal yang melatarbelakanginya karena perekonomian keluarga yang labil akibat orangtuanya berpisah (broken home). Kisah lain yang terjadi adalah adanya perseteruan antar siswa karena terlibat cinta segitiga yang mengakibatkan ketidakharmonisan relasi teman-teman lainnya.

Keadaan anak didik beserta problematika yang dihadapinya inilah yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian dalam studi kasus di Sekolah- Sekolah Theresiana. Kemiskinan ekonomi sering kali menjadi momok bagi anak untuk tidak melanjutkan sekolah. Sementara di sisi lain ada pihak guru yang merasa acuh tak acuh dengan situasi dan masalah yang dihadapi anak didiknya ini.

5 Kasus terjadi pada tahun 2012. Identitas asli peserta didik disamarkan demi kode etis dan alasan penelitian.

6 Asu (bahasa Jawa), dalam bahasa Indonesia berarti anjing, sebuah ungkapan untuk menghina, merendahkan orang lain.

7 Identitas asli peserta didik disamarkan demi kode etis dan alasan penelitian.

(27)

5 Keprihatinan ini menjadi salah satu alasan bagi penulis untuk meneliti bagaimana pendampingan dan pelayanan bagi anak didik yang miskin diwujudkan. Bentuk kemiskinan yang dihadapi anak didik kini mulai berkembang dan sedang marak ialah miskin perhatian dan kasih sayang.

Dampak adanya kegagalan dalam rumah tangga yang berakhir dengan perceraian, mengakibatkan efek domino bagi anak didik. Dari pengalaman mendampingi siswa-siswa di Sekolah Theresiana Semarang, penulis melihat dan mencermati perilaku yang berbeda dari anak yang miskin kasih sayang dari orang tua karena perceraian orang tuanya. Ada anak didik yang menunjukkan sikap diam dan cenderung menyendiri, namun ada pula yang justru menjadi ‘liar’ susah diatur, dan menjadi ‘overacting’ sebagai bentuk pencarian perhatian. Perilaku-perilaku anak didik ini menjadi perhatian pula bagi penulis untuk melihat bagaimana usaha pendampingan secara personal bagi anak didik diupayakan di Sekolah-sekolah Theresiana.

1.1.1 Filsafat Pendidikan

Keadaan manusia yang tidak utuh menurut Ki Hadjar Dewantara disebabkan karena adanya alienasi manusia akibat kemiskinan (ekonomi) dan alienasi dari budaya dampak dari penjajahan. Pengaruh dari alienasi ekonomi dan budaya tersebut menimbulkan hubungan antar manusia menjadi tidak wajar. Lama- kelamaan alienasi ekonomi dan alienasi budaya menimbulkan alienasi sosial dan

(28)

6 alienasi politik. Keempat alienasi itu membentuk manusia Indonesia menjadi manusia yang tidak utuh, manusia yang serba tergantung dan manusia yang tidak mampu mandiri. Alienasi ini dapat dihapuskan dengan jalan menempatkan kembali kedudukan manusia sebagai makhluk yang berbudaya sekaligus manusia seutuhnya. Dengan seluruh potensinya manusia membentuk hidupnya menjadi budaya.

Manusia yang mampu mengekspresikan budinya adalah manusia yang utuh.

Keutuhan manusia itu terwujud dalam bentuk kepribadiannya yakni dengan penguasaan jiwa: menertibkan cipta, rasa, karsa dan panca-indera. Kebudayaan dibentuk pula oleh karena adanya adat. Dalam adat manusia tidak hanya berhubungan dengan manusia saja, tetapi juga wajib berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat waktu. Dengan adat itulah manusia mengatur hidupnya secara harmonis. Pengaruh adat dapat pula membuat manusia terperangkap dalam kebekuan adat itu sendiri. Manusia perlu kreativitas agar mampu mencapai kebudayaan yang luhur dalam menghadapi perkembangan zaman. Dari sinilah diperlukan adanya kebangkitan kesadaran berbudaya yang membuat manusia tidak terikat oleh adat, sehingga mampu mengatur dan mengembangkan adat sesuai dengan kebutuhan.

Pengembangan adat terjadi dalam percampuran kebudayaan. Percampuran kebudayaan adalah usaha pembudayaan yang berjalan secara wajar, terencana, terarah dan usaha yang paling tepat adalah melalui pendidikan. Dengan pendidikan itu manusia dapat membebaskan dirinya dari kebodohan dan sekaligus manusia mampu mengekspresikan potensi-potensinya menjadi kebudayaan. Landasan moral

(29)

7 yang digunakan dalam pendidikan adalah keharusan memperhatikan tindakan yang manusiawi yaitu tindakan yang baik terhadap manusia lain (sesamanya), lingkungannya (alam), dan Tuhan.8

a. Arti Pendidikan

Pendidikan sering diartikan sebagai sebuah proses transfer ilmu dari guru kepada murid-muridnya. Pendidikan juga merupakan proses interaksi antara belajar dan mengajar, antara peserta didik dan pendidik. Menurut Dictionary of Education,9 pengertian education dituliskan sebagai berikut:

(a) The aggregate of all the process by mean of which a person develops abilities, attitudes, and other form of behavior of positive value in society in which he lives.

(b) The social process by which people are subjected to the influence of selected and controlled environment (especially that of school) so that they may attain social competence and optimum individual development.

Pengertian tentang pendidikan di atas hendak menerangkan bahwa pendidikan merupakan kumpulan dari semua proses yang memungkinkan pribadi mengembangkan kemampuan-kemampuan, sikap-sikap dan tingkah laku yang memiliki nilai positif dalam hidup bermasyarakat. Proses tersebut merupakan suatu proses sosial di mana seseorang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (sekolah) supaya mereka mendapatkan kemampuan sosial dan perkembangan pribadi yang optimal.

8 H.G. Soedijono, “Pemikiran Ki Hajar Dewantara suatu tinjauan filsafat”, Diakses dari http://lib.ui.ac.id/ (6 September 2014).

9 Zahara Idris – Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan 1, Grasindo, Jakarta, 1992, 2.

(30)

8 Driyarkara merumuskan pendidikan sebagai suatu upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf insani itulah yang menjelma dalam perbuatan mendidik. Ki Hadjar Dewantara berpendapat hakikat pendidikan ialah proses penanggulangan masalah-masalah serta penemuan dan peningkatan kualitas hidup pribadi serta masyarakat yang berlangsung seumur hidup.10 Lebih lanjut Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa mendidik berarti menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi- tingginya.11

Menurut Zahara Idris, pendidikan berarti serangkaian kegiatan interaksi yang bertujuan memberikan bantuan terhadap perkembangan peserta didik seutuhnya atas potensi-potensi yang dimilikinya agar dapat menjadi manusia dewasa. Potensi- potensi tersebut mencakup potensi fisik, emosi, sosial, sikap, moral, pengetahuan dan ketrampilan.12

Dalam UU No. 20 Sisdiknas Tahun 2003 pasal 3 dikatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Potensi peserta didik tersebut mencakup dimensi: sikap spiritual yakni beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

10 Zahara Idris – Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan 1, 1.

11 Zahara Idris – Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan 1, 3.

12 Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Yogyakarta, 2004, 20.

(31)

9 sikap sosial yakni berakhlak mulia sehat, mandiri dan bertanggung jawab; dimensi pengetahuan yakni berilmu dan dimensi ketrampilan: cakap dan kreatif.

b. Arti Sekolah

Sekolah sebagai institusi formal pendidikan menurut James A. Johnson13 diartikan sebagai salah satu institusi sosial dan terlibat dalam berbagai aktivitas individu dan masyarakat. Sekolah juga merupakan salah satu bentuk pendidikan yang saling terkait dengan lingkungan sosial seperti masyarakat, guru dan siswa.14 Yakop Papu mendefinisikan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dalam tingkat TK sampai Perguruan Tinggi. Setiap tingkat pendidikan merupakan pengejawantahan tujuan dari pendidikan nasional yaitu mencerdaskan bangsa dan membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang sehat jasmani dan rohani. Sekolah menjadi sarana pembentukan mental bangsa, alat integrasi sosial dan kunci pengembangan segala kehidupan manusia.15

Kosepsi tentang sekolah juga dipahami sebagai tempat pembentukan manusia secara menyeluruh melalui asimilasi kebudayaan secara sistematik dan kritis.

Sekolah merupakan tempat istimewa di mana pembentukan secara menyeluruh terjadi, melalui pertemuan hidup dengan warisan budaya.16 Salah satu tugas sekolah sebagai lembaga pendidikan ialah menampilkan dimensi etik, yaitu

13 James Allen Johnson adalah seorang penulis dan tokoh pendidikan di Amerika Serikat.

14 Aswandi Bahar, Dasar-Dasar Pendidikan, Depdikbud Diti Proyek Pengembangan LP dan Tenaga Pendidikan, Jakarta, 1988, 15.

15 Yakop Papu, Pendidikan Hidup Beriman Dalam Lingkup Sekolah, Nusa Indah, Flores, 1990, 13- 14.

16 Komdik KWI, Sekolah Katolik, Komdik KWI, Jakarta, 2008, 13.

(32)

10 membangkitkan dinamisme spiritual setiap pribadi dan membantunya mencapai kebebasan moral yang melengkapi kebebasan psikologis.17

1.1.2 Peran Guru dalam Proses Pendidikan

Ki Hadjar Dewantara menyebutkan peran seorang pendidik sebagai teladan bagi peserta didiknya. Pendidik sebagai teladan berarti bahwa seorang pendidik menjadi model yang ideal untuk ditiru oleh peserta didiknya dalam hal perkataan dan perbuatan sehari-hari. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa praksis kehidupan pendidik memancarkan wibawa kejujuran, kesahajaan, kecerdasan yang selalu membangkitkan semangat dan kesadaran para muridnya untuk melakukan hal yang senada.18

Ada ungkapan yang sangat bagus: “Guru adalah jantung dari kualitas pendidikan”. Ungkapan tersebut ingin mengatakan bahwa guru menjadi unsur penting dalam menentukan kualitas pendidikan. Guru menjadi kunci keberhasilan pendidikan yakni membantu peserta didik untuk belajar dan berkembang;

membantu perkembangan intelektual, personal dan sosial warga masyarakat yang memasuki sekolah.19 Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta

17 Komdik KWI, Sekolah Katolik, 15.

18 Bartolomeus Samho, Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Kanisius, Yogyakarta, 2013,106.

19 James M. Cooper, The Teacher as a Decision Maker, dalam kumpulan makalah James M.

Cooper (edt), Classroom Teaching Skills, D.C Heath and Company, Massachusetts, 1982,2

(33)

11 didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU tentang Guru dan Dosen No. 14: 2005 pasal 1 ayat satu).

Profesionalitas seorang guru juga terlihat dalam komitmen guru terhadap lembaga pendidikan yang diabdi. Komitmen organisasi adalah ikatan emosional seseorang, identifikasi, dan keterlibatan dengan organisasi tertentu.20 Komitmen seorang guru dalam konteks terhadap lembaga pendidikan berarti pula ada keterikatan, identifikasi, dan keterlibatan emosional guru terhadap visi dan misi pendidikan dan secara khusus terhadap visi dan misi sekolah dimana guru tersebut mengajar. Komitmen tersebut ditandai dengan kepercayaan, kesetiaan, dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah tersebut.21

1.1.3 Perhatian Gereja tentang Masalah Pendidikan

Masalah dunia pendidikan juga menjadi kegelisahan bagi Gereja. Paus Pius XI dalam Ensikliknya Divini Illius Magistri (Pendidikan Kaum Muda) tahun 1929 melihat bahwa betapa pentingnya pendidikan terutama bagi kaum muda menghadapi perkembangan zaman. Hakikat pendidikan membentuk manusia dan membawanya kepada tindakan atau perilaku hidup untuk mencapai sesuatu yang luhur dan mulia sebagaimana tujuan manusia diciptakan. Aneka kemewahan dan

20 McShane – Von Glinow, Organizational Behavior, Mcgraw Hill international, New York, 2008, 112

21 Yustiana CB, “Guru: Komitmen, Utusan dan Wujud Iman” Educare No.2 VIII (Mei 2011) 19.

(34)

12 kekayaan dunia yang didapat manusia tidaklah cukup memberi kebahagiaan sejati.

Oleh karenanya pendidikan Kristiani menjadi hal yang sangat penting dalam hidup manusia tidak hanya baik secara individu saja tetapi juga keluarga dan terkait dengan masyarakat luas. Pendidikan menjadi salah satu fokus perhatian Gereja karena melalui pendidikan (Pendidikan Katolik) membawa orang dan masyarakat pada kesempurnaan hidup. Sebagaimana Sabda Tuhan, “Akulah Jalan, Kebenaran dan Hidup” maka tidaklah ada pendidikan ideal dan sempurna selain daripada pendidikan Kristen. Dengan kata lain dasar dari pendidikan Kristen adalah untuk menjamin kaum muda menuju kebaikan yang tertinggi yakni Allah dan demi kesejahteraan masyarakat.22

Perhatian Gereja terhadap dunia pendidikan kembali ditegaskan dalam Dokumen Konsili Vatikan II dimana Gereja mempertimbangkan sangat pentingnya pendidikan dalam hidup manusia. Hak untuk mendapatkan pendidikan bagi setiap orang menjadi salah satu hak hakiki yang diperjuangkan oleh Gereja. Hal tersebut ditegaskan dalam dokumen Pernyataan Tentang Pendidikan Kristen (Gravissimum Educationis) demikian:

Semua orang dari suku, kondisi, atau usia mana pun, berdasarkan martabat mereka selaku pribadi, mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas pendidikan, yang cocok dengan tujuan maupun sifat perangai mereka, mengindahkan perbedaan jenis, serasi dengan tradisi-tradisi kebudayaan serta para leluhur, sekaligus juga terbuka bagi persekutuan persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain, untuk menumbuhkan kesatuan dan damai yang sejati di dunia (GE art.1).

22 Bdk. Pius XI, Christian Education of Youth, diterjemahkan oleh Allan P. Farrell dari Ensiklik Paus Pius XI, Divini Illius Magistri, The American Press, New York, 1958, 3.

(35)

13 Sidang Konferensi Waligereja Indonesia pada tanggal 3-13 November 2008 menghasilkan sebuah Nota Pastoral tentang Pendidikan yang memberi perhatian khusus pada Lembaga Pendidikan Katolik (LPK) sebagai media pewartaan kabar gembira, unggul dan lebih berpihak kepada yang miskin. Sebagai Media pewarta kabar gembira, LPK dihimbau untuk tetap memperhatikan ciri khas pendidikan Katolik yakni menciptakan lingkungan paguyuban sekolah yang dijiwai oleh semangat kebebasan dan cinta kasih injili, supaya akhirnya siapapun yang terlibat dalam pendidikan itu siap menjadi ragi keselamatan bagi masyarakat.23

Dalam Nota Pastoral juga ditekankan pilihan sebagai LPK adalah untuk lebih berpihak kepada yang miskin sebagai kebijakan asasi. Kebijakan tersebut sebagai wujud dari amanat Sang Guru dari Nazaret dengan mendahulukan yang miskin, supaya asas keadilan dijunjung tinggi, dan orang miskin lebih mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Perhatian kepada yang miskin dan tersingkir merupakan wujud panggilan sebagai pelayan sekaligus ikut serta dalam usaha pemerintah membantu orang miskin melalui pendidikan.24

23 KWI, Nota Pastoral tentang Pendidikan Lembaga Pendidikan: Media Pewartaan Kabar Gembira, Unggul Dan Lebih Berpihak Kepada Yang Miskin, Sekretariat Jenderal KWI, Jakarta, 2008, 3. Bdk. GE art. 8.

24 Bdk. KWI, Nota Pastoral tentang Pendidikan Lembaga Pendidikan: Media Pewartaan Kabar Gembira, Unggul Dan Lebih Berpihak Kepada Yang Miskin, 5.

(36)

14 1.1.4 Sekolah-Sekolah Katolik Theresiana

Sekolah-Sekolah Theresiana yang bernaung pada Yayasan Bernardus Semarang adalah Sekolah Katolik milik Keuskupan Agung Semarang. Sejarah berdirinya Sekolah-Sekolah Theresiana tidak bisa dilepaskan dari karya para misionaris Gereja di kota Semarang. Pilihan keberpihakan kepada mereka yang lemah, miskin dan terpinggirkan menjadi cita-cita awal lahirnya Sekolah Theresiana. Pastor Beekman SJ, seorang imam missionaris Yesuit yang berkarya di Kebon Dalem Semarang, merasakan keprihatinanannya terhadap anak-anak keturunan Tionghoa Peranakan yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan mengingat pada masa itu pendidikan masih terbatas hanya bagi golongan orang-orang kaya, anak saudagar dan juga anak-anak pegawai pemerintahan Kolonial. Pastor Beekman SJ, membuka kursus menjahit dan menyulam bagi anak-anak perempuan dan kursus dagang bagi anak laki-laki.

Kursus tersebut diperuntukkan bagi anak-anak yang tidak mampu, sehingga tidak dipungut biaya. Dalam perjalanan waktu kursus-kursus tersebut diserahkan kepada Suster-suster Fransiskan (OSF) dari Gedangan. Didasarkan pada perhatian yang besar kepada anak-anak kurang mampu, Pastor Beekman SJ kemudian mendirikan Sekolah Taman Kanak-kanak untuk anak laki-laki dan perempuan dengan nama Saint Mary’s Hall pada tahun 1932 beralamat di Gang Warung, Semarang. Sekolah ini kemudian menjadi cikal bakal Sekolah Kebon Dalem Semarang.25

25 Sukmawanto, Tonggak Berdirinya Sekolah Theresiana Semarang, Skripsi Program Studi Ilmu Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2006,22. Bdk. Panitia Perayaan 50 Tahun

(37)

15 Perhatian karya misi Pastor Beekman SJ semakin berkembang dan timbullah gagasan untuk meluaskan misi bagi golongan pendatang baru dari Tiongkok.

Keturunan mereka dikenal dengan Tionghoa Totok karena belum bercampur/berasimilasi perkawinan dan budayanya. Berbeda dengan Tionghoa Peranakan yang telah mengalami asimilasi atau percampuran dengan budaya masyarakat sekitar, Tionghoa Totok ini tetap menjaga identitasnya dengan menghindari perkawinan campur dengan etnis lain dan masih menjaga tradisi leluhur dengan kuat dan dalam kehidupan sehari-hari mereka masih menggunakan bahasa asli mereka yakni Hwa Yu (baca; kuo-i) atau sekarang bahasa mandarin.

Bercermin pada pengalaman karya pelayanan bagi anak-anak Tionghoa peranakan yang dinilai cukup berhasil, Pastor Beekman SJ menempuh jalan yang sama yakni melalui karya pendidikan bagi anak-anak Tionghoa Totok. Gagasan perluasan karya misi bagi Tionghoa Totok ini lahir di saat Pastor Beekman membaca riwayat hidup Santa Theresia dan beliau yakin, bahwa Santa Theresialah yang mendorong gagasan ini. Oleh karenanya, bila Santo Fransisikus Xaverius menjadi pelindung karya misi bagian pertama, Santa Theresialah pelindung karya misi bagian kedua.26 Pada tanggal 2 Mei 1950, didirikanlah sebuah sekolah bagi anak-anak Tonghoa Totok dengan nama Yu Te (baca: i-te) yang berarti tunas muda, dengan pelindungnya adalah Santa Theresia.27 Sekolah Yu Te ini dalam perjalanannya diberi nama Yu Te Kindergarten dengan menggunakan bahasa Hwa Yu sebagai

Imamat Pastor Simon Beekman SJ, Buku Kenangan Perayaan 50 Tahun Imamat Pastor Simon Beekman, SJ (1922-1972), Semarang, 1972, 6.

26 Panitia Perayaan 50 Tahun Imamat Pastor Simon Beekman SJ, Buku Kenangan Perayaan 50 Tahun Imamat Pastor Simon Beekman, SJ (1922-1972), 10.

27 Panitia Peringatan 25 Tahun Sekolah Theresiana, Buku Peringatan 25 Tahun Sekolah Theresiana Yayasan Bernardus (2 Mei 1950 - 2 Mei 1975), Semarang, 1975, 18.

(38)

16 bahasa pengantarnya. Yu Te Kindergarten semakin berkembang dan mendapat kepercayaan dari para orang tua etnis Tionghoa Totok.

Pada tahun 1952, Pastor Beekman SJ mendirikan sekolah dasar untuk menampung dan melayani lulusan Yu Te Kindergarten di area Gedung Xaverius dan sebuah garasi di Kebon Dalem, satu gedung yang sama dengan yang dipergunakan untuk Yu Te Kindergarten. Pada tahun yang sama pula, tepatnya 25 Maret 1952, dua Pastor Diosesan dari Keuskupan Honan, Tiongkok; Pastor Joseph Ting Shu Yen, Pr dan Pastor Rochus Chang Peng Tu, Pr tiba di Semarang. Kedua pastor tersebut menjadi jawaban atas kebutuhan tenaga pelayan (imam) yang bisa berbahasa Hwa Yu bagi perkembangan pelayanan di Kebon Dalem. Untuk memenuhi kebutuhan tempat bagi murid-murid SD Yu Te yang semakin bertambah maka pada periode 1952-1954 dimulailah proses pembangunan gedung sekolah di Jl. Be Biauw Tjwan (Kampung Kali). Lahan tanah untuk gedung sekolah tersebut dibeli atas nama Yayasan Bernardus milik Bruder FIC. Pastor Beekman SJ sekaligus mengambil alih nama itu sebagai nama Yayasan Bernardus untuk Sekolah Yu Te dan Sekolah-Sekolah Theresiana di kemudian hari.28 Pada tanggal 1 Januari 1955, sembilan gedung sekolah baru sudah bisa ditempati untuk menampung anak- anak SD. SD Yu Te inilah yang menjadi sulung di kompleks Sekolah Theresiana Kampung Kali.

Pergolakan politik masa 1955-1966 di Indonesia turut berpengaruh besar bagi perkembangan Sekolah Yu Te. Pada bulan November 1957 dikeluarkan Peraturan

28 Panitia Pesta Perak Imamat Rochus Chang Peng Tu, Buku Kenangan Pesta Perak Imamat Rochus Chang Peng Tu (8 Maret 1952 - 8 Maret 1977), Semarang, 1977, 10.

(39)

17 Pemerintah, agar anak-anak warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa disalurkan pendidikannya ke sekolah Nasional. Maka pada tanggal 1 Januari 1958 dibukalah TK, SD, dan SMP Nasional. Sekolah ini khusus bagi anak-anak Warga Negara Indonesia. Nama yang dipakai adalah Theresiana, diambil dari nama Santa Theresia, pelindung sekolah dan artinya anak Theresia.29 Dengan demikian Yayasan Bernardus menyelenggarakan dua macam sekolah, Yu Te dan Theresiana.

Pada tahun 1959, Sekolah Kuo Min Tang ditutup pemerintah dan banyak anak dari sekolah tersebut membanjiri sekolah Yu Te.

Pasca peristiwa G 30 S sekolah-sekolah asing Tionghoa ditutup Pemerintah pada 27 April 1966, termasuk sekolah Yu Te. Keputusan itu diteguhkan dengan Tap.

MPRS No. XXXII/1966 dan Undang-Undang No. 11/1968 yang menyatakan bahwa anak-anak Tionghoa harus disekolahkan di sekolah-sekolah nasional dengan 60% anak-anak WNI serta dengan kurikulum nasional dan guru-guru harus mendapat izin dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, serta pelajaran Bahasa Tionghoa hanya sebagai mata pelajaran tambahan saja.30 Para murid sekolah-sekolah asing tersebut tidak dapat melangsungkan kembali proses pendidikan mereka. Masyarakat Tionghoa di Indonesia semakin menjadi kelompok marginal. Hal tersebut juga berpengaruh bagi Sekolah Yu Te yang dianggap sebagai sekolah asing karena menampung murid-murid etnis Tionghoa. Pastor Rochus Chang Peng Tu, Pr mengambil kebijakan dengan membuka sekolah-sekolah baru

29 Panitia Pesta Perak Imamat Rochus Chang Peng Tu, Buku Kenangan Pesta Perak Imamat Rochus Chang Peng Tu (8 Maret 1952 - 8 Maret 1977), 10.

30 Hidajat, Z.M., Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia, Tarsito, Bandung, 1977, 168 seperti dikutip oleh Sukmawanto, Pendidikan Berbasis Nasionalitas Gerejani Sekolah Katolik Tionghoa”Yu Te” Di Keuskupan Agung Semarang (1950-1966), Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Sanata Dharma,Yogyakarta, 2010, 52.

(40)

18 di luar kota Semarang yakni di Bedono, Sumowono, Bandungan yang menampung murid-murid pribumi untuk memenuhi kuota pemerintah sekaligus menyelamatkan pendidikan bagi murid-murid keturunan Tionghoa di Semarang. Sekolah Yu Te (TK, SD dan SMP) pada akhirnya dilebur dengan Sekolah Nasional Theresiana yang berbahasa Indonesia dan menampung murid-murid sekolah asing Tionghoa yang ditutup pemerintah. Pada tanggal 20 Mei 1966 secara definitif Sekolah Yu Te melebur menjadi Sekolah Nasional Theresiana melalui surat dari Yayasana Bernadus yang dialamatkan kepada Menteri P.D. dan K.31

1.1.5 Guru Sebagai Pengasuh Peserta Didik

Sekolah merupakan tempat atau institusi di mana terjadinya sebuah interaksi belajar dan mengajar antara peserta didik dan pendidik. Sekolah juga menjadi tempat pertukaran ilmu dan transformasi dalam proses pembentukan pribadi manusia. Proses interaksi belajar dan mengajar inilah yang dimaknai sebagai pendidikan. Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai oleh keseimbangan kedaulatan subyek didik dengan kewibaan pendidik, inilah sebenarnya hakikat dari pendidikan. Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa hakikat pendidikan ialah proses penanggulangan masalah-masalah serta penemuan dan peningkatan kualitas hidup pribadi serta masyarakat yang berlangsung seumur

31 Surat Yayasan Bernardus kepada Menteri P.D. dan K, melalui Perwakilan Departemen P.D dan K Jawa Tengah, No. 29/syt/jb/66, perihal perubahan Sekolah Yu Te menjadi Sekolah Theresiana.

(41)

19 hidup. Tugas guru/pendidik lebih bersifat pengasuh yang mendorong, membimbing, memberi teladan, menuntun serta menyediakan dan mengatur kondisi untuk pembelajaran peserta didik sehingga dapat menghasilkan peserta didik yang mampu memperbarui diri terus menerus dan aktif menghadapai lingkungan hidupnya. Dengan kata lain peserta didik mampu meningkatkan kualitas hidup pribadi dan masyarakat sepanjang hayat.32

Guru sebagai salah satu aktor utama dalam lembaga pendidikan di sekolah menjadi faktor penentu terciptanya kualitas hidup peserta didik. Kualitas pribadi guru mempunyai peran dan andil penting dalam keberhasilan transformasi pendidikan. Kualitas pribadi guru dipengaruhi oleh kepribadian dan karakternya.

Sementara kepribadian dan karakter seseorang dibentuk dari dimensi spiritual pribadinya. Dari sini dapat dikatakan bahwa dimensi spiritual mempunyai pengaruh yang kuat dalam pembentukan karakter dan kualitas pribadi guru/pendidik.

Kualitas pribadi seorang guru ditunjukkan melalui sikap pendampinganya terhadap peserta didik yang diampunya. Model pendampingan cura personalis kerap dianggap cukup berhasil dalam proses pendidikan. Ungkapan cura personalis berasal dari bahasa Latin yang memiliki arti: cura 'reksa, pemiaraan, perhatian, pendampingan dan personalis (bersifat, secara) pribadi, perorangan, atau keseluruhan, keutuhan pribadinya. Dengan kata lain cura personalis dimaknai sebagai reksa atau tugas pendampingan secara pribadi.

32 Zahara Idris – Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan 1, Grasindo, Jakarta, 1992, 1.

(42)

20 1.1.6 Cura Personalis dalam Sekolah-Sekolah Theresiana

Sekolah-Sekolah Theresiana Yayasan Bernardus lahir dari keprihatinan Pastor Beekman SJ akan masalah pendidikan bagi kaum minoritas (etnis Tionghoa) yang berada di daerah Pecinan Semarang. Dalam karya selanjutnya Pastor Chang Peng Tu sebagai pelaksana karya pendidikan di Sekolah-Sekolah Theresiana sangat berandil besar bagi perkembangan Sekolah-Sekolah Theresiana terlebih usahanya dalam mengembangkan unit sekolah-sekolah Theresiana di luar kota Semarang dan ditujukkan bagi masyarakat pribumi. Pada perkembangan berikutnya Sekolah- Sekolah Theresiana mulai menggali semangat dasar karya pelayanan pendidikannya. Santa Theresia sebagai pelindung sekolah menjadi salah satu dasar dalam menggali semangat tersebut. Santa Theresia secara khusus memang tidak berbicara tentang dunia pendidikan. Ia adalah pribadi yang kotemplatif, seorang suster yang hidup hariannya dipenuhi dengan doa. Namun, secara khusus perhatian doanya diintensikan bagi para missionaris yang menjalankan tugas perutusan pewartaan karya keselamatan jiwa-jiwa. Semangat Santa Theresia, “memuliakan Tuhan dalam segala-galanya demi keselamatan jiwa-jiwa” menjadi semangat yang dihidupi oleh Pastor Simon Beekman SJ, missionaris Yesuit yang mendirikan tonggak bagi sekolah-sekolah Theresiana. Dari sinilah semangat tersebut kemudian dirumuskan oleh penyelenggara karya pendidikan Sekolah-Sekolah Theresiana selanjutnya seturut dengan cita-cita dan keprihatinan awal pendiri sekolah. Nama Theresiana tidak lain diadopsi dari nama Santa Theresia, pelindung misi Gereja,

(43)

21 yang secara khusus menjadi dihidupi dan menjiwai semangat karya missionaris Pastor Simon Beekman, SJ dan Pastor Chang Peng Tu, Pr.

Pastor Ag. Tri Hartono, Pr sebagai Direktur Yayasan Bernardus Sekolah- Sekolah Theresiana periode tahun 2000 – 2012 menterjemahkan spiritualitas Santa Theresia yang menekankan kasih kepada Allah dengan memuliakan Tuhan dalam segala-galanya demi keselamatan jiwa-jiwa ke dalam semboyan 3N (Nresnani, Ngopeni, Nggemateni). Semboyan 3N ini menjadi semangat bagi pendidik dan seluruh elemen di sekolah Theresiana. Bagi Pastor Ag. Tri Hartono Pr, guru bukan hanya sebagai pengajar di kelas, tetapi juga sebagai pendidik. Lebih daripada itu panggilan guru juga sebagai gembala yakni perlu mengenal domba-domba (anak didik) secara pribadi. St. Theresia sebagai pelindung Sekolah Thersiana mengajarkan agar melakukan tugas apapun dengan penuh cinta kasih atau dengan semangat 3N (Nresnani, Ngopeni, Nggemateni).33 Semboyan 3N tersebut diambil dari kata-kata mutiara berbahasa Jawa yang memiliki maknanya sendiri-sendiri.

Nresnani mempunyai padanan kata dengan mencintai dengan sepenuh hati.

Mencintai sepenuh hati merupakan golden rule, sabda abadi dari Tuhan sendiri

“cintailah sesama seperti mencintai dirimu sendiri”. Ngopeni mempunyai makna memungut, memperhatikan, mengambil dengan penuh kasih karena peserta didik Sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan Bernardus pada umumnya datang dari masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Nggemateni agak sulit menemukan padanan kata dalam bahasa Indonesia. Gambaran ilustrasi makna kata nggemateni adalah gambaran sosok seorang ibu yang penuh perhatian dalam merawat anak-

33 Surat Pemberitahuan kepada Kepala-Kepala Sekolah Theresiana, No. 029/A.II/DYB/E.I/VIII/04.

(44)

22 anaknya. Pendidikan yang berada dalam rengkuhan sosok ibu yang penuh belas kasih dipastikan akan membantu pertumbuhan dan perkembangan seluruh aspek kepribadian peserta didik dengan harapan kemudian hari mampu hidup mandiri sebagai orang dewasa.34

Semangat 3N inilah yang terus mengobarkan Sekolah-sekolah Theresiana untuk selalu gigih membela orang yang menderita karena kelemahannya yang sejalan dengan gerak Gereja Keuskupan Agung Semarang.35 Semboyan 3N menjadi landasan semangat yang sedang diupayakan di Theresiana. Jika semua dan setiap warga Theresiana memiliki semangat 3N, tentulah Theresiana akan tumbuh dan berkembang sesuai harapan Gereja, masyarakat dan Negara.36 Semboyan 3N inilah yang menjadi daya dorong serta menyemangati para pendidik dalam memberikan pelayanannya bagi para peserta didik. Para pendidik sebagai tokoh sentral dalam menentukan mutu pendidikan di Sekolah-Sekolah Theresiana sudah semestinya menghidupi semangat tersebut.

34 Tri Hartono, “Menjawab Tantangan Global Integrasi Ilmu dan Iman”, Educare No.2 VIII (Mei 2011) 5.

35 Panitia 60 Tahun Sekolah-Sekolah Theresiana, Buku kenangan 60 tahun Sekolah – Sekolah Theresiana, Semarang, 2010, 21.

36 Panitia 60 Tahun Sekolah-Sekolah Theresiana, Buku kenangan 60 tahun Sekolah – Sekolah Theresiana, 7

(45)

23 1.2 Pokok Permasalahan

Sekolah Katolik Theresiana sebagai tanda kehadiran Gereja di tengah masyarakat dipanggil untuk mewartakan karya keselamatan Allah bagi yang miskin dan tersingkir. Ketersingkiran dimaknai dengan keadaaan yang serba terasing, dipinggirkan, diabaikan dan kurang mendapat perhatian. Dalam konteks pendidikan sering ditemui problematika peserta didik yang mengalami situasi psikologis akibat dikotomi kaya-miskin, keluarga utuh-berpisah. Akibatnya anak menjadi pribadi yang tidak utuh, merasa minder dan pada akhirnya memilih menjauh, terasing dengan lingkungannya. Berhadapan dengan fenomena peserta didik dan tantangan pendidikan bagi generasi muda ke depan, penulis melihat lebih seksama dan mengkajinya melalui penelitian. Penelitian ini menekankan pokok permasalahan dengan dibantu pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Apakah Sekolah-Sekolah Theresiana sebagai bagian dari Lembaga Pendidikan Katolik masih mengupayakan opsinya kepada orang-orang miskin dan tersingkir dalam karya pelayanan pendidikan? Tantangan pendampingan pendidikan bagi kaum muda dewasa ini memang kompleks terkait dengan kondisi sosial-ekonomi dan situasi keluarga yang dihidupi. Lalu, bagaimana usaha keberpihakkan kepada yang miskin dan tersingkir diwujudkan melalui pendampingan peserta didik dalam semangat cura personalis 3N (nresnani, ngopeni, nggemateni)?

(46)

24 1.3 Tujuan Penelitian

Penulis memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini.

Pertama, penulis ingin mengetahui pengetahuan, pemahaman, penghayatan opsi keberpihakkan Sekolah-Sekolah Theresiana bagi mereka yang miskin dan tersingkir terwujud dalam tindakan nresnani, ngopeni dan nggemateni terhadap peserta didik dalam proses belajar mengajar. Dari hasil pengamatan dan penelitian ini, diharapkan mampu menjelaskan bagaimana opsi pelayanan pendidikan di Sekolah-Sekolah Theresiana bagi para peserta didiknya khususnya mereka yang miskin dan tersingkir.

Kedua, penelitian ini dimaksudkan pula sebagai syarat untuk meraih gelar Magister Teologi dalam Program Pascasarjana dari Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai kerangka referensi bagi penelitian selanjutnya di bidang pelayanan pendidikan Sekolah Katolik. Manfaat lain dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan refleksi dan evaluasi bagi pendidik dalam pengembangan karya pelayanan pendidikan di Sekolah-Sekolah Theresiana khususnya pelayanan kepada mereka yang miskin dan tersingkir.

(47)

25 1.5 Literatur Review

Dalam penelitian ini, penulis mencoba membangun kerangka teoristis dengan bantuan beberapa sumber tulisan di antaranya tentang pendidikan Katolik bagi yang terpinggirkan karangan Dr. Prakash Louis SJ. Dalam tulisannya, Prakash berpendapat bahwa kaum yang terpinggirkan muncul karena adanya pengaruh sosial masyarakat yang eksklusif dibanding tindakan perorangan. Dalam konteks masyarakat tertentu pengaruh kesukuan, kaum minoritas dan perempuan kerap menjadi subyek dari yang terpinggirkan.37

Thomas Menamparampil dalam tulisannya Education and Concern for The Marginalized menuliskan tujuan dari pendidikan adalah pembentukan keseluruhan pribadi manusia. Melalui pendidikan, kaum muda diajak untuk semakin kritis melihat keadaan sekitarnya di mana mereka hidup, menjadikan dirinya bebas, cerdas dan sekaligus mampu bertanggung jawab demi kebaikan masyarakat.38 Dalam tulisannya pula Thomas Menamparampil menyebutkan peran penting Gereja dalam pendidikan khususnya pendidikan bagi kaum miskin dan terpinggirkan.

Pastor Karolus Jende, Pr menuliskan bahwa salah satu patokan ciri sebagai Sekolah Katolik adalah keberpihakkan kepada kaum marginal. Sekolah Katolik pada hakikatnya adalah sekolah yang Kristosentris. Oleh karenanya, sama seperti

37 Prakash Louis, “Catholic Education for the Marginalised’ Vidyajyoti Journal of Theological Reflection No. 4 Vol.70 (April 2006) 288.

38 Thomas Menamparampil, “Education and Concern for the Marginalized” Journal of Dharma No.2 Vol 31 (April-Juni 2006) 167.

(48)

26 Kristus yang memilih berkarya bagi kaum lemah, miskin dan tersingkir, pilihan yang sama pula hendaknya menjadi opsi bagi sekolah Katolik yakni penyelamatan dan pembebasan manusia yang menderita. Misi sekolah Katolik harus melayani manusia yang lemah, miskin, dan tidak mampu agar mereka dapat hidup dalam kelimpahan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa praktik sekolah Katolik mau tidak mau harus memprioritaskan pelayanan pada kaum marjinal, agar jangan sampai terjadi, ada orang yang tidak dapat menikmati pendidikan di sekolah Katolik, karena alasan tidak mampu secara finansial. Orang miskin atau kaum marjinal harus mempunyai tempat di sekolah Katolik.39

Ki Hadjar Dewantara dalam tulisan bukunya tentang Pendidikan menyebutkan maksud pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak- anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Pendidikan pertama-tama adalah suatu tuntunan, ini berarti bahwa pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan yang ada pada anak agar dapat memperbaiki lakunya hidup dan tumbuhnya. Pendidik dalam hal ini dimaknai bersifat mengasuh dengan momong, among dan ngemong.

Hans Kolvenbach SJ menuliskan tentang makna cura personalis dan dimensi pendampingan personal. Cura personalis merupakan bantuan sederhana dari orang ke orang sehingga pribadi tersebut berjumpa dengan Allah. Metode cura personalis merupakan tindakan pendampingan personal pemberian dan penerimaan antara

39 Karolus Jande, “Implementasi Ciri Khas Pendidikan Katolik di MPK Surabaya” Educare No.3 I (Juni 2004) 30.

Gambar

Tabel 4.1 Jumlah Populasi Sekolah Menengah Theresiana
Tabel 4.2 Jumlah Sampel Anak Didik per-sekolah
Tabel 4.16   Reliability Statistics (b) Cronbach's Alpha  Cronbach's Alpha Based on  Standardized Items  N of Items  .828  .832  10  Tabel 4.17  Item Statistics (b) Mean  Std

Referensi

Dokumen terkait

dalam rangka mempersiapkan rumah tangga miskin dengan keterampilan yang semakin. membuka jalan bagi rumah tangga miskin yang bersangkutan untuk

Hampir di kebanyakan sekolah katolik, guru-guru nya ikut terlibat dalam kegiatan gereja bahkan di beberapa gereja terutama di pelosok, hampir semua aktivis gereja adalah para

116 Selanjutnya dalam bagian ketiga melanjutkan dengan pandangan gereja Katolik yang menghargai umat Islam, dilanjutkan dengan meng- ungkapkan beberapa hal kesamaan

Kesimpulan Pendidikan Agama Katolik di sekolah adalah proses pendidikan dalam iman yang diselenggarakan oleh sekolah, bekerjasama dengan keluarga, Gereja dan kelompok jemaat

Kebijakan yang berpihak kepada masyarakat miskin atau pekerja anak untuk. mendapatkan pendidikan bermutu harus berangkat dari asumsi bahwa

Adanya sekolah Gajahwong lambat laun mampu mengubah stigma negatif keluarga miskin, mampu memberikan pengarahan kepada setiap keluarga miskin kota. Adanya sekolah Gajahwong

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pola Pendidikan Keluarga Miskin Pada Remaja Putus Sekolah Di Desa Lalosingi Kecamatan Wolasi Kabupaten Konawe Selatan

Reformasi Gereja adalah gerakan reformasi yang terjadi pada abad ke-16 di Eropa, yang bertujuan untuk memperbaiki dan mengubah praktik- praktik Gereja Katolik Roma yang dianggap