PROSEDUR PENELITIAN, ANALISA DATA DAN SINTESA PENELITIAN
2. Uji Validitas Metode Kuantitatif
4.3.1 Data Kualitatif
4.3.1.2 Pemahaman tentang Sekolah Katolik yang Berpihak kepada yang Miskin dan Tersingkir Miskin dan Tersingkir
Sekolah Katolik merupakan bagian dari wajah Gereja, karena untuk mendapatkan pemahaman tentang Sekolah Katolik yang berpihak kepada yang miskin dan tersingkir juga tidak bisa dilepaskan dari konteks Gereja itu sendiri yang berpihak pula kepada yang miskin dan tersingkir. Pada bagian ini, akan dijabarkan bagaimana misi Gereja untuk berpihak pada kaum miskin ditangkap oleh para guru.
153 Guru dipilih sebagai narasumber mengingat mereka adalah orang-orang lapangan dalam arti mereka yang bersentuhan langsung dan terlibat dalam proses pelayanan pendidikan. Maka, data ini menjadi penting untuk melihat sejauh mana selama ini misi Gereja untuk menghadirkan pendidikan Katolik bagi kaum miskin dan tersingkir dijalankan oleh para guru. Seperti dijabarkan pada bagian sebelumnya, Sekolah-sekolah Menengah Theresiana digunakan sebagai sampel untuk melihat pemahaman guru selama ini.
Untuk menangkap pemahaman para guru, penulis menjabarkan hasil wawancara dengan mereka dalam pertanyaan utama:
a. Bagaimana pemahaman para guru tentang Sekolah Katolik yang berpihak pada yang miskin dan tersingkir?
Pemahaman Gereja yang berpihak kepada yang miskin dan tersingkir dalam kaca mata narasumber ada yang terkait dengan identitas Gereja secara khusus Keuskupan Agung Semarang sebagai Gereja yang papa miskin seperti yang diutarakan oleh Bapak Antonius Subagyo.166 Pemahaman narasumber lainnya lebih menekankan pada tugas dan karya pelayanan Gereja bagi yang miskin dan tersingkir dengan memperhatikan, mengutamakan, membela dan mengangkat
166 Wawancara tanggal 15 Februari 2016, bersama Bapak Antonius Subagyo, “Keuskupuan Agung Semarang merupakan Gereja yang papa miskin, maka 15% kolekte itu dialokasikan untuk papa miskin. Gereja sebagai Sakramen keselamatan harus sungguh memihak mereka-mereka yang terlupakan, mereka yang keluar dari penjara tidak diterima. Gereja mau menyapa mereka.
Kaitannya dengan kemiskinan itu seharusnya Gereja memang berpihak melaui karya-karya karitatif, baik di bidang kesehatan, bidang ekonomi dan sebaginya. Lalu hanya menjadi persoalan mulai dari adven kemarin lalu dipertegas di dalam APP dipertanyakan apakah sinkron Keuskupan Agung Semarang yang notabene itu PGPM, Gereja yang papa miskin sungguh sungguh memihak orang miskin? Nah bisa dilihat dari berapa persen alokasi Gereja yang untuk karya-karya ini. Ini kalau mau istilahnya sebagai Gereja yang sungguh harus memihak pada mereka yang miskin dan tersingkir.”
154 orang miskin dan tersingkir yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan supaya bisa lebih layak hidup melalui bidang-bidang sosial ekonomi (PSE) dan memberikan mereka harapan-harapan untuk bisa lebih dihargai, lebih disejahterakan dan memiliki kehidupan lebih baik dan bahagia.
Gereja yang memihak kepada yang miskin dan tersingkir menurut Bapak Petrus Adi Atmoko juga berarti menjadi bentuk kehadiran Gereja itu sendiri yang memandang orang-orang dalam kategori miskin, tersingkir dan difabel sebagai orientasi pertama karya yang didasari pada teladan Kristus sendiri yang datang dengan maksud menyapa orang-orang yang miskin dan tersingkir.167 Senada dengan hal itu Bapak Johny Horsman mengatakan bahwa Gereja harus hadir di tengah-tengah masyarakat karena Gereja dibutuhkan oleh masyarakat khususnya bagi yang miskin dan tersingkir.
Menurut Bapak Agustinus Suwarso, Gereja yang berpihak pada yang miskin dan tersingkir berarti juga ngopeni orang-orang yang disingkirkan dan tertindas oleh orang-orang kaya dan membela mereka karena diperlakukan secara tidak adil oleh orang-orang yang berkuasa.168 Sementara pemahaman lain tentang Gereja yang berpihak pada yang miskin dan tersingkir menurut Bapak Yohanes Dwi Winarto adalah Gereja dalam hal ini pendidikan Katolik mestinya memperhatikan siswa-siswa yang lemah. Masih menurut beliau, miskin dan tersingkir di sini bukan saja dalam artian ekonomi, tetapi juga lemah dalam kemampuan akademis, lemah dalam kasih sayang keluarga. Ada banyak dari siswa yang dari sisi ekonomi kuat
167 Wawancara tanggal 19 Februari 2016, bersama Bapak Petrus Adi Atmoko.
168 Wawancara tanggal 5 Maret 2016, bersama Bapak Agustinus Suwarso.
155 dan mampu tetapi dari keharmonisan rumah tangga ini mungkin kurang beruntung orang tuanya cerai, atau anak yang diasuh hanya oleh salah satu orangtua. Oleh karenanya Gereja yang berpihak kepada miskin dan tersingkir mestinya melalui pendidikan Katolik juga memperhatikan anak-anak seperti itu.169
Salah satu bentuk upaya keberpihakan Gereja pada yang miskin dan tersingkir adalah dengan mendirikan Sekolah Katolik. Dari data wawancara dengan narasumber tentang tujuan Gereja mendirikan sekolah Katolik adalah sebagai bentuk karya misi dan pewartaan iman seperti yang diutarakan oleh beberapa guru:
Ibu Yuniarti, Bapak Sentot, Magdalena Warningsih, Bapak Agus Suwarso, Bapak Eddy. Gereja mendirikan sekolah Katolik untuk mewartakan kabar gembira sehingga banyak orang diselamatkan. Sekolah Katolik ini mengenalkan ajaran-ajaran Gereja, ajaran-ajaran-ajaran-ajaran Katolik. Melalui sekolah Katolik, misi Gereja mendidik anak, memberikan iman kejujuran, sesuai dengan apa yang ajaran Gereja.
Lebih lanjut Bapak Subagyo menambahkan bahwa sekolah Katolik merupakan perpanjangan tangan Gereja, untuk menyebarkan Kerajaan Allah sebab dari awalnya dulu dan seharusnya sampai sekarang sekolah Katolik itu identik dengan nilai-nilai Kristiani dalam berbagai aspek. Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak Adi Atmoko, tujuan Gereja mendirikan sekolah Katolik adalah sebagai kepanjangan karya Kristus sebagai pengajar, sebagaimana, “Gereja bertanggung jawab untuk meneruskan karya Kristus sendiri dan Para Rasul dalam mendidik.”
Sebagai bentuk pewartaan Gereja, dengan kehadiran sekolah Katolik maka Katolik maka umat Katolikpun juga berkembang seperti dikatakan oleh Bapak Sentot, “Di
169 Wawancara tanggal 5 Maret 2016, bersama Bapak Yohanes Dwi Winarto.
156 Bandungan sendiri dengan hadirnya Theresiana memang umat Katolik juga berkembang karena di sini lalu diselenggarakan misa oleh Rm Chang waktu itu.”170
Sekolah Katolik didirikan Gereja juga bertujuan sebagai tanda kehadiran Gereja di tengah-tengah masyarakat, menjadi tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan melalui karya pendidikan, demikian yang diungkapkan oleh Ibu Gabriel Unik, Bapak Yohanes Winarto, dan Bapak Johny. Gereja dibutuhkan oleh masyarakat agar masyarakat maju, oleh karenanya Gereja harus hadir di tengah-tengah masyarakat. Gereja hadir untuk membantu mencerdaskan masyarakat yang tidak tercover oleh pemerintah atau lembaga lainnya. Gereja melalui sekolah Katolik ingin melayani peserta didik, masyarakat dan emua yang terlibat dalam elemen pendidikan dengan dasar nilai-nilai Kristiani Gereja dibutuhkan oleh masyarakat.
b. Bagaimana pemahaman para guru tentang latar belakang berdirinya Sekolah Theresiana bagi orang miskin?
Dari tiga pertanyaan dasar tentang pemahaman Gereja yang berpihak kepada yang miskin melalui sekolah Katolik yang telah dipaparkan tadi, selanjutnya penulis menggali pemahaman dan pengetahuan dari para guru tentang Sekolah Theresiana. Hal berikut ini terkait dengan sejarah dan latar belakang didirikannya sekolah tentang Sekolah Theresiana, mengingat Sekolah Theresiana adalah salah satu sekolah Katolik milik Keuskupan Agung Semarang.
170 Wawancara tanggal 20 Februari 2016, bersama Bapak Agustinus Sentot.
157 Para narasumber memberikan jawaban yang secara garis besar hampir semuanya sama. Menurut pengetahuan mereka, Sekolah Yu Te dan akhirnya berkembang menjadi Sekolah Theresiana, didirikan atas dasar keprihatinan Gereja akan masyarakat keturunan Tionghoa yang tidak mampu dan sebagai golongan minoritas di Semarang. Dua dari sepuluh narasumber menyebutkan tokoh yang berada di balik lahirnya sekolah Yu Te adalah Romo Beekman dan Romo Chang Peng Tu, sementara delapan lainnya hanya menyebut salah satu tokoh saja yakni Romo Chang Peng Tu. Berdirinya Sekolah Yu Te berdasarkan hasil wawancara dapat dirangkum demikian: Sekolah Yu Te didirikan untuk orang-orang Tionghoa golongan pinggiran yang tidak mampu, bukan pengusaha atau pedagang suskes. Yu Te yang artinya tunas muda digagas oleh Romo Chang Peng Tu untuk memberikan mereka pendidikan yang tidak mereka dapatkan di pendidikan formal karena latar belakang ekonomi mereka dan kesulitan untuk menerima pendidikan secara umum karena ketimpangan budaya, bahasa dan background.
Selain karena kondisi perekonomian hal lain yan melatarbelakangi berdirinya Yu Te adalah karena pada masa itu orang-orang keturunan Tionghoa kesulitan untuk mencari sekolah karena orang-orang Tionghoa itu tersingkirkan oleh pemerintah, bahkan mereka dianggap warga negara nomer dua. Masyarakat Tionghoa menjadi kelompok minoritas, keprihatinan ini menggerakan Romo Chang Peng Tu untuk ngopeni mereka, supaya mereka tidak terusir atau tidak cerai berai, dan mereka boleh mengalami karya pendidikan untuk khususnya kelompok minoritas Tionghoa yang pada saat itu tidak mengalami keberuntungan dalam nasibnya. Anak-anak keturunan Tionghoa terutama mereka secara ekonomi itu terlantar di dalam
158 pendidikan dihimpun dan dibentuklah yang namanya sekolah Yu Te yang sebenarnya diperuntukkan untuk anak-anak Tionghoa saudara kita yang berdasarkan keprihatinan dulu yang miskin itu.
Bapak Eddy menambahkan bahwa komunitas keluarga Chines (Tionghoa) kurang mendapatkan tempat di pemerintah sehingga dari sisi pendidikan, Yu Te memfasilitasi kelompok minoritas ini supaya mereka mendapatkan pendidikan yang sesuai. Senada dengan hal itu Bapak Winarto juga mengungkapkan bahwa Sekolah Yu Te diperuntukkan untuk masyarakat Tionghoa pendatang, yang memang pada saat itu tidak bisa menikmati pendidikan, tersingkir tersingkir secara politis, lalu Rm Chang menampung orang-orang itu untuk dididik. Sementara Ibu Magdaena Warningsih mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa waktu itu mungkin tidak ada wadah, lalu Romo Chang datang ke Indonesia dan mendirikan sekolah-sekolah itu supaya orang-orang Tionghoa juga bisa bersatu. Berbeda dengan apa yang diketahui dan pahami oleh Bapak Agus Suwarso, Sekolah Theresiana didirikan oleh Romo Chang Peng Tu karena melihat banyak warga-warga Tionghoa yang mengaku Katolik tapi tidak mendidik anak-anaknya secara Katolik. Anaknya tidak dibaptis, tidak diajak ke Gereja, tidak disekolahkan. Mereka tidak bisa bahasa Indonesia dan bahasa Jawa oleh karenanya didirikanlah sekolah Yu Te (i-te) yang menggunakan bahasa pengantar bahasa mandarin. Sekolah kemudian berkembang, tapi setelah Indonesia merdeka untuk mengenalkan jiwa nasionalisme, nama Yu Te itu diganti menjadi Theresiana.
159 4.3.1.3 Penghayatan Sebagai Pendidik di Sekolah Katolik Theresiana
Guru merupakan jantung dari kualitas pendidikan. Dalam artian ungkapan tersebut ingin ditunjukkan bahwa peran guru menjadi sangat penting dalam menentukan kualitas pelayanan pendidikan. Guru menjadi kunci keberhasilan pendidikan yakni membantu peserta didik untuk belajar dan berkembang;
membantu perkembangan intelektual, personal dan sosial warga masyarakat. Pada bagian ini penulis ingin menguraikan hasil wawancara terkait dengan penghayatan guru sebagai pendidik khususnya di Sekolah Theresiana. Tentang penghayatan tersebut terbagi atas beberapa bagian yang dijabarkan seperti berikut ini:
a. Panggilan Guru Sebagai Pendidik Kaum Muda
Menjadi guru adalah sebuah panggilan hidup. Secara umum orang bisa memahami bagaimana tugas dan kewajiban seorang guru. Namun, dalam prakteknya, masing-masing guru memiliki nilai-nilai yang diperjuangkan dan usaha masing-masing untuk menjalani tugas yang dijalani masing-masing. Ibu Yuniarti Suhardani menghayati panggilan sebagai guru bukan sekedar mengajar. Baginya, Selain mengajar dan menjadi teladan kalau bisa ada nilai-nilai yang bisa dimasukkan ke anak setiap harinya dan berharap suasana yang terjalin adalah suasana seperti sebuah keluarga yang guyub.171 Hal senada dihidupi oleh Bapak
171 Wawancara tanggal 22 Februari 2016, bersama Ibu Yuniarti Srihardani.
160 Agustinus Sentot Suparyono. Ia memahami bahwa tugas sebagai pendidik itu tidak hanya sekedar kalau mengajar itu khan transfer ilmu tapi juga mengubah manusia menjadi lebih manusia. Contoh sederhananya bagaimana anak menjadi lebih disiplin.
Bapak Petrus Adi Atmoko lebih menyoroti penghayatan sebagai guru dalam kacamata Gereja Katolik. Sebagai guru di sekolah Katolik, ia mencoba menghidupi nilai-nilai Katolik. Ia mengusahakan diri untuk hidup menjadi perpanjangan tangan Kristus untuk menghadirkan belas kasihan kepada semua orang di depan saya tidak hanya murid, orang tua, ya stakeholder selaras dengan tugas panggilan kita di sekolah kataolik kalau mereka pendidik. Ia merasa bahagia ketika melihat anak-anak IQ-nya sudah seperti itu, tapi bahagia, bisa saling sayang,172 bisa dan ringan untuk bisa minta maaf. Senada dengan hal ini, Ibu Gabriel Unik Mekanika mengatakan bahwa mengajar itu membantu anak untuk berjalan di rel yang benar.
Misalnya: ketika pelajaran ramai, kurang memperhatikan guru berarti bukan hanya mengajar tapi mengingatkan. Di situ peran pendidik itu untuk memberikan nasehat, masukan-masukan yang positif, mendidik. Kadang-kadang juga memberikan apresiasi kalau anak itu bisa melakukan perubahan atas perilakunya. Pak Antonius Subagya mengalami panggilan sebagai pendidik itu ketika ia merasa bahagia berada di sekolah Katolik. Dia mengatakan bahwa di mana terdapat hal-hal yang berbau kekatolikan, ia menemukan hidup. Di sanalah ia menemukan hidup. Maka, ia merasakan hal ini sebagai panggilan sehingga menjadi guru bukan hanya sekedar soal materi. Itulah sebabnya ia tidak pernah sekalipun mendaftar sebagai pegawai
172 Wawancara tanggal 19 Februari 2016, bersama Bapak Petrus Adi Atmoko.
161 negeri. Bapak YL. Agus Suwarno menjalani panggilannya sebagai guru terdorong oleh keinginan untuk mendidik agar memberi inspirasi, pada siswa. Oleh karenanya, dalam pengajaran di kelas itu, dia sering menceritakan pengalaman-pengalaman pribadi, orang lain, orang sukses, dan berbagi filosofi-filosofi kehidupan. Harapannya, siswa mendapatkan inspirasi dari cerita-cerita sehingga bisa dipedomani untuk hidup mereka kelak. Saya ingin dengan siswa itu akrab, sebagai sahabat.
Dari hasil wawancara, para guru mencoba untuk menghidupi panggilan guru sebagai teman/sahabat dan sebagai orang tua. Bapak Agustinus Sentot Suparyono mencoba akrab dengan anak-anak. Dia menganggap anak-anak sebagai teman yang memberi kegembiraan. Kenyataan ini membantunya untuk menghidupi panggilan sebagai guru. Kadang ia merasa rindu akan kehadiran anak-anak ini meski mereka nakal. Selalu ada hal yang menarik dari kehadiran anak-anak yang didampingi.
Bapak Johny B. Horsman menghayati kehadirannya sebagai teman untuk berbagi.
Kadang karena kedekatannya, anak-anak lalu bisa berbagi cerita tentang keluarganya. Sementara Ibu Gabriel Unik Mekanika mengalami kehadirannya sebagai teman ketika anak-anak bisa berbagi pengalaman kesulitan baik dengan keluarga, guru tertentu, atau masalah pribadi. Dalam posisi guru, ia bisa menjadi mediator antar siswa dan guru yang bersangkutan. Dengan demikian, ia bisa menjadi teman bagi siswa yang didampingi. Kesempatan berbagi yang paling baik adalah ketika istirahat. Kalau ada siswa yang tetap tinggal di kelas ketika jam istirahat, ia mulai berbicara dengan mereka. Biasanya di antara satu kelas itu ada tiga atau lima anak yang tidak istirahat. Itu, mereka kadang-kadang anak-anak yang
162 rendah prestasinya. Ketika pas pelajaran pas pelajaran tidak bisa mengungkapkan suaranya, pas istirahat itu mereka cerita pengalaman hidupnya, relasi dengan orang tuanya, terus film-film yang disenengi, terus pengalaman bersama dengan apa istilahnya teman-teman ya, hobby, banyak yang bisa mereka ceritakan. Di situ dia bisa apa istilahnya lebih mengenal anak. Mereka juga tidak menjadi canggung.
Kalau di hadapan teman-teman canggung tapi kalau face by face, face to face itu mereka senang.173 Hal senada dialami oleh Antonius Subagyo. Ia biasa mendapat sharing dari anak-anak di tengah-tengah jam pelajaran.
Selain sebagai teman, beberapa guru juga mengalami kehadiran mereka sebagai seorang orang tua. Salah satu yang mengalaminya adalah Ibu Maria Magdalena Warningsih. Saat ia melihat anak-anak terlambat, ia mencoba untuk memberikan sanksi kepada mereka. Namun, tidak hanya sekedar sanksi, ia ikut terlibat mengerjakan sanksi yang diberikan. Ia mengatakan, “Anak yang telat sekian banyak saya suruh menyapu, saya tunggu dan saya bantu juga menyapu. Sabtu yang lalu anak yang sama itu saya suruh membersihak kamar kecil tapi saya bantu. Saya yang mencarikan alat-alat untuk membersihkan kamar mandi.” Ini suatu pendidikan untuk anak-anak. Bukan hanya masalah meminta mereka melakukan sesuatu, tetapi juga hadir bersama dengan mereka.174 Bapak YL. Agus Suwarno merasa bahwa kehadirannya sebagai orang tua dialami karena anak-anak kandungnya juga seusia mereka, jadi saya melihat mereka itu seperti anak saya sendiri. Ternyata sikapnya memberi aura kepada anak-anak didik, sehingga mereka sendiri itu mengganggap
173 Wawancara tanggal 29 Februari 2016, bersama Ibu Gabriel Unik Mekanika P.
174 Wawancara tanggal 27 Februari 2016, bersama Ibu Maria Magdalena Warningsih.
163 seperti orang tuanya. Bapak YT. Eddy Sulistiyanto tugas sebagai orang tua yang memberi perhatian, nggemateni, dan mencintai anak-anak yang didampingi. Sikap semacam perlu didasari oleh kesadaran tentang bagaimana situasi anak-anak yang didampingi.175 Bapak Yohanes Dwi Winarto mencoba untuk memahami karakter anak-anak didiknya yang seusia SMA/SMK. Mereka ini anak-anak yang ingin eksistensinya diakui. Sikap ini perlu diikuti dulu dan jangan langsung dibuat aturan-aturan. Guru sebagai orang tua membantu anak-anak untuk mengembangkan kreativitasnya, bukannya mematikan kreativitas mereka.
Guru yang lain, Bapak Petrus Adi Atmaka lebih melihat bahwa dia banyak belajar dari anak-anak yang dilayani. Secara formal ia adalah dia adalah guru, tetapi dalam perjumpaan dengan mereka, ia merasa dididik. Keonaran anak-anak bisa menjadikan dia sabar dan berjuang untuk menemukan hikmah. Anak-anak yang didampingi ini unik dan memiliki banyak kelebihan dari dirinya.
Berhubungan dengan masalah kesiapan pengajaran, para guru di sekolah-sekolah Theresiana yang diwawancarai merasa pada umumnya mempersiapkan diri dalam mengajar dengan baik, baik dalam hal kesiapan diri pribadi maupun dalam hal materi pengajaran. Kesiapaan diri pribadi ini terkait erat dengan soal waktu atau kedatangan ke sekolah. Tidak semua guru mengatakan hadir tepat waktu. Ada pula yang dengan jujur mengatakan kadang datang mepet atau terlambat dari waktu ideal yang ditentukan 15 menit sebelum dimulainya proses pembelajaran di sekolah.
Namun sebagian besar narasumber menghidupi kesiapan diri menyangkut waktu
175 Wawancara tanggal 23 Februari 2016, bersama Bapak YT. Eddy Sulistiyanto.
164 kedatangan ke sekolah lebih awal dari jam yang ditentukan. Ada datang lebih awal daripada guru lain,
Dalam masalah kesiapan diri lainnya para guru berpakaian dan berpenampilan pantas, rapi dan sesuai dengan ketentuan yang diminta pihak yayasan. Hal ini pula yang ditangkap oleh penulis ketika mengamati kerapian dan kepantasan penampilan para guru dalam berpakaian. Nampak pula dari jawaban-jawaban beberapa guru terkait dengan kerapian pakaian ini: “Dalam berpakaian saya mencoba yang pantas, rapi seperti ketentuan. Misalnya rambut saya mencoba rapi pakaian juga rapi supaya pantas untuk di depan kelas.”176 Ada pula yang mengatakan demikian: “Seragam saya sudah mengikuti.”
Persiapan lainnya yang dianggap menjadi hal pokok guru adalah soal materi pembelajaran. Awal tahun ajaran, guru dituntut membuat persiapan mengajar dengan perangkat yang lengkap RPP, Silabus, Prota, Promes yang akan menjadi acuan pembelajaran.177 Dalam wawancara, secara umum guru sudah menyiapkan dengan baik dengan materi pembelajaran. Mesti sudah menjadi rutinitas dengan bahan yang diajarkan namun guru tetap menyiapkan diri dengan membaca kembali dan meringkas hal-hal yang besok akan disampaikan di kelas. Jika memang membutuh kan pendalaman isi materi. Pengembangan kesiapan materi ini ada pada masalah penyampaiannya. Kemajuan teknologi menuntut guru untuk mau berkembang. Demikian pula dengan cara penyampaian sarana penyampaian materi di kelas. Ada guru yang mengembangkan dengan cara meringkas poin-poin di buku
176 Wawancara tanggal 20 Februari 2016, bersama Bapak Agustinus Sentot.
177 RPP singkatan dari Rencana Persiapan Pembelajaran, Prota kepajangan dari Program Tahunan dan Promes singkatan dari Program Semester.
165 dan membuat power poin untuk ditayangkan di kelas. Ada pula dengan menambahkan film-film dokumenter durasi 8-10 menit, seperti yang dilakukan oleh Ibu Unik sebagai guru mata pelajaran religiositas demikian,”Bagi saya untuk mengajar khususnya dalam agama itu berbeda dengan Matematika atau IPA yang Science. Pelajaran agama juga bukan hafalan saja, tapi ada unsur pemahaman, juga untuk iman, maka untuk agama katakesenya banyak, anak dilatih untuk mengungkapkan jati dirinya lewat refleksi, lewat sharing, juga menonton film.”178
Salah satu guru agama lainnya, Bapak Subagyo menyiapkan materi pengajaran menggunakan kurikulum yang relevan dengan teks-teks kitab suci. Bapak Subagyo menekankan pada anak didik bahwa tidak perlu harus hafal ayat berapa atau di mana letaknya tetapi konteks-konteks Sabda Tuhan berkaitan dengan apa harus hafal. Konteks yang dimaksudkan di sini adalah berkaitan dengan masalah-masalah baik itu keluarga, masalah remaja atau masalah terbaru yang terjadi. Dengan demikian materinya lama tapi pengemasan dan contohnya itu selalu baru sesuai dengan konteks zaman. Penyesuaian penyampain sesuai dengan konteks zaman ini juga menjadi hal harus disadari. Bapak Winarto mengatakan, “Kesiapan diri dalam artian ya tidak melanggar aturan-aturan atau norma-norma sebagai guru. Itu yang
Salah satu guru agama lainnya, Bapak Subagyo menyiapkan materi pengajaran menggunakan kurikulum yang relevan dengan teks-teks kitab suci. Bapak Subagyo menekankan pada anak didik bahwa tidak perlu harus hafal ayat berapa atau di mana letaknya tetapi konteks-konteks Sabda Tuhan berkaitan dengan apa harus hafal. Konteks yang dimaksudkan di sini adalah berkaitan dengan masalah-masalah baik itu keluarga, masalah remaja atau masalah terbaru yang terjadi. Dengan demikian materinya lama tapi pengemasan dan contohnya itu selalu baru sesuai dengan konteks zaman. Penyesuaian penyampain sesuai dengan konteks zaman ini juga menjadi hal harus disadari. Bapak Winarto mengatakan, “Kesiapan diri dalam artian ya tidak melanggar aturan-aturan atau norma-norma sebagai guru. Itu yang