• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEARIFAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN LAHAN

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional (Halaman 173-184)

Kearifan loka l dala m pe manfaatan lahan ga mbut dapat ditunjukkan pada (1) sistem mata pencaharian, (2) sistem pemilihan tempat usaha bertani, dan (3) pola usaha tani dan ko mditas pilihan yang dipengaruhi oleh persepsi individual atau kelo mpok dala m menyikapi kondisi lahan dan ling kungannya.

Sistem Mata Penc aharian

Mata pencaharian sebagai petani lebih banyak merupakan wa risan dari generasi ke generasi. Petani di lahan gambut atau rawa umu mnya me mpunyai mata pencaharian rangkap artinya sebagai petani dapat sekaligus sebagai pencari ikan, peternak it ik atau kerbau rawa , atau buruh tani. Pilihan mata pencaharian tersebut disesuaikan dengan kondisi ala m setempat sehingga kadang-kadang sebagai individu dapat sebagai petani yang mengusahakan lahannya pada saat musim ke marau, tetapi pada waktu dan kesempatan la in dapat sebagai pencari ikan atau peternak itik pada saat kondisi lahannya tergenang, dan juga adakalanya merantau sebagai pedagang pada saat paceklik atau banjir.

Berbeda dengan petani Jawa (transmigran) yang sangat intensif dala m mengusahakan sawahnya. Hampir semua waktunya dicurahkan untuk usaha tani di sawahnya. Petani local lahan gambut men ana m banyak maca m tana man dari tanaman semusim (pangan) sampai tanaman tahunan. Sistem mata pencaharian ini disebut juga sebagai pertanian campuran. Pilihan-pilihan pekerjaan usaha yang beragam dan luwes tersebut merupakan upaya penyesuaian terhadap ala m dengan cara menghindar (escape

mechanism) sebagai kebalikan dari upaya menantang terhadap kondisi ala m yang tidak

pencaharian yang multi usaha di atas juga dimasudkan untuk me mpertahankan keberlan jutan dalam pe menuhan kebutuhan di daerah yang kondisinya tidak menentu dan menghindari risiko kegagalan secara total.

Sistem Pe milihan Te mpat

Kondisi lahan rawa atau gambut sangat beragam dipengaruhi oleh hidrotopografi (luapan A, B, C, dan D), ketinggian genangan (lebak dangkal, tengahan dan dalam), tipologi lahan (gambut dangkal, sedang, dalam atau sangat dalam), tutupan lahan (hutan kayu primer, hutan sekunder, semak atau padang rumput). Sebaran pengusaan lahan menunjukkan bahwa masyarakat setempat lokal sebagian besar menempati lahan yang berada pada tipe luapan A untuk daerah pasang surut dan lebak dangkal sampai tengahan untuk daerah lebak, dan tipologi lahan gambut sebagian besar di gambut dangkal dan tengahan, tetapi pada beberapa daerah yang me mpunyai lahan gambut sangat luas (seperti di Ka limantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat ) masyarakat juga me manfaatkan lahan gambut tebal untuk usaha taninya. Pada umu mnya daerah luapan A dan B dimanfaatan untuk tanaman pangan (padi) dan apabila men jorok masuk ke daerah luapan C d igunakan untuk tanaman tahunan/perkebunan.

Dala m pe milihan lahan atau tanah, petani setempat di Ka limantan me laku kan pengenalan berdasarkan kedalaman lu mpur dan bau tanah. Kedalaman lu mpur menunjukkan je luk me mpan (kedala man efekt if) yang apabila terdapat sampai sebatas siku ma ka dikatakan layak ditana mi. Bau tanah yang dikenal dengan bau harum yang me rupakan la wan dari bau busuk yang menunjukan tingginya kadar pirit (H2S) d ikatakan cocok untuk ditanami. Se la in itu petani juga menila i vegetasi yang berkembang di permu kaan lahan sebagai indikator baik tida knya daerah tersebut dimanfaatkan atau ditanami. Beberapa jenis gulma atau tanaman pohon dapat dijadikan ind ikator adalah purun tikus (Eleocharis dulcis) yang menunjukkan kondisi sangat masam dan kondisi tumpat air (waterlogging); pohon galam (Meleleuca leucadendron) yang menunjukkan kondisi masam pH < 3, dra inase berlebih, dan tanah matang; kara munting (Melastoma

malabatricum) dan bunga merah ja mbu (Rhododendron singapura) menunjukkan tanah

yang miskin. Se lain vegetasi, keadaan air juga dapat menjadi indikator oleh petani yaitu apabila tampa k bening dan terang menunjukkan sangat masam (p H 34) yang menunjukan daerah lahan sulfat masa m, sebaliknya apabila ke ruh dan berwarna cokelat menunjukan ke masaman yang kurang dan merupakan daerah potensial. Warna cokelat tua seperti air teh menunjukan daerah sekitarnya kawasan gambut tebal. Menurut Maas (2003) adanya keruh menunjukkan kandungan asam-asam hu mat dan fulvat yang tinggi.

Lahan gambut me mpunyai sifat rapuh (fragile), yaitu dapat berubah sewaktu-waktu baik a kibat ala m seperti ke keringan, kebakaran, kebanjiran ataupun akibat pengelolaan seperti rekla masi, dra inase, pengolahan tanah, dan atau pertanian intensif. Usaha tani di lahan gambut bersifat polyculture dan multicu lture yang hakaketnya me rupakan upaya untuk menghindari kegagalan total dari usaha taninya. Na mun para petani lahan gambut dala m me milih ko moditas yang dikembangkan sangat beragam karena dibatasi pe maha man dan pengalaman.

Masing-masing suku (etnis) yang tinggal dan hidup di lahan gambut me mpunyai persepsi dan cara-cara yang berbeda dalam me ma knai ga mbut sebagai sumber daya lahan pertanian, termasuk para pendatang dari etnis Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Bali dan lainnya yang me mpunyai keb iasaan usaha tani di lahan kering me mandang lahan gambut berbeda-beda.

Petani suku Ban jar, misalnya me mandang lahan gambut cocok untuk ditana mi padi sawah, tetapi petani suku Jawa yang umu mnya sebagai pendatang me mandang lahan gambut cocok untuk palawija dan sayur-sayuran. La in dengan suku Bugis yang menunjukkan bahwa lahan gambut lebih tepat ditanami padi sawah, nenas dan kelapa seperti di Riau dan Kalimantan Timur, tetapi suku Dayak di Ka limantan Tengah berpendapat bahwa lahan gambut lebih cocok ditanami padi ladang, karet, rotan, jelutung, nibung atau sagu dan buah-buahan seperti durian atau cempedak. Lain lagi, dengan suku Ba li yang bermu kim di Ka limantan me mandang lahan gambut cocok untuk buah -buahan seperti nenas, cempedak berbeda, tetapi suku Bali d i Su lawesi Ba rat mere ka me mandang lahan gambut cocok untuk tanaman jeruk dan cokelat. Orang -orang Cina di Ka limantan Barat me mandang lahan gambut lebih tepat untuk ditanami sayuran daun seperti sawi, ku cai (sejenis bawang daun), seledri, dan lidah buaya. Se mentara suku Melayu di Riau me mandang lahan gambut cocok ditanami nenas, ke lapa, ka ret atau ke la pa sawit.

Pe milihan ko moditas dalam pengembangan di lahan gambut ini sudah sejak ratusan tahun sila m dilaku kan petani tradisional. Ha l ini dapat dilihat dari keberhasilan petani-petani pioner dalam pengembangan kelapa, karet, ke lapa sawit, lada, nenas, teb u, ra mbutan, cokelat, dan padi u mu mnya. Tana mantanaman in i dikenal sebagai tanaman yang tahan atau toleran dengan kondisi rawa seperti genangan, kemasa man, salinitas, keracunan besi dan lain sebagainya.

Ura ian di atas menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan gambut sangat tergantung pada kema mpuan dan pengalaman petani setempat yang tampaknya dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kegigihan dala m pencapaian keberhasilan dala m usaha taninya.

Ga mbar 1. Padi di lahan ga mbut (La munti, Ka lteng) dan karet (Dadahup, Kalteng)

Ga mbar 2. Sayur kuchai di lahan ga mbut (Pontinak) dan ke lapa sawit (Sintang, Kalbar)

Pengelolaan lahan dan air d i lahan g ambut dala m perspektif kea rifan loca l dapat ditunjukkan pada (1) sistem penyiapan lahan dan pengolahan tanah, (2) penataan lahan, (3) pengelolaan kesuburan tanah, dan (4) sistem pengelolaan air yang dipengaruhi oleh ko moditas tanaman yang dike mbangkan dan persepsi individual atau kelo mpok da la m menyikapi kondisi lahan dan ling kungannya.

Sistem Pe nyi apan Lahan dan Peng olahan Tanah

Penyiapan lahan oleh petani di lahan gambut dalam budiaya padi secara tradisional di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah men ggunakan tajak sejenis parang panjang. Tajak sela in sebagai alat penebas rumput juga pemapas dan pembalik tanah permu kaan sedalam 2-5 c m sehingga juga berfungsi sebagai alat olah tanah terbatas (minimu m tillage). Peke rjaan penebasan rumput atau jera mi ini d isebut menaja k (dari kata tajak) Gulma atau jera mi yang telah ditebas kemudian diku mpulkan dibentuk seperti bola dibiarkan terendam yang disebut me muntal (dari kata puntal). Setelah gulma dan jera mi yang berbentuk bola tampa k matang lantas dicacah atau dicincang (dipotong-potong kecil-kecil) lantas disebarkan di permukaan lahan. Pekerjaan ini disebut menghambur (dari kata hambur). Sistem penyiapan lahan ini d ikenal dengan sistem ” tajak -puntal-hambur”.

Menurut Djaja kirana et al., (1999) penyiapan lahan dengan pengembalian gulma dan jera mi (puntal) ini dapat menurunkan ke masaman tanah dari pH 3,0 menjadi pH 6,0. Cara taja k puntal hambur ini juga ternyata berhasil menaikan pH tanah dari pH 3,0 sebelum penyiapan lahan menjadi p H 5,8 sesudah penyiapan lahan.

Pe mapasan tanah dala m sistem penyiapan lahan tradisional ini secara tidak langsung dapat mencegah terjadinya produksi asam-asam te rutama p irit (Mulyanto et al., 1999).

Sistem taja k puntal hambur in i dala m pra ktek sekarang dibantu dengan herbisida ke mudian setelah gulma-gulma kering ditebas dan dibersihkan. Petani padi dari etnis Bugis di Riau me laku kan hal serupa dengan bantuan herbisida.

Gu lma dan jera mi padi dib iarkan me mbusuk di lahan ke mudian langsung ditanami tanpa pembersihan dan pengolahan tanah lagi. Petani padi dari Jawa dan Madura (Transmigran di Kalimantan) sering dala m penyiapan lahan menggunakan cangkul dan rotari sebagaimana u mu mnya dilakukan d i Pulau Ja wa. Siste m penyiapan lahan dengan cangkul dan rotari ini, termasuk intensifnya penggunaan tanah dapat me mpercepat hilangnya lapisan gambut seperti yang terjadi di Desa Suryakanta (Saka lagun), Barito Kuala, Kalsel yang awalnya me mpunyai lapisan gambut 50-300 c m setelah ditanami padi sejak tahun 1990an sekarang lapisan gambutnya tinggal 10-20 c m saja lagi.

Seiring dengan introduksi varietas -varietas unggul (tanaman pangan), penyiapan lahan dipandang lebih menguntungkan dengan menggunakan herbisida.

Penyiapan lahan dengan herbisida menghemat tenaga antara 5-10 HOK per hektar. Penyiapan lahan secara konvensional dengan tangan me merlukan tenaga antara 20 -25 HOK per hektar. Herb isida yang umum digunakan dala m penyiapan lahan antara lain paraquat sebanyak 4 liter ha-1 atau diuron 4 liter. ha-1 atau campuran antara paraquat/diuron sebanyak 3 liter. ha-1 dita mbahkan 2,4 D panadin 1 liter. ha-1 (Simatupang dan Ar-Riza , 1991; W idja ja Adhi dan Aliha msyah, 1998). Na mun demikian, penggunaan herbisida banyak dikhawatirkan akan berda mpak terhadap lingkungan hidup dan kesehatan konsumen. Tuntutan pertanian bersih at au pertanian organik tanpa atau sedikit pestisida semakin meningkat. Pangsa pasar atas hasil-hasil pertanian bersih ini di negara-negara maju semakin luas dan kritik atas penggunaan pestisida berlebihan semakin gencar. Pencekalan dan boikot terhadap impor hasil pertanian dari negara-negara yang tinggi konsumsi pestisidanya sering dilakukan oleh negara -negara ma ju seperti Amerika dan Eropah karena kekhawatiran akan munculnya pengaruh terhadap kesehatan. Lebih jauh, sistem pertanian revolusi hijau banyak meng a mbil atau mengangkut sisa panen (apalagi b ila penen dengan system tebasan) untuk dibuang keluar daripada dike mba likan ke dala m tanah.

Ga mbar 4. Taja k dan cangkul a lat olah tanah minimu m dala m budidaya padi

Sistem Pe nataan Lahan

Penataan lahan dimaksudkan apabila petani berke inginan me laku kan penganekaragaman tanaman (diversifikasi) seperti ke lapa, karet, jeru k, ra mbutan atau tanaman tahunan lainnya. Penganekaragaman tana man in i adaka lanya dilaku kan ka rena hasil padinya mu lai menurun atau karena pemilikan lahan yang semakin luas dengan

digunakan untuk tanaman tahunan.

Penataan lahan dilakukan dengan me mbuat tukungan (awalnya disebut tongkongan) yaitu meninggikan sebagian tanah den gan ukuran . Bib it tanaman tahunan ditanam di atas tukungan. Tinggi tukungan biasanya dibuat 5-10 c m lebih t inggi dari tinggi maksima l mu ka a ir sehingga tanaman tidak terendam atau kebasahan. Sistem tukungan banyak sekarang diterapkan pada tanaman perkebun an seperti kelapa sawit yang disebut dengan tapak timbun.

Cara -cara budidaya seperti sistem tukungan untuk budidaya tanaman perkebunan dan pengelolaan lahan oleh petani loka l trad isional ini ke mud ian diikuti oleh migran pendatang yang mene mpati kawasan rawa (Collier, 1982; Sarwani, et al. 1994).

Ga mbar 5. Sistem tukungan di lahan gambut untuk jeru k dan ke lapa sawit (Ka lsel)

Sistem Pe ngelolaan Kesubur an Tanah

Kesuburan lahan gambut terletak pada hasil biomasa yang dihasilkannya bukan yang terkandung dalam tanahnya. Menurut Jaya et al., (2004) hasil bio masa yang berada di atas tanah hutan rawa gambut berkisar antara 73 -82% dari total bio mas sa. Bio massa dari tana man pohon mencapai 350 sa mpai 905 t.ha-1.

Pertu mbuhan gulma sendiri di lahan rawa sangat cepat dap at menghasilkan antara 2-3 ton bahan kering per musim per he ktar. Hasil ana lisis jaringan terhadap berbagai gulma yang diko mposkan menunjukkan pada purun tikus (Eleocharis dulcis) dan bura-bura (Panicum repens), kerisan (Rhynchospora corymbosa) terkandung rata-rata 31,74% organik karbon, 1,96 % N; 0,68 % P dan 0,64 % K (Balittra, 2001). Dengan demikian ma ka kesuburan tanah rawa tergantung pada masukan dala m rangka me mpertahankan tahana (status) bahan organic tanahnya.

Oleh ka rena itu, kunci keberhasilan pemanfaatan lahan rawa juga sangat terkait dengan pengelolaan bahan organik. Ha l ini boleh jadi sudah disadari oleh para petani loka l

yang me manfaatkan gulma, ru mput, dan sisa panen berupa jera mi untuk dike mbalikan ke dala m tanah dalam penyiapan lahan. Dalam upaya me mpertahankan kesuburan lahannya petani lokal ja rang menggunakan pupuk (Noor, 1996) dan hanya adakalanya menggunakan garam (NaCl). Petani t radisional di lahan pasang surut Kalimantan Selatan me mbe rikan gara m antara 100-800 kg ha-1 di lahan sawahnya. Pemberian 75 kg NaCl (gara m ikan) per hektar dapat meningkatkan hasil padi sebesar lebih 50% (Driessen – Discussion dalam Rorison, 1973). Ju mlah gara m yang diberikan tergantung tingkat kesuburannya dan diberikan apabila mu la i terjad i penurunan hasil. Petani di Delta Mekong, Vietnam kadang-kadang menggenangi sawahnya dengan air laut sebelum musim hujan datang juga dimaksudkan untuk perbaikan kesuburan tanahnya . Hal ini juga dila kukan oleh petani lahan pasang surut tipe A, UPT Tabunganen, Kalsel yang me masukkan air laut (air payau) ke sawah-sawahnya saat musim ke marau dan ke mudian dibilas saat me masuki musim hujan.

Petani etnis Jawa di Ka limantan Barat me manfaatkan berbagai limbah seperti tepung kulit udang, tepung ikan kering, gulma dan gambut kering setempat dan kotoran ayam d ijad ikan abu yang ke mudian digunakan sebagai pupuk cukup baik bagi sayuran sperti seldri, tomat, cabai dan kuchai tanpa menggunakan pupuk anorganik yang umum digunakan petani. Kandungan hara abu yang diperkaya ini cukup baik kandungan haranya dibandingkan dengan pupuk kandang konvensional (Tabel 1 dan Ga mbar 6).

kepala/ku lit udang, dan tepung ikan dari Kalimantan Barat, 2006.

Si fa t kimia dan ha ra Tepung kepala/kulit

udang Tepung ikan

Abu gambut dan serasah pH 7,73 7,53 6,33 Ni trogen (%) 3,08 2,35 1,22 Fos tat (%) 0,75 0,57 1,20 Kalium (%) 0,82 0,82 0,02 Kalsium (%) 2,41 0,73 0,16 Ma gnesium (%) 0,17 0,13 0,01

Sumber : Noorginayuwati et al. (2007)

Sistem Pe ngelolaan Air

Lahan gambut pasang surut dipengaruhi oleh pasang surutnya air akibat gerakan benda-benda langit. Pasang tunggal atau purnama terjad i pada hari ke-1 (bulan mati) dan ke -15 (bulan purna ma) dala m a lmanak Qo mariah. Se lanjutnya, secara berkala selama lebih kurang 15 hari mengala mi pasang ganda atau perbani dengan ketinggian pasang bergoncah (fluctuation) menurut peredaran matahari dan bulan. Pada beberapa daerah terkadang terjadi pasang yang meluap dan pada beberapa daerah cekungan terjadi genangan ladung (stagnant) yang dikategorikan sebagai rawa lebak apabila tinggi genangan > 50 c m dan la ma genangan > 3 bulan. Pada lahan -lahan yang mendekati sungai (tipe A dan B) luapan pasang masih dapat dirasakan, tetapi pada lahan yang menjorok ke pedalaman >10 km (t ipe C dan D) jangkauan pasang tidak lagi d irasakan dan je luk (depth) mu ka air tanah > 50 c m dari permukaan tanah. Sela ma musim hujan muka a ir tanah hamper tida k berbeda secara murad (significantly), khususnya antara hutan reboisasi maupun hutan alam, tetapi pada musim ke ma rau muka a ir turun lebih dalam pada hutan reboisasi (Jaya et al., (2004).

Berkenaan dengan sifat dan watak tanah, apabila di lap isan bawah terdapat senyawa pirit, maka upaya untuk me mpertahankan muka air pada batas di atas lapisan pirit merupakan kunci keberhasilan karena pirit yang apabila tero ksidasi karena misalnya keke ringan atau pengatusan yang berlebih (over drainage) ma ka pirit bersifat lab il dan akan me mbebaskan sejumlah ion hydrogen dan sulfat. Pada kondisi ini tanah menjadi sangat masam (pH 2-3) dan ke larutan Al, Mn, dan Fe meningkat.

Para pioner dala m me mbu ka lahan rawa yang dipimpin oleh seorang tokoh yang disebut dengan kepala Handil perta ma ka li biasanya dikerjakan adalah menggali saluran yang disebut handil atau tatah (handil dari kata anndeel = bahasa Belanda, yang artinya gotong royong, bekerjasama ). Handil dibuat men jorok masuk dari pinggir sungai sejauh 2-3 km dengan kedala man 0,5-1,0 m, dan lebar 2-3 m (Idak, 1982). Dengan me manfaatkan tenaga (pukulan) pasang, air sungai masuk ke dala m saluran handil yang

selanjutnya dijadikan sebagai saluran pengairan dan sebaliknya tatkala surut, air ke luar dan air lind ian dari sawah ditampung pada saluran handil selanjutnya bersamaan terjadi surut mengalir me masuki sungai. Handil atau tatah yang dibuat etnis atau suku Dayak, Banja r, dan Bugis saling berbeda (Darmanto, 2010).

Ga mbat 7. Sketsa handil menurut versi etnis Dayak

Ga mbat 8. Sketsa handil menurut versi etnis Ban jar

Pada saat budidaya berlangsung seperti pengolahan tanah atau tanam, a ir dala m saluran handil biasanya ditahan dengan me mbuat tabat (dam overflow).

Upaya ini me mpunyai tujuan teknis yaitu agar lahan mudah diolah dan tanam tidak mengala mi kesukaran, tetapi juga me mpunyai tujuan saintifik yaitu me mberikan peluang untuk me mudahkan pero mbakan bahan organik dan mencegah terjadinya pengelantangan (ekpose) tanah sehingga terhindar terjadinya oksidasi tanah la pisan atas (pirit) yang dapat berakibat men ingkatnya ke masaman dan ke jenuhan alu min iu m.

Ga mbat 9. Sketsa handil menurut versi etnis Bugis

Pada saat budidaya berlangsung seperti pengolahan tanah atau tanam, a ir dala m saluran handil biasanya ditahan dengan me mbuat tabat (dam overflow).

Upaya ini me mpunyai tujuan teknis yaitu agar lahan mudah diolah dan tanam tidak mengala mi kesukaran, tetapi juga me mpunyai tujuan saintifik yaitu me mberikan peluang untuk me mudahkan pero mbakan bahan organik dan mencegah terjadinya pengelantangan (ek pose) tanah sehingga terhindar terjadinya oksidasi tanah lapisan atas (pirit) yang dapat berakibat men ingkatnya ke masaman dan ke jenuhan alu min iu m.

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional (Halaman 173-184)