• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Seminar Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prosiding Seminar Nasional"

Copied!
482
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT BERKELANJUTAN

Bogor, 4 Mei 2012

Penyunting:

Edi Husen, Markus Anda, M. Noor, Mamat H.S., Maswar, Arifin Fahmi, Yiyi Sulaeman

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Kementerian Pertanian

3

(2)

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT BERKELANJUTAN

Bogor, 4 Mei 2012

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN

(3)
(4)

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT BERKELANJUTAN

Bogor, 4 Mei 2012

PENANGGUNGJAWAB:

Muhrizal Sarwani

PENYUNTING:

Edi Husen

Markus Anda

M. Noor

Mamat H.S.

Maswar

Arifin Fahmi

Yiyi Sulaeman

REDAKSI PELAKSANA

Widhya Adhy

Wahid Noegroho

Iman Kurnia

Diterbitkan tahun 2013, oleh :

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian

Jl. Tentara Pelajar No. 12

Kampus Penelitian Pertanian, Cimanggu, Bogor 16114 Telp (0251) 8323012

Fax (0251) 8311256 e-mail : [email protected] http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id ISBN 978-602-8977-42-5

(5)

i

Prosiding ini menyajikan makalah-makalah hasil Seminar Nasional

Topik Khusus, yaitu Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan yang

diselenggarakan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya

Lahan Penelitian (BBSDLP) pada tanggal 4 Mei 2012 di Bogor. Makalah yang

dipresentasikan dan dibahas dalam seminar tersebut merupakan hasil-hasil

penelitian maupun konsep dan pengalaman peneliti dari berbagai lembaga

penelitian yang tentunya sangat berguna sebagai salah satu bahan rujukan

dalam menyusun strategi pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan.

Atas selesainya penyusunan prosiding ini, pada kesempatan ini saya

sampaikan penghargaan serta ucapan terima kasih kepada semua pihak yang

telah memberikan kontribusi dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan

seminar, dan secara khusus ucapan terima kasih saya sampaikan kepada tim

penyusun.

Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, November 2012

Kepala Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian

Dr. Muhrizal Sarwani, M.Sc.

NIP. 19600329.198403.1.001

(6)
(7)

iii

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

RUMUSAN SEMINAR ... ix

MAKALAH UTAMA

1 Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia

Supiandi Sabiham dan Sukarman ... 1

2 Dilema dan Rasionalisasi Kebijakan Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Areal Pertanian

Irsal Las, Muhrizal Sarwani, Anny Mulyani, dan Meli Fitriani Saragih... 17

3 Review of Emission Factor and Land Use Change Analysis Used for the Renewable Fuel Standard by USEPA

Fahmuddin Agus and Muhrizal Sarwani... 29

MAKALAH PENUNJANG

4 Karakteristik dan Sebaran Lahan Gambut di Sumatera, Kalimantan dan Papua

Sofyan Ritung, Wahyunto, dan Kusumo Nugroho... 47

5 Inventarisasi dan Pemetaan Lahan Gambut di Indonesia

Wahyunto, Sofyan Ritung, Kusumo Nugroho, dan Muhrizal Sarwani... 63

6 Potensi dan Pengembangan Lahan Gambut dalam Perspektif Pengembangan untuk Pertanian Tanaman Pangan

Haris Syahbuddin dan Muhammad Alwi... 75

7 Klasifikasi dan Distribusi Tanah Gambut Indonesia serta Pemanfaatannya untuk Pertanian

(8)

Halaman 8 Karakteristik Tanah Gambut dan Hubungannya dengan Emisi Gas Rumah

Kaca pada Perkebunan Kelapa Sawit di Riau dan Jambi

Sukarman, Suparto, dan Mamat H.S. ... 95

9 Pemetaan Detail Tanah Gambut di Demplot Jabiren Kalimantan Tengah Mendukung Penelitian Emisi Karbon

Hikmatullah, Hapid Hidayat, dan Usep Suryana... 113

10 Pemetaan Detail Tanah Gambut Di Demplot Landasan Ulin Kalimantan Selatan Mendukung Penelitian Emisi Karbon

Hikmatullah, Soleh, dan Noto Prasodjo... 129

11 Basisdata Karakteristik Tanah Gambut di Indonesia

Anny Mulyani, Erni Susanti, Ai Dariah, Maswar, Wahyunto, dan

Fahmuddin Agus... 143

12 Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lahan Gambut

Muhammad Noor... 155

13 Sejarah Penelitian Gambut dan Aspek Lingkungan

Kusumo Nugroho... 173

14 Lahan Gambut Terdegradasi

Sri Nuryani Hidayah Utami ... 185

15 Teknologi Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan

Didi A. Suriadikarta ... 197

16 Faktor Penduga Simpanan Karbon pada Tanah Gambut

Ai Dariah, Erni Susanti, Anny Mulyani, dan Fahmuddin Agus……… 213 17 Sebaran Kebun Kelapa Sawit Aktual dan Potensi Pengembangannya di

Lahan Bergambut di Pulau Sumatera

Baba Barus, Diar Shiddiq, L.S. Iman, B. H. Trisasongko, Komarsa G., dan R. Kusumo... 223

(9)

v

Karet dan Tanaman Sela di Desa Jabiren Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah

M. A. Firmansyah, W. A. Nugroho, dan M.S. Mokhtar ... 233

19 Emisi Metan dari Pertanaman Padi pada Beberapa Dosis Pemupukan NPK di Lahan Gambut

Siti Nurzakiah, Anna Hairani, dan Muhammad Noor... 245

20 Mikrobiologi Gas Rumah Kaca pada Lahan Gambut Tropika

Abdul Hadi dan Kazuyuki Inubushi ... 253

21 Distribusi Bentuk-bentuk Fe dan Kelarutan Amelioran Tanah Mineral

dalam Gambut Wiwik Hartatik ... 261

22 Pengurangan Emisi CO2 Melalui Ameliorasi pada Intercropping Karet dan Nanas di Lahan Gambut Jabiren, Kalimantan Tengah

Miranti Ariani, W.A. Nugraha, A. Firmansyah, Dedi Nursyamsi, dan

Prihasto Setyanto... 275

23 Pemanfaatan Mikroba Endofitik Penghasil Eksopolisakarida sebagai Pembenah Hayati pada Lahan Gambut

Laksmita Prima Santi dan Didiek Hadjar Goenadi ... 285

24 Peranan Amelioran dalam Mitigasi Emisi GRK (CH4 dan CO2) pada

Landuse Sawah di Tanah Gambut Desa Landasan Ulin, Kecamatan Banjarbaru, Kalimantan Selatan

R. Kartikawati, Dedi Nursyamsi Prihasto Setyanto, dan Siti Nurzakiyah ... 295

25 Pengaruh Pemberian Bahan Amelioran Terhadap Penurunan Emisi Gas CO2 pada Perkebunan Sawit Dengan Tanaman Sela di Lahan Gambut

Titi Sopiawati, H. L. Susilawati, Anggri Hervani, Dedi Nursyamsi,

Prihasto Setyanto, dan Nurhayati... 305

26 Pengaruh Pemberian Bahan Amelioran terhadap Fluks CO2 pada Pertanaman Kelapa Sawit Tanah Gambut di Perkebunan Rakyat Kabupaten Muara Jambi, Provinsi Jambi

(10)

27 Peran Pugam dalam Penanggulangan Kendala Fisik Lahan dan Mitigasi Gas Rumah Kaca dalam Sistem Usahatani Lahan Gambut

I G.M. Subiksa... 333

28 Prospek Budidaya Kopi Liberoid Berkelanjutan di Lahan Gambut J.B. Baon, R. Hulupi, S. Abdoellah, Yusianto Sugiyono, A. Wibawa, dan

Suhartono... ... 345

29 Peranan Pemberian Bahan Organik dan Dolomit Terhadap Emisi GRK (CO2 dan CH4) dan Neraca Karbon pada Lahan Padi Sawah di Tanah Gambut Kalimantan Selatan

H.L. Susilawati, Muhammad Noor, Titi Sopiawati Ali Pramono, dan

Prihasto Setyanto... 357

30 Perhitungan Amblesan (Subsidence) dengan Pendekatan Proksimat dan Hubungannya dengan Emisi Gas Rumah Kaca pada Lahan Gambut

Ahmad Kurnain ... 369

31 Strategi Pengembangan Ekonomi Masyarakat Di Kawasan Lahan Gambut

Sumaryanto, Mamat H.S., dan Irawan ... 379

32 Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan: Pengembangan Kelapa Sawit dan Tanaman Sela di Provinsi Riau

Nurhayati, Ali Jamil, Ida Nur Istina, Yunizar, dan Hery Widyanto ... 389

33 Sejarah Pembukaan Lahan Gambut untuk Pertanian di Indonesia

Muhammad Noor ... 399

34 Estimasi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari Kebakaran Lahan Gambut

Maswar ... 413

35 Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan

Benito Heru Purwanto ... 421

36 Keragaan Kacang Tanah Varietas Kancil dan Jerapah di Lahan Gambut Kalimantan Tengah

(11)

vii

Khairil Anwar ... 435

38 Baseline Survey: Cadangan Karbon pada Lahan Gambut di Lokasi Demplot Penelitian ICCTF (Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan)

Ai Dariah, Erni Susanti, dan Fahmuddin Agus... 445

DAFTAR PESERTA ... 461 JADUAL ACARA ... 465

(12)
(13)

ix

Bogor, 4 Mei 2012, BBSDLP

Seminar Nasional “Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan” dilaksanakan dalam rangka menggali hasil-hasil penelitian terkini dan membahas berbagai konsep dan pengalaman berbagai lembaga penelitian dalam pengelolaan lahan gambut yang selanjutnya dijadikan sebagai bahan dalam menyusun strategi pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. Seminar dibuka oleh Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Bapak Dr. Muhrizal Sarwani, M.Sc. Seminar dihadiri oleh sekitar 150 peserta dari kalangan peneliti, akademisi, praktisi, dan pengambil kebijakan. Sebanyak 36 makalah telah dibahas dalam seminar ini baik yang disajikan dalam presentasi oral maupun dalam bentuk poster. Hasil seminar dirumuskan sebagai berikut:

Karakteristik dan Potensi Lahan Gambut

1. Gambut merupakan ekosistem yang unik dan kompleks di dataran rendah berawa dan dikenal mempunyai sifat mudah rusak bila terusik, sehingga pemanfaatannya harus berpedoman pada karakteristik spesifik hidrologi dan sifat lahan gambut. Konsep pembangunan pilihan untuk kawasan lahan gambut adalah sifat “konstruktif-adaptif”. Sifat gambut yang dinamis (secara cepat dapat mengalami perubahan baik spasial maupun karakteristiknya) memerlukan monitoring secara periodik, terutama pada wilayah-wilayah yang pengembangan sumberdaya lahan gambut ini sangat intensif. 2. Data terkini, luas lahan gambut di 3 pulau utama, yaitu Sumatera, Kalimantan dan

Papua adalah 14.905.574 ha. Gambut dangkal dan gambut sedang menempati luasan tertinggi, yaitu masing-masing 5.241.438 ha dan 3.915.291 ha. Dalam penataan lahan gambut ini perlu pembakuan yang meliputi: penggunaan peta untuk menyatakan luasan, pembakuan definisi gambut, metode pemetaan dan cara/ pendekatan pemetaan.

3. Lahan gambut dapat dikembangkan sebagai lahan pertanian dengan jenis komoditas yang beragam meliputi tanaman perkebunan, hortikultura, dan pangan (kelapa sawit, karet, kopi liberoid, nenas, jeruk, pepaya, lida buaya, padi sawah, kacang tanah). Pengelolaan dan pengembangan sudah tentu harus memperhatikan karakteristik gambut yang sangat spesifik seperti mudah amblas, mudah kering, dan mudah rusak.

(14)

productive land) atau yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian, pemetaan lahan gambut secara lebih detail (skala 1:50.000) diperlukan agar penggunaan lahan gambut pada kawasan ini dapat optimal sesuai daya dukung dan potensinya dan fungsi hidrologis ekosistem lahan gambut tetap dapat terjaga.

Emisi GRK Lahan Gambut dan Upaya Pengendaliannya

4. Permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan lahan gambut adalah adanya isu lingkungan terkait emisi GRK yang berpengaruh terhadap lingkungan global. Di Indonesia, isu tersebut dipertajam oleh laporan tentang emisi GRK yang tinggi selama dua dekade terakhir ini. Kondisi ini menimbulkan adanya tekanan terhadap Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi GRK secara nasional yang berdampak pada penundaan ijin baru penggunaan lahan gambut yang dikenal sebagai Moratorium Lahan Gambut.

5. Kehilangan cadangan C dari lahan gambut sering dikaitkan dengan kegiatan alih fungsi lahan dari lahan hutan ke penggunaan untuk pertanian/perkebunan. Berdasarkan fakta, perubahan pengggunaan lahan gambut ke usaha pertanian tanaman pangan dan perkebunan lebih banyak berasal dari hutan yang sudah rusak/terbuka (degraded forest).

6. Lima faktor yang mempengaruhi laju emisi CO2 dari beberapa hasil studi dari gambut tripika Indonesia mencakup kedalaman muka air tanah, kadar abu, tanaman bawah/tanaman penutup tanah, ketebalan dan tingkat dekomposisi gambut. Penurunan muka air pada lahan gambut memicu oksidasi dan subsiden, khususnya pada musim kemarau. Untuk itu, agar penurunan muka air dapat dikelola dengan baik, perlu dikaji besaran komponen neraca air (water balance) yang mempengaruhi penurunan tersebut.

7. Hasil penelitian di perkebunan kelapa sawit di Jambi dan Riau mendapatkan bahwa faktor kandungan air tanah berpengaruh terhadap besaran emisi CO2, semakin tinggi kandungan air dalam gambut maka emisi CO2 yang terjadi semakin rendah. Selain itu, bahan mineral dalam gambut (kadar abu) dengan kandungan Fe2O3 relatif tinggi (>3%) mempunyai korelasi sangat nyata dengan emisi CO2, Gambut yang mengandung 6% kadar abu mengemisikan CO2 dalam jumlah paling rendah, yaitu sekitar 23 t CO2 ha-1 tahun-1, ekuivalen dengan jumlah CO2 yang diserap oleh kelapa sawit untuk menghasilkan 20 sampai 24 t TBS ha-1 tahun-1. Penurunan emisi tersebut terjadi karena stabilitas gambut meningkat sebagai akibat dari terbentuknya ikatan

(15)

xi

8. Pemanfaatan pupuk gambut (Pugam) dalam usahatani di lahan gambut adalah bentuk teknologi yang mensinergikan upaya adaptasi dan mitigasi GRK sehingga tujuan ekonomi tercapai namun emisi tetap ditekan seminimal mungkin. Secara umum, Pugam meningkatkan pertumbuhan tanaman karet dan kelapa sawit serta pertumbuhan dan produksi tanaman sela, menekan laju emisi gas rumah kaca, baik di piringan tanaman tahunan maupun di area tanaman sela. Selain itu, bahan amelioran pupuk kandang dapat menurunkan emisi CH4 dan CO2 serta mampu menurunkan emisi GRK tertinggi (dari amelioran lain) sebesar 34% pada lahan gambut Kalimantan Selatan. Validasi terhadap penggunaan amelioran untuk mereduksi emisi GRK masih sangat diperlukan, terutama yang terkait dengan aktivitas mikroba di lahan gambut.

Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan

9. Pengembangan lahan gambut ke depan hendaknya didasarkan pada kesesuaian dan kemampuan lahan serta penggunaan teknologi yang sesuai. Pemilihan teknologi dan komoditi yang tepat menjadi sangat penting untuk menekan kerusakan lahan hingga sekecil mungkin.

10. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi yang mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis lahan, termasuk lahan gambut. Dengan teknologi pengelolaan air yang tepat, disertai peningkatan stabilitas bahan gambut dan serapan CO2 oleh tanaman pada kawasan pengembangan kelapa sawit, maka pemanfaatan lahan gambut akan memberikan faedah yang besar, tidak hanya untuk masa kini tetapi juga untuk masa mendatang.

11. Kemampuan daya dukung lahan gambut berhubungan erat dengan karakteristik gambutnya. Pada kondisi jenuh air atau pada kandungan airnya berada di atas batas kritis, gambut lebih stabil dibandingkan dengan kondisi kering dan bahkan apabila kondisi lahannya terlalu kering bahan gambutnya menjadi mudah terbakar. Dengan demikian, pengelolaan air yang baik menjadi dasar dalam pemanfaatan lahan gambut ke depan

12. Fakta menunjukkan bahwa pengembangan pertanian di lahan gambut telah memberikan sumber pendapatan yang cukup signifikan. Manfaat dari lahan gambut sudah banyak dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, baik masyarakat di kebun maupun di luar kebun. Namun tantangan ke depan adalah untuk terus mencari strategi

(16)

Bogor, 4 Mei 2012 Tim Perumus

(17)

_______ _____ ______ _____ _____ _____ _____ _____ ____

*) Makalah ini sudah diterbitkan pada Jurnal Su mbe rdaya Lahan Vol. 6 No. 2, tahun 2012

1

Supiandi Sabiham dan

2

Sukarman

1

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor; ([email protected])

2Peneliti Badan Litbang Pertanian di B alai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara

Pelajar No. 12 Bogor 16114 ([email protected])

Abstrak. Lahan gambut, yang mempunyai sifat mudah rusak, pemanfaatannya harus berpedoman pada upaya pengembangan lahan berkelan jutan dengan konsep pembangunan yang “konstruktif-adaptif”. Pengalihan fungsi lahan gambut untuk keperluan lain berdasarkan kesesuaian dan kema mpuan lahan serta penggunaan teknologi yang sesuai harus menjadi dasar dalam penge mbangan lahan gambut ke depan. Dengan demikian, pemilihan teknologi dan komoditi yang tepat dan adanya upaya untuk menekan kerusakan lahan hingga sekecil mungkin menjadi sangat penting. Kelapa sawit merupakan salah satu ko moditi yang ma mpu beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis lahan, termasuk lahan gambut. Dengan teknologi pengelolaan air yang tepat, disertai peningka tan stabilitas bahan gambut dan serapan CO2 oleh tanaman pada kawasan pengembangan kelapa sawit,

ma ka pe manfaatan lahan gambut akan me mberikan faedah yang besar, tidak hanya untuk masa kini tetapi juga untuk masa mendatang.

Abstract. Peatlands with their nature to be fragile should be enhanced their value by using the so-called of sustainability-based land development that proposed as the development concept of “constructive-adaptive”. Conversion of peatlands for other purposes based on land capability and land suitability as well as the appropriate use of technology should be the basis for their future development. Thus, the selection of suitable technologies and commodities with the efforts to reduce the land damage as small as possible is very important. Oil palm is one of the agricultural commodities that could be able to adapt at different types of land, including peatlands. With proper water management and the efforts to increase peat stability and CO2 sequestration in the area of

oil palm development, the use of peatlands will provide a great benefit, not only for today but also for the future.

PENDAHULUAN

Pengertian lahan gambut telah didefinisikan secara detail oleh Soil Survey Staff, USDA (2003) dan Andriesse [1988]. Dala m ma kalah in i, pengertiannya hanya dibatasi berdasarkan “Hasil Ru musan Semiloka Nasional Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan di Bogor tanggal 28 Oktober 2010”; ada dua butir penting yang perlu disampaikan, sebagai berikut:

(18)

1. Lahan gambut dibatasi sebagai suatu area yang ditutupi end apan bahan organik dengan ketebalaan >50 c m yang sebagian besar belum terlapuk secara sempurna dan tertimbun dala m waktu la ma serta me mpunyai kandungan C-organik >18% .

2. Lahan ga mbut yang me mpunyai ketebalan >3m, berada di luar ka wasan hutan dan bukan sebagai kubah gambut serta luasan pemanfaatannya berada di dalam satuan pemanfaatan lahan sesuai kebijakan penggunaan lahan yang terkait dengan perencanaan pembangunan daerah, masih dapat digunakan untuk keperluan lain terutama untuk pertanian/perkebunan.

Perbedaan cara pandang di dalam pe manfaatan lahan gambut telah berlangsung la ma, ya itu sejak dimu lainya Proyek Pe mbukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) tahun 1969. Pe rbedaan menjad i leb ih berke mbang setelah ada tuduhan bahwa lahan gambut telah menjadi salah satu sumber e misi karbon terbesar di Indonesia.

Sebagai kelo mpok yang tidak/kurang setuju menyatakan bahwa pemanfaatan lahan gambut me mpunyai dampak negatif terutama terhadap lingkungan (dari emisi karbon/C) lebih besar daripada yang positifnya untuk masyarakat . Pendapat mereka d idasarkan pada simpanan C di da la m bahan ga mbut yang me miliki potensi sangat besar terjadinya emisi C. Hooijer et al. (2011) menduga kehilangan C rata-rata sela ma ku run waktu 25 tahun terakhir sebagai akibat pengembangan lahan gambut den gan cara didrainase (berdasarkan hasil perhitungan mere ka) sekitar 100 t CO2 ha-1 tahun-1, walaupun hasil perhitungan

emisi CO2 tersebut menurut penulis terlalu besar1). Oleh karena itu, masyarakat yang tidak

setuju menuntut agar pemanfaatan lahan ga mbut di Indonesia harus dihentikan.

Pendapat dari masyarakat yang setuju menyatakan bahwa gambut tidak sepenuhnya sebagai sumber utama e misi C dari hasil p roses dekomposisi bahan organik. Sebagian emisi C dari lahan gambut adalah bersumber dari: (i) kontribusi perakaran tanaman (dari proses respirasi akar tanaman yang pada tanah minera l -pun terjadi respirasi) yang besarannya terhadap fluks CO2 total dari lahan gambut berkisar antara 55 – 65%

(Knorr et al. 2009), dan (ii) dari hasil keba karan yang tidak terkontro l. Pada dasarnya, lahan gambut dengan pengelolaan yang baik (mela lui best management practices) dapat me mbe rikan da mpak positif terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, teruta ma dari sub-sektor perkebunan kelapa sawit. Ha l tersebut me rupakan salah satu target utama dala m pengembangan lahan gambut di Indonesia, sebagai dorongan kebutuhan yang bersumber pada ko mit men bangsa terhadap pembangunan sosial-ekono mi me lalu i peningkatan produksi dan penyediaan lapangan kerja.

1)

Argumentasi mereka dalam menghitung kehilangan karbon tersebut didasarkan pada hasil pengukuran subsiden lahan gambut yang dianggap sebagai kehilangan karbon organik. Padahal subsiden adalah fungsi dari pemadatan bahan gambut (compaction), erosi, dan dekomposisi bahan organik. Kontribusi kehilangan karbon

(19)

Dinamika Perubahan Land Use di Wilayah Pe nge mbangan Kel apa Sawit

Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia selama 20 tahun terakhir (1990 – 2010) dapat dilihat dalam Tabel 1. Pada tahun 2010 luas lahan gambut yang dimanfaatkan untuk perkebuanan kelapa sawit di Su matera, meningkat lebih dari ena m kali d ibanding pada tahun 1990, sedangkan di tanah minera l peningkatannya hanya sekitar 3,5 kali. Di Kalimantan juga terjad i peningkatan cukup signifikan na mun dala m luasan yang tidak sebesar seperti di Sumatera, sedangkan di Papua peningkatan pemanfaatan lahan gambut untuk ko moditi yang sama relatif leb ih la mbat dan dalam luasan yang lebih kecil d ibanding dengan di Su matera dan Ka limantan.

Terka it dengan dinamika perubahan land use pada lahan gambut seperti terlihat dala m Tabel 2, dapat dike muka kan bahwa lahan gambut di Sumatera yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) sejak tahun 2000 hingga 2010 meningkat taja m, disertai menurunnya luas lahan yang digunakan komoditi la in nya. Di Kalimantan, wa laupun dalam luasan yang lebih kecil dibanding dengan di Sumatera, peningkatan luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2010 adalah sekitar 8 (delapan) kali luasan pada tahun 2005. HTI pada lahan ga mbut di Kalimantan hingga tahun 2010 t idak terlihat adanya peningkatan yang signifikan, sedangkan di Papua perkebunan kelapa sawit dan HTI tidak berke mbang. Pa ling sedikit ada dua alasan, kenapa lahan gambut di Sumatera banyak dikonversi ke perkebunan untuk kelapa sawit dan HTI. Pe rta ma, aksesibilitas dala m lingkup nasional dan internasional, Sumatera jauh lebih baik daripada Kalimantan dan Papua. Kedua, kemungkinan lahan tanah minera l di Sumatera sudah terbatas dibandingkan dengan yang ada di Ka limantan dan Papua.

Dari Tabel 1 dan 2 dapat dike mu kakan bahwa ke lapa sawit merupakan salah satu ko moditi unggulan masyarakat yang dapat diusahakan pada lahan gambut dalam rangka men ingkatkan kesejahteraan masyarakat. Bukt i menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut telah me mbe rikan sumber pendapatan yang cukup signifikan (Tabe l 3). Na mun demikian, perlu diwaspadai bahwa konversi lahan pertanian pangan ke perkebunan (terutama kelapa sawit) pada tingkat petani akan menjadi lebih besar, seperti yang terjadi di beberapa tempat di Sumatera , apabila tidak ada kontrol yang jelas dan tegas dari pemerintah. Dari pengala man penulis me laku kan penelitian di Keca matan Bunga Raya, Kabupaten Siak, Riau dan daerah Delta Berbak, Ja mb i sela ma periode tahun 2009– 2011 sudah banyak lahan sawah dikonversi oleh para petani, termasuk oleh petani transmigran, menjad i kebun kelapa sawit (Sab iha m, 2011). Alasan me rubah penggunaan lahan menjadi kebun sawit terutama karena usaha padi sawah kurang menguntungkan (Tabel 3).

(20)

Tabel 1. Pe manfaatan lahan untuk perkebunan kelapa sawit d i Su mate ra, Kalimantan dan Papua*]

No. Jenis lahan Luas lahan (ha) yang dimanfaatkan pada tahun

1990 2000 2005 2010

SUMAT ERA

1. Lahan gambut 264.310 704.474 1.011.902 1.395.737

2. Lahan tanah mineral 958.004 2.188.807 2.978.490 3.347.576

KALIMANT AN

3. Lahan gambut - 19.334 38.694 307.515

4. Lahan tanah mineral 85.000 717.666 1.057.306 2.589.485

PAPUA

5. Lahan gambut - - 1.279 1.727

6. Lahan tanah mineral 28.740 47.560 68.631 83.622

*]

Dihitung dari Tropenbos International – Indonesia [2012]

Tabel 2. Dina mika perubahan penggunaan lahan (land use) pada lahan gambut di Sumatera , Kalimantan dan Papua selama kurun waktu tahun 2000 sampa i 2010 (x1000 ha)*]

P enggunaan lahan Sumatera Kalimantan P apua 2000 2005 2010 2000 2005 2010 2000 2005 2010 Hutan 507,3 500,7 425,0 2.351,8 2.213,9 1.971,0 5.925,6 5.657,1 5.441,8 Hutan terganggu 2.501,8 2.016,6 1.662,7 1.150,7 1.172,2 1.142,8 257,7 434,2 617,9 P ertanian 1.411,1 1.210,2 1.184,0 472,5 570,0 643,3 16,6 16,8 18,4 Lahan terlamtar 1.864,0 2.117,9 1.994,9 1.801,6 1.798,6 1.727.7 972,3 1.045,5 1.122,4 Kelapa Sawit 703,9 1.012,0 1.396,7 19,3 38,7 307,5 - 1,3 1,7 HTI**] 82,9 215,7 416,8 2,8 5,4 6,4 10,5 10,6 10,6 Badan air/rawa 89,7 88,8 84,5 24,5 24,5 24,5 550,3 566,8 517,5 Bangunan, dll 68,7 67,6 65,0 7,0 7,0 7,0 26,4 27,1 29,0

*] Dihitung dari Tropenbos International – Indonesia [2012] **] HTI: Hutan tanaman industry

Tabel 3. Analisis biaya usahatani beberapa komodit i dala m 1,0 ha lahan gambut (data diseleksi)*]

No. Komoditas unggulan Biaya Penerimaan Keuntungan

(Rp ha-1 thn-1) (Rp ha-1 thn-1) (Rp ha-1 thn-1)

1. Padi unggul 693.902 3.045.790 2.351.888

2. Padi lokal 856.000 2.910.000 2.054.000

3. Kelapa sawit “rakyat” 5.656.531 20.733.469 15.076.938

4. Lidah buaya 28.826.000 46.240.000 17.414.000

5. Jagung manis 3.441.000 4.245.000 804.000

*] Sumber: Noorginayuwati et al. [2007]; Rina et al. [2008]; Noor [2010]

Kar akteristik Lahan Gambut pada Perke bunan Kel apa Sawi t

(21)

pertumbuhan kelapa sawit.

Permukaan a ir di saluran uta ma selalu dipertahankan pada kedala man 60 sa mpai 70 c m d i bawah permukaan lahan, dengan harapan muka air tanah di pertanaman sawit berkisar antara 40 sampai 60 c m, walaupun kenyataannya di lapangan (berdasarkan hasil pengukuran dengan Piezo meter) sangat tergantung dari curah hujan dan kondisi lingkungan setempat (Ga mba r 1).

Ga mbar 1. Dua keadaan muka air tanah pada lahan gambut di suatu areal perkebunan kelapa sawit di Ka limantan Tengah [Sabiham et al. 2012]

Kondisi oksidatif pada lahan gambut akibat lahan didra inase sangat berpengaruh terhadap proses: (i) pengeringan dan pengerutan/pemadatan bahan gambut, (ii) dekomposisi bahan organik, dan (iii) keh ilangan sebagian dari air ga mbut. Kondisi demikian mengakibatkan terjad inya penurunan permukaan lahan (subsiden/subsidence), walaupun penyebabnya sebagian besar karena proses pemadatan bahan gambut. Besaran subsiden ini oleh Hooijer (Hooijer et al. 2011) telah dijadikan dasar untuk menghitung besaran emisi karbon (C) dari lahan gambut. Cara perhitungan tersebut sangat keliru karena hanya proses dekomposisi saja yang menyebabkan terjadinya emisi ka rbon, sedangkan faktor pemadatan dan hilangnya sebagian air gambut tidak menyebabkan emisi karbon.

Kara kteristik penting yang lain dari lahan gambut adalah kandungan bahan mineral (dala m persen kadar abu). Bahan gambut dengan kadar abu yang bervariasi (Table 4) menc irikan kandungan C-organiknya (dala m persen C) juga bervariasi. Ga mbut tropika pada umumnya mengandung C-organik sekita r 18 sampai 55% dengan rata-rata antara 30 sampai 45% (w/w). Apabila mengasumsikan C-organik rata-rata >50% akan menghasikan perhitungan emisi CO2 men jadi sangat tinggi dan tidak realistis, seperti yang telah

(22)

Tabel 4. Tingkat deko mposisi ga mbut, kandungan unsur hara P dan K, serta kadar abu pada 40 c m lapisan atas lahan gambut di perkebunan kelapa sawit (Sab iha m et al. 2012)

Catatan: Max=maksimum; Av.=rataan; a] Berdasarkan metoda loss on ignition; b] Diekstrak dengan HCl 25%; c & d] Tt = kandungan P

2O5 dan K2O tertinggi yang banyak ditemukan di bagian permukaan lahan gambut.

Kara kteristik lahan gambut terkait dengan tingkat kesuburan tanahnya adalah dicirikan oleh kandungan unsur hara rata-rata yang rendah (Tabel 4). Masalah kesuburan tanah dapat diatasi dengan upaya pemupukan yang tepat. Isu tanah miskin t idak hanya pada gambut, pada tanah mineral pun saat ini umu mnya miskin. Oleh karenanya upaya pemberian pupuk untuk tanah-tanah di Indonesia (tanah mineral dan tanah gambut) sangat diperlukan. Kandungan unsur hara yang rendah dapat mengakibatkan stabilitas gambut juga rendah, sehingga bahan gambut menjad i mudah rusak/fragile.

Pada perkebunan kelapa sawit, pemupukan selalu dilaku kan secara rutin. Selain pemupukan N, P, K tetapi juga pe mberian kation basa (Ca dan Mg) dan unsur mikro Cu, Zn dan Fe dilakukan secara regular, yang tidak hanya bermanfaat untuk tanaman tetapi juga meningkat kan stabilitas bahan organik di dala m gambut mela lui pe mbentukan “ikatan-ko mplek organo-kation” (interaksi derivat asam organik dengan cation) [Mario dan Sabiham, 2002].

Dinamika C dan Emisi CO2 yang Terukur dari Lahan Gambut pada Perke bunan

Kel apa Sawit

Cadangan C dala m ga mbut bervariasi dari 30 sa mpai 70 kg C m-3 (Agus et al. 2010), atau sekitar 300 sa mpai 700 t C ha-1 per meter kedala man ga mbut. Kandungan C dala m tanah minera l yang terkonsentrasi pada 20 sa mpai 25 c m bagian permukaan tanah tidak pernah me lebihi 250 t ha-1. Ga mbut di Su matera dan Ka limantan di prediksi me mpunyai cadangan C bervariasi dari 2000 sampa i 3000 t ha-1 (Wahyunto et al. 2004; 2005), meng indikasikan bahwa gambut di dua pulau tersebut berpotensi sebagai sumber emisi C yang sangat tinggi.

Kehilangan C dapat terjadi mela lui proses reduksi dan oksidasi, masing -masing dala m bentuk CH dan CO . Proses ini merupakan bagian dari d ina mika C pada lahan

Lokasi Tingkat dekomposisi gambut Jumlah sampel (n) Kadar abu (%)a P2O5 [mg (100 g)-1] b K2O [mg (100 g)-1]b

Av. Max Av. Tt C Av. Tt d

Kalimantan Barat

Kapuas Hulu Saprik – Hemik 23 2.31 2.76 9.1 50 9.2 26

Ketapang Hemik – Saprik 5 0.89 1.78 7.2 19 11.4 35

Kalimantan T engah

Seruyan Saprik 46 2.54 4.92 12.4 50 14.8 38

(23)

BBSDLP, 2011], ka rena pada 40 sa mpai 60 c m bagian permu kaan lahan berada dala m keadaan oksidatif. Dengan demikian e misi C dari lahan gambut paling besar pada kawasan tersebut adalah CO2. Sebagai su mber uta ma gas CO2 dari lahan ga mbut berasal

dari hasil proses oksidasi asam organik. Orlov [1995] dan Stevenson [1994] me laporkan bahwa grup fungsional –COOH dan metoksi (–OCH3) dala m asam organik me rupakan

sumber utama e misi CO2. Mela lui proses oksidas i, bentuk –COOH menjadi bentuk CO2

dan H2O; sedangkan dari –OCH3 pelepasan CO2 terjadi saat perubahan –OCH3 menjadi –

OH sela ma proses pembentukan fenol-OH berlangsung.

Tabel 5. Emisi CO2 dari lahan ga mbut di beberapa perkebunan kelapa sawit di

Kalimantan Ba rat dan Ka limantan Tengah [IPB-BBSDLP, 2011] No. Lokasi Perkebunan Emisi CO2 (t CO2 ha

-1

thn-1)

M inimum M aksimum Rata-rata KALIM ANTAN BARAT

1. Ketapang 9,54 64,18 25,81 (n=18)

2. Kapuas Hulu 12,24 56,52 26,00 (n=24)

KALIM ANTAN TENGAH

3. Kotawaringin Barat-1 26,68 95,26 57,98 (n=48) 4. Kotawaringin Barat-2 20,90 83,16 50,26 (n=36)

5. Seruyan-1 44,75 87,39 56,30 (n= 6)

6. Seruyan-2 17,66 71,90 39,67 (n=12)

Dari hasil pengukuran konsentrasi CO2 pada lahan gambut (menggunakan metoda

chamber) dengan portable gas chromatography dan perhitungan emisi CO2 yang

menggunakan rumus USEPA [1990], dipero leh besaran emisi CO2 (Tabel 5). Pengukuran

dila kukan pada 144 t itik pengamatan yang tersebar pada beberapa perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Berdasarkan Tabel 5 diperoleh bahwa rata-rata emisi CO2 dari lahan gambut di beberapa perkebunan kelapa sawit bervariasi

tergantung pada keadaan lokasi.

Lahan ga mbut di kawasan Perkebunan-1 dan -2 mengemisikan CO2 (rata-rata)

sangat rendah; hal ini disebabkan kandungan arang (charcoal) di dalam ga mbut cukup tinggi sebagai hasil kebaka ran selama musim kering yang panjang (El-Nino) pada periode tahun 2007 sa mpai 2008. Arang dapat menyerap asam organik sehingga ma mpu menurunkan e misi CO2 [Hadi et al. 2012] dengan cukup signifikan. Seperti d i dua

kawasan perkebunan tersebut di atas, emisi CO2 di Pe rkebunan-6 juga relat if rendah,

hanya saja sebagai penyebabnya adalah bahan mine ral dala m ga mbut cukup tinggi. Bahan minera l, yang mengandung >3% Fe2O3 sebagai sumber Fe(III), dapat berinteraksi dengan

(24)

bahan organik me mbentuk ikatan ko mple k yang lebih stabil, sehingga bahan organiknya tidak mudah terdeko mposisi.

Strategi Pengelolaan Lahan Gambut untuk Perkebunan Kelapa Sawit: Meningkatkan Ke maslahatan dan Meng urangi Ke mudharatan

Potensi lahan gambut

Di Indonesia, luas lahan gambut yang sesuai (bersyarat) untuk usaha pertanian saat ini adalah sekitar 9 juta ha (Noor, 2010) dari luas lahan gambut keseluruhan sekitar 15 juta ha. Sementara yang sudah dibuka dan dikembangkan baru sekitar 0,5 juta ha untuk pertanian tanaman pangan yang dikelo la oleh penduduk lokal serta petani transmigran umu m dan spontan, dan 1,2 juta ha untuk perkebunan (terutama ke lapa sawit). Potensi yang besar ini menjadi sangat prospektif untuk me mbantu dalam mengatasi masalah pencari kerja yang mencapai 116 juta jiwa dan penganggur 8,6 juta jiwa (Ko mpas, 4 Okt. 2010). Da ri hasil penelit ian Noor (2010) d iperoleh bahwa da la m penge mbangan kebun dan industri minyak ke lapa sawit di lahan gambut dapat me mberikan kesempatan kerja sebanyak 1 (satu) orang per 4 ha. Berarti untuk kegiatan on -farm dan off-fa rm, dari seluas 1,2 juta ha lahan ga mbut yang sudah dike mbangkan dapat menyerap 300.000 o rang tenaga kerja.

Sela in itu pengembangan pertanian di lahan gambut telah me mbe rikan sumber pendapatan yang cukup signifikan (Tabel 3). Ini berart i bahwa manfaat dari lahan gambut sudah banyak dirasakan o leh sebagian besar masyarakat, baik masyaraka t di kebun maupun di luar kebun. Sebagai tantangan ke depan adalah mencari strategi pengelolaan lahan gambut yang lebih baik agar manfaat dari lahan tersebut menjadi lebih besar lagi dan berkesinambungan.

Permasalahan yang dihadapi

Akhir-akh ir in i, permasalahan serius yang dihadapi dala m pe manfaatan lahan gambut adalah adanya isu lingkungan terkait emisi CO2 yang dianggap pengaruhnya

terhadap lingkungan global sangat signifikan. Di Indonesia, isu tersebut telah dipertaja m oleh laporan tentang emisi CO2 yang tinggi selama dua dekade terakhir in i (Hooijer et al.

2011). Kondisi tersebut telah menimbulkan adanya tekanan terhadap Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi CO2 secara nasional. Akibatnya, pihak pemerintah

mengeluarkan Inpres No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Izin Ba ru Pe manfaatan Lahan Hutan Primer dan Lahan Ga mbut. Untuk lahan gambut, penundaan ijin baru tersebut lebih popular dikenal sebagai “Moratoriu m Lahan Gambut”.

Na mun demkian, menurut Tim dari BAPPENAS (2011) berdasarkan dalam Ga mbar 2, bahwa rata-rata e misi sela ma pe riode tahun 2000 sampa i dengan 2006 yang

(25)

hilangnya biomasa dan kerusakan hutan yaitu sekitar 552 Mt CO2 tahun-1. Sisanya berasal

dari hasil oksidasi bahan organik.

Ga mbar 2. Estimasi e misi C dari lahan gambut di Indonesia sebagai hasil o ksidasi biomasa dan bahan gambut, serta dari kebakaran ga mbut (BAPPENAS, 2011) Sela ma periode tahun 2000–2006, pada sebagian lahan gambut di Ka limantan dan Sumatera telah terjadi beberapa kali kebakaran yang cukup luas. Salah satu di antaranya terjadi pada tahun 2002 d i Kalimantan Tengah (Ga mba r 3). Sa mpai saat ini, teknologi pencegahan kebakaran sedang terus diupayakan.

Akhir-akh ir in i masalah kehilangan cadangan C dari lahan gambut sering dikait kan dengan kegiatan alih fungsi lahan, dengan tuduhan bahwa alih fungsi lahan ke penggunaan untuk pertanian/perkebunan yang terjadi adalah berasal dari hutan. Sebenarnya berdasarkan fakta, seperti terlihat di dala m Tabel 2, dapat dike mu kakan bahwa perubahan pengggunaan lahan gambut ke usaha pertanian tanaman pangan dan perkebunan lebih banyak berasal dari hutan yang sudah rusak/terbuka (degraded forest).

(26)

Alternatif model pemanfaatan lahan gambut untuk perkebuanan kelapa sawit

Dari uraian di atas dapat dikemu kakan bahwa pada hakikatnya lahan gambut me mbe rikan ke maslahatan bagi kehidupan umat manusia. Ke mudharatan yang sering dirasakan sebagian masyarakat pada dasarnya akibat kekeliruan manusia dala m me milih teknologi pe manfaatan sumberdaya lahan tersebut.

Dala m menetapakan pilihan teknologi untuk pemanfaatan lahan gambut sering para pengelola kurang mendasarkan pada kema mpuan daya d ukung (bearing capacity) dari lahan tersebut, sehingga hasil kegiatan men jadi kurang atau bahkan menjadi tidak bermanfaat, baik manfaat untuk saat ini maupun masa mendatang. Kemudharatan dari lahan gambut adalah karena mudah rusak apabila ke liru di dala m p engelolaannya (WWF, 2008), sedangkan masyarakat yang berada di daerah yang didominasi lahan gambut berpandangan bahwa lahan tersebut merupakan aset yang harus diusahakan untuk kegiatan produksi. Da la m kaitannya dengan dua pandangan tersebut, Sabiham et al. (2012) telah mengusulkan beberapa skenario untuk menurunkan e misi CO2 dengan tetap

me mpe rtahan produktivitas lahan pada level yang optimu m.

Faktor yang me mpeng aruhi e misi CO2 dari lahan g ambut di perke bunan kelapa

sawi t

Dari lima faktor yang telah dipela jari Tim dari IPB-BBSDLP (2011) terka it dengan emisi CO2 di Kalimantan Ba rat dan Kalimantan Tengah, ternyata hanya tiga faktor

(kedala man muka a ir tanah, kadar abu dan tanaman bawah/tanaman penutup tanah) yang berpengaruh terhadap emisi. Ketebalan dan tingkat dekomposisi gambut tidak berpengaruh.

Se mentara Suka rman et al. (2011), da la m penelitiannya di perkebunan kelapa sawit di Ja mb i dan Riau mendapatkan fa ktor kandungan air tanah cukup berpengaruh terhadap besaran emisi CO2 yang terjadi. Dala m penelitian tersebut yang dilaku kan pada awal

musim hujan, d imana keda la man muka a ir tanah lebih dari 1 meter, d idapatkan bahwa, semakin tinggi kandungan air dala m ga mbut maka e misi CO2 yang terjadi sema kin

rendah.

Hasil yang menarik dari penelit ian Tim IPB-BBSDLP (2011) menunjukkan bahwa bahan minera l dala m ga mbut (kadar abu) yang mengandung Fe2O3 relatif t inggi (>3%)

(27)

Ga mbar 4. Grafik kore lasi hubungan antara kadar abu (%) dengan e misi CO2 (t ha-1

tahun-1) pada lahan gambut di Ka limantan Tengah dan Kalimantan Ba rat

Berdasarkan Ga mbar 4 dapat dike muka kan bahwa gambut yang mengandung 6% kadar abu menge misikan CO2 dala m ju mlah pa ling rendah, yaitu sekitar 23 t CO2 ha-1

tahun-1, ekuivalen dengan jumlah CO2 yang diserap oleh kelapa sawit untuk menghasilkan

20 sampa i 24 t TBS ha-1 tahun-1. Penurunan emisi tersebut terjadi karena stabilitas gambut men ingkat sebagai akibat dari terbentuknya ikatan komp lek organo -kat ion Fe. Tanaman bawah, yang didominasi oleh paku-pakuan (Nephrolepis sp.), juga berpengaruh terhadap emisi CO2. Tana man tersebut ma mpu menyerap CO2 sekitar 9,75 t ha-1 tahun-1 (Sabiham

et al. 2011)

Model pe manfaatan lahan gambut untuk perke bunan kelapa sawi t

Dari tiga faktor do minan yang ma mpu me mpengaruhi terhadap penurunan emisi CO2 dengan me mpertahankan tingkat produksi atau pertumbuhan kelapa sawit yang

optimu m, ma ka dapat diusulkan model pe manfaatan lahan ga mbut yang sesuai. Oleh karena banyaknya CO2 yang diserap kelapa sawit tergantung pada umur tanaman, seperti

terlihat di dala m Tabel 6, ma ka model pemanfaatan lahan gambut mela lui penuruanan emisi CO2 diusulkan sebagai berikut:

(28)

Dimana:

E = pengelolaan lahan gambut melalui upaya penurunan emisi CO2 (t ha-1 yr-1)

gwt = pengelolaan air melalui pengaturan permuk aan air tanah (cm);

acp = pengelolaan k adar abu dengan p enambahan bahan mineral [mg (100 g)-1 or in %]; ucc = pengelolaan tanaman bawah dengan mempertahankan bobot tanaman pada level

k emampuan menyerap CO2 tertinggi (t ha-1 yr-1)

gso = umur tanaman k elapa sawit (yr).

Tabel 6. Cadangan C pada pertanaman kelapa sawit di atas lahan ga mbut dan tanah minera l pada berbagai u mur tana man

No. Lahan

Cadangan C (t C ha-1)

Hutan Kelapa sawit

Primer Terganggu <6 thn 9-12 thn 14-15 thn

1. Gambut 81,8 57,3 5,8 54,4 73,0

2. Tanah mineral 268,1 61,8 6,8 63,9 79,5

Karena gwt me rupakan faktor generik yang ditetapkan sebagai persyaratan dasar dala m usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut selain sebagai penentu utama emisi C, ma ka variabel dala m mode l menjadi kadar abu dan tanaman bawah. Dengan demikian, fungsi kehilangan C dapat ditulis dala m model sebagai berikut:

E = ƒ(acp, ucc)

gwt, gso

... (2)

Catatan: Mengingat jumlah pohon sawit per ha adalah 136, mak a lahan gambut yang harus dik elola dengan penambahan bahan mineral hanya 136 x 20 m2 = 2.720 m2 ha-1; nilai 20 m2 adalah luas piringan tanaman sawit.

Dari seluas 2.720 m2 yang diberi bahan mineral yaitu pada piringan tanaman sawit, ma ka luas tanaman penutup tanah yang harus dipertahankan untuk meningkat kan serapan CO2 dala m setiap hektarnya adalah sekitar 7.280 m2.

Untuk meningkatkan dan me mpertahankan produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit pada tingkat yang optimu m, maka pe me liharan tanaman mela lui upaya pemupukan dan pemberantasan hama-penyakit tana man mutla k d iperlukan. Pada dasarnya kegiatan yang terakhir ini telah dilaku kan dengan baik oleh pelaku perkebunan sesuai dengan dosis dan cara pemberian yang dire ko mendasikan.

PENUTUP

Lahan gambut adalah aset yang dapat diusahakan untuk berbagai kegiatan produksi. Na mun, kea rifan dari pengelola terkait dengan pemanfaatan lahan tersebut sesuai dengan ke ma mpuan daya dukung lahan menjadi sangat penting. Kema mpuan daya dukung lahan

(29)

kondisi jenuh air (Mario dan Sabiham, 2002; Furu kawa, 2004) atau paling tidak kandungan airnya berada di atas batas kritis (Sabiha m, 2000), ga mbut lebih stabil dibandingkan dengan kondisi kering, bahkan apabila kondisi lahannya terlalu kering bahan gambutnya menjadi mudah terbakar. Dengan de mikian, pengelolaan a ir yang baik sehingga kandungan air dalam gambut selalu di atas batas kritis (≥250%) menjadi dasar dala m pe manfaatan lahan ga mbut ke depan.

Pe milihan tanaman kelapa sawit, yang mudah beradaptasi pada lahan gambut dan me mpunyai nila i ekono mi tinggi apabila dibandingkan dengan tanaman lain, sudah tepat. Akan tetapi, pemberian bahan mineral sebagai amelioran, yang dapat me mbentuk ikatan ko mple k organik-kation, menjad i salah satu alternatif peningkatan stabilit as gambut yang diusahakan. Untuk meningkatkan sequestrasi CO2 pada pertanaman kelapa sawit, pada

saat tanaman sawit masih di bawah umur 6 tahun, maka pengayaan jenis tanaman yang ma mpu menyerap CO2 menjad i sangat diperlukan. Untuk itu, pe me liharaan tanaman

bawah (tanaman penutup tanah) menjadi penting dalam me mbantu mengurangi emisi CO2

ke at mosfer.

Dengan demikian, pemanfaatan lahan gambut yang bersifat konstruktif-adaptif dala m rangka pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indoneisa ke depan sangat men janjikan, teruta ma apabila d ika itkan dengan konteks percepatan pembangunan daerah yang mempunyai potensi lahan gambut sangat besar. Jadi, lahan gambut tidak harus dikhawat irkan akan tetapi harus menjad i tantangan dalam pe mbangunan ke depan agar ke maslahatan lahan tersebut menjad i jauh lebih besar dari ke mudharatannya.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., Wahyunto, A. Dariah, P. Setyanto, I.G.M. Subiksa, E. Runtunuwu, E. Susanti and W. Supriatna. 2010. Ca rbon budget and management strategies for conserving carbon in peat land: Case study in Kubu Raya and Pontianak Districts, West Kalimantan, Indonesia. pp. 217-233. In, Chen, Z.S. and F. Agus (eds.), Proceedings of Int’l Workshop on Evaluation and Sustainable Management of Soil Carbon Sequestration.

Andriesse, J.P. 1988. Nature and management of tropical peat soils. FAO So il Bu ll. 59 Ro me 165p.

BAPPENAS, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2011. Reducing carbon emissions from Indonesia’s peatlands. Interim report of a multi-discip linary study. BAPPENAS, the Republic of Indonesia.

Furukawa , H. 2004. The ecological destruction of coastal peat wetlands in Insular Southeast Asia. pp. 31-72. In, Furuka wa, H. et al. (eds.) Ecologica l Destruction, Health, and Development: Advancing Asian Paradigms. Kyoto University Press and Trans Pacific Press. AustraliaHadi et al. 2012.

(30)

Hadi, A., D. Nu rsyamsi, K. Inubushi, dan R. Bahtiar. 2012. Inovasi teknologi untuk mitigasi GRK dari lahan gambut yang diusahakan untuk perkebunan kelapa sawit. pp. 44-49. Dalam, Prosiding Se minar Nasional dan Kongres MAKSI 2012 Hooije r , A., S. Page, J. Jauhainen, W.A. Lee, X.X. Lu, A. Idris and G. Anshari. 2011.

Subsidence and C loss in drainage tropical peatlands: Redusing uncertainty and implication for CO2 e mission reduction options. Biogeoscience Discuss . 8:9311-9356.

IPB-BBSDLP. 2011. Mit igation plan and mitigation action on oil palm plantation in peatlands of Centra l and West Kalimantan. Final Report. Collaborative research between PT Sma rt Tbk and IPB-BBSDLP.

Knorr, K.H., M .R. Oosterwoud, and C. Blodau. 2009. Experimental drought alters rates of soil respiration and methanogenesis but not carbon exchange in soil of a temperate fen. Soil Bio l. Biochem. 40:1781-1791.

Mario, M .D., dan S. Sab iha m. 2002. Penggunaan tanah mineral yang diperkaya oleh bahan berkadar Fe tinggi sebagai ame lioran dala m meningkatkan produksi dan stabilitas gambut. J.Agroteksos 2(1):35-45.

Noor, M. 2010. Peningkatan produktivitas lahan gambut dan perluasan lapangan kerja . pp: III-1 – III.20. Dalam, Prosiding Se miloka Nasional Pe manfaatan Lahan Ga mbut Berke lanjutan untuk Pengurangan Kemiskinan dan Percepatan Pembangunan Daerah. PSP3-Dept.ITSL, IPB. Bogor, 28 Oktober 2010.

Noorginayuwati, A. Rafieq, M. Noor, dan A. Ju mberi. 2007. Kearifan loka l da la m pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian di Kalimantan.. Dalam, Mukhlis et al. (eds) Kearifan Loka l Pertanian d i Lahan Ra wa. BBSDLP-BA LITTRA. Bogor. Orlov, D.S. 1995. Hu mic substances of soils and general theory of humification. AA.

Ba lke ma Publ. USA.

Rina, Y., Ar-Re za, dan M. Noor. 2008. Profil sosial ekono mi dan kele mbagaan petani di Dadahup, Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Nasional Padi di Su ka mandi, tgl 23-24 Juli 2008

Sabiha m, S., S.D. Tarigan, Hariyadi, I. Las, F. Agus, Sukarman, P. Setyanto and Wahyunto. 2012. Organic carbon storage and Management strategies in reducing carbon emission from peatlands. Pedologist (2012):246-254.

Sabiha m, S. 2000. Kadar a ir kritis gambut Kalimantan Tengah dalam ka itannya dengan kejad ian ke ring tida k-balik. J. Tanah Trop. 11:21-30.

Soil Survey Staff. 2003. Keys to Soil Ta xono my. Ninth Edition. Natural Resources Conservation Service. United States Dapart ment of Agricultura l.

Stevenson, F.J. 1994. Hu mus chemistry. Genesis, composition, reaction. A Wildey -Inter science Publ. 2nd Ed ition. NY.

Sukarman, Suparto, Hikmatullah, dan M. Ariani. 2011. Identifikasi dan Karakterisasi Tanah Ga mbut Sebagai Dasar Mitigasi Emisi Gas Ru mah Kaca Di Perkebunan Kelapa Sa wit. Laporan Penelitian Kerjasama BBSDLP dengan Ke menriste k. Ba lai

(31)

Pertanian.

Tropenbos International – Indonesia. 2012. Ka jian penggunaan lahan gambut di Indonesia: Perke mbangan pembangunan kebun kelapa sawit pada lahan gambut di Indonesia. Bahan presentasi pada Seminar Nasional “ Lahan Ga mbut: Maslahat atau Mudharat?” yang diselenggarakan oleh FORWATAN di Jakarta, pada tgl. 15 Maret 2012.

USEPA, United State Environ mental Protection Agency. 1990. Greenhouse gas measure ment fro m agricu lture

Wahyunto, S. Ritung, Suparto, and H. Subagjo. 2005. Peatland distribution and its C content in Sumatra and Kalimantan. Wetland International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada. Bogor, Indonesia.

Wahyunto, S. Ritung, Suparto, and H. Subagjo. 2004. Map of peatland distribution and its C content in Kalimantan. Wetland Int’l – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada. Bogor, Indonesia.

WWF. 2008. Deforestation, forest degradation, biodiversity loss and CO2 emissions in

(32)
(33)

DILEMA DAN RASIONALISASI KEBIJAKAN

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK AREAL

PERTANIAN

Irsal Las, Muhrizal Sarwani, Anny Mulyani, dan Meli Fitriani Saragih

Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114 ([email protected])

Abstrak. Ju mlah penduduk yang terus meningkat dengan laju pertumbuhan 1,5% per tahun, perlu diikut i oleh pertambahan luas baku lahan agar swasembada beras dapat dipertahankan dan mendorong terwujudnya swasembada pangan lainnya. Namun, hal tersebut sulit dicapa i karena berbagai faktor d i antaranya rendahnya kepemilikan lahan per kapita, konversi lahan pertanian produktif terutama lahan sawah me mjadi non pertanian, dan terbatasnya cadangan lahan di tanah minera l (se mpit dan terpencar). Oleh karena itu, untuk me menuhi kebutuhan pangan tersebut diperlukan alternatif la in yaitu lahan rawa termasuk ga mbut. Total lahan rawa sekitar 33 juta ha, dan 14,9 juta ha di antaranya me rupakan lahan ga mbut. Pesatnya pertumbuhan lahan perkebunan sekitar 10 juta ha dala m kurun waktu 20 tahun (1986-2006), teruta ma ke lapa sawit, dan 19% di antara perkebunan sawit tersebut berada di lahan ga mbut. Lahan rawa a kan men jadi tu mpuan harapan sebagai lahan cadangan pertanian mendatang karena me mpunyai kawasan hamparan yang cukup luas dan dapat d ike mbangkan baik untuk pengembangan pertanian pada skala ko me rsial maupun konvensional, serta jelasnya kepemilikannya (sebagian besar tanah Negara, berupa hutan produksi konversi). Dile manya, di satu sisi tuntutan pemanfaatan lahan rawa untuk berbagai sekt or semakin besar, di sisi la in Indonesia didesak untuk tidak me mbuka lahan pertanian baru dari lahan yang bervegatasi hutan atau lahan rawa (ga mbut). Oleh karena itu, perlu solusi yang bijaksana untuk menengahi dile ma tersebut dengan berbagai upaya pengelo laan lahan gambut yang berkelanjutan serta pemilihan jenis ko moditas yang sesuai dengan peruntukannya, dengan me mpe rtimbangkan berbagai perangkat peraturan pe merintah yang berlaku.

PENDAHULUAN

Tingginya laju peningkatan emisi (pe lepasan) gas rumah kaca (GRK) ke at mosfer yang dipicu oleh berbagai aktivitas manusia, telah menyebabkan terjadinya pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim. GRK yang umumnya terdapat dalam bentuk CO2

(karbon dio ksida), N2O (din itrogen oksida), dan CH4 (metana) be rasal dari kegiatan di

berbagai sektor seperti kehutanan, energi, industri, pertanian, limbah dan transportasi serta kegiatan yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan.

United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC, 2006) mencatat bahwa pada tahun 2000 e misi GRK Indonesia diperkira kan sebesar 1,4 G ton CO2e. Dari angka itu, 0,39 G ton diperkira kan berasal dari lahan gambut. Tanpa adanya

upaya untuk menurunkan e misi GRK atau dikenal sebagai business as usual (BAU), e misi

(34)

GRK dari lahan gambut pada tahun 2020 a kan meningkat leb ih dari t iga ka li lipat dari total emisi sebesar 2,95 G ton CO2e. Peningkatan e misi GRK a kibat pengelolaan lahan

gambut yang tidak tepat ini akan men jadi ancaman serius bagi sumber penghidupan masyarakat loka l, fungsi daerah aliran sungai, serta berbagai bentuk keanekaragaman hayati.

Tanah gambut menyimpan dan menyerap karbon dala m ju mlah yang tinggi. Set iap ketebalan 1 meter ga mbut dapat menyimpan karbon sekitar 500 ton ha-1. Dari sekitar 14 juta ha lahan gambut yang ada dewasa ini, dua pertiga di antaranya termasuk dangkal (<2 meter) dan 34% lainnya berupa gambut agak dalam sampai dala m dengan ketebalan >2 meter. Bio massa bawah tanah (below-ground) di lahan gambut 10-15 ka li lebih besar dari biomassa atas tanah (above-ground). Konversi lahan gambut ke penggunaan lain (deforestasi disertai drainase) akan menyebabkan perubahan keseimbangan karbon di dala m tanah akibat terhentinya pembentukan ga mbut karena hilangnya suplai bahan organik dari tana man di atasnya, dan menin gkatnya emisi karbon me la lui proses dekomposisi ka rena terbukanya lahan dan drainase (Agus et al. 2007).

Emisi dan penambatan karbon pada lahan gambut berlangsung secara simu ltan, namun besaran masing-masing bergantung keadaan alam dan akt ivitas manusia. Da la m keadaan hutan alam yang pada umu mnya jenuh air (suasana anaerob), penambatan (sekuestrasi) karbon berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi. Ka rena itu gambut tumbuh dengan kecepatan antara 0-3 mm tahun-1 (Parish et al. 2007). Pada tahun-tahun terjadinya ke marau panjang, misalnya tahun El -Nino, ke mungkinan besar gambut tumbuh negatif (menipis) ka rena lapisan permukaannya berada dalam keadaan tidak jenuh (aerob) dala m waktu yang cukup lama sehingga emisi karbon lebih cepat daripada penambatan.

Pe manfaatan lahan gambut untuk pertanian menghadapi dilema , di satu sisi lahan gambut diperlu kan untuk me menuhi kebutuhan dan ketahanan pangan, pengembangan bio-energi, dan pertu mbuhan ekonomi teruta ma ko moditas ekspor. Di sisi la in, Indonesia mendapat desakan agar tidak me mbuka lahan hutan dan gambut untuk mengurangi emisi GRK. Se mentara itu, ketersediaan lahan potensial dari lahan mineral se makin terbatas karena tingginya persaingan dan kompetisi pe manfaatan lahan dan konflik kepentingan untuk berbagai sektor. Oleh karena itu, lahan rawa menjad i salah satu alternatif cadangan lahan di masa yang akan datang.

Pesatnya pengembangan lahan perkebunan dalam 20 tahun terakhir, yaitu dari 8,77 juta ha pada tahun 1986 menjadi 18,5 juta ha pada tahun 2006 (BPS, 1986-2006). Da la m kurun waktu tersebut, kelapa sawit merupakan ko moditas primadona yang mendominasi pemanfaatan lahan pertanian, yaitu dari 0,6 juta ha menjadi 6,3 juta ha. Pe mbukaan hutan gambut untuk pengembangan perkebunan, terutama ke lapa sawit, pad a u mu mnya dila kukan dengan cara tebas bakar yang menghasilkan CO2 sebanyak 1.400 juta ton dan

(35)

Hoojie r et al. (2006) yang telah me laku kan analisis dan pendugaan emisi karbon lah an gambut di Indonesia, emisi tahunan CO2 lahan gambut berkisar antara 1.400 sa mpai

4.500 juta ton dengan nilai tengah sekitar 3.000 juta ton. Na mun nila i pendugaan ini masih me mpunyai tingkat ketidak pastian yang sangat besar (sekitar 60 -70% ).

Perubahan iklim yang telah dan akan terus terjad i, dapat mengancam pe mbangunan sekor pertanian, apalagi jika tidak d ila kukan upaya mit igasi. Da mpa k negatif perubahan iklim jauh lebih besar daripada dampak positifnya. Bagi sektor pertanian upaya adaptasi men jadi prioritas utama yang harus dilakukan, teruta ma dala m upaya menyela matkan dan menga mankan ketahanan pangan nasional serta berbagai sasaran pembangunan pertanian lainnya, sebagaimana tere kpresikan pada e mpat sukses pembangunan pertanian.

Sela in mendukung komit men internasional untuk menurunkan emisi gas ru mah kaca, upaya mit igasi pada sektor pertanian juga diperlukan untuk mendukung upaya adaptasi. Pada sektor pertanian, lahan gambut merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca (GRK) yang sangat menonjol, oleh sebab itu, pengelolaan lahan ga mbut men jadi sangat strategis dan penting dalam menurun kan e misi GRK pada sektor pertanian.

Indonesia termasuk negara yang me mpunyai lahan gambut terluas yaitu sekitar 14,9 juta ha dan cadangan karbon berkisar antara 26 -39 Giga Ton (37-55 Giga ton), tersebar di Sumatra , Ka limantan, dan Papua. Dala m keadaan ala mi, hutan gambut mengala mi proses dekomposisi yang menghasilkan gas rumah kaca (GRK) secara perlahan, sehingga emisi yang dihasilkannya relatif seimbang bahkan lebih rendah dibandingkan dengan penyerapan CO2 oleh vegetasi alami sehingga hutan gambut

berperan sebagai penyerap (sink) karbon. Meski de mikian, cadangan karbon dalam tanah gambut bersifat labil, yakni sangat mudah teremisi jika terjadi gangguan terhadap kondisi ala minya.

Makalah ini menyajikan status dan keragaan sumberdaya lahan untuk pertanian di Indonesia, strategi dan kebijakan peme rintah dala m pemanfaatan lahan gambut, serta peluang pemanfaatan lahan gambut di Indonesia.

KERAGAAN SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN

Perkembangan lahan pertanian

Indonesia dengan luas wilayah sekitar 188,2 juta ha, sebagian telah dimanfaa kan untuk usaha pertanian dan perkebunan yaitu seluas 70 juta ha yang terdiri dari pekarangan, tegalan, sawah, perkebunan, kayu -kayuan, dan lahan sementara tidak diusahakan (Tabel 1). Dari luasan tersebut, sekitar 45 juta ha yang efektif dan produktif

(36)

untuk menghasilkan produk pangan utama beras, jagung, kedelai dan tebu, yaitu dari lahan sawah seluas 7,9 juta ha dan tegalan seluas 15,6 juta ha. Na mun, penciutan lahan sawah akibat alih fungsi lahan sawah produktif men jadi lahan non pertanian, dengan laju 50.000-70.000 ha per tahun, dapat mengancam ketahanan pangan nasional, apabila t idak diimbangi dengan perluasan areal sawah baru.

Tabel 1. Pe rke mbangan lahan pertanian periode tahun 1986-2006 (BPS, 1986-2006)

Penggunaan lahan 1986 1991 1996 2001 2006 - ha - Pekarangan 4.547.565 4.961.901 5.291.375 5.133.525 5.357.596 Tegalan 11.267.280 11.727.397 11.562.812 12.511.963 14.614.144 Pd. Rumput 2.419.121 2.105.032 1.953.085 2.034.933 2.432.113 Kolam 325.834 461.180 622.360 588.718 778.939 Lahan terlantar 8.092.351 7.700.806 7.335.586 9.164.509 11.341.757 Kayu-kayuan 9.198.354 10.227.368 9.446.070 9.895.527 9.303.625 Perkebunan 8.036.275 10.860.351 14.488.415 19.229.836 18.489.589 Sawah 7.762.032 8.214.978 8.519.110 7.491.159 7.885.878 Jumlah 51.648.812 56.259.013 59.218.813 66.050.170 70.203.641

Keterangan: Luas penggunaan lahan tidak termasuk Papua dan Maluku (tidak tersedia data)

Dilema Pe manfaatan Lahan Gambut untuk Pertani an

Perke mbangan perkebuan ko moditas sawit dan karet se makin pesat karena menghasilkan keuntungan finansial yang jauh lebih tinggi dibanding komod itas pertanian lainnya, terutama untuk wilayah dengan kepadatan penduduk yang rendah seperti di Sumatera , Ka limantan, dan Papua. Oleh sebab itu, sejak lebih dari 20 tahun terakhir, kedua ko moditas tersebut menjadi usahatani pilihan utama bagi petani dan pengusaha swasta/investor. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1986 luas lahan perkebunan sekitar 8,77 juta ha sedangkan pada tahun 2006 men ingkat menjad i 18,5 juta ha. Dala m kurun wa ktu tersebut, kelapa sawit merupakan ko moditas primadona yang mendominasi pemanfaatan lahan pertanian, yaitu dari 0,6 juta ha menjad i 6,3 juta ha (Ga mbar 1). Pe rtumbuhan tertinggi terjad i di Pulau Su matera dan Ka limantan (BPS, 1986-206). Pesatnya perluasan areal perkebunan sawit dan karet tersebut menyebabkan dinamika perubahan penggunaan lahan juga sangat cepat.

Pesatnya pengembangan komoditas perkebunan tersebut, mendorong untuk me mbu ka lahan sub optimal termasuk gambut. Sasaran pembukaan lahan yang semula ditujukan pada lahan minera l yang subur telah beralih kepada lahan gambut yang fragil dan beresiko terhadap sumberdaya dan lingkungan, teruta m e misi GRK. Hal tersebut didorong oleh makin terbatasnya lahan minera l dengan luasan yang me madai untuk skala usaha kome rsial dan ekonomis, serta ko mp leksitas permasalahan yang dihadapi (land

(37)

kelapa sawit termasuk layak dan tetap me mberikan keuntungan bagi petani atau pengusaha. Dewasa ini diperkirakan sekitar 19% dari total luas perkebunan kelapa sawit berada di lahan ga mbut.

Ga mbar 1. Perke mbangan lahan pertanian periode 1986 -2006

Walaupun sebagian kawasan gambut yang dimanfaatkan untuk perluasan areal perkebunan tersebut merupakan lahan yang selama in i “terlantar/terdegradasi”, tetapi perluasan tersebut dan dengan berbagai argumentasi dan kepentingan, telah menuai kritik dan me munculkan pole mik dala m ko munikasi internasio nal, baik o leh negara maju maupun oleh LSM.

Untuk wilayah yang sebagian besar wilayahnya gambut seperti Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Muara Ja mb i-Ja mb i, Pulang Pisau, Ka limantan Tengah, maka pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian merupakan kebu tuhan mutla k yang tidak bisa dihindari. Oleh ka rena itu, perlu diupayakan dengan berbagai cara bagaimana menge mbangkan pertanian di lahan ga mbut yang tetap menjaga ke lestarian lingkungan dan dapat menekan e misi GRK.

Ke butuhan lahan per tanian

Untuk me menuhi kebutuhan beras dan bahan pangan nasional sampai dengan tahun 2025, Indonesia me merlukan ta mbahan luas baku lahan sawah sekitar 2,295 juta ha

(38)

dan sekitar 6, 083 juta ha menjelang tahun 2050, itupun tidak akan mencukupi kebutuhan pangan, sehingga diperlukan tambahan luas baku lahan kering yang lebih luas lagi yaitu 5,875 juta ha. Sela in itu, untuk me mpe rtahankan laju pertu mbuhan ekonomi khususnya ko moditas ekspor (perkebunan dan hortikultura), dibutuhkan tambahan luas baku lahan sekitar 250.000-350.000 ha tahun-1 dan sampai dengan tahun 2025, diperlukan sekitar 4-6 juta ha (Ritung et al. 2010; Mulyani dan Hidayat, 2010).

Kebutuhan lahan untuk me menuhi pangan pada tahun 2025 tersebut, sudah pasti akan me manfaatkan lahan-lahan yang tersedia termasuk lahan rawa, baik itu rawa pasang surut, rawa lebak, maupun gambut. Dengan adanya Undang -undang No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berke lanjutan (PLPPB) diharap kan dapat mengurangi laju konversi lahan. Konversi lahan tidak hany a terjadi dari lahan sawah men jadi lahan non pertanian tetapi juga dari lahan sawah men jadi lahan perkebunan.

Sebagai ilustrasi, di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Ja mb i, total sawah sekitar 41.000 ha, dan konversi lahan sawah ke perkebunan sawit sekitar 2.000 ha per tahun. Untuk mene kan la ju konversi tersebut dan melindungi pertanian pangan, Pemda Kabupaten Tanjung Jabung Timur telah menetapkan sekitar 17.000 ha lahan sawah yang dilindungi, dengan me mberikan insentif untuk lahan sawah tersebut se perti perbaikan tata air mikro, ja lan usaha tani, dan bantuan saprodi (Bappeda Tanjung Jabung Timur, 2012). Apabila seluruh kabupaten sudah me mpunyai target dan menetapkan luasan lahan sawah yang akan dilindungi dari konversi lahan, ma ka konversi lahan dap at diperla mbat.

POTENSI DAN PROSPEK PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK

PERTANIAN

Total luas lahan ga mbut di Indonesia cukup besar yaitu sekitar 14,9 juta ha, dengan penyebaran terluas berada di pantai timur Pulau Su matera (Provinsi Su matera Selatan, Jamb i, Riau), Ka limantan (Ka limantan Tengah dan Kalimantan Barat) dan Papua (Papua dan Papua Barat), seperti disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan keda la man gambutnya, sebagian besar termasuk ke las D1 (dangkal) < 100 c m, agak dala m (100 -200 c m), da la m (200-400 c m) dan sangat dalam (> 400 c m). Di Su matera dan Ka limantan, penyebaran gambut dengan kedalaman dangkal, agak dala m, dala m dan sangat dalam menyebar me rata, sedangkan di Papua dan Papua Barat, sebagian besar bergambut dangkal (BBSDLP, 2011).

Lahan gambut yang mempunyai ketebalan gambut dangkal (< 100) u mu mnya sesuai untuk pengembangan pertanian tanaman pangan dan hortikultura se musim (sayuran dan buah). Secara agronomis (produktivitas) dan secara ekonomis, sekitar 25-35% lahan gambut cukup potensial dan sesuai untuk pengembagan pertanian. Kelebihan la in dari pemanfaatan lahan ga mbut ini ada lah tersedia dala m ka wasan dan hamparan yang cukup

(39)

lahan gambut layak d ike mbangkan untuk pengembangan pertanian. Fa kta di lapangan saat ini sekitar 15-20% lahan gambut telah dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian, terluas untuk kelapa sawit, yang umumnya sangat produktif dan menguntungkan petani. Fakta la in menunjukkan bahwa, sebagian lahan gambut ini sudah dibuka dan saat ini sebagian berupa lahan terlantar (sema k be lukar dan reru mputan) yang secara ekonomis tidak me mpunyai nila i ta mbah (4,5 juta ha). Apabila lahan tersebut dimanfaatkan untuk perkebunan yang me mperhatikan aspek lingkung an, maka pe manfaatan lahan gambut tersebut akan me mberikan keuntungan dan me mpunyai nilai ta mbah ekonomis bagi penggarapnya.

Tabel 2. Luas dan sebaran lahan gambut menurut kedala man d i Indonesia

Pulau Kedalaman gambut Total

D1 D2 D3 D4 Ha % Sumatera 1.767.303 1.707.827 1.242.959 1.718.560 6.436.649 43.2 Kalimantan 1.048.611 1.389.813 1.072.769 1.266.811 4.778.004 32.1 Papua 2.425.523 817.651 447.747 0 3.690.921 24.8 Total 5.241.438 3.915.291 2.763.475 2.985.371 14.905.574 100.0 Sumber: BBSDLP (2011)

Dengan semakin meningkatnya ju m; lah pendudduk, ma ka untuk me menuhi kebutuhan pangan, bioenergi, pertumbuhan ekonomi, mut lak me merlukan perluasan areal pertanian, dimana tu mpuan utamanya adalah di lahan rawa termasuk ga mbut. Dile ma, di satu sisi lahan gambut perlu dipertahankan untuk tidak dibuka ( moratoriu m), ka rena adanya isu pemanasan global akibat peningkatan emisi GRK da ri pe mbukaan lahan gambut, di sisi la in kebutuhan lahan untuk berbagai sektor sema kin men ingka t. Oleh sebab itu, pemanfaatan sumberdaya lahan ke depan harus berazas skala prioritas dengan me mpe rtimbangan berbagai aspek teknis, non teknis, ekono mis, dan lingkungan.

STRATEGI DAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT

BERKELANJUTAN (PLGB)

Berdasarkan uraian d i atas, untuk pengembangan lahan gambut secara berkelanjutan diperlukan beberapa strategi sebagai berikut:

1. Untuk usaha pertanian tanaman pangan dan perkebunan yang berkelanjutan, sebaiknya mengikuti Permentan No. 14/ 2009 d imana ketebalan ga mbut yang diizinkan utnuk dibuka adalah yang kurang dari 3 m. Meskipun secara agronomis dan ekonomis, ketebalan lahan gambut > 3 m pertu mbuhan tanaman dan hasil tanaman masih menguntungkan, hanya saja dari segi lingkungan dan dampaknya ke depan,

Gambar

Tabel 1.   Pe manfaatan lahan untuk perkebunan kelapa sawit d i Su mate ra, Kalimantan  dan Papua *]
Tabel 5.   Emisi CO 2  dari lahan ga mbut di beberapa perkebunan kelapa sawit di  Kalimantan Ba rat dan Ka limantan Tengah [IPB-BBSDLP, 2011]
Tabel 1. Pe rke mbangan lahan pertanian periode tahun 1986-2006 (BPS, 1986-2006)   Penggunaan  lahan  1986  1991  1996  2001  2006 - ha -  Pekarangan  4.547.565  4.961.901  5.291.375  5.133.525  5.357.596  Tegalan  11.267.280  11.727.397  11.562.812  12.51
Tabel 2. Luas dan sebaran lahan gambut menurut kedala man d i Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ekologi dilakukan pada empat jenis penggunaan lahan yaitu hutan primer, hutan sekunder karet, perkebunan karet, dan perkebunan kelapa sawit yang

Saat ini tanaman kelapa sawit dan karet masih menjadi unggulan sekaligus andalan komoditas perkebunan ProvinsiJambi. Dinas perkebunan Provinsijambi melakukan pelbagai

PT Perkebunan Nusantara XIV mengusahakan komoditas tebu, kelapa sawit, karet, ubi kayu, kelapa dan ternak dengan hasil produk gula, tetes, CPO, Palm Kernel, karet kering,

Jadi, produksi komoditas pertanian merupakan hasil proses dari lahan pertanian dalam arti luas berupa komoditas pertanian (pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan,

Bagi pemilik perkebunan tumbuhan bawah pada lahan kelapa sawit menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan kelapa sawit baik pada tanah gambut maupun tanah

penting, yaitu kondisi lahan gambut yang terbuka terutama pada kelapa sawit muda, adanya aplikasi pupuk N untuk menopang pertumbuhan kelapa sawit dan temperatur yang

ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL LAHAN SUBOPTIMAL TAHUN 2020 ISBN: 978-979-587-903-9 Tema: “Komoditas Sumber Pangan untuk Meningkatkan Kualitas Kesehatan di Era Pandemi

iii PROSIDING SEMINAR NASIONAL LAHAN SUBOPTIMAL TAHUN 2018 ISBN: 978-979-587-801-8 Tema: “Tantangan dan Solusi Pengembangan PAJALE dan Kelapa Sawit Generasi Kedua Replanting