Lahan ga mbut me rupakan bagian dari lahan rawa . Widjaya Adhi et al. (1992) dan Subagyo (1997) mendefinisikan lahan rawa sebagai lahan yang menempati posisi peralihan di antara daratan dan sistem perairan. Lahan ini sepanjang tahun atau selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air (waterlogged) atau tergenang. Menurut Peraturan Peme rintah No. 27 Tahun 1991, lahan rawa adalah lahan yang tergenang air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase ala miah yang terhambat dan me mpunyai ciri-c iri khusus baik fisik, kimia wi maupun biologis. Lahan rawa d ibedakan menjad i: (a) ra wa pasang surut/rawa pantai, dan (b) rawa non pasang surut/rawa pedala man (Keputusan Menteri PU No 64 /PRT/1993).
Berdasarkan sistem taksonomi tanah USDA, tanah gambut disebut Histosols (histos = tissue = jaringan), sedangkan dalam sistem klasifikasi tanah nasional, tanah gambut disebut Organosols (tanah yang tersusun dari bahan organik). Hardjo wigeno dan Abdullah (1987) mendefinisikan tanah gambut sebagai tanah yang terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Tanah gambut mengandung maksimu m 20% bahan organik (berdasarkan berat kering), apabila kandungan bagian zarah berukuran clay (< 2 mikron) mencapai 0% , atau ma ksimu m 30% bahan organik, apabila kandungan clay 60%, ketebalan bahan organik 50 c m atau lebih. Definisi yang digunakan dala m Penje lasan Peraturan Menteri Pe rtanian No. 14 tahun 2009.
Penyebaran tanah gambut biasanya mengikuti pola landform yang terbentuk diantara dua sungai besar, diantaranya berupa dataran rawa pasang surut dan dataran gambut, dan kubah gambut (dome). Posisi relatif landform tersebut terletak di bela kang tanggul sungai (levee), u mu mnya me rupakan rawa bela kang sungai (back swamp). Tanah gambut yang menyebar langsung di belakang tanggul sungai dan dipengaruhi oleh luapan air sungai disebut gambut topogen. Sedangkan yang terletak jauh di pedalaman dan hanya dipengaruhi oleh air hujan biasa disebut gambut ombrogen.
Penyusunan peta gambut tidak terlepas dari data/informasi geologi/litolog i, data ini didapat dari peta geologi. Walaupun geologi Indonesia, tidak dapat secara jelas
me mbe rikan gambaran stratigrafi dari lapisan yang tergolong tanah gambut, tetapi gambut terletak d i kawasan yang berlitolog i beru mur re latif baru (resent). Dala m u mur geologinya masih me rupakan bagian era kuarter (Quartairnary), yang masih berada < 10.000 tahun.
Sebaran lahan gambut dipengaruhi letak dan cara pembentuka nnya. Pembentukan tanah gambut terbentuk dan tersusun dari bahan organik. Tanah ga mbut terbentuk dari beberapa unsur pembentuk tanah yaitu iklim (basah), topografi (datar–cekung), organisma (vegetasi-tanaman penghasil bahan organik), bahan induk (bahan min era l pendukung pertumbuhan gambut) dan waktu. Tanah ga mbut dapat terbentuk asalkan ada air. Daerah tropis yang panas dengan evapotranspirasi yang cukup tinggi seperti di Indonesia dan Malaysia mendukung terbentuknya gambut. Di ce kungan -cekungan kecil tanah organik dapat terakumulasi, sa mpai men jadi tu mpukan lapisan bahan organik, sa mpai men jadi tanah organik atau me menuhi persyaratan sebagai tanah organik atau tanah gambut. Cekungan terjadi d iatas formasi batuan atau lapisan sedimen yang diendapkan pada berbagai masa geologi yang lalu. Pe rubahan relie f diatas lapisan sedimen ini, sejalan dengan masa regresi pemunduran (retreat) laut terhadap daratan atau naiknya permu kaan daratan turunnya permukaan laut.
Kebanyakan cekungan terbentuk sesudah za man Holocene pengisian depresi atau kola m-ko la m o leh bahan organik yang kadang mengala mi proses pembasahan dan pengeringan, perombakan bahan organik, dari bahan yang kasar menjadi bahan organik yang me mpunyai ukuran yang lebih kec il. Kondisi in i me mungkinkan terjadinya ga mbut topogen. Ga mbut topogen atau gambut air tanah, berbeda dengan gambut ombrogen atau gambut air hujan. Ga mbut topogen, terbentuk karena pengaruh dominan topografi, dimana vegetasi hutan yang menjadi su mber bio mas bahan gambut, tumbuh dengan me mperole h unsur hara dari air tanah dan masih mendapatkan pengkayaan dari luapan air sungai di sekitarnya. Ga mbut o mbrogen mene mpati bagian agak di tengah dan pusat suatu depresi yang luas, dan umumnya me mbentuk kubah gambut (peat dome).
Sifat dan karakteristik fisik lahan ga mbut ditentukan oleh dekomposisi bahan itu sendiri. Kerapatan lindak atau bobot isi (bulk density: BD) gambut umu mnya berkis ar antara 0,05 sampai 0,40 g c m-3. Nila i kerapatan lindak ini sangat ditentukan oleh tingkat pelapukan/dekomposisi bahan organik, dan kandungan minera lnya (Kyuma , 1987). Hasil kajian Driessen dan Rohimah (dala m Kyu ma, 1987) tentang porositas gambut yang dihitung berdasarkan ke rapatan lindak dan berat jen is adalah berkisar antara 75-95%. Dala m Ta ksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah gambut atau Histosols diklasifikasi kedala m 4 (e mpat) sub-ordo berdasarkan tingkatan dekomposisinya yaitu : Folists-bahan organik belu m te rdeko mposisi di atasnya batu-batuan, Fibrists – sebagian besar bahan organik belum melapuk (fibrik) dengan BD < 0,1 gra m/c m3, He mists- bahan organik sebagian telah me lapuk (he mi-separuh) dengan BD 0,1-0,2 g c m-3 dan Saprists – hampir seluruh bahan organik telah melapuk (saprik) dengan BD >0,2 gra m c m-3.
lokasi di Su matera, menunjukkan bahwa kerapatan lindak tanah gambut bervariasi sesuai dengan tingkat dekomposisi bahan organik dan kandungan bahan minera l. Tanah gambut dengan kandungan >65% bahan organik (>38% C-organik) me mpunyai ke rapatan lindak untuk jenis fibrik 0,11-0,14 g c m-3, untuk hemik 0,14-0,16 g c m-3, dan untuk saprik 0,18-0,21 g cm-3. Bila kandungan bahan organik antara 30-60%, ke rapatan lindak untuk jenis hemik adalah 0,21-0,29 g c m-3 dan untuk saprik 0,30-0,37 g c m-3.
Ga mbar 1. Posisi kubah gambut pada suatu fisiografi sebelum dibuka (1a ) dan setelah dibuka (1b)
Ga mbar 2. Posisi sebaran gambut dala m Sekuen kea rah sungai
Gambar 1b
Oleh karena lahan gambut jenuh air dan ’longgar’ dengan BD rendah (0,05– 0,40 g/cm3), ga mbut me mpunyai daya dukung beban atau daya tumpu (bearing capacity) yang rendah. Akibat dari sifat ini jika tanah gambut dibuka dan mengalami pengeringan karena drainase, gambut akan ’kempes’ dan diwujudkan dalam bentuk ’subsidence’, atau penurunan permukaan tanah gambut. Kecepatan penurunan gambut cenderung lebih besar pada gambut dalam. Pe rbandingan terhadap tebal gambut sebelum pe mbukaan hutan (1969) dengan keadaan setelah delapan tahun pembukaan (1977) telah dikaji di Delta Upang, Su matera Se latan oleh Cha mbers (1979). Ia menyimpulkan bahwa ga mbut dangkal (30-80 c m) setelah pembukaan selama 8 tahun di daerah ini mengala mi penurunan antara 2-5 c m per tahun. Daerah yang mengalami penurunan terbesar adalah daerah yang digunakan untuk pertanian intensif. Mutalib et al. (1991) da la m kajiannya di Malaysia, melaporkan bahwa gambut sangat dalam (5,5 dan 6,1 m) rata-rata penurunannya 8-15 c m per tahun, dan gambut dala m (2 -3 m) sebesar 0,05–1,5 c m per tahun. Faktor-faktor yang me mpengaruhi penurunan permukaan ga mbut tersebut, antara lain, adalah: (1) pembaka ran waktu pembukaan dan setelah panen, (2) oksidasi karena drainase yang berlebihan, (3) deko mposisi dan pengolahan tanah, dan (4) pencucian .