• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT KE DEPAN

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional (Halaman 99-103)

Pengembangan lahan gambut ke depan hendaknya menerapkan beberapa kunci pokok pengelolaan seperti: (1) aspek legalitas yang mendukung pengelolaan lahan gambut. (2) penataan ruang berdasarkan satuan sistem hidrologi gambut sebagai wilayah fungsional ekosistem gambut, (3) pengelolaan air pada lahan gambut, (4) pendekatan pengembangan berdasarkan karakteristik bahan mineral di bawah lapisan gambut, (5) peningkatan stabilitas dan penurunan sifat toksik bahan gambut, dan (6) pemilihan tanaman yang sesuai dengan karakteristik lahan.

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, secara tegas menyebutkan bahwa kriteria kawasan bergambut sebagai kawasan lindung adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3,0 m atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa. Sebenarnya dalam menetapkan kawasan lindung untuk lahan gambut tidak hanya ditentukan oleh ketebalan gambut saja. Bahan tanah mineral yang berada di bawah gambut juga perlu mendapat perhatian. Walaupun gambut tipis (< 3,0 m) tetapi jika lapisan di bawah gambut pasir kuarsa, maka kawasan ini sebaiknya dijadikan kawasan lindung. Sedangkan endapan gambut yang terdapat di atas tanah mineral tua dan muda dapat direkomendasikan untuk pertanian tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan, tetapi harus dilakukan secara hati-hati dan bukan pada pusat kubah gambut.

Kawasan gambut dapat berfungsi sebagai penampung, penyimpan air, dan kemudian mendistribusikannya ke daerah yang berada di sekitarnya. Oleh karena itu, setiap hamparan gambut dapat dijadikan sebagai wilayah fungsional ekosistem gambut yang berfungsi sebagai pengendali banjir, pencegah kekeringan, dan sebagai penyangga untuk terjadinya intrusi air laut. Selain itu sistem jaringan drainase harus didesain secara hati-hati dengan memperhatikan karakteristik ekosistem gambut.

Bahan amelioran Emisi CH4 Hasil padi (t GKG ha-1) (kg ha-1) g C m-2 Tanpa amelioran 758,9 ± 41,12 a 75,9 ± 4,1 5,2 ± 1,15 a Dolomit (5 t ha-1) 493,5 ± 41,09 c 49,3 ± 4,1 5,2 ± 1,34 a Zeolit (5 t ha-1) 695,5 ± 115,03 ab 69,5 ± 11,5 5,0 ± 0,76 a Terak baja (5 t ha-1) 537, 2 ± 16,88 b 53,7 ± 1,7 6,0 ± 0,89 a

PENUTUP

Pembukaan persawahan lahan rawa oleh pemerintah pada awalnya diilhami oleh keberhasilan masyarakat lokal dalam mengembangkan tanaman padi. Lebih kurang 3,0 juta hektar lahan rawa pasang surut telah dibuka oleh masyarakat secara swadaya dan 1,8 juta hektar direklamasi oleh pemerintah pada periode 1970-1990. Kemudian terdapat 1,4 juta hektar yang telah dibuka untuk PLG Sejuta Hektar Kalimantan Tengah, diantaranya sekitar 200-300 ribu hektar sesuai untuk pertanian pangan. Dari keseluruhan lahan rawa yang telah dibuka sekitar 500 ribu hektar adalah lahan gambut yang dapat dijadikan sebagai kawasan pengembangan pertanian tanaman pangan dan hortikultura.

Pengembangan usahatani di lahan rawa gambut menghadapi banyak kendala antara lain pada aspek pengelolaan air dan lahan yaitu: (1) ketinggian genangan atau muka air tanah yang sukar dikendalikan, (2) lapisan pirit dangkal di bawah lapisan gambut, (3) lapisan gambut tebal dan bersifat mentah, (4) intrusi air laut, (5) infrastruktur pendukung yang kurang mendukung atau terbatas, dan (6) kondisi sosial ekonomi dan investasi petani terhadap lahan yang terbatas. Dalam menghadapi isu perubahan iklim maka kegiatan penelitian di lahan gambut perlu ditingkatkan karena masih terbatasnya informasi.

Pengembangan wilayah rawa memerlukan komitmen yang kuat baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, termasuk petani. Salah satu kunci keberhasilan adalah pembinaan, karena umumnya petani kita kebanyakan masih berpendidikan rendah, modal terbatas, orientasi terbatas, dan pengetahuan secara komprehensif terbatas, termasuk pemasaran dan harga yang masih dikuasai pihak luar (pedagang atau pengusaha besar baik dalam sarana produksi maupun hasil produksi). Bidang pertanian sudah lama kehilangan gairah sehingga bagi generasi muda sekarang bidang pertanian tidak menjadi pilihan sebagai bidang usaha, apalagi di lahan gambut yang termasuk tanah bermasalah. Oleh karena itu, dukungan berbagai pihak terutama pemerintah sebagai penggerak pembangunan sangat diperlukan untuk menjadikan bidang pertanian dapat memberikan jaminan kesejahteraan dan kemaslahatan hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F dan I G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: potensi untuk pertanian dan aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor-Indonesia. 36 hal.

Alihamsyah, T., D. Nazemi, Mukhlis, I. Khairullah, H.D. Noor, M. Sarwani, H. Sutikno, Y. Rina, F.N. Saleh, dan S. Abdussamad. 2001. Empat Puluh Tahun BALITTRA: Perkembangan dan Program Penelitian Ke Depan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Badan Litbang Pertanian. Banjarbaru.

tanah gambut dengan ameliorasi. Hlm 319-325. Dalam A. Supriyo et al. (eds.). Pros. Sem. Nas. Pengembangan Lahan Rawa, Banjarbaru 5 Agustus 2008. BB Litbang SDLP-Balitbangda Prop. Kalsel.

Badan Litbang Pertanian. 2010. Program Pengembangan Sistem Pertanian Estate Lahan Rawa Berkelanjutan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta.

BALITTRA, 2003. Lahan Rawa Pasang Surut: Pendukung Ketahanan Pangan dan Sumber Pertumbuhan Agribisnis. Penyusun T. Alihamsyah et al. Balittra Banjarbaru. 53 hal.

Chairunas, Yardha, Adli Yusuf, Firdaus, Tamrin, dan M.N. Ali. 2001. Rakitan Teknologi Budidaya Padi di Lahan Gambut. http://nad.litbang.deptan.go.id/ind/files/rakitan teknologi padi.pdf, diakses pada tanggal 7 Februari 2011.

Dirjentan. 2010. Rumusan hasil Workshop P2BN Dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim 2011.

Furukawa, H. and S. Sabiham. 1985. Agricultural landscape in the lower Batang Hari. Sumatera I: Stratigraphy and geomorphology of coastal swampylands (in Japanese) South Asian Studies. 23(1):3-37.

Hartatik, W. dan Didi Ardi Suriadikarta. 2006. Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut. Dalam Didi Ardi S. et al. (eds.) Karakterisasi dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. 151-180.

Harsono, E. 2010. Optimalisasi pemanfaatan lahan rawa pasang surut. Seminar Sehari, Program Studi Magister Teknik Sipil Pascasarjana Univ. Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarmasin, 12 Juni 2010.

Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Kanisius. Yogyakarta. 174 halaman.

_______. 2007. Laporan Hasil Penelitian Teknologi Peningkatan Produktivitas dan Konservasi Lahan Gambut. Balittra. Banjarbaru.

_______. 2010. Lahan Gambut: Pengembangan, Konservasi, dan Perubahan Iklim. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 212hal.

Noor, M., Yuli Lestari, dan M. Alwi. 2006. Laporan hasil Penelitian Teknologi Peningkatan Produktivitas Lahan Gambut. Balittra. Banjarbaru.

Noor, M dan A. Supriyo. 1991. Peningkatan produktivitas lahan pasang surut dengan perbaikan sistem pengelolaan air dan tanah. Dalam Kinerja Penelitian Tanaman Pangan, Buku 6. Pros. Symp Tanaman Pangan III, 23-25 Agustus 1993. Bogor. Noor, M., A. Hairani, Muhammad, S. Nurzakiah, dan A. Fahmi. 2009. Pengembangan

teknologi pemupukan berdasarkan dinamika hara pada tanaman padi IP 300 di lahan rawa pasang surut. Laporan Hasil Penelitian SINTA 2009. Balittra. Banjarbaru. (Tidak dipublikasi).

Sarwani, M., S. Saragih, K. Anwar, M. Noor, dan A. Jumberi. 1997. Penelitian pengelolaan air, tanah, dan hara di lahan rawa pasang surut. Paper disampaikan pada acara Pra Raker Badan Litbang Pertanian, 2-5 Pebruari 1997. Yogyakarta. Soil Survey Staff. 1996. Keys to Soil Taxonomy. 8th Edition. USDA. Soil Conservation

Services, Washington D.C.

Supriyo, A., M. Noor, dan D. Hatmoko. 2007. Pengelolaan Air Tingkat Petani untuk Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Gambut Pasang Surut. Laporan Hasil I Penelitian. BALITTRA. Banjarbaru.

_____________, 2008. Pengelolaan Air Tingkat Petani untuk Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Gambut Pasang Surut. Laporan Hasil Penelitian. BALITTRA. Banjarbaru.

KLASIFIKASI DAN DISTRIBUSI TANAH GAMBUT

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional (Halaman 99-103)