2,1 juta ha merupakan tanah gambut he mik bersulfat masam (Su lfihe mists), sedangkan tanah gambut fibrik dan gambut saprik masing -masing 8% (1,1 juta ha) dan 12% (1,5 juta ha). Se kitar 8,4 juta ha tanah gambut hemik potensial untuk pertanian. Luas dan penyebaran gambut di masing-masing provinsi di Indonesia yang diperoleh dari hasil ko mpilasi peta tanah tinjau dan eksplorasi Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (2000) disajikan pada Tabel 1.
PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN TANAH GAMBUT DI
INDONESIA
Pe manfaatan tanah gambut hemik dan gambut saprik cukup potensial untuk pertanian, namun perlu kehati-hatian, ka rena bila salah ke lola a kan dapat menimbu lkan kerusakan tanah (sifat tidak balik, subsiden) dan lingkungan (pencemaran dan peningkatan emisi karbon). Tanah ga mbut saprik dangkal (<100 c m) paling cocok untuk pertanian khusu snya untuk tanaman pangan dan hortikultura sayuran dan buah -buahan semusim. Pe mbe rian pupuk anorganik dan ame lioran serta tata kelola air secara tepat akan me mpercepat peningkatan produktivitas tanah gambut secara berkelanjutan. Saat ini pe manfaatan tanah gambut untuk pertanian mulai dibatasi terkait issu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, sehingga harus mengacu kepada INPRES No. 10/2011 dan Pe rmentan No. 14/ 2009.
Tanah gambut me miliki kara kteristik yang sangat berbeda dengan tanah minera l. Tanah gambut alami me miliki sifat hidrofilik dan ma mpu menahan air sampai 13 kali bobot keringnya . Oleh karenanya ga mbut secara fisik le mbe k serta me miliki BD dan daya menahan beban yang rendah (Nugroho et al. 1997). Bila didrainase, lahan gambut akan mengala mi subsiden (penurunan permu kaan), dan potensial mengala mi ke ring tidak ba lik
(irriversible drying) dan bersifat hidrofobik. Karena asam-asam organiknya tinggi maka
tanah gambut me mpunyai t ingkat ke masaman yang tinggi dengan kisaran sekitar p H 3 - 4. Tanah gambut oligotropik di pedala man, banyak dipengaruhi air hujan me miliki tingkat ke masaman leb ih tinggi dibandingkan gambut eutropik di tepi pantai yang dipengaruhi air laut (Sa la mpak, 1999). Tanah gambut di Indonesia umu mnya tergolong gambut kayuan yang bila me lapuk menghasilkan asam-asam fenolat yang bersifat racun bagi tanaman (Sabiha m et al. 1997). Keberadaan asam-asam fenolat in i menjadi kendala utama dala m budidaya tanaman di lahan gambut. Secara inherent, gambut tropis memiliki kandungan
erat dengan proses pembentukannya yang lebih banyak dipengaruhi oleh air hujan.
Tabel 1. Luas dan penyebaran tanah gambut di Indonesia
No Provinsi Fibrists Hemists Saprists Jumlah (ha)
Haplofibrists Haplohemists Sulfihemists Haplosaprists
1 Lampung - 1.171 780 - 1.951 2 Sumsel - 866.737 398.903 178.921 1.444.561 3 Bengkulu - 17.861 10.248 1,660 29.769 4 Jambi - 378.025 94.540 157.476 630.041 5 Riau - 2.321.768 482.734 1.065.112 3.869.614 6 Sumbar - 71.706 18.383 29.420 119.509 7 Sumut - 141.529 74.896 19.457 235.882 8 Aceh - 155.411 66.529 37.078 259.018 9 Kalbar 365.982 1.035.882 297.696 - 1.699.560 10 Kalteng 518.977 1.192.060 275.729 - 1.986.766 11 Kalsel 6.306 93.691 38.788 - 138.785 12 Kaltim 209.582 402.612 10.217 - 622.411 13 Sulut - 5.371 - - 5.371 14 Sulteng - 20.630 9.497 - 30.127 15 Sulsel - 70.846 - - 70.846 16 Sultra - 21.399 - - 21.399 17 Maluku - 24.885 - - 24.885 18 Papua - 1.637.114 374.666 - 2.011.780 Jumlah (ha) 1.100.847 ( 8%) 8.458.698 (64%) 2.153.606 (16%) 1.489.124 (12%) 13.202.275 (100%)
Sumber: Kompilasi data periode 1990-2000
Kawasan gambut sebagai bagian dari ekosistem rawa me miliki mu lti fungsi antara lain fungsi ekonomi, pengatur hidrologi, lingkungan, budaya dan biodiversity. Dari sisi ekonomi lahan gambut adalah sumber pendapatan petani. Dari aspek hidro logi, lahan gambut adalah penyangga hidrologi kawasan untuk menghindari banjir dan ke keringan. Dari segi lingkungan lahan gambut menyimpan cadangan karbon sangat besar yang potensial mengala mi e misi. Se mentara itu dari sisi pelestarian keane ka -raga man hayati, lahan gambut adalah habitat asli beberapa jenis tanaman langka seperti ra min, je lutung rawa serta berbagai jenis burung dan ikan.
Sesuai dengan Keppres No. 32/ 1990 dan Permentan No. 14/ 2009, ga mbut dengan ketebalan <3 m masih bisa digunakan untuk budidaya tanaman dengan syarat tidak masuk dala m kawasan lindung, substratumnya bukan pasir kuarsa dan tingkat kematangannya saprik atau he mik. Untuk ka wasan yang me menuhi syarat tersebut, dalam pe manfaatannya harus tetap berdasarkan pendekatan konservasi. Na mun untuk beberapa daerah yang me miliki lahan ga mbut yang luas, imp le mentasi Keppres tersebut menjad i dile ma ka rena perekonomian daerah dan masyarakatnya sangat tergantung pada lahan gambut. Kasus di
Kalimantan Ba rat menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan petani terhadap lahan gambut rata-rata mencapai 82,89%. Tingkat ketergantungan yang paling tinggi adalah petani karet dan sayuran yaitu masing-masing 91,33% dan 91,21%. Sedangkan petani kelapa sawit dan jagung masing-masing sebesar 80,31% dan 53,68% Ka rena dominannya lahan gambut seperti di Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Pontianak, maka pemanfaatan lahan gambut bukan merupakan p ilihan, me lainkan suatu keharusan. Ekspansi pertanian ke lahan ga mbut dapat dilihat dari perubahan tutupan lahan yang signifikan dapat dia mati dari daerah-daerah yang sangat ekstensif menge mbangkan perkebunan (Tim Sinja k BBSDLP, 2011).
Secara fisik, jika diganggu/dibuka lahan gambut bersifat fragil (ringkih) dan dibutuhkan teknologi dan penanganan yang khusus dan dengan input tinggi. Jika dibuka dan didrainase, terjadi percepatan dekomposisi dan peningkatkan emisi GRK (teruta ma CO2) dengan laju 200 -750 ton CO2e ha-1 akibat deforestasi, gangguan tata air (hidrologi), subsidensi dan ancaman kebakaran lahan. Na mun demikian, disisi lain peningkatan kebutuhan terhadap pangan dan perlunya dukungan sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara siginfikan, dibutuhkan tambahan areal pertanian baru secara progresif 400-650 ribu ha tahun-1 atau sekitar lahan sawah sekitar 2-3,5 juta ha hingga tahun 2035, dan lahan ke ring seluas 6-10 juta. Sekitar 5-6 juta ha lahan potensial tersedia untuk perluasan lahan pertanian adalah lahan gambut. Apalagi pemanfaatan lahan minera l juga me mpunyai beberapa persoalan, seperti konflik dan status kepemilikan, tersebar sporadis dan dalam ha mparan semp it (Tim Sinja k BBSDLP, 2011).
Teknologi pengelolaan lahan ga mbut yang ut ama me liputi pengelolaan air, ame liorasi dan pe mupukan dan pemilihan jenis tanaman yang sesuai. Pe mbuatan saluran drainase mikro sedala m 50 - 100 c m mut lak d iperlukan, kecuali untuk tanaman padi sawah cukup dengan kema lir 20-30 c m. Fungsi drainase adalah untuk me mbuang keleb ihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mengurangi kadar asam-asam organik. Te knologi a me liorasi dan pe mupukan dapat mengatasi kendala ke masa man tanah, unsur beracun dan kahat unsur hara. Ameliorasi diperlukan untuk mengatasi kendala rea ksi tanah masam dan keberadaan asam organik beracun sehingga media peraka ran tanaman menjadi lebih baik. Kapur, tanah minera l, pupuk kandang dan abu sisa pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk men ingkatkan pH dan basa-basa tanah (Subiksa et al. 1997; Sa la mpa k, 1999). Pe milihan ko moditas yang sesuai juga menjadi penentu keberhasilan pengelolaan tanah gambut.
KESIMPULAN
1. Tanah gambut di Indonesia mencapai luasan 13-14 juta ha, u mu mnya jenuh air dan diju mpai atau berasosiasi dengan daerah rawa-rawa yang tersebar terutama di P.
(He mists) dan gambut saprik (Saprists). Tanah gambut hemik sangat dominan penyebarannya di Indonesia dan potensial untuk pengembangan pertanian.
2. Berdasarkan kara kteristiknya, tanah gambut hemik dan gambut saprik dapat dimanfaatkan untuk tujuan pertanian, namun masih perlu kehati-hatian dala m pengelolaannya untuk mencegah kerusakan tanah dan lingkungan. Sedangkan tanah gambut fibrik mengingat tingkat deko mposis i dan daya dukungnya terhadap pertumbuhan tanaman masih sangat rendah maka menjad i tida k sesuai pemanfaatannya untuk pertanian dan sebaiknya diperuntukkan sebagai kawasan konservasi/hutan lindung.
3. Pe manfaatan tanah gambut untuk pertanian ke depan telah mulai dibatasi dengan mengacu kepada Inpres No. 10/2011 dan Kepmentan No 14/2009.
DAFTAR PUSTAKA
Ba lai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP). 2011. Peta Lahan Ga mbut Indonesia Ska la 1:250.000. Do k. BBSDLP Edisi Dese mber 2011.
Nugroho K., G. Gianina zzi, and IPG Wid jaja Adhi. 1997. Peat hydraulic characteristics. International Peat Sy mp . Pa langkaraya. Ed. J Keyzer an d S. Page. Peat and Biodiversity. Sa ma ra Ltd. Published.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia Ska la 1:1.000.000. Badan Litbang Pertanian, Departe men Pertanian Sabiha m, S., TB. Prasetyo, and S. Dohong. 199 7. Phenolic acid in Indonesian peat.
In:Rie ley and Page (Eds). Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Sa mara Publ. Ltd. UK
Sala mpa k. 1999. Peningkatan produktivitas tanah gambut yang disawahkan dengan pemberian bahan ame lio ran tanah minera l berkadar besi tinggi. Disertasi Progra m Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Soil Survey Staff. 2010. Keys to Soil Ta xonomy. 11 th Ed. USDA -Natura l Resources Conservation Service. Washington DC.
Soepraptohardjo, M. 1961. Sistim Klasifikasi Tanah di Bala i Penyelid ikan Tanah. Kongres Nasional Ilmu Tanah I. Bogor.
Subiksa, IGM., Kusumo Nugroho, Sholeh and Widjaja Adhi. 1997. The effect of ame liorants on the chemica l properties and productivity of peat soil. In: Rie ley and Page (Eds). Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Sama ra Publ. Ltd. UK
Suhardjo, H dan M. Soepraptohardjo. 1981. Jenis dan Macam Tanah di Indonesia untuk Keperluan Survei dan Pe metaan Tanah Daerah Transmigrasi. Publ. No. 28/ 1981. Proyek P3MT, Pusat Penelit ian Tanah. Bogor.
Tim Sin jak BBSDLP. 2011. Sintesis Kebijakan Strategi Pe manfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Pembangunan Pertanian. Dok. BBSDLP.