• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Kegunaan Penulisan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengantar atau sebagai pengenalan lebih lanjut mengenai pengembangan ekowisata bahari dan dampaknya bagi ekologi dan sosial-ekonomi nelayan serta pola adaptasi yang dikembangkan nelayan dengan adanya perubahan tersebut. Melalui penelitian ini juga terdapat beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu:

1. Akademisi, di mana penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin mengkaji permasalahan ekologi, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan ekowisata bahari, dampaknya bagi ekosistem dan struktur ekonomi serta struktur sosial nelayan serta pola adaptasi yang dikembangkan nelayan dalam menghadapi perubahan tersebut.

2. Masyarakat, di mana penelitian ini diharapkan dapat berdampak positif bagi masyarakat, khususnya masyarakat pesisir dan nelayan, untuk menambah pengetahuan tentang kajian pengembangan ekowisata bahari yang berada di tempat tinggal mereka.

3. Pemerintah, di mana penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau dijadikan bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan (pemerintah) dalam merencanakan, mengambil keputusan dan membuat kebijakan tentang pemanfaatan wilayah pesisir untuk daerah tujuan wisata dan kesejahteraan nelayan.

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Potensi Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pemanfaatannya

Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.

Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), suatu wilayah pesisir (pantai) memiliki dua batas, yaitu batas yang sejajar garis pantai (long share) dan batas yang tegak lurus dari pantai (cross-share). Penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar garis pantai relatif lebih mudah untuk keperluan pengelolaan. Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) sumberdaya yang dapat pulih seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut serta sumberdaya perikanan laut; (2) sumberdaya yang tidak dapat pulih meliputi seluruh mineral dan geologi (3) jasa-jasa lingkungan seperti fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan perlindungan (konservasi dan preservasi) dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya (Dahuri 2001 dalam Subri 2005).

Pesisir dan laut dikenal sebagai kawasan yang mengandung kekayaan alam potensial untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pemenuhan kebutuhan tersebut diantaranya berasal dari sumberdaya perikanan, sumberdaya mineral dan tambang, sumberdaya bahan obat-obatan, sumberdaya alternatif dari arus dan gelombang, serta sumberdaya alami untuk media transportasi, pertahanan, keamanan dan pariwisata (Mukhtasor 2006). Sumberdaya yang besar ini juga bisa menambah devisa negara dan banyak dilirik oleh pemodal besar. Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pengembangan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional.

Menurut Tuwo (2011) ekosistem pesisir dan laut terdiri dari:

a. Terumbu karang merupakan bangunan kapur besar yang dibentuk dan dihasilkan oleh binatang karang organisme berkapur lainnya sehingga membentuk suatu ekosistem yang kompak sebagai habitat bagi biota-biota laut. Ekosistem karang berfungsi sebagai tempat penangkapan ikan-ikan hias yang sangat digemari oleh para penyelam. Secara ekonomis, berperan sebagai tempat penangkapan ikan, penghasil bahan konstruksi bangunan dan kapur, penghasil obat dan bahan kosmetik serta laboratorium untuk penelitian. Secara ekologis sebagai produser pertama, pelindung pantai dan habitat bagi berbagai biota laut.

b. Ekosistem lamun yaitu satu-satunya angiospermae atau tumbuhan berbunga berdaun, batang dan akar sejati yang telah beradaptasi untuk hidup sepenuhnya di dalam air laut yang seringkali membentuk hamparan tumbuhan lamun yang menutupi suatu area pesisir atau laut dangkal menjadi padang lamun. Berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi memanfaatkan padang lamun sebagai tempat berlindung, memijah dan menghasilkan anak.

c. Ekosistem mangrove adalah hutan pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Manfaat ekonomi yang diperoleh dari mangrove adalah kayu untuk bahan bangunan, kayu bakar, bahan arang, dan bahan pulp. Secara ekologis berfungsi sebagai pelindung pantai dari bahaya tsunami, penahan erosi, perangkap sedimen dan lain-lain.

d. Ekosistem estuaria adalah wilayah pesisir semi tertutup yang berhubungan dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan melalui sungai sehingga air laut yang berkadar garam tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Daerah ini menjadi tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut dan berfungsi sebagai perangkap zat hara, habitat bagi ikan dan udang sehingga dijadikan sebagai tempat penangkapan ikan dan udang, jalur transportasi, pemukiman dan pelabuhan

Rezim kepemilikan sumberdaya pesisir dan laut bersifat akses terbuka (open access), artinya tidak ada pengaturan tentang apa, kapan, dimana, siapa dan bagaimana sumberdaya alam dimanfaatkan, serta bagaimana terjadinya persaingan

bebas (free for all) (Satria 2009). Sumberdaya alam pesisir dan laut semakin disadari banyak orang sebagai potensi yang cukup menjanjikan dalam mendukung tingkat perekonomian masyarakat terutama bagi nelayan. Secara umum, wilayah pesisir dimanfaatkan oleh tiga aktor, yaitu oleh pemerintah, swasta dan juga nelayan.

Biasanya pantai dan pesisir dimanfaatkan oleh nelayan untuk menangkap ikan dan pihak swasta untuk pertambangan, pengilangan minyak, industri, pariwisata, perkapalan dan transportasi. Laut dalam dikuasai negara untuk keperluan konservasi, pertahanan dan keamanan serta kehutanan.

Nelayan memanfaatkan laut dengan menangkap ikan karang, ikan plagis dan ikan demersal. Biasanya mereka tergabung dalam armada kapal dan menggunakan kapal motor untuk memudahkan mereka menjangkau laut yang luas. Teknologi alat tangkap yang digunakan mempengaruhi pendapatan mereka. Nelayan yang menggunakan kapal motor biasanya memiliki pendapatan yang lebih tinggi dari pada nelayan yang menggunakan perahu (Patanda 2006). Masyarakat pesisir mengelola laut memang masih dengan cara tradisional. Mereka menganggap sumberdaya laut disekitarnya adalah milik mereka dan dimanfaatkan untuk kebutuhan ekonomi (Ginting 1998).

Pemerintah juga berperan dalam pemanfaatan SDK untuk budidaya perairan seperti ekstensifikasi dan konversi hutan. Keluarnya UU No. 32/2004 telah memberikan wewenang secara nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah serta kesempatan untuk meningkatkan pembangunan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Otonomi daerah bagi berbagai kabupaten dapat menjadi peluang dalam menumbuhkembangkan pembangunan sumberdaya pesisir karena potensi wilayah pesisirnya yang besar. Provinsi diberi wewenang mengelola sejauh 12 mil laut, sementara kabupaten kota diberi wewenang 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi.

Pemerintah membuat peraturan perundang-undangan baik aturan berupa dorongan investasi atau sanksi-sanksi pelanggaran pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pengalokasian sumberdaya pesisir dengan tetap memperhitungkan daya dukung ekologis. Pengalokasian ini dilakukan dengan menetapkan zona wilayah perlindungan (hutan mangrove, taman laut daerah) dan zona wilayah pemanfaatan. Selain itu,

pemerintah juga berperan dalam menetapkan suatu kawasan konservasi di suatu daerah perairan karena telah terjadi kerusakan lingkungan dan terjadinya overfishing di kawasan tersebut (Masyhudzhulhak 2006).

2.1.2 Pengembangan Ekowisata Bahari

Pengertian pariwisata dalam arti luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Pariwisata telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar masyarakat maju dan sebagian kecil Negara berkembang. Pariwisata kemudian menjadi kanal yang tepat untuk membebaskan masyarakat dari tekanan fisik dan psikis serta semakin berkembang sejalan perubahan-perubahan sosial, budaya, ekonomi, teknologi dan politik (Damanik dan Weber, 2006).

Secara ekonomi, Damanik dan Weber (2006) membagi keberadaan pariwisata muncul dari empat unsur pelaku yang terkait erat, yaitu:

a) Permintaan atau kebutuhan. Unsur penting dalam permintaan wisata adalah wisatawan dan penduduk lokal yang menggunakan sumberdaya wisata. Waktu luang, uang, sarana dan prasarana merupakan permintaan potensial yang harus ditransformasikan menjadi permintaan riil, yakni pengambilan keputusan wisata.

b) Penawaran atau kebutuhan berwisata itu sendiri; yaitu produk dan jasa. Melalui pasar, produk dijual kepada wisatawan seperti hotel, restoran, objek wisata dan lain-lain. Jasa adalah layanan yang diterima wisatawan ketika mereka memanfaatkan produk tersebut, seperti pembersihan kamar, cara penyajian makanan sampai penyediaan informasi.

c) Pasar dan kelembagaan yang berperan untuk memfasilitasi keduanya. Pasar wisata yang faktual adalah unsur-unsur industri, sering juga disebut para pelaku pariwisata yang mempertemukan permintaan dan penawaran produk dan jasa wisata.

d) Pelaku atau aktor yang menggerakkan ketiga elemen tersebut, yaitu wisatawan, industri pariwisata, pendukung jasa wisata, pemerintah, masyarakat lokal dan lembaga swadaya masyarakat.

Objek atau atraksi wisata adalah segala sesuatu yang menarik dan bernilai untuk dikunjungi dan dilihat, yaitu panorama keindahan alam yang menakjubkan seperti gunung, lembah air terjun, danau, pantai, matahari terbit dan terbenam, cuaca dan hal-hal lain yang berkaitan dengan keadaan alam sekitarnya. Objek wisata hasil manusia juga sering digunakan sebagai objek wisata seperti monumen, candi, bangunan klasik, peninggalan purbakala, museum, seni tari, seni musik, agama, adat-istiadat dan lain-lain. Secara singkat, objek atau atraksi wisata adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan alam, kebudayaan, perkembangan ekonomi, politik dan sebagainya. Saat ini, salah satu jenis objek wisata yang sangat digemari adalah keindahan alam seperti laut, gunung, hutan, keanekaragaman flora dan fauna.

Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan wisata khusus yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya alam. Ekowisata juga diartikan sebagai perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (TIES dalam Fandeli 2000). Ada tiga perspektif pandangan terhadap ekowisata yaitu:

a) Ekowisata sebagai produk yang merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam.

b) Ekowisata sebagai pasar yag merupakan perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan.

c) Ekowisata sebagai pendekatan pengembangan yang merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan.

Kegiatan ekowisata apabila dilakukan dengan sangat baik dan terencana, maka akan memberikan keuntungan yang sangat besar bagi masyarakat dan daerah.

Kehadiran wisatawan membawa dampak yang besar bagi kehidupan masyarakat lokal. Potensi kawasan ekowisata menurut Tuwo (2011) dapat berupa (1) peningkatan peluang ekonomi, seperti meningkatkan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, berkembangnya usaha baru dan kerajinan barang lokal dan lain-lain (2) perlindungan sumberdaya alam dan nilai budaya seperti perlindungan ekologis dan keanekaragaman, meningkatnya fasilitas lokal, pengembangan keuangan mandiri, melindungi dan melestarikan budaya-budaya lokal dan lain-lain (3) peningkatan

kualitas hidup seperti estetika, nilai-nilai, pendidikan, pemahaman antar budaya dan mendorong masyarakat lokal untuk menghargai lingkungannya.

Ekowisata bahari merupakan jenis kegiatan pariwisata yang berhubungan dengan sasaran antara lain melihat atau mengamati terumbu karang, berbagai jenis ikan, hewan-hewan kecil di laut yang dilakukan dengan cara antara lain “diving”,

“snorkeling”, dan “swimming”. Kegiatan pariwisata ini harus didukung dengan penyediaan jasa transportasi, kapal pesiar, pengelola pulau kecil, pengelola taman laut, hotel, restaurant terapung, kawasan lepas, pantai, rekreasi pantai, konvensi di pantai dan di laut, pemandu wisata alam dan sebagainya. Kegiatan pariwisata ini juga membutuhkan fasilitas pendukung seperti jasa foto dan video, pakaian, peralatan olahraga, jasa kesehatan dan lain-lain. Konsep wisata pesisir dan bahari didasarkan pada view, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karakteristik masyarakat yang berbeda di setiap daerah (Garrod dan Wilson 2004 dikutip Tafalas 2010).

Potensi ekosistem kawasan Karimunjawa sangat beragam dan unik baik di darat maupun di laut sehingga sangat menarik bagi wisatawan untuk berkunjung.

Aryono (2003) menyatakan bahwa konsep pariwisata yang dikembangkan biasanya mengacu pada jenis pariwisata bahari, seperti yang terdapat di Karimunjawa, yaitu:

1. Kegiatan ekowisata bahari yang dikembangkan yaitu kegiatan berenang dengan menikmati perairan yang jernih dengan panorama pantai berpasir putih.

a. Scuba Diving yaitu kegiatan di perairan yang dapat menikmati prasarana dan keindahan dalam laut, karang, ikan hias, dan lain-lain.

b. Snorkelling yaitu kegiatan di perairan laut dengan menikmati keindahan panorama di bawah permukaan laut.

c. Becak air yaitu kegiatan yang bersifat rekreasi yang tidak membutuhkan keahlian khusus seperti berenang.

d. Ski air, yaitu kegiatan olah raga yang harus diimbangi dengan keterampilan sambil menikmati kegiatan rekreasi.

e. Layar, yaitu kegiatan bersifat atraktif di permukaan laut dengan menggunakan fasilitas kapal layar dan diimbangi dengan menikmati pemandangan alam laut.

2. Kegiatan wisata pantai merupakan wisata pesisir dengan memanfaatkan pantai sebagai objek dan daya tarik wisata, seperti menikmati keindahan alam pantai, olah raga pantai dan sebagainya. Kegiatan yang bisa dikembangkan adalah sebagai berikut.

a. Camping adalah kegiatan wisata yang bersifat menikmati keindahan alam langsung dan dapat mendirikan perkemahan.

b. Jogging adalah kegiatan wisata yang bersifat olah raga seperti lari-lari kecil di pasir putih atau daerah dataran yang sejuk.

c. Berjemur merupakan kegiatan santai di sepanjang pantai sambil menikmati panorama laut.

d. Sand play adalah kegiatan wisata yang menggunakan sarana pasir.

e. Photo hunting merupakan kegiatan yang bersifat atraktif dalam pengambilan dokumentasi dengan latar belakang panorama yang indah.

Perencanaan pariwisata saat ini menjadi agenda yang sangat penting.

Persaingan dalam penawaran produk wisata semakin meningkat. Perilaku wisatawan juga cenderung berubah sesuai dengan perubahan zaman. Hal ini berkaitan juga dengan minat, selera dan kebutuhan wisatawan. Oleh sebab itu perlu ditingkatkan lagi pengembangan perencanaan wisata agar mampu bersaing dengan pihak lain dan tetap memperhatikan kebutuhan konsumen wisata.

Damanik dan Weber (2006) menyatakan bahwa sumberdaya alam dan sumberdaya budaya merupakan kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan dan harus dipelihara agar bisa digunakan lagi di masa mendatang. Pembatasan secara ketat kegiatan eksploitasi dalam pemanfaatan sumberdaya tanpa menyisakan kerusakan lingkungan hidup secara permanen harus diwujudkan dalam program pembangunan. Pembangunan sumberdaya wisata bertujuan untuk memberikan keuntungan optimal bagi pemangku kepentingan wisatawan dalam jangka panjang.

Pariwisata hanya dapat berkelanjutan apabila komponen-komponen subsistem pariwisata, terutama pelaku pariwisata, mendasarkan kegiatannya pada pencarian hasil (keuntungan dan kepuasan) yang optimal. Kegiatan tersebut dilakukan dengan

tetap menjaga semua produk dan jasa wisata berkembang dan lestari dengan sangat baik.

Syarat untuk mencapai pariwisata yang berkelanjutan adalah sebagai berikut.

1. Wisatawan mempunyai kemauan mengonsumsi produk dan jasa pariwisata secara efektif, dalam arti bahwa produk tersebut tidak diperoleh dengan mengeksploitasi secara eksesif sumberdaya pariwisata setempat.

2. Produk wisata didorong ke produk berbasis lingkungan.

3. Kegiatan wisata diarahkan untuk melestarikan lingkungan dan peka terhadap budaya lokal.

4. Masyarakat harus dilibatkan dalam perencanaan, implementasi dan monitoring pengembangan pariwisata.

5. Masyarakat juga harus memperoleh keuntungan secara adil dari kegiatan wisata.

6. Posisi tawar masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya semakin meningkat.

Setiap kegiatan yang dilakukan pasti akan menimbulkan dampak, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Kegiatan ekowisata juga ikut mengakibatkan perubahan ekosistem sebagai basis dari kegiatan tersebut. Hal ini bisa terwujud dalam pencemaran, lingkungan yang tidak bersih, terjadinya penurunan kualitas air dan ikan dan lain-lain.

2.1.3 Perubahan Ekosistem

Masyarakat pesisir kepulauan Indonesia telah mengalami berbagai kontak dengan kebudayaan di luar komunitas mereka sehingga pengetahuan masyarakat semakin berkembang. Namun, pengetahuan dan teknologi peralatan yang cenderung eksploitatif juga ikut berkembang di masyarakat dan dijadikan sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan mereka. Eksploitasi ini mengakibatkan penurunan daya lingkungan alam yang berbanding terbalik dengan tekanan akibat jumlah peningkatan populasi manusia. Kegiatan eksploitasi yang sering terjadi adalah pembuatan lahan pertanian pasang surut, tambak-tambak udang dan ikan serta daerah pertambangan.

Reklamasi pantai untuk dijadikan tempat pemukiman, pabrik, pelabuhan dan lahan

wisata juga semakin banyak dilakukan yang mengakibatkan lahan pesisir semakin banyak kehilangan dukungan bagi keanekaragaman hayati alamiahnya dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat pesisir (Purba 2002).

Aktivitas perekonomian utama yang menimbulkan permasalahan pengelolaan sumberdaya dan lingkungan wilayah pesisir dan lautan, yaitu (1) perkapalan dan transportasi (tumpahan minyak, limbah padat dan kecelakaan); (2) pengilangan minyak dan gas (tumpahan minyak, pembongkaran bahan pencemar, konservasi kawasan pesisir); (3) perikanan (overfishing, pencemaran pesisir, pemasaran dan distribusi, modal dan tenaga keahlian); (4) budidaya perairan (ekstensifikasi dan konservasi hutan); (5) pertambangan (penambangan pasir dan terumbu karang); (6) kehutanan (penambangan dan konservasi hutan); (7) industri (reklamasi dan pengerukan); dan (8) pariwisata (pembangunan infrastruktur dan pencemaran air).

Pekerjaan nelayan dalam memanfaatkan laut dan pesisir dengan memburu ikan juga ikut berkontribusi dalam krisis ekologi pesisir. Hasil tangkapan mereka tidak dapat ditentukan kepastiannya karena semuanya hampir bersifat spekulatif. Masalah resiko dan ketidakpastian (risk and uncertainty) terjadi karena laut adalah wilayah yang dianggap bebas untuk dieksploitasi (open access) (Subri 2005).

Pemanfaatan SDK oleh berbagai aktor membuat ekosistem kawasan pesisir menjadi berubah. Kepemilikan SDK yang bersifat open access memicu terjadinya tragedy of the commons, kerusakan sumberdaya, konflik antar pelaku dan kesenjangan ekonomi (Satria 2009). Konsekuensi logis dari sumberdaya pesisir dan laut sebagai sumberdaya milik bersama (common property) dan terbuka untuk umum (open access) menjadikan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut semakin meningkat di hampir semua wilayah. Pemanfaatan yang demikian cenderung melebihi daya dukung sumberdaya (over exploitation) (Stefanus et al. 2007).

Kegiatan pariwisata adalah salah satu kegiatan yang sangat potensial untuk pengembangan perekonomian negara dan masyarakat setempat. Namun jika pengelolaannya tidak memperhatikan lingkungan maka berpotensi menimbulkan masalah bagi lingkungan. Kemajuan pesat yang dicapai dalam pembangunan guna

peningkatan taraf hidup masyarakat ternyata diiringi oleh kemunduruan kemampuan sumberdaya alam sebagai penyangga kehidupan.

Pengembangan ekowisata juga dapat mendatangkan dampak positif berupa meningkatnya upaya reservasi sumberdaya alam, pembangunan taman nasional, perlindungan pantai dan taman laut serta mempertahankan hutan mangrove. Namun di lain pihak, pengelolaan kegiatan ekowisata yang kurang tepat dapat menimbulkan dampak negatif berupa polusi, kerusakan lingkungan fisik, pemanfaatan berlebihan, pembangunan fasilitas tanpa memperhatikan lingkungan dan kerusakan hutan mangrove. Pelaksanaan pembangunan yang semakin beragam sering menghasilkan produk sampingan berupa limbah sampah dan buangan lainnya. Peningkatan pembangunan telah mengakibatkan pergeseran pola pemanfaatan lahan dan tidak sesuai dengan kaidah penataan ruangan sesuai dengan daya dukungnya serta kesesuaian lahan.

Sjafi’i (2001) menyatakan bahwa perubahan-perubahan ekosistem yang terjadi dengan adanya kegiatan wisata dapat dilihat melalui:

1. Perubahan tata ruang dalam pemanfaatan sumberdaya dalam pembangunan pariwisata juga terkait dengan pembangunan wilayah dan pembangunan sektor ekonomi. Kawasan pariwisata di wilayah pesisir telah banyak menghadirkan bangunan-banguan hotel-hotel berbintang bahkan di sepanjang jalan telah berdiri pelabuhan-pelabuhan, restoran-restoran, kios-kios tempat penjualan souvenir ataupun tempat hiburan lainnya.

2. Perubahan daya dukung wilayah pesisir. Apabila hal ini terjadi dikawasan yang padat penduduk serta melebihi kapasitas tampung, dimana tidak dimungkinkan lagi tersedianya lahan untuk pembangunan kawasan pariwisata, maka pemerintah akan mereklamasi daerah tersebut. Pengembangan suatu kawasan untuk kegiatan pariwisata bukan hanya dilihat dari kemegahan fisiknya tetapi yang lebih penting adalah bagaimana jenis, frekuensi dan kualitas dari agenda pariwisata sendiri.

Jumlah penduduk terus bertambah sedangkan luas tanah tidak pernah bertambah.

Pengembangan sarana dan prasarana wisata akan mempersempit ruang gerak penduduk untuk melakukan aktivitasnya.

Tuwo (2011) juga menyatakan bahwa pengenalan potensi ancaman yang berpeluang ditimbulkan oleh berbagai kegiatan pembangunan merupakan hal penting dalam penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Ancaman dapat berupa penurunan kualitas sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Ancaman terhadap perubahan ekosistem antara lain:

1. Sedimentasi yang disebabkan oleh kegiatan pemanfaatan lahan dan pesisir untuk kegiatan pertanian, pertambangan pemukiman dan pembangunan sarana dan prasarana pariwisata serta pengusahaan hutan. Sedimen yang mengendap di daerah muara dapat menyebabkan pendangkalan yang serius di muara sungai.

2. Pencemaran daerah pesisir dapat disebabkan oleh bahan pencemar yang datang dari daerah pertanian, pemukiman, industri dan pertambangan. Limbah padat dan cair dari rumah tangga dan industri seperti industri pariwisata, merupakan bahan pencemar pesisir dan laut yang sulit dikontrol.

Hal ini sesuai dengan pendapat Amelia (2009) yang menyatakan bahwa dampak kegiatan wisata yang sering terjadi adalah menurunnya kualitas air laut (warna perairan yang berubah, menimbulkan bau tak sedap, terdapat bakteri E. Coli, tercemar logam berat), abrasi pasir, serta penumpukan sampah dari kegiatan wisatawan yang menumpuk dan menyebar akan menurunkan kualitas lingkungan.

3. Degradasi habitat merupakan salah satu masalah serius bagi daerah pesisir yang merupakan dampak negatif dari aktivitas manusia seperti erosi. Erosi pantai dapat disebabkan oleh pembukaan pantai dan pembangunan infrastruktur sehingga mengurangi fungsi perlindungan terhadap pantai. Kegiatan penambangan batu karang untuk mendirikan bangunan dan jalan dapat memberikan kontribusi penting terhadap erosi pantai.

4. Degradasi sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang sangat menonjol di daerah pesisir dan laut adalah kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang.

Kerusakan hutan mangrove sejalan dengan aktivitas pembangunan seperti pemukiman dan industri.

Terumbu karang mengalami banyak tekanan akibat pola pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan. Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan,

sekitar 70% karang telah mengalami kerusakan yang parah. Salah satu penyebabnya adalah adanya wisatawan yang sering mengoleksi keindahan dan keunikan karang sebagai hiasan. Padang lamun juga mengalami ancaman dari aktifitas manusia seperti alih fungsi pantai untuk pelabuhan dan limbah industri rumah tangga dan pertanian yang dibuang ke laut. Kekayaan flora dan fauna seringkali menjadi terancam dengan kehadiran wisatawan yang mengusik habitat mereka.

sekitar 70% karang telah mengalami kerusakan yang parah. Salah satu penyebabnya adalah adanya wisatawan yang sering mengoleksi keindahan dan keunikan karang sebagai hiasan. Padang lamun juga mengalami ancaman dari aktifitas manusia seperti alih fungsi pantai untuk pelabuhan dan limbah industri rumah tangga dan pertanian yang dibuang ke laut. Kekayaan flora dan fauna seringkali menjadi terancam dengan kehadiran wisatawan yang mengusik habitat mereka.