• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Wisata

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.4 Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Wisata

Usaha untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi pemanfaatan ruang kawasan Karimunjawa harus dikelola secara optimal melalui penataan ruang. Ruang dilihat sebagai wadah tempat berlangsungnya keseluruhan interaksi sistem sosial yang meliputi manusia dengan seluruh kegiatan sosial, ekonomi dan budaya dengan ekosistem yaitu, sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Oleh karena itu, ruang perlu ditata agar keseimbangan lingkungan dapat dipelihara sehingga memberikan

dukungan yang nyaman terhadap manusia serta makhluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara optimal. Apabila peningkatan ini tidak dikendalikan maka akan mengakibatkan kerusakan lingkungan pesisir dan kerusakan lingkungan laut. Peningkatan pembangunan fisik juga dapat memperkecil persentasi akan ruang terbuka hijau (RTH) kawasan pesisir, terjadi penebangan pepohonan/hutan bakau, maupun penutupan permukaan tanah dengan material yang tidak dapat menyerap air hujan ( Hanny et al. 2009).

Penataan ruang Karimunjawa dilakukan berdasarkan sistem zonasi. Zona wisata bahari termasuk zona pemanfaatan yang diperuntukkan bagi pengembangan aktivitas perlindungan dan pengamanan; pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam; inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya;

penelitian, pengembangan pendidikan dan penunjang budidaya; pembinaan habitat dan populasi; pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan.

pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan.

Luas zona pemanfaatan wisata bahari sebesar 2,449 persen dari luas seluruh zona TNKJ. Zona ini meliputi Perairan Pulau Menjangan Besar, Perairan Pulau Menjangan Kecil, Perairan Pulau Menyawakan, Perairan Pulau Kembar, Perairan Pulau Tengah, Perairan sebelah timur Pulau Kumbang, Perairan Pulau Bengkoang bagian selatan, Indonor dan Perairan Pulau Cemara Besar bagian utara, Perairan Tanjung Gelam, Perairan Pulau Cemara Kecil bagian utara, Perairan Pulau Katang, Perairan Krakal Besar bagian selatan, Perairan Krakal Kecil dan Perairan Pulau Cilik.

Sedangkan di darat terdapat zona wisata religi, budaya dan sejarah seluas 0,001 persen, yaitu areal Makam Sunan Nyamplungan di Pulau Karimunjawa.

Zonasi TNKJ Tahun 2005 memuat juga tentang zona pemukiman, yaitu bagian TNKJ untuk memudahkan penataan dan penggunaan bagian kawasan yang telah dijadikan areal pemukiman masyarakat sebelum taman nasional ditunjuk.

Kawasan pesisir Desa Karimunjawa yang didalamnya terdapat pemukiman penduduk, area pusat bisnis dan perekonomian masyarakat Karimunjawa. Pesatnya perkembangan pariwisata sejak Tahun 2007 menjadikan ruang kawasan desa semakin

potensial bagi penduduk dan para investor dalam melakukan kegiatan bisnis wisata yang terlihat sepanjang jalan dari pelabuhan sampai ke bagian tengah desa.

Dinas Pariwisata saat ini sedang melaksanakan program Karimunjawa sebagai Kecamatan/Desa Wisata yang mengembangkan sarana berupa resort atau hotel serta homestay yang melayani akomodasi pengunjung. Jumlah homestay terus berkembang dari tahun ke tahun karena jumlah kunjungan wisatawan yang meningkat. Area pembangunan homestay yang paling banyak terpusat di bagian tengah desa dan bagian utara desa. Penginapan ini banyak dipilih oleh para wisatawan backpacker, pelajar ataupun peneliti. Harga per kamar juga sangat terjangkau, yaitu Rp 50.000,- sampai Rp 100.000,- per malam dengan kapasitas 2-4 orang. Masyarakat banyak diuntungkan dengan adanya homestay tersebut karena dapat menambah pendapatan mereka.

Jenis penginapan lain yang berkembang adalah Resort yang banyak diminati wisatawan domestik maupun mancanegara karena masing-masing memiliki daya tarik yang berbeda. Resort yang telah dibangun di Karimunjawa adalah Resort Dewadaru yang dekat dengan pelabuhan, Resort Menjangan yang berada di dekat spot snorkeling, Resort Purawisata, Nirwana dan Kura-Kura yang berada jauh dari masyarakat. Harganya sangat bervariasi mulai dari Rp 300.000,- hingga Rp 6.000.000,-. Jenis penginapan lainnya adalah hotel kelas melati, wisma dan inn.

Harganya juga sangat bervariasi, mulai dari Rp 100.000,- sampai Rp 4000.000,-.

Perkembangan homestay di Desa Karimunjawa memang sudah ada sejak ditetapkannya Karimunjawa sebagai Taman Nasional. Sebelum ada homestay, pengunjung biasanya menginap di rumah para petinggi desa. Menurut pihak desa (Bendahara Desa), mereka belum pernah menarik pajak kepada pemilik homestay dan resort serta hotel karena belum ada peraturan resmi yang mengatur tentang tarif pajak untuk fasilitas-fasilitas wisata tersebut.

Jumlah rumah makan di Karimunjawa masih sangat sedikit. Fasilitasnya juga kurang memadai. Warung makan yang tersedia di sekitar alun-alun Karimunjawa juga sangat terbatas. Wisatawan harus duduk di lapangan dengan menggunakan tikar dan penjual yang ada menggunakan gerobak untuk menjual dagangannya. Menu

makanan yang tersedia juga sangat terbatas karena penjual masih kekurangan modal dan bahan baku yang sulit untuk diperoleh. Restoran hanya tersedia di Karimunjawa Inn, Hotel Escape dan di Dewadaru Resort.

Tempat wisata identik dengan toko souvenir yang menjual berbagai barang yang unik, hasil industri kerajinan tangan masyarakat baik yang berupa cinderamata atau produk makanan lainnya seperti rumput laut, kerupuk kerapu dan ikan asin.

Kerajinan khas Karimunjawa adalah tongkat, tongkat komando, tasbih dan keris yang terbuat dari kayu dewadaru, kalimasodo dan sdiki. Wisatawan lokal biasanya banyak membeli kerajinan tersebut terutama tasbih yang paling diminati wisatawan.

Berdasarkan Laporan Survei Sosek Karimunjawa tahun 2009, terdapat 20 toko/kios penjualan souvenir khas Karimunjawa, 19 toko ada di Desa Karimunjawa dan 1 diantaranya ada di Desa Kemujan (Lampiran 2). Sebagian besar dimiliki oleh masyarakat pendatang dari luar Karimunjawa. Sekitar 14 toko berada di dalam homestay milik penduduk, sedangkan 5 lainnya berada di kios yang terletak di bagian tengah desa. Souvenir lainnya berupa baju, pernak-pernik dan hiasan dinding biasanya dikirim dari luar Karimunjawa terutama yang bahannya dari binatang laut karena adanya larangan mengambil kerang dan benda-benda lain yang ada di laut.

Pembangunan fasilitas-fasilitas wisata, seperti homestay, rumah makan, toko souvenir dan fasilitas lainnya semakin bertambah banyak. Berikut data perkembangan jumlah penginapan dan toko souvenir di Desa Karimunjawa dari tahun 2007-2012 disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Jumlah Penginapan dan Toko Souvenir di Karimunjawa Tahun 2007-2012 Tahun Jumlah Penginapan Jumlah Toko Souvenir

2007 25 16

2008 27 18

2009 27 19

2010 28 19

2011 30 19

2012 34 19

Sumber: BPS dan Dinas Pariwista Jepara (2011), BTNKJ (2008)

Tabel 9 menunjukkan bahwa jumlah homestay dan toko souvenir terus meningkat. Kenaikan jumlah homestay diiringi dengan kenaikan jumlah daya tampung dan tingkat hunian. Selain homestay yang dimiliki oleh penduduk lokal, terdapat juga resort swasta dari pengusaha luar daerah. Resort ini dibangun di Pulau Menjangan Besar, Menjangan Kecil, Menyawakan, Geleang, Pulau Tengah, Pulau Bengkoang dan rencana pengembangan lagi di Pulau Cemara Besar.

Berdasarkan data kepemilikan lahan (Lampiran 3), tanah-tanah di Desa Karimunjawa telah dimiliki oleh investor dan orang luar daerah. Bahkan daerah Legon Lele juga banyak yang sudah dijual ke pihak swasta sehingga penduduk di sana harus mencari tempat tinggal baru di daerah lain. Para investor tahu akan perkembangan Karimunjawa menjadi daerah tujuan wisata andalan Jawa Tengah.

Dengan demikian masyarakat akan tersisih dari persaingan dan menggeser peran masyarakat lokal karena mereka tidak punya kapital atau modal untuk ikut bersaing dalam pengusahaan pariwisata. Hal ini mengakibatkan usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak akan optimal karena masyarakat hanya sebagai pegawai biasa atau penonton saja, dimana penghasilannya hanya mampu untuk menghidupi keluarga saja.

Secara langsung maupun tidak langsung kegiatan pembangunan ini berdampak terhadap lingkungan pesisir Karimunjawa seperti menurunnya jumlah tutupan karang di perairan dangkal. Selain itu, homebase wisatawan yang terpusat di bagian timur dan tengah desa (kota kecamatan Karimunjawa) membuat daerah tersebut semakin padat, berbeda dengan bagian desa lainnya, seperti yang diungkapkan oleh staf BTNKJ, MY (32 tahun).

“Masyarakat Karimun itu cenderung meniru. Satu orang bangun homestay, yang lainnya ikutan. Salah satu syarat homestay itu kan harus dekat sama homestay lain, makanya penginapan itu terkonsentrasi di bagian timur sampai tengah desa, jadinya yah menumpuk. Hotel yang di dekat pantai buat fondasi sendiri, rumah penduduk juga, pom bensin itu dan TPI juga mengambil garis pantai. Jadinya yah merusak ekosistem pesisir. Mangrove juga banyak dipotongin untuk bangun villa dan jetty.”

Westmacott et al. (2000) dalam Wahyudiono (2009) menjelaskan beberapa parameter yang mempengaruhi kerentanan terumbu karang, antar lain pembangunan pesisir untuk perumahan, resort, hotel, industri, pelabuhan dan pengembangan marina seringkali menyebabkan reklamasi pengerukan tanah. Kegiatan ini mengakibatkan sedimentasi sehingga mengurangi cahaya masuk ke laut dan menutupi karang dan menimbulkan kerusakan fisik langsung bagi terumbu karang.

Kegiatan pembangunan ini tidak hanya berdampak bagi perubahan lingkungan alam, tetapi juga berdampak bagi nelayan. Berubahnya kepemilikan lahan dari masyarakat lokal menjadi milik investor dan pihak asing akan mempengaruhi ruang gerak nelayan dalam melakukan kegiatannya. Lahan atau pulau yang telah menjadi milik para investor biasanya tidak bisa dimasuki nelayan lagi tanpa seijin pihak investor tersebut. Aksesibilitas sosial ekonomi nelayan yang berkaitan dengan modal fisik sering kali menjadi terganggu. Modal fisik yaitu keberadaan pangkalan pendaratan ikan yang berfungsi untuk tempat pendaratan kapal ikan, tempat memperbaiki jaring, tempat pelelangan dan penjemuran ikan dan berbagai hal lainnya yang bertujuan memudahkan nelayan dalam bekerja. Lingkup modal fisik nelayan akan semakin sempit karena lahan tersebut difungsikan sebagai tempat pembangunan sarana pariwisata. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi aktivitas nelayan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan di Karimunjawa, ternyata mereka merasa tidak terganggu dengan adanya perkembangan sarana pariwisata di daerah mereka, seperti yang diungkapkan seorang ketua kelompok nelayan, MT (51).

“Kita sebagai nelayan sebenarnya tidak merasa terganggu sama kegiatan wisata ini. Semuanya sudah punya zona masing-masing. Kalo nangkap ikan, nelayan melaut sampai jauh, wisatawan tidak mungkin sampai ke sana. Ikan-ikan yang ada di zona wisata juga kecil-kecil ukurannya. Di sini Ikan-ikan yang baru ditangkap langsung di setor ke juragan. Kapal yang dipakai nelayan melaut juga banyak yang dipakai jadi kapal carteran (sewaan). Jadi pelabuhannya juga sama.”

Modal fisik nelayan antara lain melabuhkan kapal, menjual atau menjemur ikan ataupun memperbaiki jaring ternyata tidak terganggu dengan adanya

pengembangan pembangunan pariwisata. Hal ini dikarenakan kapal yang digunakan untuk menangkap ikan, juga digunakan untuk kapal sewaan bagi wisatawan.

Pelabuhan untuk pendaratan kapal berbeda untuk pelabuhan pendaratan kapal penumpang. Selain itu, nelayan juga bisa menggunakan pantai yang berada di dekat rumah mereka untuk melabuhkan kapalnya. Nelayan juga tidak terganggu aktifitasnya dalam menjual ikan karena ikan yang diperoleh nelayan langsung dijual kepada juragan ikan, bukan menjualnya melalui pelelangan. Desa Karimunjawa memang memiliki TPI, namun sekarang tidak beroperasi lagi karena kekurangan dana dan nelayan memang lebih suka menjual kepada juragan mereka. Nelayan Karimunjawa juga tidak lagi menjemur ikan, karena harga ikan yang basah lebih mahal daripada ikan yang kering.

Pembangunan sarana pariwisata yang berada di Desa Karimunjawa memang tidak mengganggu modal fisik nelayan, berbeda dengan pulau yang telah dijadikan resort. Sebelum adanya resort tersebut, nelayan masih bebas mendaratkan kapalnya di pulau tersebut. Namun, setelah adanya pulau yang dijadikan resort, maka nelayan tidak bisa bebas lagi melabuhkan kapalnya di pulau tersebut. Nelayan harus membayar Rp20.000,- atau sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh pemilik resort kepada setiap kapal yang berlabuh di pulau mereka.

Berdasarkan hasil transek di Desa Karimunjawa terlihat bahwa wilayah ini sudah memiliki sarana wisata yang menjadi potensi untuk pengembangan pariwisata.

Akan tetapi ada sebuah masalah yang mencuat yaitu sampah yang berserakan. Desa tersebut tidak memiliki tempat pembuangan sampah sehingga masyarakat langsung membakar sampah-sampah tersebut. Berbeda dengan bagian desa sebelah barat, masyarakat malah membuang sampah kelaut. Bahkan masih ada penduduk yang membangun jamban di tepi laut. Sampah yang berada di sekitar pantai yang merupakan limbah pengunjung hanya dibiarkan begitu saja karena tidak tersedianya petugas kebersihan pantai. Namun responden nelayan pariwisata sudah semakin sadar bahwa kebersihan merupakan hal yang harus dijaga untuk memberikan kenyamanan kepada wisatawan.

Selain karena kesadaran penduduk akan pentingnya kebersihan di desa pariwisata, juga dikarenakan oleh desa tersebut sering dijadikan tempat kunjungan mahasiswa yang melakukan penelitian atau praktek. Mahasiswa sering membuat program tentang kebersihan dan menyediakan tempat sampah bagi masyarakat.

Kondisi di lapangan memperlihatkan bahwa halaman sekitar rumah nelayan memang bersih, namun hal ini berbeda dengan kondisi jalan di beberapa tempat. Sampah-sampah masih dibiarkan menumpuk di sisi jalan dan juga di selokan. Semua responden mengatakan bahwa di Desa Karimunjawa belum pernah terjadi bencana alam yang disebabkan oleh sampah, banjir, longsor ataupun tsunami. Hal ini juga terjadi karena kondisi topografinya yang berupa perbukitan dan sebagian kecil datar, sehingga daerah genangan banjir praktis tidak ada.