• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Pemikiran

HaKI baru ada bila kemampuan intelektual manusia itu telah membentuk sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dibaca, atau dapat digunakan. Berdasarkan hal tersebut David I. Bainbridge mengatakan bahwa, Intellectual property is the collctive name given to legal rights which protect the product of the human

intellect.33 Menambahkan hal tersebut John F. William menyatakan, the term intellectual property seem to be the best available to cover that body of legal rights

which arise from mental and artistic endeavour.34

Dari uraian ini diketahui bahwa HaKI merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuk, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomi. Bentuk nyata dari kemampuan karya intelektual tersebut berupa bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra.

Pengaturan HaKI secara implicit ditemukan dalam system hukum benda yang mengacu pada ketentuan Pasal 499 KUH Perdata adalah sebagai berikut:

“Menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.”

Mahadi menguraikan lebih lanjut mengenai rumusan pasal tersebut yaitu, yang

dapat menjadi objek hak milik adalah barang dan hak. Adapun yang dimaksud dengan barang adalah benda materil, sedangkan hak adalah benda immaterial.35 Selanjutnya

Pitlo sebagaimana dikutip Mahadi menegaskan pula bahwa HaKI termasuk dalam

hak-hak yang disebut Pasal 499 KUH Perdata sebagai berikut:36

”HaKI termasuk ke dalam hak-hak yang disebut oleh Pasal 499 KUH Perdata. Hal ini menyebabkan hak milik immateril itu sendiri dapat menjadi objek dari suatu hak benda. Hak benda, adalah hak absolut atas sesuatu benda, tetapi ada hak absolut yang objeknya bukan benda. Inilah yang disebut dengan HaKI (intellectual property rights)”.

Selanjutnya Pasal 503 KUH Perdata menggolongkan benda ke dalam dua bentuk yaitu, ”Tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh atau tidak bertubuh”. Ketentuan

33

David I. Bainbridge, Computer and the Law, dalam Muhammad Djumhana dan R.

Djubaedillah, Hak Milik Intelektual; Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm 20.

34

John F. William, A Manager Guide to Patents, Trade Marks & Copyright, Cetakan ke-1, Kogan Page, London, 1986, hlm. 11

35

Mahadi, Hak Milik Immateril, Binacipta, Bandung, 1985, hlm. 65 36

ini berarti barang adalah benda bertubuh atau benda materil yang ada wujudnya, karena dapat dilihat dan diraba (tangible goods). Misalnya kendaraan, komputer, rumah, tanah. Hak, adalah benda tidak bertubuh atau benda immateril yang tidak ada wujudnya karena tidak dapat dilihat dan tidak dapat diraba (intangible goods). Misalnya HaKI, gadai, hipotik, piutang, hak pakai, hak pungut hasil, hak guna usaha.

Sebagai suatu hak atas kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektualitas manusia, maka pemilikan terhadap HaKI dalam masyarakat beradab diakui seperti yang dinyatakan oleh Roscoe Pound sebagai berikut: 37

”Atas hasil kreasi dari kemampuan intelektual dalam masyarakat beradab diakui bahwa yang menciptakan boleh menguasai untuk tujuan yang menguntungkannya. Kreasi sebagai milik berdasarkan postulat hak milik dalam arti seluas-luasnya meliputi milik tak berwujud.

Berkaitan dengan masalah ini, Van Apeldoorn menyatakan sebagai berikut.38 ”Hak pemilikan hasil intelektual sangat abstrak jika dibandingkan dengan hak pemilikan benda yang terlihat, tetapi hak-hak tersebut mendekati hak-hak benda, lagi pula kedua hak tersebut bersifat mutlak. Selanjutnya terdapat analogi, bahwa setelah benda yang tidak berwujud itu keluar dari pikiran manusia, maka menjelma dalam suatu ciptaan seni, sastra dan ilmu pengetahuan atau dalam bentuk pendapat, jadi berupa benda berwujud (lichamelijk zaak)

yang dalam pemanfaatannya (exploit), dan reproduksinya dapat merupakan sumber keuntungan uang. Inilah yang membenarkan penggolongan hak tersebut ke dalam hukum harta benda.”

Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yang disebut hak kebendaan yaitu hak mutlak atas sesuatu benda. Hak itu memberikan kekuasan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun. Adapun ciri pokok hak kebendaan, adalah sebagai berikut: 39

(1) Merupakan hak yang mutlah, artinya dapat dipertahankan terhadap siapa pun;

37

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Muhammad Rajab, (Penerjemah), Jakarta, Bhatara Karya Aksara, 1982, hlm. 118.

38

Van Apedoom L.J. Pengantar Ilmu Hukum, Oetarid Sadino (Penerjemah), Cetakan Keduapuluhdua, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hlm. 173.

39

Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Cetakan Keempat, Liberty, Yogyakarta 1985, hlm. 24-25.

(2) Mempunyai hak yang mengikuti (zaaksgevolg atau droit de suite), artinya hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga atau dalam tangan siapa pun benda itu berada. Hak itu terus mengikuti orang yang mempunyainya; (3) Sistem yang dianut hak kebendaan adalah di mana yang lebih dahulu terjadi

mempunyai kedudukan dan tingkat yang lebih tinggi daripada yang kemudian;

(4) Mempunyai sifat hak yang didahulukan (droit de preference);

(5) Adanya gugat kebendaan;

(6) Untuk dapat memindahkan hak kebendaan itu dapat secara penuh dilakukan.”

Jika dikaitkan dengan hak cipta maka hak cipta itu termasuk ke dalam hak kebendaan. Hal ini karena yang menjadi ciri pokok kebendaan terkandung di dalam hak cipta. Lebih lanjut hak cipta itu dalam Pasal 3 UUHC Tahun 1997 dan Penjelasannya dianggap sebagai benda bergerak dan immateril.

Dalam hubungan kepemilikan terhadap hak cipta khususnya musik dan lagu, hukum bertindak dan menjamin pencipta untuk menguasai dan menikmati secara eksklusif hasil karyanya itu dengan bantuan negara. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum adalah merupakan kepentingan pemilik hak cipta musik dan lagu baik secara individu maupun kelompok sebagai subjek hak. Untuk membatasi penonjolan kepentingan individu maka hukum memberi jaminan tetap terpeliharanya kepentingan masyarakat. Jaminan ini tercermin dalam sistem HaKI yang berkembang dengna menyeimbangkan antara dua kepentingan yaitu pemilik hak cipta musik dan lagu dan kebutuhan masyarakat umum.

Sunaryati Hartono menyatakan ada 4 prinsip dalam sistem HaKI untuk

menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat, sebagai berikut: 40

(1) Prinsip keadilan (the principle of natural justice)

Pencipta yang menghasilkan suatu karya berdasarkan kemampuan intelektualnya wajar memperoleh imbalan baik berupa materi maupun bukan

40

Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Cetakan Pertama, Binacipta, Bandung, 1982, hlm. 124

materi, seperti adanya rasa aman karena dilindungi, dan diakui atas hasil karyanya. Hukum memberikan perlindungan kepada pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya yang disebut hak. Alas an melekatnya hak pada HaKI adalah penciptaan berdasarkan kemampuan intelektualnya. Perlindungan ini pun tidak terbatas di dalam negeri pencipta sendiri, melainkan dapat meliputi perlindungan di luar batas negaranya.

(2) Prinsip ekonomi (the economic argument)

HaKI yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, memiliki manfaat dan nilai ekonomi serta berguna bagi kehidupan manusia. Adanya nilai ekonomi pada HaKI merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Pencipta mendapatkan keuntungan dari kepemilikan terhadap karyanya, misalnya dalam bentuk pembayaran royalty terhadap pemutaran musik dan lagu hasil ciptaannya.

(3) Prinsip kebudayaan (the cultural argument)

Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban, dan martabat manusia. Selain itu akan memberikan keuntungan baik bagi masyarakat, bangsa, maupun negara. Pengakuan atas kreasi, karya, karsa, cipta manusia yang dibakukan dalam sistem HaKI diharapkan mampu membangkitkan semangat, dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru.

(4) Prinsip sosial (the social argument)

Hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai individu yang berdiri sendiri terlepas dari manusia yang lain, akan tetapi hukum mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Jadi manusia dalam hubungannya dengan manusia lain sama-sama terikat dalam ikatan satu kemasyarakatan. System HaKI dalam memberikan perlindungan kepada

pencipta, tidak boleh diberikan semata-mata untuk memenuhi kepentingan individu atau kesatuan itu saja, melainkan berdasarkan keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat. Bentuk keseimbangan ini dapat di lihat pada ketentuan fungsi sosial dan lisensi wajib dalam UUHC Indonesia.

Selanjutnya UUD1945 alinea ke-IV menyatakan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah untuk memberikan kesejahteraan yang setinggi-tingginya kepada seluruh masyarakat, yaitu kesejahteraan lahir dan batin, materil dan sprituil yang oleh sri soemantri dirumuskan dalam kalimat sebagai berikut:41

“(1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa: dan (3) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan

keadilan sosial.”

Untuk mencapai tujuan kemerdekaan tersebut diperlukan pembinaan dan tertib hukum,sehingga sebagai negara hukum pemerintah berkewajiban untuk memberikan perlindungan hukum di sertai kepastian hukum bagi seluruh warga negara.termasuk pencipta musik dan lagu.

Pengakuan universal terhadap perlindungan HaKI di atur juga dalam Pasal 27

Declaration of Human Rights, 10 december 1948, yaitu:42

“(1) Everyone has the right freely to participate in the cultural life of the community,to enjoy the arts and to share in scientific advancement and its benevits;

(2) everyone has the right to protect tiohal of the moral and material interest resulting from any scient ifik, lite rary or artistic production of which he is author.”

41

Sri Soemantri, Azas Negara Hukum dan Perwujudannya dalam Sistem Hukum Nasional,

dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional, (Penyunting), Moh. Busyro, Salman dan Muh.

Miftahuddin, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, 1992, hlm. 25. 42

Van Panhuys et.al, (ed), International organization and Intergration; A Collection of the

Text of Documents Relating to the United Nations, its Related Agencies and Regional International, Cornelis van Vollenhoven, Leyden and the Europe Institute, Leyden, 1968, hlm. 249.

Selanjutnya Pasal 27 ayat (1) dan (2) UUD 1945, dapat di jadi kan dasar adanya jaminan perlindungan hukum terhadap hak ekonomi individu, dalam hal ini pencipta musik dan lagu serta adanya kebersamaan hidup dan keseimbangan hak individu dan masyarakat yang termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat (1) dan ayat (2).43

Mendukung hal teresebut di atas AMirizal menyatakan sebagai berikut:44

”UUD 1945 menyiratkan berlakunya prinsip-prinsip yang menjamin adanya hak ekonomi individu. Prinsip ini ditemukan dalam Pasal 27 ayat (1) yang mengatur kesamaan hak dan kewajiban dalam mematuhi hukum. Pasal 27 ayat (2) keseimbangan hak dalam berusaha dan/atau kesinambungan hajat hidup bagi warga negara, Pasal 33 ayat (1) tentang kebersamaan hidup dan ayat (2) mengenai keseimbangan hidup.”

Ketentuan pasal-pasal tersebut selain mengatur persamaan hak-hak dasar bagi warga negara, tersirat pula makna bahwa negara berkewajiban untuk melindungi warganya yang lemah dari segi ekonomi agar dalam proses berekonomi, secara bertahap dapat bersaing secara wajar dengan warga negara lainnya yang telah lebih dahulu mampu berkompetisi berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi. Prinsip ini terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menghendaki perekonomian dirancang dan dibangun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Asas ini selanjutnya diakomodasikan dalam GBHN 1993 tentang demokrasi ekonomi yang mempunyai ciri-ciri positif antara lain sebagai berikut:45

43

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 adalah: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” dan selanjutnya dalam Pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Pasal 33 ayat (1) “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” dan ayat (2) “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Pasal 33 UUD 1945 menolak paham individualistic yang dalam perkembangannya melahirkan kapitalistik yang sangat bertentangan dengan demokrasi ekonomi. Dengan demikian secara implicit pasal ini dipakai oleh penulis karena lebih mengedepankan bahwa individu pencipta dan kepentingan masyarakat selaku pengguna produk hak cipta.

44

Amrizal, Hukum Bisnis: Deregulasi dan Joint Venture di Indonesia Teori dan Praktik, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1996, hlm. 25.

45

Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 Tentang GBHN BAB I (G) Kaidah Penuntun. Masih dipergunakannya TAP MPR 1993 dalam tulisan ini karena “Ciri positif demokrasi ekonomi” tidak ditemukan lagi dalam GBHN 199-2004

“(1) Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;

(2) Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat;

(3) Potensi, inisiatif, dan daya kreasi, dari setiap warga negara dikembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.”

Hak milik individu itu harus berfungsi sosial bagi rakyat Indonesia sebagaimana diutarakan oleh Amirizal, sebagai berikut: 46

“Hukum ekonomi di Indonesia diharapkan berkembang dengan mengutamakan tempat bagi ketaatan pelaku-pelaku ekonomi, yang harus menyadari bahwa hak milik individu akan menjadi kewajiban hokum (rechtsplicht) dari setiap warga negara Indonesia yang pelanggarannya bisa dituntut sebagai perbuatan melawan hukum.”

Jika dicermati masalah HaKI termasuk ke dalam konsep hokum ekonomi pembangunan dan hokum ekonomi sosial dari Sunaryati Hartono.47 Hal ini karena HaKI menyangkut pemikiran hokum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan perekonomian Indonesia. Namun HaKI juga tidak bisa dipisahkan dari hokum ekonomi sosial, karena Pasal 27 UUD 1945 menentukan adanya keseimbangan individu dan masyarakat. Ketentuan ini selaras dengan konsep ekonomi sosial yang menekankan adanya pembagian hasil-hasil pembangunan nasional secara adil merata sesuai dengan harkat dan martabat rakyat Indonesia.

Ikut sertanya Indonesia menjadi negara anggota WTO dan perubahan UUHC Tahun 1997 sesuai TRIPs, jika dihubungkan dengan teori fungsi hukum dari Mochtar

Kusumaatmadja yaitu, hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat atau law a s a

tool of social engineering,48 maka dapat dipahami fungsi hukum bagi negara

46

Amirizal, Op, Cit. hlm. 26 47

Sunaryati Hartono, Op. Cit. hlm. 36-49. Dalam hukum ekonomi pembangunan Indonesia peranan pemerintah sebagai unsure pembaharu dan pemberi arah kepada pembangunan ekonomi itu lebih menonjol, sedangkan hukum ekonomi sosial tekanannya adalah pada pembagian pendapatan nasional secara adil dan merata, memelihara dan meningkatkan martabat kemanusiaan manusia Indonesia dalam rangka pembangunan ekonomi itu.

48

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan

berkembang seperti halnya Indonesia, tidak hanya bersifat mengatur dan memelihara ketertiban saja, tetapi hukum harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Kehadiran hak cipta yang merupakan salah satu bagian HaKI di Indonesia, membuat perubahan pola pikir dan budaya masyarakat yang semula bersifat komunal menjadi individual, meskipun sifat ini dibatasi oleh fungsi sosial dari sistem HaKI, yang mengakui hak masyarakat. Berdasarkan hal tersebut ada suatu anggapan bahwa, adanya keteraturan atau keteriban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan suatu hal yang diinginkan, bahkan dipandang perlu karena kita telah menjadi bagian dari WTO. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.49

Memperjelas makna hukum sebagai sarana pembaharuan, Komar

Kantaatmaja mengatakan sebagai berikut:50

“Hukum harus mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan seta tahapan pembangunan di segala bidang, sehingga dapat menciptakan ketertiban dan kepastian hukum untuk menjamin serta memperlancar pelaksanaaan pembangunan.”

Senada dengan pedapat di atas Sumantoro mengatakan pula bahwa, hukum dapat berfungsi sebagai agent of modernization dan instrument of social engineering.51 Dengan demikian, pembangunan hukum dapat berjalan di depan, bersama pembangunan ekonomi dalam upaya mencapai masyarakat makmur yang berkeadilan.

49

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional Binacipta, Bandung, 1976, hlm. 4.

50

Komar Kantaatmaja, “Peran dan Fungsi Profesi Hukum dalam Undang-Undang

Perpajakan,” Makalah, Seminar Nasional Hukum Pajak, IMNO-UNPAD, Bandung, Juli 1985.

51

Mendukung pendapat di atas Sunaryati Hartono mengatakan bahwa makana dari pembangunan hukum meliputi:52

“(1) Menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih baik); (2) Mengubah agar menjadi lebih baik dan modern;

(3) Mengadakan sesuatu yang sebelumnya beum ada; atau

(4) Meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem lama, karena tidak diperlukan dan tidak cocok dengan sistem baru.”

Pernyataan demikian menyebabkan setiap pembangunan hukum harus meliputi keempat usaha tersebut, sehingga pembangunan hukum itu merupakan hal yang mesti dilakukan secara terus-menerus. UUHC Tahun 1997, tidak menyebutkan ketentuan hak ekonomi secara tegas dalam pasal-pasalnya, namun demikian dasar pengaturannya secara implicit ditemukan dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu mengenai “definisi hak cipta” dan Pasal 3 ayat (2) mengenai “dasar peralihan hak ekonomi pencipta”, sebagai berikut:53

“Hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Dari rumusan di atas diketahui bahwa, hak cipta merupakan hak khusus (eksklusif) dari pencipta. Pengertian ekslusif yaitu mutlak hanya dimiliki pencipta atau penerima hak cipta, sehingga tidak ada orang lain yang boleh mengambil manfaat untuk kepentingan komersial dari hak khusus itu, kecuali seizin pencipta atau penerima hak cipta. Oleh karena itu pencipta memiliki kekuasaan monopoli terhadap ciptaannya.

52

Sunaryati Hartono dalam Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah

dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 2.

53

Lihat juga Pasal 8 Wipo Copyright Treaty (WCT) menyatakan bahwa “Pemegang karya kesusastraan dan artistik menikmati hak eksklusif dari menguasakan komunikasi kepada publik dari karyanya.

Kekuatan monopoli itu bukan tanpa batas. Batasannya sendiri diatur dalam UUHC Tahun 1997.

Keuntungan ekonomi yang diperoleh pencipta berdasarkan Pasal 2 UUHC Tahun 1997 berupa:

(1) Hak untuk mengumumkan suatu ciptaan (2) Hak untuk memperbanyak suatu ciptaan

(3) Hak untuk memberikan izin pada orang lain untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan.

Hak mengumumkan suatu ciptaan adalah perbuatan berupa pembacaan,

penyuaraan, penyiaran atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapaun dan dengan cara sedemikian rupa sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat orang lain. Hak perbanyakan adalah, menambah jumlah suatu ciptaan dengan pembuatan yang sama atau hamper sama atau menyerupai ciptaan tersebut dengan mempergunakan bahan-bahan yang sama maupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan suatu ciptaan.54 Hak untuk member izin kepada orang lain untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan, dilakukan melalui

lisensi. Perlindungan hukum terhdap ketiga hak ini sangat dibutuhkan oleh pencipta karena merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya.

Mengenai dasar peralihan hak ekonomi pencipta diatur oleh Pasal 3 ayat (2) UUHC Tahun 1982 adalah sebagai berikut:

“Hak cipta dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena:

a. Pewarisan; b. Hibah; c. Wasiat;

d. Dijadikan milik negara;

a. Perjanjian, yang harus dilakukan dengan akta, dengan ketetnuan bahwa perjanjian itu hanya mengenai wewenang yang disebut dalam akta.”

54

Adapun yang dimaksud pencipta dalam UUHC Tahun 1997 adalah seseorang atau beberapa orang yang secara bersama melahirkan suatu ciptaan. Selanjutnya dapat pula diterangkan yang mencipta suatu ciptaan menjadi pemilik pertama dari hak cipta yang bersangkutan. Adapun yang dimaksud dengan pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau orang yang menerima hak tersebut dari pencipta atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak cipta, dari orang tersebut di atas.55 Dari rumusan tersebut dipahami bahwa pencipta dan pemegang hak cipta terdiri dari:

(1) Pencipta sebagai pemilik hak cipta;

(2) Orang yang menerima hak tersebut dari pencipta;

(3) Orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut di atar. Khusus pemegang hak cipta di bidang-bidang musik dan lagu, adalah sebagai berikut:

(1) Pencipta melodi lagu (komposer);

(2) Penulis lirik lagu (lirikus);

(3) Penata musik (a rranger);

(4) Pengadaptasi lirik (sub-lirikus); (5) Publisher dan Sub Publisher.

Bertitiktolak pada perlindungan hukum hak cipta, yang dikaitkan dengan sistem pendaftaran hak cipta dalam UUHC Tahun 1997, maka pendaftaran suatu ciptaan bukan merupakan suatu keharusan. Artinya pendaftaran ciptaan bukan untuk memperoleh hak cipta, melainkan semata-mata untuk memudahkan pembuktian hak, dalam hal terjadi sengketa. Apabila ciptaan didaftarkan, maka yang mendaftarkan itu dianggap sebagai penciptanya, sampai dapat dibuktikan sebaliknya bahwa pendaftar itu bukan penciptanya. Dengan kata lain hak cipta boleh juga tidak, karena ciptaan yang

55

tidak didaftarkan pun mendapatkan perlindungan hukum (pasal 5 UUHC 1997). Hanya saja mengenai hak cipta yang tidak didaftarkan, akan lebih sulit dan memakan waktu yang lama untuk pembuktiannya jika ada sengketa yang diselesaikan melalui jalur pengadilan. Pembuktian kebenaran bahwa ia memang pencipta music dan lagu, harus dilakukan dimuka pengadilan negeri bukan di depan pelabat pendaftaran. Inilah disebut dengan sistem pendaftaran deklaratif yang dianut oleh UUCH Indonesia.

Mengenai pendaftaran ini Abdul Kadir Muhammad meyatakan sebagai Berikut:56

“Pendaftaran tidak dapat dipakai sebagai bukti untuk membuktikan telah ada suatu hak cipta, Pengadilan Negeri-lah yang berwenang untuk memutuskan perselisihan tersebut”.

Dengan demikian, UUHC Tahun 1997 tidak memberikan perlindungan hukum yang mutlak kepada nama pencipta yang terdaftar namanya pada Daftar Umum Ciptaan. Hal tersebut menyebabkan jika ada sengketa yang berkenaan dengan hak cipta music dan lagu dan ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya, maka harus dimohonkan agat pengadilan membatalkan pendaftaran itu. Dengan cara itu, pengadilan dapat menghapus kekuatan hukum pendaftaran ciptaan yang bersangkutan.