• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pendaftaran Berdasarkan UUHC Tahun 1997

TINJAUAN PERLINDUNGAN HAK EKONOMI PENCIPTA MUSIK DAN LAGU BERDASARKAN UUHC TAHUN 1997, TRIPS SERTA KONVENSI

2.1. Prinsip Umum UUHC Indonesia

2.1.8. Sistem Pendaftaran Berdasarkan UUHC Tahun 1997

Doktrin Eropa Kontinental yang diikuti oleh UUHC Tahun 1997, tidka mewajibkan kepada pencipta untuk mendaftarkan karyanya sebagai bukti adanya hak. Hal ini berbeda dengan Amerika Serikat, yang mewajibkan pendaftaran untuk membuktikan adanya hak. Walaupun Amerika Serikat menjadi anggota Konvensi Bern sejak tanggal 1 Maret 1989, namun sistem yang dianut oleh Amerika dan Eropa Kontinental tampaknya tetap terjaga dan masing-masing saling menghargainya satu sama lain.

Membahas mengenai sistem pendaftaran hak cipta, maka yang dimaksud “sistem” menurut Sunaryati Hartono adalah, sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh-mempengaruhi yang terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa azas.117 Selanjutnya Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi batasan mengenai sistem yaitu, perangkat unsure yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.118

117

Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Cet. Ke-1 Alumni, Bandung, 1991, hlm. 56.

118

Adapun sistem menurut Satjipto Rahardjo mempunyai dua pengertian yaitu:119 (1) Pengertian sistem sebagai jenis satuan yang mempunyai tatanan tertentu.

Tatanan tertentu di sini menunjukkan kepada struktur yang tersusun dari bagian-bagian.

(2) Sistem sebagai suatu rencana, metode, atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu.”

Dari pengertian tersebut, maka sistem pendaftaran hak cipta di Indonesia adalah “sistem” dalam pengertian prosedur. Mengenai pendaftaran ini Muhammad

Djumhana dan R. Djubaedillah menyatakan, hak cipta ada secara otomatis ketika

suatu ciptaan itu lahir dari pencipta.120 Dengan demikian pendaftaran hak cipta bukan merupakan keharusan karena tanpa pendaftaran pun hak cipta dilindungi.

Dalam hubungannya antara pencipta dengan pendaftaran adalah merupakan hal yang penting menyangkut mengenai pengidentifikasian pencipta pertama secara benar. Hal ini karena yang dianggap pencipta adalah mereka yang namanya tercantum dalam Daftar Umum ciptaan dan Pengumuman Resmi, atau yang disebut atau diumumkan dalam suatu ciptaan. Ketentuan ini dikecualikan apabila dapat dibuktikan sebaliknya bahwa orang tersebut adalah bukan pencipta (Pasal 5 ayat (1) UUHC Tahun 1997). Pasal lain yang menyebutkan bahwa pendaftaran bukan merupakan kewajiban untuk mendapatkan hak cipta dan pendaftaran tidak mengesahkan isi, arti atau bentuk ciptaan ditegaskan dalam Pasal 29 dan 30 UUHC Tahun 1997. Adapun bunyi selengkapnya sebagai berikut:

Pasal 29 ayat (4) UUHC Tahun 1997:

“Ketentuan tentang pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan hak cipta.”

Pasal 30 UUHC Tahun 1997:

“Pendaftaran ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas isi, arti atau bentuk ciptaan yang didaftarkan”.

119

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet-4, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 213. 120

Dari Pasal 29 dan 30 UUHC Tahun 1997 berikut penjelasannya, diketahui bahwa pendaftaran dilakukan secara pasif. UUHC Tahun 1982 menyebutnya dengan sistem negatif deklaratif. Artinya, semua pendaftaran diterima dengan tidak terlalu mengadakan penelitian mengenai hak pemohon, kecuali jika ternyata ada pelanggaran hak cipta.121 Konvensi Bern yang diratifikasi Indonsia juga tidak mensyaratkan keharusan pendaftaran, tetapi cukup dengan diumumkan saja nama penciptanya, maka ciptaan tersebut telah mendapat perlindungan hukum.

2.2. Prinsip Dasar Perlindungan Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu 2.2.1. Asas Perlindungan Hak Cipta

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi dari “Perlindungan”

sebagai berikut: “Tempat berlindung, hal (perbuatan), memperlindungi.”122 Hal ini berarti harus ada yang melindungi. Bertitiktolak dari pemahaman itu, maka setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan dari Pemerintah Indonesia, termasuk didalamnya perlindungan hak cipta.

Pasal 9 ayat (2) TRIPs menentukan, kriteria untuk mendapat perlindungan hak cipta.123 Ketentuan tersebut menegaskan yang dilindungi adalah ekspresi dari perwujudan ide yang asli (original expression of ideas) bukan gagasan, prosedur atau konsep-konsep. Mengenai hal ini Chairul Anwar mengatakan, jika pada paten yang menjadi tumpuan adalah kegunaannya, sifat inventif dan penemuan itu haruslah baru, maka hak cipta bertumpu pada ekspresi ide yang asli.124

121

Ibid., hlm. 85. Lebih lanjut Insan Budi Maulana Op. Cit. hlm. 158. Jika diperhatikan sistem non-pendaftaran yang dianut dalam doktrin hak cipta Eropa Kontinental, yang menimbulkan aliran “Seni untuk seni” atau “L’art pour art”, yaitu menganggap suatu karya seni dan sastra merupakan ekspresi dari penciptanya dan tetap melekat pada dirinya sehingga tidak perlu dibuat suatu lembaga yang menerima pendaftaran ciptaan karena suat karya akan selalu mudah diketahui siapa pemilik sah dan sebenarnya atas karyaitu. Lihat juga Penjelasan Pasal 29 UUHC Tahun 1997:” “Adanya pendaftaran ciptaan sama sekali tidak menentukan atau tidak mempengaruhi dapat atau tidaknya dimiliki hak ciptanya atas sesuatu ciptaan. Pendaftaran tidak mutlak harus dilakukan, melainkan semata-mata hanya untuk memudahkan pembuktian pemilik jika ada sengketa. Hal ini mengakibatkan bahwa suatu ciptaan itu tidak mutlak milik seseorang”. Penjelasan Pasal 30 UUHC Tahun 1997: “Pejabat yang bertugas melakukan pendaftaran tidak bertanggungjawab atas isi, arti, atau bentuk ciptaan yang terdaftar”.

122

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit. hlm. 595. 123

Pasal 9 ayat (2) TRIPs, “ Copyright protection shall extend to expressions and not to ideas, procedures, methods of operation or mathematical concepts as such.”

124

Chairul Anwar, Hak Cipta Pelanggaran Hak Cipta dan ; perundang-undangan Terbaru

Senada dengan pendapat tersebut Athur R. Miller dan Michael H. Davis mengemukakan bahwa:125

“ The essence of copyright is originality, which implies that the copyright owner or claimant originated the work. By contrast to a patent, however, a work of originality need not be novel. An Author can claim copyright in a work as long as he created it himself, even if a thousand people created it before him.”

Hal tersebut menegaskan bahwa perlindungan hak cipta diperoleh berdasarkan criteria keaslian, bukan peniruan terhadap karya pihak lain. Persyaratan keaslian pada hak cipta tidaklah sama dengan persyaratan kebaruan (novelty) pada paten. Persyaratan keaslian sudah cukup ditunjukkan dibuat oleh pencipta sendiri, walaupun tidak baru. Apabila sebelumnya telah banyak orang yang membuat karya yang sama atau hamper bersamaan, kesamaan itu tidak mengurangi perlindungan hak cipta.

Pendapat tersebut selaras dengan makna TRIPs, yang diikuti UUHC Tahun 1997. Pasal 1 angka 2 UUHC Tahun 1997 menyatakan, untuk mendapatkan perlindungan hak cipta diperlukan unsure keaslian dari suatu karya ciptaan. Lebih lanjut syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mendapat perlindungan hak cipta sebagai berikut:126

(1) Mempunyai bentuk yang khas

Hal ini berarti karya tersebut telah selesai diwujudkan sehingga dapat dilihat atau didengar atau dibaca. Termasuk dalam pengertian yang dapat dibaca adalah pembacaan huruf braile. Oleh karena suatu karya harus berwujud dalam bentuk yang khas, maka perlindungan hak cipta tidak diberikan pada sekedar ide. Hal ini karena ide belum memiliki wujud yang memungkinkan untuk dilihat, didengar atau dibaca.

(2) Menunjukkan keaslian

125

Arthur, R. Miller dan Michael, H. Davis, Intellectual Property: Patents, Trademarks, and

Copyright, In A Nutshell, Second Edition, West Publishing Co., St. Paul., Minn, USA, 1990, hlm. 290.

126

Pasal 1 angka 2 UUHC Tahun 1997 yaitu “Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra.” Lihat juga Penjelasan pasal tersebut.

Sebagai ciptaan seseorang atas dasar kemampuan dan kreativitasnya yang bersifat pribadi.

Ketentuan serupa ada baiknya dikaji dari negara yang menganut sistam Anglo Saxon seperti Inggris dan Amerika Serikat. Dalam hukum hak cipta kedua negara ini menentukan syarat untuk memperoleh hak cipta sebagai berikut:127

(1) Keaslian (original)

(2) Dilaksanakan dalam bentuk yang riil dan dapat dibaca

Untuk mendapatkan perlindungan hak cipta di Singapura berdasarkan Copyright Act 1987 George Wei mengatakan, meskipun mengikuti definisi dan criteria hukum Inggris dan Amerika Serikat akan tetapi UUHC Singapura memberi definisi yang lebih luas dari definisi UUHC Inggris tentang “Bentuk yang riil dan dapat dibaca” sebagai berikut:128

(1) All works must be original in order to enjoy copyright. Originality, however, relates solely to the form of expression. As will be seen later, the form of expression will be regarded as original if it is not slavish copy of somebody else’s work.

(2) All work in order to have copyright must be reduced to writing or some other material form – for unless it has, it could be suggested that it is a mere idea or information without any real form of expression.

(3) The copyright monopoly serves only to protect the form of expression. For copyright to be infringed, the defendant must be shown to have copied that form of expression,”

Hal ini menegaskan yang mendapatkan perlindungan hak cipta, harus merupakan karya ali ekpresi dari sebuah ide. Bentuk ekspresi itu dapat tertulis atau dalam bentuk material lainnya, misalnya direkam dalam kaset, komputer dan lain sebagainya. Suatu karya cipta dianggap telah memenuhi unsur keaslian, jika karya tersebut bukan berasal dari pembajakan karya pencipta lain. Selanjutnya ditentukan bukanlah merupakan pelanggaran hak cipta, jika yang diambil adalah ide dari suatu karya, karena yang dilindungi oleh hak cipta adalah perwujudan dari ide tersebut.

127

Chairul Anwar, Op. Cit. hlm. 7. Sebagai contoh di dalam Copyright Act of USA Pasal 102 (b) memuat hal-hal yang tidak dilindungi oleh hak cipta yaitu: ideas, procedures, process, system, method of operation, concepts, principles, facts, news.

128

George Wei, Op. Cit., hlm. 13. Adapun yang dimaksud memperluas definisi tersebut adalah, di Inggris pada awalnya untuk memenuhi perwujudan ide, hak cipta disampaikan atau dituangkan secara tertulis dalam bentuknya yang orisinil. Mengenai bentuknya yang tertulis ini banyak pihak yang masih memperdebatkannya. Keadaan di Singapura berdasarkan UUHC Tahun 1987, meskipun masih terdapat perdebatan mengenai “bentuk yang orisinil” tersebut, namun lebih tegas dan jelas jika dibandingkan dengan UUHC Inggris.

Singapura di bawah UUHC Tahun 1987 menentukan keberadaan karya musik itu muncul, seperti yang diuraikan oleh George Wei sebagai berikut:129

(1) Bab III, Bagian 1, Pasal 16 mengatur, dalam hal karya sastra, musik atau drama, maka bentuknya harus selalu tertulis;

(2) Untuk karya sastra, musik dan drama setiap acuan yang mengacu pada waktu karya itu dibuat, adalah harus dianggap sebagai acuan pada waktu karya pertama dibuat dalam bentuk tertulis atau bentuk lainnya. Jika karya itu belum dibuat dalam bentuk tertulis atau bentuk lainnya maka karya tersebut dianggap tidak ada.

Hal tersebut dapat dibenarkan dengan alasan bahwa, sebuah nyanyian yang hanya dijumpai dalam pemikiran pencipta atau dalam bentuk ide dianggap karya musik dan lagu itu belum ada. Dalam kaitannya dengan masalah ini timbul suatu pemikiran yang berbeda dalam buku Modern La w ofCopyright

seperti yang dikutip oleh George Wei, yaitu:130

“ They argue that work which is protected by copyright is simply the product of the author’s mind. The marks on paper or other material record, merely serve to define and evidence the work. Once a work is perfect in the author’s mind it ha s a real existence. However, in order to complete the copyright title, one further step is necessary to fix the work in a material form. Accordingly, they conclude that “ failure to fix a work in a material form is not fatal to the existence of a good copyright, it merely delays the moment when it begins to subsist.”

Berdasarkan pendatapat tersebut dipahami bahwa, kegagalan untuk membuat suatu ide dalam bentuk yang tertulis atau nyata, tidak mengakibatkan hilangnya keberadaan hak cipta. Hal ini hanya dianggap sebagai penghambatan dari kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang ada pada karya tersebut.

(3) Bab III, Bagian 1, Pasal 16 ayat (2) lebih lanjut menegaskan bahwa jika suatu karya sastra, drama, atau karya musik telah dibuat dalam bentuk suara-suara atau bunyi-bunyian yang direkam ke dalam tape recorder, hal ini

129

George Wei, Loc. Cit. 130

sudah dapat dikatakan bahwa karya tersebut telah berbentuk material atau nyata.

(4) Bab III, Bagian 1, Pasal 17 menyatakan bahwa, refernsi di dalam undang-undang untuk mereduksi setiap karya ke dalam bentuk nyata, termasuk karya yang disimpan di dalam komputer. Hal ini mengakibatkan bentuk tertulis bukanlah merupakan unsur yang paling penting, setiap bentuk yang berwujud (material form) dari suatu karya telah cukup membuktikan keberadaan karya tersebut.