• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN TERHADAP HAK EKONOMI PENCIP (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERLINDUNGAN TERHADAP HAK EKONOMI PENCIP (1)"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

1 Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR DIAGRAM ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang Penelitian ... 1

2. Identifikasi Masalah ... 15

3. Tujuan Penelitian... 15

4. Kegunaan Penelitian ... 16

5. Kerangka Pemikiran ... 16

6. Metode Penelitian ... 30

7. Sistematika Penulisan ... 33

BAB II. TINJAUAN PERLINDUNGAN HAK EKONOMI KARYA CIPTA MUSIK DAN LAGU BERDASARKAN UUHC TAHUN 1997 TRIPS SERTA KONVENSI BERN ... 35

2.1. Prinsip Umum UUHC Tahun 1997 ... 35

2.1.1. Sejarah Pengaturan UUHC Indonesia ... 35

2.1.1.1 Pengertian Pencipta... 40

2.1.1.2 Pengertian Hak Cipta ... 42

2.1.2. Sifat Hak Cipta ... 44

2.1.3. Fungsi Sosial Hak Cipta ... 47

2.1.4. Hak Ekonomi Pencipta ... 52

2.1.5. Hak Moral Pencipta ... 56

2.1.6. Hak dan Wewenang Menggugat Bagi Pencipta ... 60

2.1.7. Hak dan Wewengan Negara ... 61

2.1.8. Sistem Pendaftaran ... 62

2.2. Prinsip Dasar Perlindungan Hak Ekonomi Pencipta Musik Dan Lagu ... 64

2.2.1. Asas Perlindungan Hak Cipta ... 64

2.2.2. Jangka Waktu Perlindungan Hak Cipta ... 68

(2)

2.2.4. Definisi Karya Ciptaan Musik dan Lagu ... 71

2.3. Konvensi Internasional yang Berkaitan dengan Perlindungan Hak Cipta dan Ketentuan TRIPs-WTO ... 79

BAB III. PELANGGARAN HAK EKONOMI PENCIPTA MUSIK DAN LAGU SERTA ORGANISASI PERLINDUNGAN PENCIPTANYA DI INDONESIA ... 91

3.1. Proses Pengalihan Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu 91 3.1.1. Penciptaan Musik dan Lagu ... 91

3.1.2. Unsur-Unsur Penting dalam Pengalihan Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu ... 91

3.1.3. Prinsip Dasar yang Harus dipenuhi dalam Pengalihan Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu ... 93

3.2. Organisasi Perlindungan Pencipta Musik dan Lagu di Indonesia ... 95

3.2.1. Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) ... 95

3.2.2. Dasar Pemungutan Royalti oleh YKCI ... 104

3.2.3. Cara Pembagian Royalti yang didistribusikan oleh YKCK Kepada Pencipta Musik dan Lagu ... 105

3.3. Organisasi Perlindungan Pencipta Musik dan Lagu di Indonesia ... 110

(3)

4.1. Perlindungan Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu yang Telah diakomodasikan dalam Undang-undang Nomor 12

Tahun 1997 Dikaitkan dengan TRIPs-WTO ... 129

4.1.1. Implikasi Perjanjian TRIPs-WTO terhadap Pembentukan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 .. 129

4.1.2. Cakupan Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu Dalam TRIPs-WTO ... 138

4.1.3. Cakupan Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 ... 140

4.2. Pelaksanaan Perlindungan Terhadap Pencipta Musik Dan Lagu di Indonesia setelah Ratifikasi TRIPs-WTO ... 144

4.2.1. Perlindungan Pencipta dan Hak Cipta Musik dan Lagu ... 148

4.2.2. Bentuk Perlindungan yang dibutuhkan untuk Melindungi Aktivitas Pencipta Musik dan Lagu ... 150

4.2.3. Perlindungan Keberadaan Karya Ciptaan Musik Dan Lagu ... 156

4.2.4. Pelaksanaan Pengalihan Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu ... 159

4.2.5. Upaya yang Telah dilakukan untuk Melindungi Pencipta Setelah Berlakunya UUHC Tahun 1997 Sesuai TRIPs-WTO ... 173

4.2.6. Berbagai Kepentingan Hak Ekonomi Pencipta Musik Dan Lagu yang Harus diakomodasikan oleh Rancangan Undang-Undang Hak Cipta Indonesia ... 177

4.3. Hambatan dari Pelaksanaan Perlindungan Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu Belum Dapat Diterapkan Sepenuhnya di Indonesia setelah adanya UUHC Tahun 1997 ... 193

4.3.1. Kualitas UUHC Tahun 1997 ... 193

4.3.2. Penegakan Hukum... 195

4.3.3. Pemahaman Pencipta Musik dan Lagu tentang Hak Ekonominya ... 199

4.3.4. Kondisi Masyarakat dan Dilema Pasar... 200

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 204

5.1. Kesimpulan ... 204

5.2. Saran... 205

DAFTAR PUSTAKA ... 206

(4)

DAFTAR SINGKATAN

The American Society of Composers, Authors and Publisher

Asosiasi Industri Rekaman Indonesia

The Broadcast Inc

Badan pembinaan Hukum Nasional

Het Bureau voor Muziek Autersrecht

Compact Disc

Direktorat Jenderal Hak Cipta Paten dan Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Divisi Mechanical Right Karya Cipta Indonesia

Electronic commerce

General Agreement on Tariff and Trade

Garis-garis Besar Haluan Negara Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Laser Disc

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Master ceremony

MPEG Layer 3

(5)

N.N.

Persatuan Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia

Political and Economic Risk Consultancy

Polisi Republik Indonesia Pajak Pertambahan Nilai Pejabat Pegawai Negeri Sipil

Pimpinan produser, produser, perusahaan rekaman Rancangan Undang-undang

De stichting tot Eksploitatie en Bescherming van Autersrechten

The Society European Stage Authors and Compusers

Sinema Elektronik

Sertifikat Lisensi Pengumuman Musik

Song Permission Order

De stichting tot Eksploitatie van Mecanische Reproduktierechten van Auters

Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights in Counterfeit Goods

Undang-undang Hak Cipta

(6)

DAFTAR TABEL

No Tabel Judul Halaman

1. Perbedaan Sistem Pembayaran Royalti dan Flat Pay ... 94

2. Data Peserta YKCI Tahun 1992 – 1999 ... 100

3. Data Karya Cipta Musik dan Lagu 1992 – 1999... 100

4. Daftar Lagu yang diterima pendaftarannya Tahun 1997-1999 ... 101

5. Daftar Musik dan Lagu yang ditolak Pendaftarannya Tahun 1997 – 1999... 106

6. Cara Membagi Royalti... 109

7. Ikhtisar Eksplitasi dan distribusi royalty atas hak mengumumkan Dan hak menggandakan tahun 1998-1999 ... 114

8. Kasus Pelanggaran Hak Cipta Musik dan Lagu Tahun 1995 ... 114

9. Kasus Pelanggaran Hak Cipta Musik dan Lagu Tahun 1996 ... 114

10. Kasus Pelanggaran Hak Cipta Musik dan Lagu Tahun 1997 ... 114

(7)

DAFTAR DIAGRAM

No. Diagram Judul Halaman

1. Penggolongan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) ... 2

2. Dua Macam Hak Pencipta, Hak Ekonomi dan Hak Moral ... 59

3. Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu di Indonesia ... 92

4. Rangkaian Pengalihan Hak Ekonomi Pencipta dalam Musik dan Lagu ... 95

5. Keberadaan YKCI Sebagai Performing Right Society ... 97

6. Proses Pendaftaran Hak Cipta Berdasarkan UUHC Tahun 1997 ... 102

7. Mechanical Right YKCI ... 108

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Penelitian

Memasuki pintu gerbang millennium III (abad 21) hamper tidak terlihat lagi batas-batas Negara, karena lalu lintas perdagangan dan informasi teknologi telah berjalan sangat cepat. Fenomena tersebut oleh Sudargo Gautaman, diibaratkan dengan hidup dalam suatu dunia yang menciut (shrinking world).1 Semenjak itu persaingan barang dalam perdaganan internasional tidak hanya berkaitan dengan barang dan jasa semata-mata, tetapi terlibat juga sumber daya manusia berupa hasil kemampuan intelektual dan teknologi.2

Hasil kemampuan intelektual dan teknologi disebut Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HaKI atau HKI), yang merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (IPR). Digunakannya istilah HaKI bagi terjemahan IPR karena merupakan istilah resmi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Hak Cipta. Selain itu berdasarkan Keppres Nomor 144 Tahun 1998, mulai 1 Januari 1999 Departemen Kehakiman Direktorat jenderal Hak Cipta Paten dan Merek (Ditjen HCPM) diubah menjadi Direktorat jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (Ditjen HaKI). Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI No.M.03.PR-07.10 Tahun 2000 dan Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 24/M.PAN/1/2000 Tanggal 19 Januari 2000, mengubah istilah Hak atas kekayaan Intelektual menjadi Hak Kekayaan Intelektual, disingkat dengan HKI atau HaKI. Alasan pengubahan agar lebih menyesuaikan dengan kaidah tata bahasa Indonesia yang tidak menuliskan kata depan “atas” atau

1

Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Pembaharuan Undang-Undang Hak Cipta

(1997), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 3.

2

Sylvia Ostry dan Michael Gestrine dalam Ahmad M. Ramli, Perlindungan Rahasia Dagang

Dalam Era Globalisasi Dikaitkan dengan Pengaturan dan Praktiknya di Indonesia, Disertasi,

(9)

“dari” untuk pemakaian istilah. Sejauh ini masih ditemuakn berbagai pendapat di antara penyebutan istilah HaKI dengan Hak Milik Intelektual (HMI), namun demikian dalam tulisan ini akan dipergunakan istilah HaKI. Selanjutnya HaKI terdiri atas dua kelompok, yaitu (1) Hak Cipta dan Hak yang Berkaitan dengan Hak Cipta serta (2) Hak kekayaan Industri. Untuk lebih jelasnya diuraikan pada diagram di bawah ini.

Diagram 1. Penggoloongan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI):3

Ketentuan mengenai hak kekayaan industri untuk selanjutnya, tidak akan dibahas di sini, karena penulis hanya membatasi menyangkut hak cipta saja.

3

Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights-Agreement Establishing the World Trade Organization (TRIPs-WTO) yang kemudian diikuti oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Hak Cipta. Lihat juga Eddy Darnian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi

Internasional, Undang-Undang Hak Cipta 1997 dan Perlindungannya Terhadap Buku serta Perjajian Penerbitannya, Alumni, Bandung, 1999, hlm. 23. Bandingkan dengan Pasal 11 ayat (1)

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 mengenai Ciptaan yang dilindungi Hak Cipta, “Musik atau lagu” diatur dalam sub d. Selanjutnya Convention Establishing the World Intellectual Property Organization (WIPO), kemudian TRIPs-WTO menambah dua bidang lagi yaitu pada nomor k & l “New Varieties of Plants Protection” dan Layout-design of Integrated Circuits” .

Hak Kekayaan Intelektual

Intellectual Property Rights

(1) Hak Cipta dan Hak yang berkaitan dengan Hak Cipta

Copyrights and Neighboring rights

(2) Hak Kekayaan Industri

Industrial Property Rights

a.Tulisan-tulisan (writings)

b.Ciptaan Musik atau Lagu (musical or

song works)

c.Ciptaan Drama (dramatic works)

d.Ciptaan Audiovisual (audiovisual works)

e.Lukisan dan Gambar (painting and

drawings)

f.Patung (sculptures)

g.Ciptaan Photo (photographic works)

h.Ciptaan Arsitektur (architectural works)

i.Rekaman Suara (sound recordings)

j.Pertunjukkan Pemusik, Aktor dan

Penyanyi (performances of musicians,

actors and singers)

k.Penyiaran (broadcasts)

l.Terjemahan, Adaptasi/saduran

(translation, adaption)

a.Paten (patents)

b.Model dan rancang bangun (utility

models)

c.Desain Industri (industrial design)

d.Rahasia dagang (trade secrets)

e.Merek dagang (trade marks)

f.Merek Jasa (service marks)

g.Nama dagang atau nama niaga (trade

names or commercial names)

h.Sebutan asal (appletations of rigin)

i. Indikasi asal (indications of rigin)

j. Perlindungan terhadap persaingan curang

(unfair competition protection)

k.Perlindungan varietas baru tanaman (new

varieties of plants protection)

l. Desain tata letak sirkit terpadu (layout

(10)

Adapun mengenai hak yang berkaitan dengan hak cipta (neighboring rights), merupakan hak yang berbeda dengan hak cipta. Hai ini lahir sejak ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra diwujudkan. Neighboring rights deberikan kepada para pelaku pertunjukan, produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran yang terwujud karena adanya suatu kegiatan yang berhubungan dengan hak cipta.4 Hak ini disebut juga dengan related rights.5 Selanjutnya sebagai subjek hak, pelaku pertunjukan, produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran tidak dianggap sebagai pencipta. Alasannya karena kegiatan yang mereka lakukan bukan merupakan proses kreatif yang melahirkan suatu karya cipta melinkan mereka hanya menampilkan

(perform) suatu karya seni. Dengan demikian tidak dibahas lebih lanjut, karena tidak menyangkut kajian dalam perlindungan hak ekonomi pencipta musik dan lagu.

Hak cipta yang merupakan bagian HaKI, memerlukan pengaturan perlindungan hukum yang lebih memadai, berupa pengembangan implementasi baik hukum internasional maupun hukum nasional. Terdapat juga kaitan yang eraat antara perlindungan hukum hak cipta dengan globalisasi perdagangan. Menyikapi hal tersebut Negara-negara maju, antara lain Amerika Serikat mendesak Negara-negara berkembang, supaya HaKI langsung dikaitkan dengan perdagangan. Hal ini disebabkan HaKI khususnya hak cipta, dapat menjadi salah satu kekuatan ekonomi nasional suatu Negara. Amerika Serikat nisalnya, semakin memilih peran sebagai produsen HaKI yang dapat menunjang ekonomi negaranya.6 Keadaan ini dimungkinkan karena keunggulan sumber daya manusia dan teknologi yang dimilikinya. Demikian besar manfaat yang dirasakan dengan adanya perlindungan

4

WIPO, Background Reading Material on Intellectual Property, Geneva: WIPO, 1988, hlm. 216

5

Henry Sulistyo Budi, “Perlindungan Hak-hak yang Berkaitan Dengan Hak Cipta dan

Permasalahannya”, Makalah, Jakarta 27 November 1997, hlm. 2. 6

Dylan A Macleod, U.S. Trade Pressure and The Developing Intellectual Property Law of Thailand and Indonesia, dalam Cita Citrawinda Priapantja, “Budaya Hukum Indonesia Menghadapi

(11)

HaKI, dan Negara-negara maju akan berusaha memberikan perlindungan yang ketat terhadap HaKI.

Mendukung pendapat di atas, Cornish mengatakan sebagai berikut:7

“ The United States has led other industrial countries ini demanding that broad and effective intellectual property la ws should become a condition of the package of mutual concessions that are to be agreed”

Pendapat tersebut menegaskan bahwa Amerika Serikat sebagai negara maju, meminta negara-negara berkembang untuk mengefektifkan pengatauran HaKI dan menjadikan keadaan demikian, sebagai konsesi timbal balik dalam pembuatan perjanjian ekonomi.

Negara yang tidak memberikan perlindungan dan melakukan pelanggaran HaKI atau tidak mematuhi standar-standar yang telah digariskan secara internasional menurut

Sudargo Gautaman dan Rizawanto Winata, dapat dikenakan sanksi yaitu,

dicabutnya berbagai fasilitas yang diberikan antara lian berupa General System of Preferences (GSP), atau adanya sanksi perdaganan dan pembalasan (retaliation)

terhadap tiap negara yang mengeskpor barang ke Amerika. Wakil Amerika dalam Bank Dunia diminta untuk memveto pinjaman-pinjaman yang hendak diberikan kepada suatu negara yang tidak memberikan perlindungan HaKI.8

Kasus yang dapat dikemukakan berkaitan dengan hal tersebut yaitu, tanggal 1 Juni 1988 Indonesia diketahui telah mengekspor kaset bajakan (pira cy) ke wilayah Amerika Serikat. Pelanggar hak cipta tersebut juga melakukan pembajakan terhadap lagu-lagu asing (Amerika) dan diedarkan di wilayah Indonesia. Hal ini merupakan salah satu alasan Indonesia dimasukkan ke dalam negara priority-watchlist, yaitu daftar negara-negara yang harus diamati secara khusus karena tidak memberikan

7

Cornish W.R. Intellectual Property; Patents, Copyright, Trade Marks and Allied Right, Second Edition, Sweet & Maxwell, London, 1989, hlm. 255.

8

Sudargo Gautama, Masalah-Masalah Perdagangan, Perjanjian, Hukum Perdata

(12)

perlindungan HaKI. Amerika Serikat mengatur secara khusus perlindungan HaKI dalam Special 301 yang terdapat Omnibus Act.9

UUHC Tahun 1997 tidak menggunakan istilah bajakan, yang berasal dari terjemahan piracy, namun istilah ini tertera pada Konsiderans UUHC Tahun 1987 dan Penjelasan Umum dari UUHC tersebut. Stilah tersebut juga dipakai secara umum oleh para ahli dalam tulisannya baik di Indonesia maupun di luar negeri. Bajakan (piracy)

bermakna, “Mengambil hasil ciptaan orang lain tanpa sepengetahuan atau seizin penciptanya.”10

Industri hak cipta pun telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi Negara-negara maju untuk pendapatan negaranya, seperti yang dinyatakan Hummel dalam Sanusi Bintang sebagai berikut:11

“Industri yang berbasis hak cipta telah memberikan kontribusi yang tinggi dalam pembentukan Gross Domestik Producht (GDP) atau Gross National Product (GNP), terutama di negara-negara maju. Oleh karena, negara-negara maju memiliki keunggulan di bidang ilmu pengetahuan, kesenian dan kesusastraan yang merupakan salah satu sumber keunggulan kompetitif industri mereka.”

Keuntungan lain dari industri yang berbasis hak cipta, adalah membuka kesempatan berusaha dan peluang kerja. Industri ini meliputi bidang-bidang industri musik dan perdaganngannya; industri pentas dan orkestra; industri film; industri radio dan TV; industri museum dan perdagangan seni; industri periklanan, desain, dan photografi; industri percetakan dan penerbitan (buku, surat kabar, majalah, jurnal dan sebagainya); industri arsitektur; industri penelitian dan pengembangan; industri perangkat lunak dan komputer serta produk multi media.

9

Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Pembaharuan Undang-Undang Hak Cipta (1997)

Op. Cit., hlm. 132

10

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, 1996, hlm. 77. Selain itu istilah piracy merupakan istilah resmi yang digunakan dalam TRIPs-WTO.

11

(13)

Di era global keberadaan dan perkembangan karya cipta musik dan lagu sebagai salah satu bagian yang dilindungi hak cipta, tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan industri teknologi (paten, know how, dan lain sebagainya). Industri ini dibentuk dari industri cultural yang menempati posisi yang cukup diperhitungkan. Posisi tersebut menurut Arnel Affandi dicontohkan, Amerika Serikat sebagai Negara adi daya yang mengandalkan industri musik dan lagu, sebagai sumber devisa dalam perdagangan internasionalnya.12 Industri ini juga merupakan salah satu komoditi yang paling potensial bagi transaksi perdaganan internasional.13 Hal tersebut karena mempunyai segmen pasar yang sangat luas dan mampu melewati batas-batas negara. Selain itu musik dan lagu juga diminati oleh seluruh kalangan masyarakat tanpa mengenal batas usia. Pencipta musik dan lagu atau pemegang hak ciptanya memperoleh keuntungan komersial dari keunggulan kompetitif, dari kekhasan tertentu yang dihasilkan dari keindahan irama, lirik, melodi dan sebagainya, yang dibentuk melalui promosi atas periklanan, kritik, reputasi dan karya-karya pencipta sebelumnya. Dengan demikian, musik dan lagu sebagai seb uah komoditi mempynyai nilai ekonomi yang tinggi.

Latar belakang inilah yang menyebabkan Indonesia menandatangani perjanjian multilateral pada tanggal 15 April 1994 di Marakesh, Afrika Utara. Deklarasi Marakesh melahirkan World Trade Organization (WTO) yang mencantumkan 28 kesepakatan global dan ditandatangani oleh 125 negara, mengatur segala bentuk perdagangan internasional di seluruh dunia. Perundingan yang dimulai sejak tahun 1986 di Punta del este, lazim juga dikenal dengan Uruguay Round, diantaranya memuat Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) atau

12

Arnel Affandi, “Perlindungan dan Penegakan Hukum Hak Cipta Dalam Industri Musik

Nasional”, Makalah, Asosiasi Industri Rekaman Indonesia, 1997, hlm. 1.

13

ASIRI, “Tinjauan Praktikal Terhadap Implementasi Penegakan Hukum HaKI Dalam

(14)

Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights in Counterfeit

Goods (TRIPs). Persetujuan ini memuat norma-norma dan standar perlindungan bai karya intelektual manusia, penegakan hukum HaKI secara ketat dan menempatkan perjanjian internasional di bidang HaKI sebagai dasarnya. Lahirnya TRIPs juga menyebabkan adanya suatu standar internasional yang mengacu kepada konvensi HaKI, dan adanya harmonisasi peraturan-peraturan HaKI bagi anggotanya. Selanjutnya ratifikasi TRIPs-WTO tersebut, pada tanggal 2 Nopember 1994 diwujudkan melalui pembentukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organiztion). Dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 57 Tahun 1994, dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 1561.14

Konsekuensi ratifikasi tersebut, Indonesia harus mengubah Undang-undang Hak Cipta yang telah ada sebelumnya yaitu, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 jo Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 diubah mendadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 (selanjutnya disebut UUHC Tahun 1997), yang telah disesuaikan berdasarkan TRIPs-WTO.15 Pada tahun itu juga, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan tiga Keputusan Presiden berkenaan dengan hak cipta, yakni Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997, Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997, dan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.16

14

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan

Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization). 15

Ketika penulisan tesis ini, dibentuk Rancangan Undang-Undang Hak Cipta dan Hak yang

berkaitan dengan Hak Cipta Tahun 2000 yang merevisi UUHC yang telah ada sebelumnya. Saat ini

keberadaan RUU tersebut sedang dibahas di DPR. 16

Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Paris (Paris

Convention) dan Konvensi mengenai pembentukan WIPO; Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun

1997 Perlindungan Karya Sastra dan Seni (Berne Convention for Protection of Literary and Artistic

Works); Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 Tentang WIPO Copyright Treaty. Treaty ini

(15)

Henry Sulistyo budi mengatakan pula alasan dilakukan penyempurnaan UUHC

Thaun 1997 sesuai TRIPs disebabkan adanya:17

”Kajian-kajian yang dilakukan oleh pemerintah yang ditemui di lapangan, bahwa penyebab pelanggaran hak cipta adalah (1) etika masyarakat rendah dalam menghargai hak cipta; (2) pemahaman yang kurang dari masyarakat dan aparat penegak hukum; (3) ancaman UUHC yang terlalu ringan”.

Setelah dilakukan tindakan konkret tersebut di atas, konsekuensi lainnya sebagai negara peserta menyangkut pengaturan hak cipta, maka TRIPs-WTO menghendaki anggotanya terikat dengan Konvensi Bern (Pasal 3 ayat (2) TRIPs). Selanjutnya setiap anggota TRIPs harus memberlakukan prinsip National Tratment

yaitu, setiap anggota wajib memberikan perlindungan yang sama kepada warga negara lain sebagaimana perlindungan yang diberikan kepada warga negaranya sendiri dengan memperhatikan konvensi Berne, (Pasal 3 ayat (1) TRIPs). Pemberlakukan prinsip

Most-Favoured-Nation yaitu, semua anggota terikat untuk memberikan perlakuan yang sama, yang harus dijalankan seketika dan tanpa syarat terhadap produk kekayaan memperhatikan Konvensi bern, (Pasal 4 TRIPs).18 Ketentuan lainnya setiap anggota TRIPs harus memetuhi Pasal 1 sampai dengan Pasal 21 Konvensi Bern, (Pasal 9 ayat (1) TRIPs).

Dari uraian tersebut menunjukkan setiap anggota TRIPS-WTO, juga harus terikat dengan Konvensi Bern. Berlakunya Konvensi Bern merupakan hal yang wajar serta berlaku dengan sendirinya sebagai akibat ratifikasi TRIPs bagi negara peserta.19

17

Henry Sulistyo Budi, “Tindakan Pemerintah yang merupakan Kebijakan Umum Dalam

Mengantisipasi atau mencegah Pelanggaran di Bidang HaKI”, Makalah, Sekretariat Tim Keppres 34,

Jakarta, 1994. Hlm.2. 18

Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan

Internasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 15 Dan 17.

19

Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Konvensi-Konvensi Hak Milik Intelektual Baru

Untuk Indonesia (1997). Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 67-68. Indonesia kembali menjadi

(16)

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004 mengimplementasikan ketentuan mengenai perlindungan dan penghargaan hak cipta serta royalti bagi pelaku seni dan budaya yaitu:20

”Mengembangkan kebebasan berkreasi dalam berkesenian untuk mencapai sasaran sebagai pemberi inspirasi bagi kepekaan rasa terhadap totalitas kehidupan dengan tetap mengacu pada etika, moral, estetika dan agama, serta memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap hak cipta dan royalti bagi pelaku seni dan budaya.”

Lebih lanjut GBHN Tahun 1999-2004 mengatur sebagai berikut:21

”Melestarikan apresiasi nilai-nilai kesenian dan kebudayaan tradisional serta menggalakkan dan memberdayakan sentra-sentra kesenian utnuk merangsang berkembangnya kesenian nasional yang lebih kreatif dan inovatif, sehingga menumbuhkan rasa kebanggaan nasional.”

Adanya UUHC Tahun 1997 yang disesuaikan dengan TRIPs-WTO dan tekad Pemerintah untuk menegakkan dan memberi perlindungan terhadap hak cipta (musik dan lagu), yang tercermin dalam GBHN ternyata tidak menyurutkan terjadinya pelanggaran terhadap karya tersebut. Hal ini menimbulkan kerugian baik hak ekonomi maupun hak moral pencipta, padahal diketahui pelanggaran itu adalah pekerjaan liar, tersembunyi, tidak dapat diketahui oleh orang banyak apalagi petugas pajak. Pelanggar hak cipta musik dan lagu, tidak mungkin membayar pajak kepada negara. Jelaslah bahwa perbuatan yang mereka lakukan itu, di samping merugikan pencipta atau pemegang hak cipta juga merugikan negara. Pelanggaran hak cipta merupakan salah satu dampak negatif kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang grafika dan elektronika yang dimanfaatkan secara melawan hukum.22 Jika perbuatan itu dilakukan terus-menerus dan dalam jumlah yang makin meningkat akan menimbulkan akibat negatif terhadap laju pembangunan di bidang hak kekayaan intelektual.23

20

Ketetapan MPR/Nomor IV/MPR/1999-2004 BAB IV (F) Sosial dan Budaya Butir 2

Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata sub d.

21

Ibid, sub f. 22

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. 1999, hlm. 442

23

(17)

Mengomentari mengenai penegakan hukum terhadap pelanggaran hak cipta musik dan lagu, Chandra Darusman menyatakan sebagai berikut:24

”Penegakan hukum terhadap kasus-kasus hak cipta musik dan lagu seringkali masih ragu-ragu. Pihak penegak hukum masih enggan bertindak tegas kepada pedagang kaki lima yang menjual ”kaset seribu tiga”, atau kaset yang tidak memiliki izin. Pertimbangannya karena masalah sosial ekonomi, maka sepertinya tidak manusiawi menindak mereka yang jelas-jelas melawan hukum. Pedagang kaki lima sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kalangan bawah karena masyarakat golongan ini, tidak akan mampu membeli kaset di toko dengan harga resmi”.

Masalah penegakan hukum dan masih kurangnya pemahaman terhadap hak cipta juga diutarakan Henry Soelistyo Budi, sebagai berikut:25

”Kurangnya pemahaman masyarakat dan aparat penegak hukum mengenai (arti dan fungsi), perlu kerja keras semua pihak baik pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat maupun para pencipta sendiri, untuk memperbaikinya. Adanya kelemahan dari segi pelaksanaan (enforcement), sampai saat ini masih relevan untuk dipersoalkan”.

Masalah lainnya adalah, hak cipta masih dianggap hal baru di Indonesia terutama bagi polisi, jaksa dan hakim, sehingga banyak kasus-kasus pelanggaran tersebut tidak cukup diselesaikan dengan menggunakan UUHC yang ada, melainkan tuntutan pelanggaran sering menggunakan pasal-pasal dalam KUHP, sekalipun dalam UUHC sendiri telah mencantumkan ketentuan pidana.26

Kasus yang dapat dicontohkan untuk hal ini adalah Kasus Fam Ing Tjun di Pengadilan Jakarta Utara, yang meniru lagu ”Apanya dong” ciptaan Titik Puspa diubah menjadi ”Mau apanya dong.” Peniruan tersebut berupa, judul lagu yang hampir bersamaan; harmoni yang sama mulai tengah sampai akhir; refrain lagu yang sama dan nada lagu hampir 50% sama. Jaksa dalam surat dakwaannya mengajukan tuntutan bahwa perbuatan terdakwa melanggar pasal 380 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 44 ayat

24

Chandra Darusman, dalam Paul Goldstein, Copyright’s Highway, From Gutenberg to the

Celestial Jukebox, (Diterjemahkan “Hak cipta: Dahulu, Kini dan Esok”), Masri Maris

(Penerjemah), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997, hlm. IX 25

Henry Sulistyo Budi, “Tindakan Pemerintah yang Merupakan Kebijakan Umum Dalam Mengantisipasi atau Mencegah Pelanggaran di Bidang HaKI,” Op. Cit. hlm. 2

26

(18)

(1) jo 11 ayat (1) ke-3 UUHC Tahun 1982; dan dakwaan subsider Pasal 380 ayat (1) ke-2 KUHP dan Pasal 44 ayat (2) jo Pasal 11 ayat (1) ke-3 UUHC Tahun 1982 tentang Hak Cipta, dan akhirnya terdakwa dihukum enam bulan penjara. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi jakarta dan Mahkamah Agung.27

Kasus lainnya adalah Grup Bimbo yang menggugat mantan produsernya

(Eugene Timothy) dan perusahaan yang dimilikinya (PT. Remaco), yaitu perusahaan yang merekam karya cipta Bimbo. Gugatan Bimbo menyangkut mengenai pembayaran royalti, penggandaan rekaman serta peredaran cover album mereka yang dilakukan produsernya dan PT. Remaco tanpa seizin Bimbo. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya memutuskan, bahwa Bimbo bersalah telah melakukan Pasal 1372 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum berpa pencemaran nama baik/penghinaan kepada mantan produsernya, selanjutnya menghukum bimbo membayar ganti rugi 500 juta rupiah kepada produsernya dan PT. Remaco.28 Keadaan demikian menunjukkan bahwa perlindungan hukum masih jauh dari harapan pencipta musik dan lagu di Indonesia. Putusan hakim juga tidak berlandaskan UUHC Tahun 1997, sebagaimana yang dijadikan landasan gugatan Bimbo selaku Penggugat.

Pada tahap inilah perlindungan hukum yang disertai kepastian hukum diperlukan oleh pencipta musik dan lagu. Adanya perlindungan hukum disertai kepastian hukum bagi pencipta tersebut akan mendorong lahirnya suatu karya seni yang bermutu. Karya itu berasal dari tenaga, waktu, pikiran dan biaya pencipta. Pelanggaran terhadap hak ekonominya akan menyebabkan kreativitas mereka berkurang atau lahirlah karya yang tidak bermutu sama sekali.

27

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 1331/K/Pid/S/1983, tanggal 11April 1984 jo Putusan pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 57 /Pid/1984/PT DKI, tanggal 28 September 1984 jo

Mahkamah Agung RI No. 1266.K/Pid/1985, tanggal 26 April 1989.

28

(19)

Selain pelanggaran terhadap musik dan lagu yang terjadi di Indonesia, lagu ciptaan pencipta Indonesia pun banyak dilanggar di luar negeri, misalnya lagu Bengawan Solo telah dilanggar di Jepang, demikian juga dengan lagu ”Madu dan Racun” juga dibajak di luar negeri,29 yaitu di Malaysia dan Singapura. Pelanggaran terjadi juga antara sesama pencipta lagu seperti pada lagu ”Pretty Woman” yang diciptakan Roy Orbison dan William Dees. Tahun 1990 atau setelah 25 tahun lagu laris dan terkenal ini beredar diubah tanpa seizin penciptanya, dari irama pop menjadi rap oleh kelompok rapper terkenal ”2 Live Crew.” demikian juga dengan lagu ”Me so Horny dan My Seven Bizos.” 30

Menurut Johny Tarigan seperti yang dikutip Ismail Saleh bahwa untuk pembajakan kaset yang dilakukan di luar negeri, negara sekurang-kurangnya dirugikan 7,5 milyar rupiah setahun, belum terhitung kerugian bea masuk untuk kaset kosong yang digunakan. Kerugian ini timbul karena pembajak tidak membayar bea masuk, biaya sensor, dana sertifikat produksi, biaya penggandaan, dan pajak pertambahan nilai (PPN).31

Mengomentari hal yang sama Ketua Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), Rinto Harahap menyatakan setiap bulan pihaknya dirugikan 6 milyar rupiah akibat ulah pembajak. Bahkan menurutnya lebih dari 60 persen lagu-lagu yang beredar di Indonesia adalah bajakan.32

Dalam beberapa hal menyangkut perlindungan hak ekonomi pencipta musik dan lagu, belum terdapat pengaturannya dalam UUHC tahun 1997. salah satu contoh tindakan seseorang yang mengambil sebuah karya orang lain untuk diparodikan. Karya

29

Sri Sunarni Sunarto, “Peranan Suatu Perjanjian Internasionall Untuk Melengkapi

Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran

Bandung, 1989, hlm. 3. 30

Paul Goldstein, Copyright’s Highway, From Gutenberg to the Celestial Jukebox,

(Diterjemahkan “Hak cipta: Dahulu, Kini dan Esok”), Masri Maris (Penerjemah), Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta, 1997, hlm. 3 31

Ismail Saleh, Hukum dan Ekonomi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990, hlm. 47-48 32

(20)

cipta tersebut diparodikan dengan lirik, iraman, aransemen, yang berbeda dari sebelumnya untuk tujuan komersial. Berkaitan dengan hal ini muncul persoalan antara lain, apakah karya parodi ini mempunyai hak cipta sendiri dalam lingkup UUHC di Indonesia, sejauhmana tindakan parodi dibenarkan dalam UUHC, dan apakah keberadaan parodi sebagai suatu karya ini disadari sepenuhnya oleh pencipta musik dan lagu, karena memparodikan karya mereka berarti akan ada keuntungan finansial yang akan diperoleh pencipta.

Era multi media pun mengakibatkan media internet merupakan suatu arena baru yang memunculkan dan memperkenalkan rekaman musik dan lagu, kepada masyarakat dan users-nya. Pengaturan perlindungan hak ekonomi bagi pencipta, melalui internet adalah sarana yang dapat mengumumkan, menggandakan, mendistribusikan, dan men-download musik dan lagu karya mereka, yang sampai saat ini belum tercakup dalam UUHC Tahun 1997. semuanya ini memerlukan kajian lebih lanjut sehingga dalam penyusunan RUU yang sedang dibahas saat ini, semua persoalan di atas dapat diakomodasikan.

Hukum hak cipta, meskipun bertujuan melindungi pencipta namun di dalamnya juga mengandung fungsi sosial. Ketentuan ini oleh Pasal 14 UUHC Tahun 1997 ditentukan bahwa, selain berfungsi sosial juga secara negatif disebutkan bukan perbuatan pelanggaran terhadap hak cipta jika:

(1) Sumbernya disebutkan atau dicantumkan;

(2) Penggunaan ciptaan pihak lain untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi pencipta;

(21)

pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentigan yang wajar bagi pencipta;

(4) Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan dan pusat dokumentasi yang non-komersial, semata-mata untuk keperluan aktivitasnya.

(5) Untuk keperluan pembelaan di dalam dan luar pengadilan.

Ketentuan pasal di atas menyiratkan bahwa walaupun hak cipta dilindungi undang-undang, masyarakat tetap diizinkan memanfaatkan ciptaan orang lain tanpa seizin penciptanya sampai batas tertentu, yaitu untuk kepentingan kemanusiaan atau mencerdaskan bangsa. Dengan demikian pada hak cipta terkandung dua sisi kepentingan, yaitu kepentingan individual dalam melindungi hak ekonomi dan moral yang dilindungi undang, serta kepentingan sosial yang dijamin oleh undang-undang sampai batas tertentu dengan alasan tertentu pula.

(22)

sehari-hari, padahal diketahui hal itu merupakan sutau bentuk pelanggarah terhadap perlindungan hak ekonomi bagi pencipta musik dan lagu. Ironinya perlindungan hukum kepada pencipta telah dicakup dalam UUHC Tahun 1997, yang telah disesuaikan dengna TRIPs-WTO.

Berdasarkan pemikiran di atas, perlu dilakukan penelitian dalam bentuk tesis tentang ”Perlindungan Hak Ekonomi Pencipta Terhadap Karya Ciptaan Musik

dan Lagu di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997

Dikaitkan dengna perjanjian TRIPs-WTO.”

2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dibatasi sebagai berikut:

2.1. Sejauhmana Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 telah mengakomodasikan perlindungan hak ekonomi pencipta musik dan lagu di Indonesia dikaitkan dengan TRIPs-WTO?

2.2. Bagaimana pelaksanaan perlindungan terhadap pencipta musik dan lagu di Indonesia setelah ratifikasi TRIPs-WTO?

2.3. Apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan perlindungan hak ekonomi pencipta musik dan lagu di Indonesia setelah adanya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

(23)

3.2. Untuk mengetahui dan memahami lebih jauh bagaimana pelaksanaan perlindungan terhadap pencipta musik dan lagu di Indonesia setealah ratifikasi TRIPs-WTO.

3.3. Untuk mengetahui dan memahami lebih jauh apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan perlindungan hak ekonomi pencipta musik dan lagu Indonesia setelah adanya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997.

4. Kegunaan Penelitian

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan

pemikiran bagi perkembangan hukum tentang Hak kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), juga dapat melengkapi literatur pada pengajaran hukum bisnis dan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut, khususnya hak cipta musik dan lagu.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada:

4.1. Pencipta musik dan lagu, produser, praktisi hukum, Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI), Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), Persatuan Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik rekaman Indonesia (PAPPRI);

4.2. Pemerintah khususnya aparat penegak hukum;

4.3. Masyarakat luas sebagai konsumen dan user sebagai pengguna ciptaan musik dan lagu dalam rangka mendukung usahanya;

5. Kerangka Pemikiran

(24)

intellect.33 Menambahkan hal tersebut John F. William menyatakan, the term intellectual property seem to be the best available to cover that body of legal rights

which arise from mental and artistic endeavour.34

Dari uraian ini diketahui bahwa HaKI merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuk, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomi. Bentuk nyata dari kemampuan karya intelektual tersebut berupa bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra.

Pengaturan HaKI secara implicit ditemukan dalam system hukum benda yang mengacu pada ketentuan Pasal 499 KUH Perdata adalah sebagai berikut:

“Menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.”

Mahadi menguraikan lebih lanjut mengenai rumusan pasal tersebut yaitu, yang

dapat menjadi objek hak milik adalah barang dan hak. Adapun yang dimaksud dengan barang adalah benda materil, sedangkan hak adalah benda immaterial.35 Selanjutnya

Pitlo sebagaimana dikutip Mahadi menegaskan pula bahwa HaKI termasuk dalam

hak-hak yang disebut Pasal 499 KUH Perdata sebagai berikut:36

”HaKI termasuk ke dalam hak-hak yang disebut oleh Pasal 499 KUH Perdata. Hal ini menyebabkan hak milik immateril itu sendiri dapat menjadi objek dari suatu hak benda. Hak benda, adalah hak absolut atas sesuatu benda, tetapi ada hak absolut yang objeknya bukan benda. Inilah yang disebut dengan HaKI (intellectual property rights)”.

Selanjutnya Pasal 503 KUH Perdata menggolongkan benda ke dalam dua bentuk yaitu, ”Tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh atau tidak bertubuh”. Ketentuan

33

David I. Bainbridge, Computer and the Law, dalam Muhammad Djumhana dan R.

Djubaedillah, Hak Milik Intelektual; Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm 20.

34

John F. William, A Manager Guide to Patents, Trade Marks & Copyright, Cetakan ke-1, Kogan Page, London, 1986, hlm. 11

35

Mahadi, Hak Milik Immateril, Binacipta, Bandung, 1985, hlm. 65 36

(25)

ini berarti barang adalah benda bertubuh atau benda materil yang ada wujudnya, karena dapat dilihat dan diraba (tangible goods). Misalnya kendaraan, komputer, rumah, tanah. Hak, adalah benda tidak bertubuh atau benda immateril yang tidak ada wujudnya karena tidak dapat dilihat dan tidak dapat diraba (intangible goods). Misalnya HaKI, gadai, hipotik, piutang, hak pakai, hak pungut hasil, hak guna usaha.

Sebagai suatu hak atas kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektualitas manusia, maka pemilikan terhadap HaKI dalam masyarakat beradab diakui seperti yang dinyatakan oleh Roscoe Pound sebagai berikut: 37

”Atas hasil kreasi dari kemampuan intelektual dalam masyarakat beradab diakui bahwa yang menciptakan boleh menguasai untuk tujuan yang menguntungkannya. Kreasi sebagai milik berdasarkan postulat hak milik dalam arti seluas-luasnya meliputi milik tak berwujud.

Berkaitan dengan masalah ini, Van Apeldoorn menyatakan sebagai berikut.38 ”Hak pemilikan hasil intelektual sangat abstrak jika dibandingkan dengan hak pemilikan benda yang terlihat, tetapi hak-hak tersebut mendekati hak-hak benda, lagi pula kedua hak tersebut bersifat mutlak. Selanjutnya terdapat analogi, bahwa setelah benda yang tidak berwujud itu keluar dari pikiran manusia, maka menjelma dalam suatu ciptaan seni, sastra dan ilmu pengetahuan atau dalam bentuk pendapat, jadi berupa benda berwujud (lichamelijk zaak)

yang dalam pemanfaatannya (exploit), dan reproduksinya dapat merupakan sumber keuntungan uang. Inilah yang membenarkan penggolongan hak tersebut ke dalam hukum harta benda.”

Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yang disebut hak kebendaan yaitu hak mutlak atas sesuatu benda. Hak itu memberikan kekuasan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun. Adapun ciri pokok hak kebendaan, adalah sebagai berikut: 39

(1) Merupakan hak yang mutlah, artinya dapat dipertahankan terhadap siapa pun;

37

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Muhammad Rajab, (Penerjemah), Jakarta, Bhatara Karya Aksara, 1982, hlm. 118.

38

Van Apedoom L.J. Pengantar Ilmu Hukum, Oetarid Sadino (Penerjemah), Cetakan Keduapuluhdua, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hlm. 173.

39

(26)

(2) Mempunyai hak yang mengikuti (zaaksgevolg atau droit de suite), artinya hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga atau dalam tangan siapa pun benda itu berada. Hak itu terus mengikuti orang yang mempunyainya; (3) Sistem yang dianut hak kebendaan adalah di mana yang lebih dahulu terjadi

mempunyai kedudukan dan tingkat yang lebih tinggi daripada yang kemudian;

(4) Mempunyai sifat hak yang didahulukan (droit de preference);

(5) Adanya gugat kebendaan;

(6) Untuk dapat memindahkan hak kebendaan itu dapat secara penuh dilakukan.”

Jika dikaitkan dengan hak cipta maka hak cipta itu termasuk ke dalam hak kebendaan. Hal ini karena yang menjadi ciri pokok kebendaan terkandung di dalam hak cipta. Lebih lanjut hak cipta itu dalam Pasal 3 UUHC Tahun 1997 dan Penjelasannya dianggap sebagai benda bergerak dan immateril.

Dalam hubungan kepemilikan terhadap hak cipta khususnya musik dan lagu, hukum bertindak dan menjamin pencipta untuk menguasai dan menikmati secara eksklusif hasil karyanya itu dengan bantuan negara. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum adalah merupakan kepentingan pemilik hak cipta musik dan lagu baik secara individu maupun kelompok sebagai subjek hak. Untuk membatasi penonjolan kepentingan individu maka hukum memberi jaminan tetap terpeliharanya kepentingan masyarakat. Jaminan ini tercermin dalam sistem HaKI yang berkembang dengna menyeimbangkan antara dua kepentingan yaitu pemilik hak cipta musik dan lagu dan kebutuhan masyarakat umum.

Sunaryati Hartono menyatakan ada 4 prinsip dalam sistem HaKI untuk

menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat, sebagai berikut: 40

(1) Prinsip keadilan (the principle of natural justice)

Pencipta yang menghasilkan suatu karya berdasarkan kemampuan intelektualnya wajar memperoleh imbalan baik berupa materi maupun bukan

40

(27)

materi, seperti adanya rasa aman karena dilindungi, dan diakui atas hasil karyanya. Hukum memberikan perlindungan kepada pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya yang disebut hak. Alas an melekatnya hak pada HaKI adalah penciptaan berdasarkan kemampuan intelektualnya. Perlindungan ini pun tidak terbatas di dalam negeri pencipta sendiri, melainkan dapat meliputi perlindungan di luar batas negaranya.

(2) Prinsip ekonomi (the economic argument)

HaKI yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, memiliki manfaat dan nilai ekonomi serta berguna bagi kehidupan manusia. Adanya nilai ekonomi pada HaKI merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Pencipta mendapatkan keuntungan dari kepemilikan terhadap karyanya, misalnya dalam bentuk pembayaran royalty terhadap pemutaran musik dan lagu hasil ciptaannya.

(3) Prinsip kebudayaan (the cultural argument)

Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban, dan martabat manusia. Selain itu akan memberikan keuntungan baik bagi masyarakat, bangsa, maupun negara. Pengakuan atas kreasi, karya, karsa, cipta manusia yang dibakukan dalam sistem HaKI diharapkan mampu membangkitkan semangat, dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru.

(4) Prinsip sosial (the social argument)

(28)

pencipta, tidak boleh diberikan semata-mata untuk memenuhi kepentingan individu atau kesatuan itu saja, melainkan berdasarkan keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat. Bentuk keseimbangan ini dapat di lihat pada ketentuan fungsi sosial dan lisensi wajib dalam UUHC Indonesia.

Selanjutnya UUD1945 alinea ke-IV menyatakan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah untuk memberikan kesejahteraan yang setinggi-tingginya kepada seluruh masyarakat, yaitu kesejahteraan lahir dan batin, materil dan sprituil yang oleh sri soemantri dirumuskan dalam kalimat sebagai berikut:41

“(1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa: dan (3) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan

keadilan sosial.”

Untuk mencapai tujuan kemerdekaan tersebut diperlukan pembinaan dan tertib hukum,sehingga sebagai negara hukum pemerintah berkewajiban untuk memberikan perlindungan hukum di sertai kepastian hukum bagi seluruh warga negara.termasuk pencipta musik dan lagu.

Pengakuan universal terhadap perlindungan HaKI di atur juga dalam Pasal 27

Declaration of Human Rights, 10 december 1948, yaitu:42

“(1) Everyone has the right freely to participate in the cultural life of the community,to enjoy the arts and to share in scientific advancement and its benevits;

(2) everyone has the right to protect tiohal of the moral and material interest resulting from any scient ifik, lite rary or artistic production of which he is author.”

41

Sri Soemantri, Azas Negara Hukum dan Perwujudannya dalam Sistem Hukum Nasional,

dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional, (Penyunting), Moh. Busyro, Salman dan Muh.

Miftahuddin, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, 1992, hlm. 25. 42

Van Panhuys et.al, (ed), International organization and Intergration; A Collection of the

(29)

Selanjutnya Pasal 27 ayat (1) dan (2) UUD 1945, dapat di jadi kan dasar adanya jaminan perlindungan hukum terhadap hak ekonomi individu, dalam hal ini pencipta musik dan lagu serta adanya kebersamaan hidup dan keseimbangan hak individu dan masyarakat yang termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat (1) dan ayat (2).43

Mendukung hal teresebut di atas AMirizal menyatakan sebagai berikut:44

”UUD 1945 menyiratkan berlakunya prinsip-prinsip yang menjamin adanya hak ekonomi individu. Prinsip ini ditemukan dalam Pasal 27 ayat (1) yang mengatur kesamaan hak dan kewajiban dalam mematuhi hukum. Pasal 27 ayat (2) keseimbangan hak dalam berusaha dan/atau kesinambungan hajat hidup bagi warga negara, Pasal 33 ayat (1) tentang kebersamaan hidup dan ayat (2) mengenai keseimbangan hidup.”

Ketentuan pasal-pasal tersebut selain mengatur persamaan hak-hak dasar bagi warga negara, tersirat pula makna bahwa negara berkewajiban untuk melindungi warganya yang lemah dari segi ekonomi agar dalam proses berekonomi, secara bertahap dapat bersaing secara wajar dengan warga negara lainnya yang telah lebih dahulu mampu berkompetisi berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi. Prinsip ini terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menghendaki perekonomian dirancang dan dibangun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Asas ini selanjutnya diakomodasikan dalam GBHN 1993 tentang demokrasi ekonomi yang mempunyai ciri-ciri positif antara lain sebagai berikut:45

43

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 adalah: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” dan selanjutnya dalam Pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Pasal 33 ayat (1) “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” dan ayat (2) “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Pasal 33 UUD 1945 menolak paham individualistic yang dalam perkembangannya melahirkan kapitalistik yang sangat bertentangan dengan demokrasi ekonomi. Dengan demikian secara implicit pasal ini dipakai oleh penulis karena lebih mengedepankan bahwa individu pencipta dan kepentingan masyarakat selaku pengguna produk hak cipta.

44

Amrizal, Hukum Bisnis: Deregulasi dan Joint Venture di Indonesia Teori dan Praktik, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1996, hlm. 25.

45

(30)

“(1) Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;

(2) Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat;

(3) Potensi, inisiatif, dan daya kreasi, dari setiap warga negara dikembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.”

Hak milik individu itu harus berfungsi sosial bagi rakyat Indonesia sebagaimana diutarakan oleh Amirizal, sebagai berikut: 46

“Hukum ekonomi di Indonesia diharapkan berkembang dengan mengutamakan tempat bagi ketaatan pelaku-pelaku ekonomi, yang harus menyadari bahwa hak milik individu akan menjadi kewajiban hokum (rechtsplicht) dari setiap warga negara Indonesia yang pelanggarannya bisa dituntut sebagai perbuatan melawan hukum.”

Jika dicermati masalah HaKI termasuk ke dalam konsep hokum ekonomi pembangunan dan hokum ekonomi sosial dari Sunaryati Hartono.47 Hal ini karena HaKI menyangkut pemikiran hokum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan perekonomian Indonesia. Namun HaKI juga tidak bisa dipisahkan dari hokum ekonomi sosial, karena Pasal 27 UUD 1945 menentukan adanya keseimbangan individu dan masyarakat. Ketentuan ini selaras dengan konsep ekonomi sosial yang menekankan adanya pembagian hasil-hasil pembangunan nasional secara adil merata sesuai dengan harkat dan martabat rakyat Indonesia.

Ikut sertanya Indonesia menjadi negara anggota WTO dan perubahan UUHC Tahun 1997 sesuai TRIPs, jika dihubungkan dengan teori fungsi hukum dari Mochtar

Kusumaatmadja yaitu, hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat atau law a s a

tool of social engineering,48 maka dapat dipahami fungsi hukum bagi negara

46

Amirizal, Op, Cit. hlm. 26 47

Sunaryati Hartono, Op. Cit. hlm. 36-49. Dalam hukum ekonomi pembangunan Indonesia peranan pemerintah sebagai unsure pembaharu dan pemberi arah kepada pembangunan ekonomi itu lebih menonjol, sedangkan hukum ekonomi sosial tekanannya adalah pada pembagian pendapatan nasional secara adil dan merata, memelihara dan meningkatkan martabat kemanusiaan manusia Indonesia dalam rangka pembangunan ekonomi itu.

48

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan

(31)

berkembang seperti halnya Indonesia, tidak hanya bersifat mengatur dan memelihara ketertiban saja, tetapi hukum harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Kehadiran hak cipta yang merupakan salah satu bagian HaKI di Indonesia, membuat perubahan pola pikir dan budaya masyarakat yang semula bersifat komunal menjadi individual, meskipun sifat ini dibatasi oleh fungsi sosial dari sistem HaKI, yang mengakui hak masyarakat. Berdasarkan hal tersebut ada suatu anggapan bahwa, adanya keteraturan atau keteriban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan suatu hal yang diinginkan, bahkan dipandang perlu karena kita telah menjadi bagian dari WTO. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.49

Memperjelas makna hukum sebagai sarana pembaharuan, Komar

Kantaatmaja mengatakan sebagai berikut:50

“Hukum harus mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan seta tahapan pembangunan di segala bidang, sehingga dapat menciptakan ketertiban dan kepastian hukum untuk menjamin serta memperlancar pelaksanaaan pembangunan.”

Senada dengan pedapat di atas Sumantoro mengatakan pula bahwa, hukum dapat berfungsi sebagai agent of modernization dan instrument of social engineering.51 Dengan demikian, pembangunan hukum dapat berjalan di depan, bersama pembangunan ekonomi dalam upaya mencapai masyarakat makmur yang berkeadilan.

49

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional Binacipta, Bandung, 1976, hlm. 4.

50

Komar Kantaatmaja, “Peran dan Fungsi Profesi Hukum dalam Undang-Undang

Perpajakan,” Makalah, Seminar Nasional Hukum Pajak, IMNO-UNPAD, Bandung, Juli 1985.

51

(32)

Mendukung pendapat di atas Sunaryati Hartono mengatakan bahwa makana dari pembangunan hukum meliputi:52

“(1) Menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih baik); (2) Mengubah agar menjadi lebih baik dan modern;

(3) Mengadakan sesuatu yang sebelumnya beum ada; atau

(4) Meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem lama, karena tidak diperlukan dan tidak cocok dengan sistem baru.”

Pernyataan demikian menyebabkan setiap pembangunan hukum harus meliputi keempat usaha tersebut, sehingga pembangunan hukum itu merupakan hal yang mesti dilakukan secara terus-menerus. UUHC Tahun 1997, tidak menyebutkan ketentuan hak ekonomi secara tegas dalam pasal-pasalnya, namun demikian dasar pengaturannya secara implicit ditemukan dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu mengenai “definisi hak cipta” dan Pasal 3 ayat (2) mengenai “dasar peralihan hak ekonomi pencipta”, sebagai berikut:53

“Hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Dari rumusan di atas diketahui bahwa, hak cipta merupakan hak khusus (eksklusif) dari pencipta. Pengertian ekslusif yaitu mutlak hanya dimiliki pencipta atau penerima hak cipta, sehingga tidak ada orang lain yang boleh mengambil manfaat untuk kepentingan komersial dari hak khusus itu, kecuali seizin pencipta atau penerima hak cipta. Oleh karena itu pencipta memiliki kekuasaan monopoli terhadap ciptaannya.

52

Sunaryati Hartono dalam Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah

dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 2.

53

(33)

Kekuatan monopoli itu bukan tanpa batas. Batasannya sendiri diatur dalam UUHC Tahun 1997.

Keuntungan ekonomi yang diperoleh pencipta berdasarkan Pasal 2 UUHC Tahun 1997 berupa:

(1) Hak untuk mengumumkan suatu ciptaan (2) Hak untuk memperbanyak suatu ciptaan

(3) Hak untuk memberikan izin pada orang lain untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan.

Hak mengumumkan suatu ciptaan adalah perbuatan berupa pembacaan,

penyuaraan, penyiaran atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapaun dan dengan cara sedemikian rupa sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat orang lain. Hak perbanyakan adalah, menambah jumlah suatu ciptaan dengan pembuatan yang sama atau hamper sama atau menyerupai ciptaan tersebut dengan mempergunakan bahan-bahan yang sama maupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan suatu ciptaan.54 Hak untuk member izin kepada orang lain untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan, dilakukan melalui

lisensi. Perlindungan hukum terhdap ketiga hak ini sangat dibutuhkan oleh pencipta karena merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya.

Mengenai dasar peralihan hak ekonomi pencipta diatur oleh Pasal 3 ayat (2) UUHC Tahun 1982 adalah sebagai berikut:

“Hak cipta dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena:

a. Pewarisan; b. Hibah; c. Wasiat;

d. Dijadikan milik negara;

a. Perjanjian, yang harus dilakukan dengan akta, dengan ketetnuan bahwa perjanjian itu hanya mengenai wewenang yang disebut dalam akta.”

54

(34)

Adapun yang dimaksud pencipta dalam UUHC Tahun 1997 adalah seseorang atau beberapa orang yang secara bersama melahirkan suatu ciptaan. Selanjutnya dapat pula diterangkan yang mencipta suatu ciptaan menjadi pemilik pertama dari hak cipta yang bersangkutan. Adapun yang dimaksud dengan pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau orang yang menerima hak tersebut dari pencipta atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak cipta, dari orang tersebut di atas.55 Dari rumusan tersebut dipahami bahwa pencipta dan pemegang hak cipta terdiri dari:

(1) Pencipta sebagai pemilik hak cipta;

(2) Orang yang menerima hak tersebut dari pencipta;

(3) Orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut di atar. Khusus pemegang hak cipta di bidang-bidang musik dan lagu, adalah sebagai berikut:

(1) Pencipta melodi lagu (komposer);

(2) Penulis lirik lagu (lirikus);

(3) Penata musik (a rranger);

(4) Pengadaptasi lirik (sub-lirikus); (5) Publisher dan Sub Publisher.

Bertitiktolak pada perlindungan hukum hak cipta, yang dikaitkan dengan sistem pendaftaran hak cipta dalam UUHC Tahun 1997, maka pendaftaran suatu ciptaan bukan merupakan suatu keharusan. Artinya pendaftaran ciptaan bukan untuk memperoleh hak cipta, melainkan semata-mata untuk memudahkan pembuktian hak, dalam hal terjadi sengketa. Apabila ciptaan didaftarkan, maka yang mendaftarkan itu dianggap sebagai penciptanya, sampai dapat dibuktikan sebaliknya bahwa pendaftar itu bukan penciptanya. Dengan kata lain hak cipta boleh juga tidak, karena ciptaan yang

55

(35)

tidak didaftarkan pun mendapatkan perlindungan hukum (pasal 5 UUHC 1997). Hanya saja mengenai hak cipta yang tidak didaftarkan, akan lebih sulit dan memakan waktu yang lama untuk pembuktiannya jika ada sengketa yang diselesaikan melalui jalur pengadilan. Pembuktian kebenaran bahwa ia memang pencipta music dan lagu, harus dilakukan dimuka pengadilan negeri bukan di depan pelabat pendaftaran. Inilah disebut dengan sistem pendaftaran deklaratif yang dianut oleh UUCH Indonesia.

Mengenai pendaftaran ini Abdul Kadir Muhammad meyatakan sebagai Berikut:56

“Pendaftaran tidak dapat dipakai sebagai bukti untuk membuktikan telah ada suatu hak cipta, Pengadilan Negeri-lah yang berwenang untuk memutuskan perselisihan tersebut”.

Dengan demikian, UUHC Tahun 1997 tidak memberikan perlindungan hukum yang mutlak kepada nama pencipta yang terdaftar namanya pada Daftar Umum Ciptaan. Hal tersebut menyebabkan jika ada sengketa yang berkenaan dengan hak cipta music dan lagu dan ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya, maka harus dimohonkan agat pengadilan membatalkan pendaftaran itu. Dengan cara itu, pengadilan dapat menghapus kekuatan hukum pendaftaran ciptaan yang bersangkutan.

Khusus mengenai definisi musik dan lagu, timbul permasalahan sewaktu akan dibentuk Rancangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta. Permasalahan tersebut mengenai apakah melodi atau lagu, lirik, dan aransemen sebagai karya ciptaan yang dilindungi sendiri-sendiri ataukah hanya ada satu pertimbangan terhadap ciptaan musik

56

(36)

atau lagu.57 Ternyata kemudian rumusan perlindungan ciptaan musik atau lagu adalah seperti yang dirumuskan dalam pasal 11 ayat (1) huruf d UUHC Tahun 1987.58

Dalam penjelasan Pasal 14 dari UUHC Tahun 1997 menyatakan, ukuran yang dipakai untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran hak cipta adalah bersifat kualitatif bukan kuantitatif. Lebih lanjut penjelasan pasal tersebut menyatakan, bukanlah merupakan pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan dengan jelas dan hal ini dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat non-komersial, termasuk kegiatan sosial dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Ungkapan kata dilakukan terbatas untuk kegiatan social dan dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta, mempunyai makna bahwa ukuran kepentingan yang wajar tersebut, harus dinilai dari hak pencipta dalam menikmati manfaat ekonomi dari ciptaannya.

Di dalam hukum Aglo Saxon, ungkapan demikian dinamakan penggunaan yang wajar (fair use). Hal ini berarti hukum hak cipta memperkenankan seseorang untuk menggunakan atau mengeksploitasi suatu ciptaan tanpa seizin pencipta, asalkan dalam batas yang wajar atau diperkenankan oleh UUHC.59 UUHC Tahun 1997 menentukan, jika sudah melebihi batas-batas yang wajar itu, maka pencipta dapat melakukan gugatan secara perdata atau negara dapat melakukan tuntutan pidana seperti yang diatur UUHC tersebut.

Ungkapan kata bukan pelanggaran hak cipta jika digunakan untuk kegiatan sosial atau penggunaannnya tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta, pada Penjelasan UUHC tahun 1997, merupakan definisi yang sangat luas sehingga

57

Harsono Adisumarno, Hak Milik Intelektual Khususnya Hak Cipta, Rajawali Press, Jakarta, 1987, hlm. 16

58

Pasal 11 ayat (1) sub d UUHC 1987, “Ciptaan yang dilindungi meliputi ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, antara lain dalam huruf d tercantum: Ciptaan tari (koreografi), ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks, dan karya rekaman suara atau bunyi”. Selanjutnya Supra, footnote nomor 3. Rumusan UUHC Tahun 1987 sebagaimana diubah dengan UUHC Tahun 1997 menjadi “Ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks, termasuk karawitan, dan rekaman suara”.

59

(37)

dapat menimbulkan berbagai penafsiran terhadap hal yang demikian. Kondisi ini juga membuat tidak ada kepastian hukum yang diberikan kepada pencipta musik dan lagu di Indonesia.

Selanjutnya pengaturan terhadap perlindungan hak ekonomi pencipta musik dan lagu di Indonesia berdasarkan UUHC Tahun 1997 sesuai TRIPs-WTO, pada praktiknya harus mengacu kepada konsep perlindungan HaKI serta pemikiran-pemikiran sarjana tersebut di atas. Dengan demikian setiap ada kemajuan IPTEK yang menuntut perubahan dalam masyarakat dinamis seperti halnya Indonesia, selalu akan bertujuan menuju masyarakat makmur yang berkeadilan.

6. Metode Penelitian

6.1. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan dalam pendekatan ini adalah yuridis normatif, yaitu suatu metode yang menitikberatkan penelitian terhadap data kepustaan, atau disebut dengan data sekunder melalui asas-asas hukum, dan perbandingan hukum.60

Pendekatan melalui asas-asas hukum adalah penelitian terhadap norma-norma hukum yang merupakan patokan-patokan untuk bertingkah laku yang pantas.61 Pendekatan perbandingan hukum digunakan sebagai upaya studi banding atas berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia dan konvensi internasional yang menyangkut perlindungan terhadap hak ekonomi pencipta musik dan lagu.

60

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 11.

61

(38)

6.2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang dipergunakan bersifat deskriptif analitis, yaitu memberikan data atau gambaran seteliti mungkin mengenai objek dari permasalahan.62 Gambaran tersebut berupa fakta-fakta disertai analisis yang akurat mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku dihubungkan dengan teori-teori hukum dan praktek dari pelaksanaan perlindungan hak ekonomi pencipta musik dan lagu di Indonesia dikatikan dengan ketentuan TRIPs-WTO.

6.3. Tahap Penelitian

Penelitian dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu:

(1) Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian ini dilakukan dalam upaya mencari data sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat pada masalah-masalah yang akan diteliti terdiri dari:

a. Bahan hukum primer yaitu antara lain, UUHC, TRIPs-WTO, berbagai konvensi internasional yang erat kaitannya dengan hak cipta serta perjanjian kerjasama hak cipta musik dan lagu;

b. Bahan-bahan hukum sekunder, berupa buku-buku, hasil penelitian, makalah hasil seminar yang ada hubungannya dengan penelitian;

c. Bahan-bahan hukum tersier, yaitu majalah, jurnal surat kabar, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.63

(2) Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian di lapangan dimaksudkan untuk menunjang data sekunder yaitu, dengan cara mengumpulkan, meneliti dan menyeleksi data melalui wawancara secara terarah atau wawancara lepas dengan responden.

62

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, hlm. 10. 63

(39)

Penentuan responden dilakukan berdasarkan tingkat akurasi (validitas) sumber informasi, yaitu mereka yang mempunyai keterkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penelitian ini. Responden tersebut antara lain beberapa pencipta musik dan lagu untuk semua jenis musik di wilayah Bandung dan Jakarta yang namanya terdaftar pada YKCI. Pemilihan ini didasarkan oleh karena pencipta musik dan lagu tersebut paling tidak telah memahami pentingnya perlindungan hak ekonomi bagi dirinya. Responden lainnya adalah, Direktur Jenderal HaKI Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Kasubdit Litigasi, Hukum, dan Penyidikan Bidang Hak Cipta Direktorat Jenderal HaKI Indonesia, Direktur Manajer Intellectual Property Management-ITB Bandung, Ketua Data Musik Asia, Ketua ASIRI, Ketua PAPPRI, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta.

6.4. Teknik Pengumpulan Data

(1) Studi Dokumen

Dilakukan terhadap data sekunder untuk mendapatkan landasan teoritis, berupa pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi, baik dalam bentuk formal maupun data melalui naskah resmi.

(2) Wawancara

Teknik wawancara digunakan untuk mengumpulkan data primer. Wawancara yaitu mengadakan tanya jawab langsung dengan responden seperti yang tersebut pada nomor 6.3. angka (2) dengan mempersiapkan daftar pertanyaan (questioner) berupa tipe jawaban terbuka atau tertutup sebagai pedoman. 64

64

(40)

6.5 Metode Analisis Data

Untuk menganalisis data dan menarik kesimpulan dari hasil penelitian, kedua bahan hukum yaitu data primer dan sekunder dianalisis dengan metode kualitatif, selanjutnya disajikan dalam bentuk deskriptif analitis.

6.6. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Bandung dan Jakarta. Untuk prosedur mendapatkan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier diperoleh pada beberapa perpustakaan yang berlokasi di daerah:

(1) Perputakaan Fakultas Hukum UNPAD, Perpustakaan Pascasarjana UNPAD, dan Perpustakaan Pusat UNPAD Bandung; Perpustakaan Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta;

(2) Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman di Jakarta;

(3) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta.

Untuk mendapatkan data primer dilakukan penelitian lapangan yaitu, pada pencipta musik dan lagu di Bandung dan Jakarta, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal HaKI, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Pengadilan Tinggi Jakarta, Data Musik Asia Jakarta, Perhimpunan Masyarakat HaKI Indonesia, Intellectual Property Management-ITB Bandung, YKCI, ASIRI, dan PAPPRI di Jakarta.

7. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian akan disusun dalam bentuk tesis dengan menggunakan sistematika sebagai berikut:

(41)

Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab II menguraikan tentang Tinjauan Perlindungan Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu berdasarkan UUHC Tahun 1997, TRIPs dan Konvensi Berb. Bab ini dirinci dengan sub bab; prinsip umum tentang UUHC Tahun 1997, prinsip dasar perlindungan hak ekonomi pencipta musik dan lagu, serta konvensi internasional yang berkaitan dengan perlindungan hak cipta dan ketentuan TRIPs-WTO.

Bab III menguraikan tentang Pelanggaran Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu serta Organisasi Perlindungan Penciptanya di Indonesia. Bab ini selanjutnya dirinci lagi oleh sub bab yang berisi; proses pengalihan hak ekonomi pencipta musik dan lagu, organisasi perlindungan pencipta musik dan lagu di Indonesia serta criteria dan bentuk pelanggaran karya cipta musik dan lagu.

Bab IV mengulas atau menganalisis mengenai Implementasi Perlindungan Hak Ekonomi Pencipta Terhadap Karya Ciptaan Musik dan Lagu di Indonesia Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 Dikaitkan dengan Perjanjian TRIPs WTO. Bab ini terdiri sub bab; perlindungan hak ekonomi pencipta musik dan lagu yang telah diakomodasikan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 dikaitkan dengan TRIPs-WTO, pelaksanaan perlindungan terhadap pencipta musik dan lagu di Indonesia setelah adanya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997.

Referensi

Dokumen terkait

Regulasi yang digunakan di Indonesia terkait perlindungan Hak Cipta diakomodir dalam Undang – Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta 2014). Terbitnya UU Hak

Berdasarkan hasil uji-t pada tabel 7 maka leverage, ukuran perusahaan, dan nilai perusahaan berpengaruh signifikan terhadap cash holding secara simultan pada

Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C Rasio) ditujukan untuk mengetahui tingkat pengembalian petani yang merupakan perbandingan antara total penerimaan dengan

Industri batu alam buatan: Dikarenakan batu alam adalah bahan alam yang tidak dapat diperbaharui, dan sekarang sulit untuk didapatkan dengan harga yang semakin

Dengan terpenuhinya kriteria ketuntasan belajar siswa sebagaimana yang telah ditetapkan pada indikator penelitian sebelumnya yaitu 75% untuk ketuntsan individu dan 85%

Melihat kembali konteks pemilihan kepala daerah yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing- masing

Perlindungan hak ekonomi terhadap pemegang hak cipta video klip menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta harus lebih diperhatikan lagi,

Program komputer merupakan salah satu bentuk hak cipta yang diberikan perlindungan secara hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak