• Tidak ada hasil yang ditemukan

29 akhlak. 7. AhmadSyathori Relasi Murshid-Murid dalam Tradisi Tarekat Qa>diriyah wa Al-Naqshabandiyah Fenomenologi Hubungan antara

murshid dengan murid

merupakan media

penghubung yang

dapat menghantarkan

hubungan sentral

vertical kepada Allah SWT. Dengan kata lain, hubungan sosial sesama manusia bisa juga dijadikan sebagai alat atau sarana

spiritual untuk

menghubungkan dan

mendekatkan diri

kepada Allah SWT.

Penelitian-penelitian diatas memiliki obyek dan fokus yang berbeda-beda, namun belum ada satupun yang mengkaji secara spesifik tentang transformasi ritual yang terdapat dalam ritual tarekat al-Qa>diriyah wa Naqshabandiyah al-Oesmaniyah dan implikasinya terhadap masyarakat urban. Dengan demikian penelitian ini adalah penelitian yang orisinil sebagai upaya melengkapi studi tentang TQNal-Oesmaniyah.

G. Kerangka Teori

Dalam dunia tarekat terdapat dua unsur yang tidak dapat dipisahkan sebab peran keduanya semacam simbiosis mutualisme, yaitu murshid dan murid. Murshid adalah tokoh sentral yang paling menentukan sebuah tarekat dapat diterima atau tidak, terlebih pada jaman sekarang dan di kota besar, tokoh murshid jadi faktor penentu tarekat terus survive atau sebaliknya, ditinggalkan para

30

pengikutnya. Murshid harus pandai adaptasi dengan perkembangan jaman, namun pada saat yang bersamaan ia juga harus menjaga tradisi tarekat yang telah diwariskan secara turun temurun dari para murshid pendahulunya.

Hubungannya dengan fokus penelitian ini, dalam perspektif sosiologi, menurut Anthony Giddens banyak kombinasi antara yang modern dan yang tradisional dapat ditemukan dalam setting sosial yang konkret. Dalam budaya tradisional, masa lalu sangat dihormati karena para pelakunya bertanggungjawab atas pengalaman berbagai generasi. Tradisi adalah cara untuk mengintegrasikan tindakan secara reflektif dengan penataan ruang waktu dalam komunitas. Tradisi merupakan sarana untuk menangani ruang dan waktu, yang memasukan segala aktifitas yang berkelanjutan antara masa lalu, sekarang dan masa depan.50 Tradisi tidak statis, karena dapat ditemukan ulang oleh setiap generasi dari pendahulunya. Tradisi juga tidak melawan perubahan ketika terjadi dalam konteks dimana ada tanda-tanda temporal, dengan catatan perubahan itu memiliki makna.51 Di dunia pasca modern meskipun agak sulit untuk disimpulkan bahwa inilah saatnya agama -dengan berbagai macam bentuknya- bangkit, namun mungkin saja ada kemapanan yang diperbaharui pada aspek-aspek kehidupan tertentu yang memerlukan beberapa bagian dari tradisi.52

Giddens, melalui teori Strukturasi-nya menyatakan bahwa para agen (dalam dunia tarekat adalah murshid) tidak hanya memonitor secara terus menerus

50Menurut Weber dan Durkheim, era modern sebagai masalah, sebab dalam fase perkembangan sejarah juga banyak terjadi diskontuinitas. Weber melihat bahwa kemajuan secara material hanya bisa diperolrh dengan ongkos berupa ekspansi birokrasi yang mengekang krestivitas dan otonomi individu. Lihat Anthony Giddens, The Consequences of Modenity (Stanford: Stanford University Press, 1996), 7-8.

51

Ibid., 37. 52Ibid., 178.

31

aktivitas bawahannya dan berharap mereka melakukan hal yang sama terhadap aktifitas para agen itu, para agen juga secara rutin memonitor aspek-aspek, baik sosial maupun fisik, dari konteks-konteks dimana mereka bergerak. Monitoring refleksi atas tindakan merupakan suatu unsur tetap dari tindakan sehari-hari dan melibatkan tidak hanya perilaku si individu, namun juga perilaku dari individu-individu yang lain.53

Secara bagan peran agen dapat digambarkan sebagai berikut : Monitoring refleksi

Terhadap tindakan Konsekuensi

Kondisi-kondisi Konsekuensi

tindakan

Tindakan tidak tidak diketahui

diketahui

rasionalisasi tindakan

motivasi tindakan

Mengenai pentingnya sumber daya sebagai sebagai sifat dalam struktur sosial, Giddens menekankan keutamaan konsep kekuasaan. Gidden memaknai kekuasaan dengan :

1. Agen mewujudkan keinginannya, bahkan bila perlu dengan mengorbankan kepentingan orang lain yang tidak sejalan dengannya.

2. Kekuasaan dipandang sebagai milik bersama atau kolektif.54

Giddens berpandangan, bahwa tidak tepat kekuasaan dipisah-pisahkan. Teori Strukturasi Giddens memang menyelesaikan persoalan antara madzhab

53Anthony Giddens, Teori Strukturasi; Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat, terj., Maufur dan Daryanto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 7-8.

54

Anthony Giddens, Problematika Utama dalam Teori Sosial; Aksi, Struktur dan Kontradisksi dalam Analisis Sosial, terj., Daryanto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1979), 119-120.

32

Fungsionalisme ‘ala’ Parsons dan Strukturalisme Saussure. Menurut Giddens hubungan antara agen dan struktur adalah hubungan dualitas, bukan dualisme seperti yang selama ini diperselisihkan oleh Fungsionalisme dan Strukturalisme. Tindakan agen dan struktur selalu saling mengandaikan.55 Dualitas ini selalu terjadi pada praktik sosial yang berulang dalam lintasan ruang dan waktu. Pengelaborasian dualitas agen-struktur Giddens berbeda dengan pemahaman Durkheim yang memandang struktur memiliki sifat mengekang, sebab menurut Giddens struktur bersifat memberdayakan (enabling) sehingga memungkinkan terjadinya praktik sosial. Dualitas memandang agen dan struktur berinteraksi dalam proses produksi dan mereproduksi institusi dan hubungan-hubungan sosial. Dengan demikian agen adalah hasil dari struktur, pada saat yang sama agen juga menjadi mediasi bagi pembentukan struktur yang baru.56

Dengan teori Strukturasi ini Giddens berusaha menjelaskan hubungan dialektika dan saling pengaruh mempengaruhi antara agen dan struktur. Bagi Giddens agen dan struktur tidak difahami sebagai “dalam keadaan saling terpisah”. Keduanya saling terjalin tanpa dan tidak bisa dipisahkan dalam aktivitas sosial manusia.57Aktivitas manusia bukan hasil buatan aktor sosial, akan tetapi hasil ciptaan ulang secara terus menerus melalui suatu cara, dan dengan cara itulah mereka dinyatakan sebagai aktor. Di dalam dan melalui aktivitas mereka agen menciptakan kondisi yang memungkinkan aktivitas tetap berlangsung.

55Anthony Giddens, Central Problem in Social Theory (London: Macmillan, 1979), 53.

56Muhammad Basrowi dan Sunyono, Teori Sosial dalam Tiga Paradigma (Surabaya: Yayasan Kamousina, 2004), 122. Lihat juga Anthony Giddens, The Constitution of Society (Cambridge: Polity Press, 1984), 2.

33

Giddens memusatkan perhatian pada proses dialektika di mana praktik sosial, struktur dan kesadaran diciptakan.58

Giddens menjelaskan bahwa ada tiga prinsip struktural yang sangat mendasar, yaitu :

1. Signifikasi (signification); berkaitan dengan dimensi simbolik, cara-cara dan wacana.

2. Dominasi (domination); mencakup dimensi penguasaan atas orang dan barang.

3. Legitimasi (legitimation); menyangkut dimensi peraturan normatif.59

Dalam pandangan Giddens, kajian utama ilmu sosial bukan peran sosial seperti yang diwacanakan Parsons melalui Fungsionalisme-nya, bukan kode-kode seperti diteorikan Levi-Strauss melalui Strukturalisme-nya, juga bukan kondisi situasional dalam teori Interaksionalisme-nya Goffman.60 Menurut Strukturasi Giddens, objek kajian ilmu sosial adalah praktik sosial yang terjadi sepanjang ruang dan waktu. Artinya, aktivitas sosial tidaklah dibuat oleh para aktor, melainkan diciptakan oleh mereka secara terus menerus melalui sarana pengungkapan diri mereka sebagai aktor. Jelasnya, melalui dan di dalam aktivitas mereka, para agen menciptakan berbagai kondisi yang memungkinkan terjadinya aktivitas-aktivitas tersebut.61

Teori Strukturasi dipilih sebab teori ini sangat cocok untuk menganalisa fenomena bagaimana tarekat al-Qa>diriyah wa al-Naqshabandiyah al-Oesmaniyah

58Ibid., 508.

59Anthony Giddens, Central Problem, 82.

60 Herry B. Priyono, Sebuah Terobosan Teoritis, dalam Basis No. 02, tahun ke-49, Januari-Februari, 2000, 6.

34

tetap survive di tengah kemajuan jaman bahkan di kalangan masyarakat perkotaan. Konsep agen dalam teori Strukturasi tepat digunakan untuk menganalisa peran individu murshid dalam hubungannya bahwa ia merupakan aktor penentu diterima atau tidaknya ajaran dan konsep-konsep yang ia tawarkan kepada lingkungan dan para pengikutnya. Di samping itu juga cocok untuk menganalisa peran para pengikutnya dalam menyebarkan misi yang mereka terima dari murshid mereka. Pada waktu yang bersamaan juga cocok untuk mengupas peran ritual tarekat yang disatu sisi merupakan doktrin baku dalam sebuah tarekat, namun di sisi lain perlu inovasi agar ritual ini tidak terkesan kaku sehingga sulit diterima oleh non pengikut tarekat.

H. Metodelogi Penelitian