• Tidak ada hasil yang ditemukan

Shaykh Khatib Sambas dan Tarekat al-Qa>diriyah wa al-Naqshabandiyah Pada bab sebelumnya telah dibahas, bahwa terjadi disharmoni antara

TAREKAT SEBAGAI MODEL RELIGIUSITAS MASYARAKAT PERKOTAAN

A. Kemunculan dan Perkembangan TQN al-Oesmaniyah

1. Shaykh Khatib Sambas dan Tarekat al-Qa>diriyah wa al-Naqshabandiyah Pada bab sebelumnya telah dibahas, bahwa terjadi disharmoni antara

BAB III

POTRET DAN RITUAL TAREKATAL-QA>DIRIYAH WA AL- NAQSHABANDIYAH (TQN) AL-OESMANIYAH

A. Kemunculan dan Perkembangan TQN al-Oesmaniyah

1. Shaykh Khatib Sambas dan Tarekat al-Qa>diriyah wa al-Naqshabandiyah Pada bab sebelumnya telah dibahas, bahwa terjadi disharmoni antara kelompok ulama shari‘at dan kelompok ulama hakikat (tasawuf). Disharmoni itu tidak hanya terjadi di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya sebagai pusat kemunculan Islam, akan tetapi meluas ke seluruh dunia dimana aga Islam berada, termasuk wilayah Nusantara.

Abad ke-18 ikhtiar untuk melakukan harmonisasi antara shari‘ah dengan sufisme muncul di kalangan ulama Nusantara. Pada abad ini selain dua tokoh sufi terkemuka al-Raniri dan al-Sinkli, muncul juga nama-nama penting seperti Arsyad al-Banjari dan Abd Samad al-Falimbani. Dua nama terakhir ini termasuk ulama yang berjasa dalam penyebaran tasawuf ortodoks. Kitab Hida>yat al-Sa>liki>n dan Sair al-Sa>liki>n karya al-Falimbani berisi penjelasan tentang prinsip-prinsip keimanan dan kewajiban-kewajiban dalam agama yang harus dijalankan oleh setiap pengikut tarekat. Al-Falimbani berpendapat bahwa pemenuhan ajaran-ajaran syariah merupakan langkah yang paling meyakinkan untuk mencapai pemenuhan kehidupan tasawuf. Ia juga menekankan akan

111

pentingnya pemurnian pikiran dan perilaku moral dari pada uraian sufisme yang spekulatif dan filosofis.1

Memasuki abad ke-19, terjadi fenomena menarik dalam sejarah tasawuf dan tarekat di Nusantara khususnya Indonesia, yaitu berkembangnya tarekat Naqshabandiyah menggantikan tarekat Shat}t}ariyah. Fenomena ini sangat mungkin disebabkan karena ada dua kecenderungan dalam dunia tasawuf di dunia Islam pada umumnya, yaitu menguatnya proses ortodoksi dan berkembangnya tasawuf ortodoks ke arah populer. Pergeseran ke arah ortodoksi ini terjadi karena dalam dunia tasawuf orientasi shari‘ah lebih dominan dibandingkan dengan teologi atau filsafat. Proses ortodoksi ditandai dengan diterimanya tarekat yang lebih bernuansa akhlak dari pada tarekat yang bernuansa mistik filosofis.2

Pada saat yang sama, di Makkah tarekat yang bernuansa syariah seperti Qadiriyah, Naqshabandiyah atau Sammaniyah cenderung lebih diterima dan berkembang. Sedangkan tarekat Shat}t}ariyah yang cenderung lebih filosofis, pengikutnya semakin berkurang, bahkan tidak lagi berkembang. Snouck Hurgronye menganggap tarekat Shat}t}ariyah sudah lama ketinggalan zaman. Dari sekian bayak tarekat yang ada pada saat itu Naqshabandiyah-lah tarekat yang memiliki pengikut terbanyak. Peralihan dari tarekat Shat}t}ariyah ke

1 Muhammad Noupal, “Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia Abad 19 dari Ortodoksi ke

Politisasi”, Intizar, Vol. 22, No. 2 (2016), 299-300.

2Badri Yatim, “Perubahan Sosial Politik di Hijaz 1800-1925 dan Pengaruhnya Terhadap lembaga

112

tarekat Naqshabandiyah ini merupakan salah satu ciri dari kondisi tasawuf di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.3

Proses ortodoksi juga mengarah kepada penghapusan segala sesuatu yang dianggap bid’ah. Para ulama ahli fiqih mengkritik dan mengecam tarekat-tarekat yang dianggap mengajarkan dan mempraktekkan bid’ah.4 Proses ini memberikan dampak yang sangat besar terhadap perkembangan tarekat. Akibatnya orang berbondong-bondong masuk ke dalam suatu tarekat ortodoks, Bukti yang riil adalah semakin banyaknya bermunculan zawiyah di dalam kota Makkah. Juga banyak jama’ah haji, termasuk dari Nusantara, yang mengikuti pengajian-pengajian tarekat. Para jama’ah haji inilah yang kemudian melakukan gerakan ortodoksi tarekat di Nusantara. Mereka aktif menyebarkan tarekat ke berbagai daerah di Nusantara.5 Seperti dikutip oleh Ali Muzakir, karena fenomena ini, Mark Sedgwick menyebut Haramayn (Makkah dan Madinah) dengan istilah religious market.6 Di tengah suasana dan pengaruh tarekat yang demikian besar inilah Ahmad Khatib Sambas datang menuntut ilmu ke Haramayn.

3Ibid.

4Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1987), 5.

5Badri Yatim, Perubahan Sosial Politik, 308.

6Ali Muzakir, “Petunjuk Baru Silsilah Ahmad Khatib Sambas: Tiga Teks Tulisan Melayu”, Lektur

Keagamaan, Vol. 13, No. 2 (2015), 532. Dalam konteks yang berbeda, Azra, mengutip Nathan Glazer dan Daniel P. Moynihan, menyebut Haramayn dengan istilah The Melting Pot (Panci

Pelebur). Istilah ini digunakan karena berbagai macam tradisi “kecil” ke-Islaman dari seluruh

dunia masuk ke Haramayn lalu melebur di sana untuk membentuk sintesis baru yang kemudian menjadi tradisi besar (The Great Tradition). Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 124.

113

Trimingham menyebut bahwa pada abad ke-19 hampir semua shaykh dari semua tarekat memiliki representasi genealogi di Haramayn.7 Khatib Sambas, yang dilahirkan pada tahun 1217 H/1803 M di Sambas Kalimantan dan wafat di Makkah pada tahun 1289 H/1872 M, berangkat untuk menuntut ilmu ke Haramayn dalam usia 19 tahun. Ia pernah belajar kepada Shaykh Daud ibn Abdullah ibn Idris al-Fattani (w. 1265 H/1847 M),8 meskipun al-Fathani adalah shaykh dalam tarekat Sammaniyah9 tapi al-Sambasi tidak mengambil tarekat dari gurunya ini. Khatib Sambas kemudian belajar kepada Syams al-Din, seorang mursyid tarekat Qadiriyah. Di bawah bimbingan Syams al-Din ini Khatib Sambas mencapai derajat shaykh al-ka>mil al-mukammil (seorang yang perjalanan spiritualnya telah mencapai derajat sempurna dan dinilai bisa menyempurnakan orang lain).10

Guru lain Khatib Sambas adalah Muhammad Arshad al-Banjari,11Shaykh Muhammad Shalih Rays, Shaykh Umar ibn ‘Abdul Karim ibn ‘Abdur Rasul

al-7James Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (London: Oxford University Press, 1971), 121.

Nama lengkapnya adalah bernama Abdul Ghaffar ibn Abdullah bin Muhammad ibn Jalaluddin. Khatib Sambas lahir dari sebuah keluarga perantau dari Kampung Sange. Pada masa-masa tersebut, tradisi merantau memang masih menjadi bagian dari cara hidup masyarakat di Kalimantan Barat. Lihat Mukani, “Ulama Al-Jawwi di Arab Saudi dan Kebangkitan Umat Islam di Indonesia” al-Murabbi, Vol. 2, Nomor 2 (Januari, 2016), 223-224.

8 Al-Fattani lahir di desa Kresik, Patani (Patani sekarang jadi sebuah provinsi di Thailand Selatan).Terdapat dua versi tahun wafatnya al-Fattani, Hawasy Abdullah dalam bukunya Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara (Surabaya: Al-Ikhlas, 1990) halaman 122-158 menulis al-Fattani wafat pada tahun 1265 H/1847 M. Demikian juga Azyumardi Azra pada bukunya Jaringan Ulama pada halaman 340. Sedangkan Sri Mulyati dalam bukunya Tasawuf Nusantara halaman 176 menulis tahun 1843 M.

9

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 343.

10Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf, 179-180. Lihat juga Muhd. Syaghir Abdullah,

Syeikh Ismail Minangkabawi Penyiar Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah (Solo: Ramadhani, 1985), 76.

11 Seorang sufi besar kelahiran Banjar, Kalimantan Selatan. Menurut van Bruinessen, Shaykh Arsyad al-Banjari bukanlah orang yang bersinggungan langsung dengan tarekat Sammaniyah, meskipun ia adalah murid Shyakh Samman. Lihat Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, 66. Tapi

114

Attar (1249 H/1833 M), Shaykh Abdul Hafidz ‘Ajami (w. 1235 H/1819 M), Shaykh Bisri al-Jabarti, Sayyid Ahmad al-Marzuki, Sayyid Abdullah ibn Muhammad al-Mirghani dan ‘Usman ibn Hasan al-Dimyati (w. 1849 M).12

Khatib Sambas sangat terkenal di Indonesia karena dianggap telah berhasil mengkoordinasikan ajaran-ajaran dua organisasi tarekat yang paling berpengaruh di Indonesia, yaitu tarekat Qa>diriyah dan tarekat

al-Naqshabandiyyah. Karena itulah Khatib Sambas dianggap sebagai pendiri tarekat ini.13 Guru-guru sufi yang namanya dikaitkan kepada sebuah tarekat secara pribadi sebenarnya tidak pernah mengklaim bahwa mereka sebagai pencipta ritual tarekat tersebut. Mereka hanya mensistematisasikannya saja, yang sumbernya berasal dari Nabi Muhammad SAW. Tarekat menjadi wadah pelembagaan ritual-ritual dari guru-guru sufi.14

Unifikasi tarekat al-Qa>diriyah dan tarekat al-Naqshabandiyyah sangat mungkin dilakukan atas dasar pertimbangan logis dan strategis, yakni bahwa ajaran wajib kedua tarekat ini bersifat saling melengkapi.15 Tarekat al-Qa>diriyah menekankan ajarannya pada dzikir jahr nafi-ithba>t, yaitu melafalkan

data lain menyebutkan sebaliknya, ia disebutkan turut memperkenalkan tarekat Sammaniyah di Banjar. Lihat Sri Mulyani, Tasawuf Nusantara; Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), 176. Lihat juga A. Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf (Surabaya: Imtiyaz, 2011), 268-270.

12

Sri Mulyani, Tasawuf Nusantara, 177-178.

13 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 130-131. Khatib Sambas juga banyak melahirkan ulama-ulama di tanah Jawa yang kemudian menyebarkan ajaran Islam di Indonesia dan Malaysia. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 43.

14James Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (London: Oxford University Press:1971),

3.

15Menggabungkan atau memodifikasi tarekat bukanlah hal aneh dalam tradisi sufi, sebagai contoh ada 29 tarekat yang merupakan cabang tarekat Qadiriyah. Lihat Trimingham, Sufi Order in Islam, 271-273. Fleksibilitas dari pengajaran-pengajaran Qadiriyyah memungkinkan bagi seorang shaykh untuk memodifikasi atau melengkapi ajarannya. Lihat Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah dengan Referensi Utama Suryalaya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) 43.

115

kalimat tauhid ﷲ ﻻا ﮫﻟاﻻ dengan suara nyaring, sedangkan tarekat

al-Naqshabandiyyah menekankan ajarannya pada dzikir sir ism al-dha>t, yaitu membaca lafal ﷲ dalam hati tanpa bersuara. Dari penggabungan dua tarekat ini diharapkan para pengikutnya dapat mencapai derajat kesufian dengan cara yang lebih efektif dan efisien.16

Penamaan tarekat baru hasil unifikasi Shaykh Khatib Sambas ini menunjukan sikap tawad}u dan taz}im beliau yang terkenal yang sangat alim itu kepada pendiri kedua tarekat tersebut, sehingga ia tidak menisbatkan nama tarekat baru hasil unifikasinya kepada dirinya. Padahal, kalau melihat sejarah pendirian tarekat-tarekat dan modifikasi ajaran dan tata cara ritual tarekat gabungan itu, sebenarnya lebih tepat kalau diberi nama Tarekat Khatibiyah atau Sambasiyah, karena tarekat ini merupakan hasil ijtihadnya.17

Shaykh Khatib Sambas tidak menulis sebuah kitab pun, salah seorang muridnya-lah yang bernama Ma’ruf al-Palimbani yang setia menulis dan membukukan ajaran-ajaran gurunya dalam risalah pendek berbahasa Melayu. Ia menjelaskan teknik-teknik dari tarekat ini, dan salah satu kitab yang ditulis oleh Ma’ruf yang paling terkenal adalah kitab Fath al-‘A>rifi>n, yang dianggap sebagai karya yang paling dapat dipertanggung jawabkan mengenai tarekat al-Qa>diriyah wa al-Naqshabandiyyah. Kitab setebal sebelas halaman ini

16Kharisudin Aqib, Al-Hikmah; Memahami Teosofi, 53-54. 17Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, 254-255.

116

menguraikan tentang bay’at, muraqabah, zikir dan teknik-teknik ritual lain, baik dari tarekatal-Qa>diriyah maupun dari tarekat al-Naqshabandiyah.18

Kitab Fath al-‘A>rifi>n manuskripnya hanya terdapat satu buah yang disimpan di perpustakaan Nasional, Jakarta. Adapun kitab yang bererdar secara luas di masyarakat saat ini adalah tulisan muridnya yang lain yaitu Abdurrahim al-Bali, sebagaimana keterangan yang terdapat dalam halaman penutup kitab tersebut.19