• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAREKAT SEBAGAI MODEL RELIGIUSITAS MASYARAKAT PERKOTAAN

A. Akar dan Sejarah Kemunculan Tarekat

2. Persinggungan Agama dan Modernitas

70

2. Persinggungan Agama dan Modernitas

a. Kuasa Ilmu Pengetahuan dan Teknologi atas Peradaban Agama

Modernitas telah menggeser peran agama yang semula merupakan elemen terpenting dalam membentuk tatanan kebudayaan manusia, dirubah dengan asumsi rasional yang kemudian diikuti dengan munculnya sekularisme dan materialism dalam kehidupan manusia. Fenomena ini berujung dengan berubahnya konsep wahyu ke alam mitos, sebab dianggap tidak mampu menghadirkan kepastian ilmiah.76

Rasionalisme ilmiah ini muncul dalam ilmu pengatahuan modern, sehingga subordinasi antara agama dan sains juga muncul yang merupakan konsekuensi atas upaya manusia dalam menentukan standar pengetahuan.77 Pada akhirnya terjadi perang narasi antara agama dengan sains, yang tentu saja dimenangkan oleh sains sebab yang dijadikan tolok ukurnya adalah rasionalitas. Jika dirunut ke belakang, kemenangan sains atas agama ini sebenarnya berangkat dari pemikiran tokoh positivisme, Auguste Comte, dalam bukunya Course de Philosophie Positive, tentang hukum tiga tahap perkembangan manusia, yaitu tahap teologis, metafisik, dan positivistik.78

76Encung, Tradisi dan Modernitas Perspektif Seyyed Hossein Nasr, Jurnal Teosofi Vol. 2 Nomer 1 Juni 2012.

77

Terminologi science for science menjadi sumber spirit bagi kebebasan ilmiah pada masa renaissance, sehingga menimbulkan revolusi keilmuan yang berakibat terasingnya peran agama. Sehingga timbulah radikalsme keilmuan. Lihat Iswandi Syahputra, Komunikasi Profetik: Konsep dan Pendekatan (Jogjakarta; simbiosa Rekatama Media, 2007), 42.

78

Franz Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat: dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius 2005), 11.

71

Positivisme memang telah mengakar kuat dalam diri mayoritas masyarakat Barat modern sampai masuk abad ke-20, sehingga konstruksi pengetahuan mereka hanya dilandasi oleh hukum positivistik belaka, sedangkan agama tidak lagi diperankan. Akibatnya sebagaimana dikatakan oleh Jean Francois Lyotard, bahwa Barat telah kehilangan meta-narasinya oleh karenanya Barat memasuki dunia kekacauan.79

Senada dengan pendapat Lytorad di atas, Seyyed Hossein Nasr berpendapat bahwa sains modern yang hadir dalam bentuk pengetahuan sekuler telah berhasil mendesakralisasi realitas kosmik sebagai realitas material. Dalam tesisnyan Nasr menyatakan:

“……karena alam sendiri terlepas dari intelegensi dan kehidupan, maka tatanannya disebabkan oleh hukum-hukum yang ditetapkan kepadanya oleh sebuah wujud cerdas di luar alam -yaitu Tuhan, sebagai pencipta alam-tapi dalam pengertian yang terpisah dari alam itu”.80

Karakteristik masyarakat modern tersebut, merupakan gambaran masyarakat sempurna yang sangat didominasi oleh rasional, scientific, serta membuang unsur-unsur agama, dogma serta kehidupan yang berbau mistik atau non-rasional. Gambaran sebuah masyarakat sempurna di zaman global pada dimensi material empirik, yang sehingga oleh Sohail Inayatullah disebutsebagai “tidak tahu tujuan hidup yang sebenarnya akan dituju”.81

79

Jean Francois Lyotard, A Report on Knowledge (USA: Unwin Press, 1978), 43.

80Seyyed Hossein Nasr, Religion and The Order of Nature (New York: Oxford University, 1996), 131.

72

Dalam kaitannya dengan Islam dan pemikiran Islam, peradaban modern menjadi sebuah ancaman terhadap umat Islam. Dalam banyak hal umat Islam merasa terikat dengan tradisi yang dikembangkan atas dasar ajaran universal dari agama yang dianutnya. Akan tetapi, dalam kenyataan praktis, peradaban modern terasa begitu kuat mendesakkan nilai-nilai baru bagi perubahan sikap dan perilaku umat. Dengan demikian, sepintas sering dikatakan bahwa tradisionalisme Islam tampaknya tidak compatible lagi dengan kecenderungan modernisasi.82 Oleh karena itu sering kali diwacanakan bahwa Islam meng-counter terhadap globalisasi.83

Jadi, merupakan hal yang aneh jika realita ilmu pengetahuan menghegemoni agama, sebab seharusnya sebaliknya, atau minimal berjalan seimbang. Sebab agama merupakan fitrah insani yang paling hakiki. Tanpa agama manusia akan kehilangan fitrahnya. Kebutuhan manusia terhadap materi sebagai konsumsi jasmani, pada hakikatnya sama seperti kebutuhan manusia terhadap agama sebagai kebutuhan ruhani. Lebih jauh dari itu, seperti halnya kurang terpenuhinya kebutuhan materi akan dapat mematikan jasmani, demikian juga kurang terpenuhinya kebutuhan yang bersifat spiritiual akan dapat meatikan ruhani.84

b. Utopia Modernitas: Bangkitnya Kesadaran atas Agama

Kehidupan ruhani dalam Islam sebenarnya sudah dijalani oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, oleh Beliau sendiri dan para

82Basukiyanto, “Peradaban Islam di Tengah Globalisasi’, 2.

83

Sohail Inayatullah,“Islamic Civilization in Globalization”, diakses 07 Juli 2019.

73

sahabat Beliau. Dalam bidang teologi, sejak kanak-kanak Beliau tidak pernah menyembah berhala, dalam hal sosial Beliau senantiasa mengutamakan kejujuran, kesederhanaan dan tidak terpengaruh oleh kemegahan dunia. Kebiasaan seperti ini selanjutnya ditiru oleh para sahabat juga tokoh-tokoh sufi yang muncul kemudian pada masa tabi’in.85 Namun, modernitas menggerus budaya yang telah berjalan turun temurun selama lebih dari seribu tahu itu. Modernitas mengabaikan harkat kemanusiaan, dan yang paling dalam adalah sisi ruhani.86

Sekularisasi berjalan lebih jauh lagi pada abad ke-19, bahkan sampai memasuki wilayah teologi yang pada masa itu masih bersatu dengan kerangka agama, namun kemudian jatuh di bawah kekuasaan sekularisme. Pada waktu itu ideologi agnostik dan ateistik mulai mengancam teologi, sementara perspektif teologi tradisional mulai mundur dari wilayah yang seharusnya didudukinya, yakni wilayah pemikiran agama. Perlu digarisbawahi bahwa teologi dalam konteks Barat adalah segala hal yang utama dalam agama Kristen. Dalam agama Kristen, semua pemikiran yang berkaitan dengan teologi dan karenanya kemunduran teologi Kristen pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dari berbagai wilayah pemikiran, juga berarti kemunduran agama di Barat dari kehidupan sehari-hari.87

85 Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian Historis tentang Mistik (Surakarta: Ramadhani, 1990), 33.

86Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 71.

87

74

Menurut Yusuf Qardhawi, masyarakat Barat telah banyak membuka tabir ilmu pengetahuan, akan tetapi mereka tidak mampu menguak misteri dibalik wujudnya, mereka menguasai pengetahuan fisik, tetapi tidak dapat menundukan nafsunya, mereka menemukan teknologi nuklir, tetapi gagal mendapatkan ideologi dan spiritnya. Yusuf Qardhawi mengutip perkataan seorang ilmuan Barat, yang menyatakan bahwa masyarakat Barat sudah cukup baik, bisa terbang tinggi di udara bagaikan burung, bisa menyelam ke dasar laut seperti ikan, namun sama sekali tidak berjalan baik di muka bumi seperti layaknya manusia.88

Analisis Nasr, bahwa kondisi yang melanda kehidupan manusia modern seperti diuraikan diatas adalah akibat dari keterbelahan jiwa (split soul), yakni pemisahan antara dua aspek kehidupan yang mestinya berjalan beriringan, yaitu aspek intelektualitas dan aspek spiritualitas. Saat berada di tempat-tempat ibadah orang hanya bicara aspek spiritualitas, melupakan aspek intelektualitas, sebaliknya saat berada di tempat bekerja orang hanya berbicara intelektualitas meninggalkan aspek spiritualitas.89 Padahal kedua aspek ini antara satu dengan yang lain saling mengisi, intelektualitas tanpa dibarengi oleh spiritualitas hanya akan melahirkan kebahagiaan semu, sedangkan spiritualitas tanpa dibarengi oleh intelektualitas akan menimbulkan masyarakat yang jumud.

88

Yusuf al-Qardhawi, Epistemologi al-Qur’an, 117.

89Harifuddin Cawidu, Sufisme dan Fenomena Spiritualitas Masyarakat Industri; Telaah terhadap

75

Nasr menawarkan konsep mendekat kepada Tuhan melalui kontemplasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang mampu menggugah kesadara “siapa sebenarnya dibalik penciptaan segala sesuatu yang ada”. Dengan demikian seorang muslim akan merasakan kepuasan jiwa yang dapat mengantarnya menuju kepada Allah yang telah menciptakannya. Dalam pengertian Nasr, kontemplasi harus diintegrasikan dengan aksi, sebab bentuk kontemplasi spiritualitas Islam tidak pernah bertentangan dengan aksi, bahkan sebaliknya. Perpaduan inilah sesungguhnya yang menjadikan kebudayaan Islam mencapai puncak kejayaan sebagai kebudayaan yang paling kokoh dan aktif sepanjang sejarah manusia, yang sekaligus memperlihatkan kehidupan kontemplatif yang paling intensif. Keselarasan antara kontemplasi dan aksi dalam tradisi Islam telah ditunjukkan dalam tradisi Islam. Menurut Nasr ajaran Al-Qur’an menunjukkan keselarasan antara kontemplasi dengan aksi, antara

al-ilm dengan al-amal.90

Keselarasan antara kontemplasi dan aksi atau antara al-ilm dengan al-amal dipraktekkan oleh Allah SWT sendiri dalam proses penciptaan alam semesta. Saat hendak menciptakan segala sesuatu, Allah SWT tidak berhenti pada kalimat “kun” (jadilah), akan tetapi Ia melanjutkannya dengan aksi mewujudkan apa yang telah diucapkan-Nya. Apa yang

90

Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1983), xxv-xxvii.

76

difirmankan kemudian dilakukan-Nya merupakan aksi yang berkaitan erat dengan kontemplasi-Nya terhadap esensi segala sesuatu.91

Jauh sebelum Nasr, Muhammad Iqbal, seorang filososf muslim, telah mengajak manusia (baca: muslim) modern untuk kembali ke pola hidup sufistik. Menurutnya sufisme Islam memiliki spirit dinamis, aktif dan aktual.92 Iqbal telah berusaha memberikan pencerahan pemahaman sufistik Islam dengan spirit jihad yang aktif dan dinamis.93 Dengan gaya puitisnya, Iqbal menggugah umat Islam untuk melepaskan diri dari keterbelakangan dan dominasi Barat. Gayung bersambut, ide Iqbal ini banyak mendapat dukungan dari para pemikir lain, diantaranya Fazlur Rahman, sedangkan dalam konteks Indonesia tokoh yang giat menyuarakan kembali ke tasawuf adalah Hamka dengan gagasan tasawuf modernnya.

Dalam tesisnya, Hamka berpendapat bahwa sebenarnya kehidupan sufistik lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam, karena praktek kehidupan tasawuf tumbuh dan berkembang dari pribadi Nabi Muhammad SAW. Menurut Hamka tasawuf bukan berarti meninggalkan terlebih membenci dunia atau mengasingkan diri dari hiruk piku kehidupan. Tasawuf adalah menguatkan diri dalam rangka mendekatkan diri krpada

91‘Abd al-Raza>q al-Masya>ni, Istila>ha>t al-S}u>fiyyah (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1984), 104.

92Luce Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, terj. Johan Efendi (Bandung: Mizan, 1089), 21.

93 Sepanjang sejarahnya tasawuf selalu bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Menurut Nasaruddin Umar, hal inilah yang menjadi salah satu kunci mengapa tasawuf menjadi solusi bagi masyarakat modern yang bergelimang dengan dunia materi. Masyarkat modern tidak lagi merasa cukup memahami agama dari nsudut fikih yang dogmatis, normative, ritin, deduktif dan terkesan kering. Lihat Nasaruddin Umar, Tasawuf Modern; Jalan Mengenal dan Mendekatkan Diri kepada Allah SWT (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), 4.

77

Allah SWT. Tasawuf bukan menjauhkan diri dari kehidupan, akan tetapi hidup berbaur dengan masyarakat banyak, sebab mendekatkan diri kepada Allah SWT tidak harus tinggal di dalam masjid, di gua atau di tempat sepi lain.94

Lebih jauh Hamka berpendapat bahwa tasawuf Islam akan senantiasa sesuai dengan kemajuan jaman. Tasawuf adalah dimensi kerohanian Islam dan aktifitas spiritual, bukan kegiatan jasmani. Menurut Hamka, agar jasmani sehat, seseorang justru harus bergaul dengan orang lain, membiasakan diri untuk menggunakan fikirannya, menahan sahwat dan marah-marah serta bekerja secara teratur.95

Senada dengan para pemikir Islam di atas, Alvin Toffler dan Huntington, seperti dikutip oleh Masdar Hilmy, berpendapat bahwa kembali secara total kepada akar-akar lama terutama nilai-nilai spiritual dan religi, dianggap mampu menyembuhkan penyakit masyarakat modern berupa malaise jenis culture dan future shock. Dimata Huntington, bangkitnya spiritualitas adalah sebuah keniscayaan futuristic yang dimotivasi diantarnya oleh hasil-hasil teknologi dan urgensitas kebutuhan spiritualisme yang mendesak. Serangkaian kemajuan dalam bidang ilmu dan tekonologi menyisakan ruang kosong dalam sisi kejiwaan manusia sebagai makhluk yang secara insting punya potensi ketuhanan yang oleh David Goleman disebut dengan God-spot.96Perspektif sosiologi ketuhanan Durkheim menjelaskan teori ini, menurutnya sentral dari realitas sosial

94Hamka, Perkembangan Kebatinan Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), 77-79. 95

Hamka,Tasauf Modern, 3-4.

78

adalah perbedaan dua dunia yang bertolak belakang, yaitu dimensi duniawi (the profane) dan dimensi transenden-spiritual (the sacred). Dalam konteks ini, dalam hal dimensi duniawi terjadi distorsi teologis sebagai hasil dari akumulasi pergeseran visi budaya materialisme teknologis, sementara dimensi kedua yang seharusnya lebih penting terabaikan.97

Mengamalkan sufisme dalam kehidupan modern adalah sebuah alternatif dalam menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhani, dan sufisme yang memenuhi kriteria di era modern adalah tarekat. Tarekat sebagai dimensi esoteris dalam Islam yang mengutamakan moral dan etika, dengan tetap menjaga tradisi dan genealogi pendahulunya, merupakan alternatif di era modern ini. Sebab tarekat mengajarkan keseimbangan antara jasmani dan ruhani, material dan spiritual serta lahiriyah dan batiniah. Sebagai agama samawi, Islam bukan hanya menganjurkan pemenuhuan kebutuhan jasmani, tapi juga pemenuhan dimensi spiritual yang pada era modern ini hanya dapat diraih dengan hidup yang saleh ditengah masyarakat.

c. Tasawuf dalam Dunia Modern