• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAREKAT SEBAGAI MODEL RELIGIUSITAS MASYARAKAT PERKOTAAN

A. Akar dan Sejarah Kemunculan Tarekat

2) Neo-Sufism; Sufisme Kaum Pembaharu

87

manusiawi, sehingga sufisme diharapkan dapat mengatasi persoalan hidup terutama dalam aspek moralitas.119

2) Neo-Sufism; Sufisme Kaum Pembaharu

Fase awal kemunculan tasawuf pada abad ke-3 Hijriyah atau abad ke-9 Masehi, disebut dengan fase zuhud (asketisme),120 karena ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih memperhatikan akhirat dari pada kehidupan dunia. Mereka adalah para muhajirin yang tinggal di serambi masjid Madinah yang dipimpin oleh Abu Dhar al-Ghiffary. Keseharian kehidupan mereka dihabiskan dengan beribadah kepada Allah SWT.121 Pada fase berikutnya muncul berbagai macam konsepsi tentang perjalanan yang harus dilalui oleh seorang calon sufi yaitumaqa>ma>t dan ahwa>l. Selanjutnya berkembang pula konsep ma’rifat, fana dan ittihad. Sejak fase ini tasawuf berkembang dengan pesat ditandai dengan bermunculannya terminologi-terminologi baru dalam dunia tasawuf seperti al-kashf dan al-dhawq.122

Pada fase-fase perkembangan tasawuf ini, kaum intelegensia keagamaan Islam terbagi menjadi 2 kelompok : kaum ulama atau ahli hukum dan theology murni di satu pihak, dan mereka yang memberikan 119Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat, 183.

120 Sepanjang penelusuran peneliti, terminologi asceticism (asketisme) untuk menunjukan arti zuhud di Indonesia diperkenalkan pertama kali oleh Harun Nasution dalam bukunya Islam Ditinjau Dari Berbagai Macam Aspeknya. Dalam bukunya ini Harun Nasution berpendapat bahwa zuhud adalah langkah pertama dalam usaha mendekati Tuhan. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau, 174.

121Ibrahim Bashumi,Nash-ah al-Tas}awwuf fi> al-Isla>m (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1969), 9.

122Abu> al-Wafa> al-Ghani>my al-Taftaza>ny, Madkha>l ila> al-Tas}awwuf (Kairo: Da>r a-Thaqafah, 1974), 80-82.

88

dasar yang lebih bersifat pribadi di pihak lain. Diantara ilmu agama yang pertama kali berkembang adalah ilmu hukum. Aakan tetapi, kehidupan hukum itu sendiri, karena sifatnya sendiri, tentunya tetap tak bersifat pribadi. Sebagai reaksi terhadap perumusan Islam secara hukum inilah, asketisme kesalehan yang awal berubah secara pasti menjadi apa yang secara teknis dikenal dengan sufisme dengan ethosnya yang tersendiri. Masalahnya diantara kelompok sufi ini ada kelompok yang mengajarkan doktrin ekstrim tentang pengingkaran terhadap dunia. Salah seorang diantaranya adalah Muhammad ibn Wasi yang lebih suka menjadi orang yang bila ia makan, ia tidak peduli dari mana ia memperoleh makanan lagi nanti.123

Jurang pemisah diantara dua kelompok Islam semakin melebar, sebab pada saat yang sama filsafat dan theologi juga berkembang dalam wacana pemikiran Islam. Akhirnya munculah usaha-usaha untuk merentangkan jembatan diatas jurang yang memisahkan antara Islam ortodoks dan sufisme, sekaligus menjaga agar sufisme tetap berada dalam batas-batas yang wajar. Munculah Haris al-Muhasibi (w. 243 H), al-Kharraz (w. 286 H) dan tokoh kritik besar dalam sufisme serta perumus sufisme ortodoks, Junaid al-Baghdadi (w. 298 H). Mereka adalah sebagian tokoh yang melakukan pembaharuan sufi yang bertujuan mengintegrasikan kesadaran mistik dengan shari’ah.124

123

Fazlur Rahman, Islam, 186. 124Ibid., 201.

89

Dua abad setelah al-Muhasibi, munculah al-Ghazali, sufi besar yang tak terkirakan pengaruhnya, yang nampaknya menjadikan al-Muhasibi sebagai model. Ia tidak hanya membangun kembali Islam ortodoks dengan menjadikan sufisme sebagai bagian integral dari padanya, tetapi juga membersihkannya dari unsur-unsur yang tidak islamis dan mengembalikannya kepada paham Islam yang ortodoks, atau lebih tepatnya reorientasi Islam ortodoks, sekaligus sebagai pembaharu sufisme. Melalui pengaruh al-Ghazali, sufisme memperoleh restu dari konsensus masyarakat. Islam memperoleh daya tarik populer yang baru yang membuatnya tersebar ke daerah-daerah yang luas di Afrika, Asia Tengah dan India.125

Adalah Fazlur Rahman, seorang pemikir Islam kontemporer, yang kemudian memperkenalkan istilah Neo-sufisme126 terhadap apa yang telah dihasilkan oleh al-Ghazali dan tokoh tokoh-tokoh sebelumnya ini. Dalam hal ini Rahman sependapat dengan Ibn al-Qayyim al-Jawziyah dan gurunya, Ibn Taimiyyah, bahwa sufisme mungkin saja bisa menafsirkan dan memberi arti baru kepada shari’ah dan wahyu, tetapi tidak dapat mengabaikan keduanya. Mereka juga, berpendapat bahwa terdapat suatu keharusan untuk menyusun konsep

125Ibid., 202.

126Neo berarti “sesuatu yang baru atau diperbarui”. Lihat Pusat Bahasa Deartemen Pendidikan

Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 779. Dengan demikian Neo Sufisme seperti yang diklaim Rahman, berarti sufisme yang diperbaharui (reformed Sufism).

90

tentang shari’ah yang akan mensintesakan antara monism sufi dan realitas hukum moral.127

Dalam tulisan-tulisannya Ibn Taimiyyah sebenarnya lebih suka menggunakan termn al-taṣawwuf al-mashrū’ (tasawuf yang dishari’atkan atau tasawuf yang mengikuti hukum shara’). Dengan penambahan kata al-Mashrū’ ini Ibn Taimiyah ingin mengesankan bahwa tasawuf yang dikehendakinya adalah tasawuf yang berada dalam lingkup sari’ah. Yakni tasawuf yang secara normatif dan metodologis jelas dan tegas merujuk kepada al-Qur’an dan hadith, dan secara aplikatif mengikuti suri tauladan praktik keruhanian Nabi amuhammad SAW dan para ulama salaf. Oleh karena itu Ibn Taimiyyah menganggap bid’ah terhadap tasawuf yang berada di luar bingkai shariat.128

Rahman tidak sependapat dengan model kehidupan kaum sufi yang mengisolasi diri dari dunia.129 Menurutnya hal itu justru bertentangan dengan al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW, sebab al-Qur’an dan sunah justru sebaliknya, mengajarkan implementasi aktual dalam konteks kehidupan sosial. Kehidupan Nabi Muhammad SAW yang tidak memiliki apa-apa tidak boleh diartikan

127

Fazlur Rahman, Islam, 213-214.

128Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf; Kritik Ibn Taimiyah atas Rancang Bangun Tasawuf (Surabaya: JP Books-STAIN Press Kudus, 2007).

129

Seluruh turath tasawuf sunni menganjurkan para pelakunya berikhtiar untuk mencukupi kebuthan duniawi, bukan sebaliknya. Dalam hal ini al-shaikh Nasr ibn Muhammad al-Samarqand sampai berkata bahwa ibadah itu terdiri dari 10 bagian, sembilan bagian justru berada dalam bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, hanya satu saja bagian ibadah murni. Lihat Nasr ibn Muhammad al-Samarqand,Tanbi>h al-Gha>fili>n (ttt: Da>r Ih}ya> al-Kutub al-`Arabiyyah, tt),

91

sebagai penolakannya terhadap dunia, hal itu sekedar menunjukan kesederhanaan kehidupan Nabi Muhammad SAW.130

Jadi menurut Rahman, neo-sufisme adalah tasawuf yang telah diperbaharui, yang telah dilucuti dari ciri dan kandungan ecstatic dan metafisiknya, digantikan dengan kandungan yang bersumber kepada dalil-dalil ortodoksi Islam. Tasawuf model baru ini menekankan faktor-faktor moral dan kontrol diri yang puritan dalam bertasawuf, dengan meninggalkan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf yang menyimpang (unorthodox sufism).131 Pusat perhatian neo-Sufisme adalah merekonstruksi sosio-moral dari masyarakat Muslim. Bertolak belakang dengan tasawuf sebelumnya, yang terutama menekankan individu dan bukan masyarakat. Sehingga, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah puritan dan aktivis.132

Para pengamal neo-sufism tidak menjauhkan diri dari kehidupan dunia, tetapi sebaliknya melakukan inner detachment untuk mencapai realisasi spiritual yang lebih maksimal.133 Nucholis Madjid menambahkan bahwa neo-sufisme cenderung mengajarkan pelakunya untuk menanamkan kembali sikap positif kepada dunia, bukan meninggalkannya.134 Dengan istilah lain, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa neo-sufisme adalah esoterisme atau penghayatan

130Fazlur Rahman, Islam, 163-164.

131Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 125-126. 132Ibid., 126.

133 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah

(Jakarta: Gramedia, 2002), 194. 134

Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), 94.

92

keagamaan yang menghendaki pengikutnya untuk hidup secara aktif dan terlibat dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan.135

Menurut Nurcholish Madjid, dalam perkembangannya neo-sufisme tampil dalam apa yang disebut oleh Dr. Sa‘id Ramadhan sebagai al-rūḥanīyat al-ijtimā’iyah (spiritualisme sosial), yang bercirikan : Pertama; Membaca dan merenungkan makna kitab suci al-Quran. Kedua; Membaca dan mempelajari makna kehadiran Nabi Muhammad SAW melalui sunah dan biografinya. Ketiga; memelihara hubungan dengan orang-orang saleh seperti para ulama dan tokoh-tokoh yang zuhud. Keempat; Menjaga diri dari sikap dan tingkah laku tercela. Kelima; Mempelajari hal-hal metafisika dalam al-Quran dan al-Sunnah, dengan sikap percaya penuh. Keenam; Menjaga ibadah-ibadah wajib dan sunah.136

Lebih jelasnya, menurut Azra, karakter dasar neo-sufisme yang membedakannya dengan sufisme lama adalah menolak praktek tasawuf yang ekstrim dan eksatis, menolak pemujaan yang berlebihan terhadap para wali sufi dan kuburannya atau tempat-tempat lain yang dianggap suci, menolak faham wahdah al-wujud, konsep wahdah al-wujud dipahami sebagai kerangka transendensi Tuhan, sehingga Tuhan tetap sebagai Tuhan Sang Pencipta, menolak fanatisme berlebihan seorang murid kepada guru murshidnya, memposisikan Nabi Muhammad SAW

135Nurcholis Majid, Sufisme dan Masa Depan Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), 15.

136Sulaiman Al-Kumayi, "Gerakan Pembaruan Tasawuf Di Indonesia”, Teologia, Vol. 24, Nomor

93

sebagai shaikh tarekat, bukan awliya> atau para pendiri tarekat, mendirikan organisasi yang terstruktur, menolak taqlid dan mendorong setiap individu muslim untuk melakukan ijtihad dan kesediaan berpolitik dan menjadi patriot militerian untuk membela Islam.137

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa neo-sufisme tidak hanya mengajarkan kesalehan individual, melainkan kesalehan sosial ditengah masyarakat. Atau dengan kata lain neo-sufisme tidak hanya mengajarkan mencari surga untuk diri sendiri dalam keterasingan, akan tetapi juga membangun surga untuk orang banyak dalam kehidupan sosial.