• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tasawuf Urban; Sufisme Model Kosmopolitan

TAREKAT SEBAGAI MODEL RELIGIUSITAS MASYARAKAT PERKOTAAN

A. Akar dan Sejarah Kemunculan Tarekat

3) Tasawuf Urban; Sufisme Model Kosmopolitan

93

sebagai shaikh tarekat, bukan awliya> atau para pendiri tarekat, mendirikan organisasi yang terstruktur, menolak taqlid dan mendorong setiap individu muslim untuk melakukan ijtihad dan kesediaan berpolitik dan menjadi patriot militerian untuk membela Islam.137

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa neo-sufisme tidak hanya mengajarkan kesalehan individual, melainkan kesalehan sosial ditengah masyarakat. Atau dengan kata lain neo-sufisme tidak hanya mengajarkan mencari surga untuk diri sendiri dalam keterasingan, akan tetapi juga membangun surga untuk orang banyak dalam kehidupan sosial.

3) Tasawuf Urban; Sufisme Model Kosmopolitan

Jika ditelusuri, secara genealogi terminologi urban sufism adalah kelanjutan dari neo-sufisme yang dicetuskan oleh Fazlur Rahman. Neo-sufisme sendiri muncul sebagai kritik terhadap tradisi sufisme klasik yang dianggap menyimpang seperti ajaran tentang wah}dah al-wuju>d, al-ittih}a>d, al-h}ulu>l dan wah}dah al-adya>n.138 Terminologi urban sufism diperkenalkan oleh Julia Day Howell melalui bukunya Urban Sufism (2003) dalam kajian antropogi yang dilakukannya tentang fenomena menjamurnya gerakan tasawuf di kota besar di Indonesia seperti kelompok pengajian Paramadina, Tazkiya Sejati dan lain-lain. Meski menimbulkan pro kontra, terminologi baru

137Azyumardi Azra, Tasawuf dan Tarekat (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002), 379-381. 138

Julia Day Howell, “Modernity and Islamic Spirituality in Indonesia’s New Sufi Networks”,

dalam Martin van Bruinessen dan Julia D. Howell (eds.), Sufism and The Modern in Islam (New York dan London: IB Tauris, 2007), 217.

94

ini memperkaya wacana diskursus keilmuan dikalangan peneliti dan akademisi.139

Kehidupan modern telah mengakibatkan termarjinalisirnya banyak segmen masyarakat dari kehidupan sosial mereka, menimbulkan disorientasi yang berujung pada krisis sosial. Menurut Jurgen Habermas kondisi ini sangat menganggu kemandirian integrasi masyarakat, yakni integrasi sistem dan integrasi sosial. Integrasi sistem berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat untuk bisa tetap survive dengan cara bekerja dan berproduksi. Sedangkan integrasi sosial berhubungan dengan tatanan normatif, identitas sosial, makna simbolis, dan tujuan hidup.140

Kondisi seperti ini membuat masyarakat modern mencari alternatif sebagai solusi dari berbagai macam problem yang mereka hadapi, dan agamalah yang menjadi pilihan. Relatif mapannya keadaan ekonomi di jaman modern, terutama sekali masyarkat perkotaan kelas menengah ke atas, tidak hanya mendorong mereka mengerjakan ibadah yang memerlukan biaya tidak sedikit seperti haji dan umrah, tetapi juga mengeksplorasi pengalaman keagamaan dan spiritualitas yang lebih intens. Ini hanya bisa diberikan oleh sufisme, juga bentuk-bentuk

139 Sri Mulyati misalnya, menyatakan bahwa tidak selalu apa yang dilakukan oleh sebuah komunitas dalam rangka mencapai kesalehan spiritual itu termasuk ke dalam kategori sufisme. Jika dimaknai secara konvensional, tarekat merupakan bagian dari tasawuf, dalam hal ini adalah termasuk mu’tabarah atau ghairu mu’tabarah. Oleh karena itu jika tidak masuk dalam dua kelompok tersebut, apa yang dilakukan oleh komunitas di atas hanya masuk dalam termonologi akhlak. Lihat Sri Mulyati, "Spiritual Kota ltu Bukan Gerakan Sufi", dalam Risalah Nahdlatul Ulama, No. 10/thn 11, (1429 H), 27-28. Agaknya memang Howell terlalu longgar dalam mendefinisikan term “sufisme”, sehingga aliran kebatinan seperti Sapta Darma-pun dimasukan ke

dalam kelompok sufi ortodoks.

140

95

spritualitas Islam lainnya yang tidak sesuai dengan paradigm dan bentuk tasawuf konvensional.141

Urban sufism adalah fenomena umum yang menjamur di hampir semua kota besar di seluruh dunia. Ini merupakan bukti munculnya perhatian masyarakat urban terhadap dunia spiritualitas, sebagai konsekuensi atas teralienasinya mereka dari dunianya sendiri. Mereka merasakan kehampaan batiniah di tengah terpenuhinya kebutuhan jasmani. Fenomena ini sekaligus penegasan atas nilai universalisme dunia sufistik, sebab sufisme cenderung bersifat lentur, toleran, dan akomodatif terhadap keragamaan faham keagamaan dan tradisi lokal. Bahkan dalam level tertentu sufisme mengandung ajaran kesatuan agama-agama (wahdah al-adya>n).142

Dalam pandangan Howell, merebaknya fenomena urban sufisme di Indonesia tidak terlepas dari kondisi sosial, politik dan budaya. Tahun 1950an dan 1960an para pemeluk Islam urban di Indonesia -yang nota bene mereka adalah kaum modernis, mengkritik ordo tarekat dan praktik spiritual sufi. Mereka tidak setuju dengan ritual dzikir yang dilakukan dalam durasi waktu yang lama dan intens. Kaum urban modernis juga prihatin terhadap para pengikut tarekat yang etos sosialnya dianggap terbelakang, hierarki yang kaku, tuntutan untuk setia terhadap shaykh yang berlebihan tanpa kritik dan keharusan

141

Azyumardi Azra,“Sufisme dan yang Modern”, v.

142 M. Misbah, “Fenomena Urban Spiritualitas: Solusi Atas Kegersangan Spiritual Masyarakat Kota”, Komunika, VoL 5, No. l (Januari Juni 2011), 140.

96

menjauhkan diri dari kehidupan sosial setelah mereka berbai’at. Kelompok tarekat ini dikategorikan ke dalam kelompok mistik yang heterodoks (golongan kebatinan) yang dalam istilah Howell disebut sebagai “agama baru yang sinkretik”. Namun pada tahun 1970-an situasi ini berubah cepat, meskipun masih ada beberapa steorotip lama yang bertahan.143

Perkembangan selanjutnya, sejak tahun 1980-an, menurut pengamatan Azyumardi Azra, secara keagamaaan di Indonesia terjadi gejala peningkatan attachment kepada Islam. Gejala ini dikenal dengan istilah satrinisasi. Proses santrinisasi ini, masih menurut Azra, sangat mungkin terjadi karena mulai terbentuknya kelas menengah muslim di tengah terjadinya perubahan arah politik rezim penguasa yang lebih akomodatif terhadap kaum Muslim.144

Diantara ciri khas kelompok-kelompok urban sufisme adalah sifatnya yang sangat personal,145 setiap jamaah memiliki motif dan tujuan yang berbeda dalam keikutsertaan mereka bersama kelompok urban sufism ini. Mayoritas dari mereka memang mencari ketenangan batin di tengah dominasi nilai-nilai materialisme dan hedonisme kehidupan modern. Namun, meskipun kesadaran terhadap dimensi spiritualitas kaum modernis ini mengambil spirit sufisme pada

143Julia Day Howell “Modernitas dan Spiritualitas Islam”, 374-375.

144

Azyumardi Azra, Pengantar dalam Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell, Urban Sufisme (Jakarta: Rajawali Press, 2008), V.

145Oman Fathurahman, “Urban Sufism: Perubahan dan Kesinambungan Ajaran Tasawuf” dalam

Rizal Sukma dan Clara Joewono (ed.), Gerakan dan Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer (Jakarta: CSIS, 2007), 123.

97

umumnya, akan tetapi mereka menegasikan berbagai hierarki ajaran tarekat yang dianggap kaku. Oleh karena itu di kalangan kelompok urban sufismedikenal jargon “bertasawuf tanpa tarekat”.146

Secara garis besar urban sufisme terbagi menjadi dua kelompok, yaitu gerakan spiritual yangmengutamakan ritual dzikir dan do’a tanpa berafiliasi kepada organisasi tarekat tetentu dan gerakan tasawuf konvensional yang masih terikat dengan simpu-simpul organisasi tarekat. Namun lebih detil para pengamat mengelompokan urban sufisme dalam beberapa model, yaitu :147

Pertama; Urban sufisme yang terlembagakan. Diantaranya Yayasan Wakaf Paramadina pimpinan Nurcholis Madjid. Melalui kegiatan-kegiatan pengajian dan kursus yang diselenggarakannya Nurcholis Madjid mencoba mengemas tasawuf menjadi lebih menarik untuk memenuhi hasrat masyarakat perkotaan yang haus akan nilai-nilai spiritual. Lembaga lainnya urban sufisme lainnya adalah Tazkiya Sejati pimpinan Jalaluddin Rahmat, Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf (Lembkota) Semarang yang dibina oleh Prof. Amin Syukur, IIMaN sebagai pusat pengembangan tasawuf positif di bawah koordinasi Haidar Bagir dan Ary Ginanjar dengan lembaga ESQ-nya,

146 Arif Zamhari, Ritual of Islamic Spirituality: A Study of Majlis Dzikr Groups in East Java (Australia: Australian National University Press, 2010), 2.

147 Tentang pembagian model urdan sufisme ini lihat Mashudi Umar, "Cara Melahirkan 'Sufi'

Modern”, dalam Risalah Nahdlatul Ulama, No.10, Thn 11/1429 H., 25. Lihat juga Oman

Fathurahman, "Urban Sufism: "Kaum Sufi Berdasi" di Indonesia", dalam http://indonesianmuslim.com/37.html, diakses 1 Maret 2019.

98

dan masih banyak lagi. Seperti halnya Paramadina, Lembaga-lembaga tersebut juga menyelenggarakan berbagai bentuk kegiatan seperti kursus, dan pelatihan dengan menyuguhkan materi-materi yang berkaitan dengan tasawuf. Lembaga-lembaga ini diminati para peserta yang umumnya berasal dari masyarakat kalangan kelas menengah (middle class).

Pengenalan ajaran tasawuf oleh lembaga-lembaga ini berbeda dengan pengamalan tasawuf konvensional. Ada yang mengemasnya dengan model training, paket kursus singkat kajian Islam atau dengan menyediakan bahan-bahan panduan dzikir yang dikemas sendiri oleh para pendiri lembaga-lembaga tersebut. Model terakhir ini tentu jauh berbeda dengan dzikir tarekat konvensional yang diajarkan secara turun temurun dari para mursyidnya terdahulu.

Kedua, urban sufisme yang berafiliasi dengan organisasi tarekat konvensional seperti tarikat Khalwatiyah, al-Qadiriyah wa al-Naqshabandiyah, Tijaniah dan lain-lain. Organisasi-organsasi tarekat ini pada mulanya muncul di perkotaan, kemudian bergeser ke pedesaan dan akhir-akhir ini kembali lagi muncul di perkotaan.

Ketiga, urban sufisme dengan ajaran spiritualnya yang eklektis dan dilakukan dengan model pelatihan spiritual dan meditasi seperti Padepokan Anand Ashram yang dipimpin oleh Anand Krishna dan Salamullah yang didirikan oleh Lia Aminudin. Berbeda dengan lembaga-lembaga keagamaan di atas yang berbasis pada ajaran-ajaran

99

Islam, Anand Krishna menyuguhkan berbagai pelatihan spiritual yang diklaimnya sebagai tidak terikat dengan sekat salah satu agama tertentu, akan tetapi menggabungkannya menjadi menu spiritual ala Anand. Dari sejumlah buku yang ditulisnya, Anand Krishna terlihat ingin memanfaatkan potensi lokal dari semua agama yang berkembang di masyarakat.