• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAREKAT SEBAGAI MODEL RELIGIUSITAS MASYARAKAT PERKOTAAN

A. Kemunculan dan Perkembangan TQN al-Oesmaniyah

4. Koneksitas Murid-Murshid

132

Sebanyak tujuh kali. Kemudian dilanjutkan dengan bersama-sama membaca h}amdalah, s}alawat dan salam kepada Nabi Muhamad SAW, membaca istighfar tiga kali, membacas}alawat lagi tiga kali, kemudian murshid membaca dzikir ﷲ ﻻا ﮫﻟاﻻ sebanyak tiga kali, lalu diikuti oleh calon murshid, dilanjutkan bersama-sama lagi membaca ﷺ ﷲ لﻮﺳر ﷴ ﺎﻧﺪﯿﺳ. Selanjutnya bersama-sama membaca s}alawat Munjiya>t, ayat ke-10 surat al-Fath}. Prosesi bay‘at diakhiri dengan membaca suratal-Fa>tih}ah.

Bay‘at tarekat al-Naqshabandiyyah dimulai dengan bersama-sama membaca surat al-Fa>tih}ah tiga kali dipimpin oleh murshid. Selanjutnya calon murid diperintahkan untuk melakukan dzikir sirr dengan melafalkan kalimat ﷲ diiringi dengan memutar tasbih. Murshid mengakiri dzikir sirr dengan do’a dan menutup prosesi bay’at dengan membaca do’a.67

4. Koneksitas Murid-Murshid

Komponen utama organisasi tarekat terdiri atas guru, murid dan ritual. Guru tarekat yang disebut murshid, shyakh, mura>d atau pir memiliki peranan penting bahkan mutlak dalam tarekat sufi. Murshid dianggap sebagai as}ra>f al-na>s fi al t}ari>qah (orang yang paling tinggi martabatnya dalam tarekat),68

karena murshid-lah yang mengajarkan bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah

67

Ahmad Asrori Ishaqy, Kaifiyah Dzikir Qadiriyah wa Naqshabandiyah (Surabaya: al-Wava Publishing, 2007), 1-4.

68 Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat; Dimensi Esoteris Ajaran Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), 173.

133

SWT dengan benar sesuai dengan tuntunan shari‘at dan hakikat,69 melalui ritual zikir yang harus diamalkan setelah seseorang mengikutitalqin.70

Mengenai pentingnya murshid dalam bertarekat, al-Gha>zali menulis bahwa seorang sa>lik membutuhkan murshid dalam perjalanannya menuju kehadirat Allah SWT, yang akan membimbingnya melalui jalan yang benar. Sebab jalan menuju kehadirat-Nya sangat samar, sebaliknya jalan menuju ke arah setan sangat terang benderang dan banyak macamnya. Maka barangsiapa tidak mengikuti seorang murshid dalam perajalanan suluknya, dia akan dibimbing oleh setan menuju ke arahnya.71 Pada bagian lain al-Gha>zali mengingatkan, bahwa hendaklah si sa>lik berpegang teguh kepada tuntunan gurunya bagaikan seorang buta di tepi sungai berpegangan kepada seseorang. Ia harus sepenuh hati menyerahkan dirinya kepada pembimbingnya, serta tidak berselisih pendapat dengannya.72

Kyai Asrori mengibaratkan seorang shaykh bagaikan seorang dokter. Seseorang pasti pernah mengeluhkan penyakit yang dideritanya, baik penyakit dalam maupun penyakit luar. Meskipun ia seorang dokter spesialis, ia tidak bisa mengobati dirinya sendiri, pasti memerlukan bantuan dokter lain. Demikian halnya penyakit hati, semua orang pasti mengalaminya. Penyakit hati jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan penyakit jasad, sebab akibatanya tidak hanya dirasakan di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Oleh

69 Para guru tarekat berkonsensus bahwa tidak boleh seorang murshid membimbing muridnya

kecuali setelah ia menguasai ilmu shari’at beserta perangkat-perangkatnya. Lihat Abd Wahab ibn

Ahmad ibn Aly al-Qushairy,al-Minan al-Kubra> (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2015), 43.

70Ibid. 71

Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazaly,Ihya> ‘Ulu>m Di>n Vol. 3 (Beirut :Da>r

al-Fikr, 1995), 42.

134

karena itu pengobatannya jauh lebih sulit, sebab penyakit ini lebih samar dan lebih lembut. Untuk mengobati penyakit ini hanya seorang shaykh yang dapat melakukannya.73

Terdapat ungkapan yang senada dengan konsep Kyai Asrori diatas. Dikutip oleh Mahmud Subhi, Shaykh Junaid al-Bahgdadi berkata bahwa penyakit yang dirasakan oleh anggota tubuh seseorang jauh lebih ringan dibandingkan dengan penyakit hati yang dideritanya. Sebab penyakit yang menimpa jasad mudah sekali untuk disembuhkan, sedangkan penyakit yang menjangkiti hati pada umumnya menimpa permasalaha kepercayaan, sehingga bisa menyebabkan kebinasaan bagi penderitanya.74

Robert Frager, memilki metafora lain, menurutnya Tuhan bagaikan samudra, para darwis adalah setetes air, dan shaykh adalah sebuah sungai yang terhubung dengan samudera. Tetesan air belajar untuk bersatu dengan sungai dan akhirnya menyatu dengan samudera. Agar proses ini dapat terjadi, tetesan air haruslah berada di dalam hubungan yang wajibm dengan sungai, dan kemudian dengan samudera, hingga ia menjadi terserap ke dalam keseluruhan yang lebih besar. Hubungan ini dapat diperoleh melalui zikir.75

73 Ahmad Asrori Al Ishaqy, al-Muntakhaba>t Vol. III, 228-230. Kyai Asrori membagi penyakit

batin menjadi tiga macam. Pertama; penyakit jiwa. Penyakit ini berhubungan dengan keinginan (syahwat) jasmani, seperti makan dan minuman yang enak, pakaian dan kendaraan bagus, rumah mewah dan sebagainya. Kedua; penyakit hati. Penyakit ini berhubungan dengan keinginan-keinginan (syahwat) hati, seperti ingin pangkat dan kedudukan yang tinggi, dihormati, dimuliakan, sombong, hasud, iri dan sebagainya. Ketiga; penyakit ruh. Penyakit ini berhubungan dengan ruh, seperti mencari karamah, maqam, surga, bidadari dan sebagainya. LihatAhmad Asrori Al Ishaqy,

al-Muntakhaba>t Vol. III, 229-230.

74

Ahmad Mahmud Subhi, Filsafat Etika; Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intusionalis Islam (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), 247.

75Robert Frager, Psikologi Sufi; Untuk Transformasi Hati, Jiwa dan Ruh, Terj. Hasmiyah Rauf (Jakarta: Zaman, 1999), 297.

135

Mengenai pentingnya murshid, Kyai Asrori berargumen dengan dua fakta. Pertama, bahwa wahyu diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, padahal derajat Beliau SAW jauh lebih mulia dibandingkan dengan malaikat Jibril.76Kedua, saat Nabi Musa AS mencari guru untuk mempelajari ilmu yang belum dikuasainya, Allah SWT menyuruhnya untuk belajar kepada seorang sholih bernama Khidir, padahal Nabi Musa AS adalah seorang Nabi dan rasul, bahkan dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.77

Mengutip pendapat shaykh Muzaffer, Robert Frager menuturkan:

Hubungan antara shaykh dan darwis adalah proses hidup yang rumit dan mistik. Dalam beberapa hal, ia bagaikan hubungan antara suami dan isteri. Namun, di dalam hubungan belajar mengajar yang mendalam ini, tindakan cinta tidaklah bersifat jasmaniyah, hubungan muncul dari mulut sang shaykh dan telinga sang darwis. Jika hubungan tersebut suci dan penuh cinta, maka dikatakan bahwa seorang anak telah dilahirkan di dalam hati seorang darwis.

Cinta antara darwis dan shaykh haruslah seribu kali lebih besar dari bentuk tertinggi cinta antara pris dan wanita. Ketika cinta diantara seorang pria dan wanita telah terwujud, kerap kali dua pihak tersebut berpaling dan salin melupakan, setidaknya untuk sementara waktu. Ketika cinta diantara shaykh dan darwis telah terwujud, mereka tidak akan berpisah. Hati mereka selalu bersatu, selamanya, dan cinta ini tidak pernah pudar.

Walaupun shaykh sering kali disimbolkan sebagai matahari dan para darwis sebagai planet-planet, shaykh juga bagaikan sebuah cermin atau pemancar. Yakni, cahaya dan rahmat yang mengalir dari seorang shaykh bukanlah miliknya. Semuanya bersumber dari Allah SWT.78

Peran guru tarekat sangat sentral dalam hal memotifasi para murid agar semangat mereka tumbuh dalam beribadah serta mengarahkan mereka dalam percepatan perjalanan ruhani. Oleh karena itu, dalam organisasi tarekat murid

76Ahmad Asrori Al Ishaqy, al-Muntakhaba>t Vol. III, 218.

77al-Qur’an, 18: 65-69.

136

harus menyatakan ketundukan mutlak kepada murshidnya dalam segala urusannya, baik yang berhubungan dengan dunia, maupun urusan akhirat. Dalam hal ini Abu> Ali al-Daqqa>q berkata bahwa jika sebatang pohon tumbuh dengan sendirinya tanpa ada orang yang merawatnya, maka meskipun pohon tersebut berdaun tidak akan berbuah. Begitu juga halnya seorang murid, jika tidak dibimbing oleh seorang murshid, maka ia tidak akan menemukan jalan terbuka, bahkan ia akan menuruti hawa nafsunya.79

Ibn Khaldu>n menyatakan bahwa seorang murshid tidak saja membuka hati muridnya atas semua kelemahannya, akan tetapi juga menuntun ke hadirat Allah SWT dengan menunjukkan rambu-rambunya, yang akan membuat murid waspada terhadap berbagai macam jebakan yang dipasang oleh setan dan hawa nafsunya sendiri. Murshid juga akan menjelaskan semua permasalahan batin yang dihadapinya, misalnya al-wa>rid yang dirasakannya, atau al-ahwa>l yang ditempuhnya. Jadi dalam hal ini murshid bagaikan dokter bagi pasiennya atau bagai seorang pemimpin yang adil bagi bawahannya.80

Hubungan erat antara murid dengan murshid, dalam tarekat al-Naqshabandiyyah dikenal dengan terminologi ra>bit}ah. Ra>bit}ah diartikan sebagai meditasi, wasilah dalam berhubungan dengan Allah SWT dalam wujud berdzikir yang didahului dengan mengingat wajah guru murshidnya, maksudnya menghadirkan wujud sang murshid. Dalam imajinasi seseorang hati murshid daan muridnya saling berhadapan. Ini menggambarkan ketika

79Muhammad ibn Abd Kari>m Kasnaza>n, Mausu>’ah Kasnazaniyah Vol. 99, 88. Lihat juga Abu

Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazaly,Ihya> ‘Ulu>m al-Di>n Vol. 3, 65.

137

seseorang melakukan wirid ia harus berwasilah dulu dengan murshidnya, sebab melalui guru itulah zikir yang dibaca akan dapat diterima oleh Allah SWT.81

Kyai Asrori al-Ishaqy mendefinisikanra>bit}ah dengan :

ﻪﺨﻴﺷ ترﻮﺻ ﺎ ﻪﺗرﻮﺻ رﻮﺼﺘﺑ وا ﻪﺒﻠﻗ ﰲ وا ﻪﻛرﺪﻣ ﰲ ﻪﺨﻴﺷ ةرﻮﺻ ﻚﻟﺎﺴﻟا ﻆﻔﺣ ﻦﻋ ةرﺎﺒﻋ

ﺊﻴﺷ ﻞﻛ ﰲ ﻪﺨﻴﺷ ةرﻮﺻ ىﺮﻳ ﻚﻟﺎﺴﻟا ﻰﻠﻋ ﺔﻄﺑاﺮﻟا ﺖﺒﻠﻏ اذﺎﻓ

82

Mengenai ra>bit}ah Shaykh Baha> al-Di>n al-Naqshabandi berkata bahwa ra>bit}ah merupakan sebab tercepat seorang murid dapat sampai kehadirat Allah SWT setelah berpegang teguh kepada al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW.83

Demi meraih kesuksesan dalam perjalanan tarekatnya, seorang murid harus mengikuti lima hal yang telah digariskan oleh Shaykh Zurru>q, seperti yang dikutip oleh Shaykh Muhammad Utsman al-Ishaqy: Pertama, hendaknya ia memasrahkan semua urusannya kepada gurunya. Kedua, Tidak menentang kepada gurunya. Ketiga, Hanya mengikuti gurunya, kecuali dalam hal ilmu. Artinya ia boleh belajar kepada guru lain, sebab bagi seorang yang beriman ilmu diumpamakan barang hilang yang harus terus dicari sampai dapat. Keempat, Menjaga adab kepada gurunya, baik saat berada dihadapannya

81Yusuf Khat}t}ar Muhammad, Mau’su>ah, 361.

82Achmad asrori Ishaqy, Ba>qiya>t Shha>liha>t wa ‘A>qiba>t Khaira>t wa Kha>tima>t

al-Hasana>t (Surabaya: Wava Publishing, 2012), 26.

138

maupun saat jauh darinya.84Kelima, Tidak menyembunyikan perjalanan ruhani kepada gurunya.85