• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Komparasi Riset Buku Teks PAI 1.Riset Abu Rochmad 1.Riset Abu Rochmad

ANALISIS KOMPARASI MUATAN RADIKALISME, TOLERANSI DAN DEMOKRASI DALAM BUKU TEKS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) SMA

B. Analisis Komparasi Riset Buku Teks PAI 1.Riset Abu Rochmad 1.Riset Abu Rochmad

Riset yang dilakukan oleh Abu Rocmad dengan judul Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal. Meskipun riset ini judulnya bukan membahas tentang PAI akan tetapi salah satu poin penting dalam riset ini yaitu buku ajar PAI dan LKS yang dianggap sebagai salah satu elemen radikalisme. Berikut beberapa materi yang dianggap mengandung elemen radikal oleh Abu Rocmad:

Materi pembahasan ayat-ayat al-Qur’an tentang manusia dan tugasnya sebagai khalīfah di bumi, diuraikan ayat-ayat al-Baqarah [2]: 30, al-Mu’minun [23]: 12-14, al-Dzariyat [51]: 56 dan al-Nahl [16]: 78. Pada materi ini terdapat pernyataan “tugas pokok manusia sebagai khalīfah adalah mengolah bumi untuk diperoleh manfaatnya bagi kehidupan manusia itu sendiri secara berkelanjutan. Dari satu sisi, penugasan tersebut dapat merupakan pelimpahan kekuasaan politik kepada manusia. Di sisi lain karena yang menjadikan dan menugaskan itu adalah Allah SWT. Maka para petugas dalam menjalankan tugasnya harus memperhatikan kehendak dan aturan yang memberi tugas.” Dalam pandangan Rocmad, kalimat ini bisa melahirkan pandangan ekstrem apabila aturan tersebut dianggap aturan Allah. Sehingga akan kurang menguntungkan bagi meraka yang memiliki pemahaman berbeda dengan kelompok Islam yang menghendaki penegakkan aturan atau syari’at Islam.

Materi pembahasan ayat-ayat al-Qur’an tentang manusia dan tugasnya sebagai khalīfah di bumi sebenarnya penulis juga temukan dalam materi buku PAI terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Erlangga dan Yudistira. Dalam pandangan Peneliti, pembahasan materi ini masih wajar, kalaupun ada teks yang terkesan radikal, dalam pandangan Peneliti hal tersebut tidaklah bisa langsung dinyatakan radikal, karena pada dasarnya pernyataan tersebut hanyalah potongan-potongan teks yang sebelumnya telah dijelaskan tentang tindakan-tindakan yang harus dilakukan sebagai upaya menumbuhkan toleransi dan menerima berbagai perbedaan.

Selanjutnya materi kedua yang dianggap mengandung elemen radikalisme yaitu ayat-ayat al-Qur’an tentang keikhlasan beribadah, yaitu ayat-ayat al-An’am:

162-163, dan al-Bayyinah: 5. Pada materi ini terdapat kalimat yang menyebutkan “Ayat tersebut dari segi redaksional terkait dengan Ahli Kitab, yaitu orang Yahudi dan Nasrani. Mereka disuruh Allah untuk shalat dan membayar zakat, sebab itulah cara beragama yang benar. Tetapi mereka menyimpang dan menyekutukan Allah, padahal mereka sudah mengetahui perintah-perntah itu dari isi kitab-kitab yang mereka miliki yaitu kitab Taurat dan Injil.” Dalam pandangan Rocmad, Pernyataan ini jika dibawa di luar konteks ayat maka akan melahirkan persoalan terkait dengan hubungan antar pemeluk agama, karena image negatif yang mungkin dapat terbangun di benak siswa.

Materi berikutnya yaitu materi pembahasan ayat al-Qur’an tentang demokrasi. Dalam pembahasan materi ini, terdapat pernyataan yang dianggap mengandung dimensi radikalisme yaitu “tidak boleh bermsyawarah untuk memilih pemimpin bagi kaum Muslimin yang bukan Muslim” ini didasarkan pada ayat 51 surat Al-Maidah. Ayat tersebut diartikan sebagai berikut: ““Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani teman setia(mu), mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.” Dalam pandangan Rocmad, menjadikan ayat ini sebagai rujukan untuk tidak boleh menjadikan orang yang bukan Muslimin sebagai pemimpin adalah diskriminatif, jika tanpa menyebutkan kepemimipinan apa yang dimaksudkan. Dalam batas tertentu, pemahaman atas ayat di atas dapat memicu timbulnya kebencian antar umat beragama.

Selaras dengan pendapat Rocmad, menurut Penulis. Pembahasan tentang kepemimpinan haruslah dijabarkan secara jelas, komprehensif dan kontekstual. Persoalan kepemimpinan non muslim khususnya kepemimpinan di sektor politik merupakan persoalan sensitif yang banyak menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, sejatinya persoalan ini dibahas secara komprehensif bagaimana pendapat para intelektual Islam dalam menyikapi persoalan ini.

Berikut ini, penulis paparkan beberapa perbedaan pendapat tentang kepemimpinan non muslim di sektor politik. Sebagaimana disebutkan oleh Alusi yang dikutip oleh Syarif bahwa orang muslim dilarang untuk mengangkat non muslim menjadi karyawan hingga kepala negara. Bahkan lebih lanjut ia menyatakan bahwa dilarangan mengangkat non muslim juga mengakomodasi larangan penghormatan kepadanya seperti memanggil dengan gelar kehormatan hingga memberi salam kepada mereka. Karena menurutnya suatu penghormatan dianggap sebagai pemberian loyalitas kepada non muslim. (Mujar; 2006: 96)

Selaras dengan pandangan Alusi, menurut al-Shabuni sebagaimana dikutip oleh Mujar bahwa Allah melarang orang muslim untuk menjalin keakraban penuh cinta kepada orang-orang kafir. Tiada pada tempatnya jika orang-orang mu’min bekerjasama dengan musuh-musuh Allah. Sebab tidak logis, bila dalam diri seseorang dapat berpadu perasaan sinta kepada Allah dan kepada musuh-musuhnya sekaligus. Ini suatu perpaduan dari dua hal yang saling kontradiktif secara diametral. Seseorang yang mencintai Allah, seharusnya membenci musuh-musuh Allah. Karena itu, tidak boleh seseorang muslim bekerjasama dan menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin yang diakrabi, dicintai dan dimintai pertolongan dengan meninggalkan saudara-saudaranya sesame mu’min, sebab keimanan dan kekafiran itu dua hal yang tidak mungkin dipertemukan satu sama lain. (Mujar; 2006: 101-102)

Larangan mengangkat non muslim sebagai pemimpin juga diutarakan oleh al-Zamakhsyari, menurutnya orang-orang kafir merupakan musuh umat Islam karena itu sangat tidak logis jika umat Islam justru mengangkat musuhnya sebagai pemimpinnnya. Senada pula dengan Al-Zamakhsyari, ali al-sayis menyatakan bahwa dengan mengangkat orang kafir sebagai pemimpin umat Islam maka umat Islam seolah memandangan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang kafir itu adalah hal yang baik. Hal seperti ini tidak boleh terjadi, sebab dengan meridhoi kekafiran berarti bahwa seseorang telah menjadi kafir pula. (Mujar; 2006: 102)

Senada dengan Alusi, al-Zamaksyari, Ali al-sayis, menurut thabathaba’i bahwa mengangkat orang kafir sebagai pemimpin muslim lebih berbahaya dari pada kekafiran kaum kafir dan kemusyrikan kaum musyrik. Karena menurutnya, kaum kafir merupakan musuh umat Islam dan apabila musuh dijadikan teman, maka ia akan menjadi musuh dalam selimut yang jauh lebih sulit untuk dihadapi ketimbang menghadapi musuh yang berada di luar lingkungan umat Islam. Oleh karena itu, menurut thabathaba’I, jika umat Islam tidak ingin mengalami kehancuran maka umat Islam tidak boleh menjadikan non muslim sebagai pemimpin mereka. (Mujar; 2006: 101-103)

Adapun dalil-dalil yang sering digunakan oleh kaum radikal untuk menolak kepemimpinan non muslin yaitu :

Q.S Ali Imran: 118 yang Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (Q.S Ali Imran: 118)

Al-maidah: 51 dan 57 yang artinya:

“Hai orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-maidah: 51)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil Jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu Jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (Al-maidah: 57)

Di kalangan sebagian kaum muslim, ayat tersebut bermakna tidak bolehnya menjadikan kaum muslim mengangkat kaum non muslim sebagai pemimpin atau sebaliknya tidak bolehnya kaum muslim berpartisipasi dalam pemerintahan non muslim. Sebagaimana ditegaskan oleh Al-Maududi yang dikutip oleh Mujar bahwa semua muslim yang ada di negara sekuler haruslah menjauhkan diri dari proses pemerintahan. Karena barangsiapa yang melanggar maka mereka akan menjalani kehidupan yang bergelimang dosa sehingga dengan demikian mereka halal untuk di bunuh.(Mujar; 2006: 111)

Senada dengan Al-Maududi, pentolan Ikhwanul Muslimin Sayyid Quthub dengan tegas menolak kepemimpinan non muslim bahkan kaum muslim bukan hanya dilarang menjadikan non muslim sebagai pemimpin akan tetapi juga di larang untuk bekerjasama atau mengadakan perjanjian persahabatan ataupun persekutuan dengan non muslim karena mereka pada dasarnya, non muslim itu adalah penghianat dan musuh umat Islam. (Mujar; 2006: 114) sama dengan Al-Maududi dan Sayyid Quthub, menurut Taqi al-din Al-Nabhani, haram hukumnya bagi kaum muslim menjadikan orang kafir sebagai penguasa/ pemimpin mereka. (Mujar; 2006:138)

Berdasarkan hal di atas, tidak heran jika sebagian kalangan menolak kepemimpinan Basuki Cahaya Purnama atau Ahok di Jakarta serta berusaha mencegah dan melunturkan popularitas Ahok agar tidak terpilih menjadi gubernur Jakarta periode 2017-2022. Penolakan atas kepemimpinan Ahok bukan tanpa dasar karena Ahok merupakan pemeluk agama Kristen sehingga dianggap sebagai kafir. Bahkan berita terbaru yang di muat di sebuah Koran Ibukota menyebutkan bahwa Ahok adalah seorang kafir yang bisa memicu terjadinya konflik di Indonesia.

Berbeda dengan al-Maududi, Sayyid Qutbh, dukungan terhadap kepemimpinan non muslim mengalir dari Mahmoud Muhammad Thoha, Abdullah Ahmad Na’im, Thariq al-bishri, Asghar Ali Enginer dan Muhammad Sa’id Al-Ashmawi.

Menurut Muhammad Thoha, kaum minoritas non muslim memiliki hak yang sama antara umat Islam untu menjadi seorang pemimpin. Karena itu, pandangan fiqh klasik yang bercorak diskriminatif terhadap non muslim, yang menganggap bahwa non muslim tidak boleh menjadi seorang pemimpin harus segera di reformasi. Dukungan kepemimpinan non muslim tersebut juga diutarakan oleh Abdullah Ahmad Na’im, menurut Na’im bahwa pandangan fiqh klasik yang menolak presiden non muslim dapat dibenarkan pada konteks historisnya karena pada waktu itu, belum dibentuk konsepsi hak-hak asasi manusia universal di dunia ini. Akan tetapi, untuk konteks sekarang hal tersebut tidak dapat dibenarkan mengingat bahwa setelah konsepsi hak-hak asasi manusia dibentuk maka diskrimiasi atas dasar agama seperti penolakan kepemimpinan non musli itu jelas melanggar penegakan hak asasi manusia sehingga bisa menyulut konflik baik pada skala lokal maupun internasional. (Mujar; 2006: 144-145)

Senada dengan Muhammad Thoha, menurut Asghar Ali enginer, Penolakan kepemimpinan non muslim atas mayoritas muslim adalah suatu bentuk perlakukan diskriminasi. Melakukan diskriminasi karena alasan perbedaan agama, kasta maupun kelas bukan lagi jamannya. Untuk itu, seseorang tidak boleh menjadikan agama sebagai focus dalam memilih pemimpin akan tetapi, memilih pemimpin haruslah didasarkan pada kecakapan memerintah dan kemampuan menegakkan keadilan, menentang kezaliman dan kesewenang-wenangan. (Mujar; 2006: 155)

Dalam kondisi politik dan social budaya yang semakin terbuka dan menuntut diperlakukannya setiap orang, apapun agamanya atas dasar prinsip persamaan, sudah sewajarnyalah jika hukum Islam mengenai kedudukan non muslim perlu diredefisi. Orientasinya hendaknya pada prestasi dan kemampuan menjalankan pekerjaan sebagai amanah, sehingga tidak akan didiskriminasikan

apakah muslim atau non musli dalam menjalankan amanah itu. Yang paling penting adalah mana atau siapa yang mampu melaksanakan amanah dengan prestasi yang terbaik. Dengan kata lain, maka yang menjadi ukuran adalah profesionalisme, untuk menduduki jabatan gubernur: muslim yang tidak mampu atau non muslim yang mampu? Maka jawabannya adalah yang mampu, meskipun dia adalah non muslim. ((Mujar; 2006: 156)

Pernyataan di atas, selaras dengan ungkapan ibnu taimiyah yang berarti bahwa: “Allah dapat membuat bangsa non Muslim menang atas bangsa Muslim jika mereka adil sedang bangsa Muslim berbuat sebaliknya” (Mernissi; 2000: 224).

Dari ungkapan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam sistem demokrasi tidak ada istilah diskriminasi dan setiap masyarakat punya hak yang sama dalam pemerintahan termasuk di dalamnya hak memilih dan dipilih sebagai pemimpin. Berbeda dengan negara Islam yang tidak membolehkan mengangkat pemimpin dari kalangan non muslim sebab dalam negara Islam, pemimpin wilayah juga sebagai pemimpin agama. Oleh karena itu, bagi kaum liberal, status agama maupun jenis kelamin seorang tidak menjadi persoalan selama pemimpin tersebut bisa berlaku adil terhadap rakyatnya dan bisa membawa kemajuan bagi Negara.

Materi berikutnya yaitu perkembangan Islam pada masa modern yang diawali pada tahun 1800 sampai sekarang. Dalam pembahasan materi ini terdapat pernyataan yang dianggap mengandung dimensi radikalisme yang berakar dari sikap anti barat. Adapun pernyataan yang dianggap anti barat tersebut adalah “Faktor lain yang mempengaruhi kemunduran umat Islam saat ini yaitu adanya pengaruh kebudayan Barat. Pengaruh tersebut banyak ditiru oleh para pemuda Islam tanpa memilih mana yang layak dan sesuai dengan etika Islam. Hal ini menyebabkan krisis moral di kalangan umat Islam, baik terhadap pemuda, atau terhadap penguasa sekalipun. Menurut Rocmad, tidak ada penjelasan secara rinci bisa mendorong siswa untuk anti terhadap barat. Sebab seolah-olah, Barat-lah yang merusak generasi muda Islam.

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa Bom Bali adalah Kebencian terhadap Barat. Sebagaimana pengakuan dari pelaku Bom Bali yaitu Imam Samudra bahwa “Berdasarkan niat atau target, jelas bom Bali merupakan jihād fī sabīlillāh, karena yang jadi sasaran utama adalah bangsa-bangsa penjajah seperti AS dan sekutunya. (Abu rocmad, 2011: 18)

Di samping materi-materi di atas, materi-materi yang menurut Rocmad mengandung muatan radikalisme yaitu materi tentang toleransi dalam Q.S. Al-Kafirun:1-6, nikah beda agama serta negara-negara Islam. Dalam pandangan Rocmad, materi seperti ini bisa memicu radikalisme apabila materi ini jatuh di tangan guru yang menganut ideologi radikal.

Hasil riset Abu Rochmad menyebutkan organisasi sekolah, guru, buku ajar dan LKS mengandung elemen radikalisme. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat penulis simpulkan bahwa hasil riset Abu rocmad memiliki kesamaan dengan hasil riset yang peneliti lakukan. Titik temu dari riset Abu Rocmad dengan riset peneliti yaitu pada hasil riset yang menyimpulkan bahwa buku teks PAI mengandung elemen radikalisme.

Perbedaan riset Rocmad dengan riset yang penulis lakukan yaitu subyek penelitian. Jika Rocmad mengkaji buku ajar PAI terbitan Karya Toha Putra

Semarang, maka peneliti mengkaji buku PAI terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Erlangga dan Yudistira.

2. Riset PPIM 2016

Riset yang dilakukan oleh PPIM tahun 2016 dengan judul Diseminasi paham eksklusif dalam buku ajar SD sampai SMA. Riset ini menyoroti muatan radikalisme, intoleransi dan kekerasan dalam buku teks PAI SD-SMA yang sempat menuai kecaman di kalangan masyarakat. Sebagai kesimpulan, riset ini menyatakan bahwa buku PAI SD-SMA mengandung muatan radikalisme dan intoleransi. Kesan intoleransi pada buku teks PAI tercermin dalam bentuk teks yang sering menyalahkan pendapat atau praktik ibadah yang berbeda, mempromosikan pendapat yang satu tanpa menghadirkan pendapat yang lain. Berikut ini contoh teks buku PAI SMA yang tidak akomodatif, dengan perbedaan dalam Islam yaitu:

Buku PAI SMA Pernyataan yang terkesan eksklusif, intoleran dan tidak akomodatif pada

perbedaan.

Kelas 10, hal. 56 “Kau adalah kotor karena kau kafir” Kelas 10, hal. 22 “Menutup aurat wajib hukumnya bagi

perempuan muslim” Kelas 11, hal. 181 Penegasan pelaksanaan syariah

mensyaratkan khilafah

Kelas 12, hal. 129 Permusuhan terhadapa kafir dan musyrik. Kelas 12, hal. 68 Demokrasi sebagai syirik,

merujuk pendapat Abul A’la Maududi

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat dipaparkan bahwa bagi kalangan PPIM bahwa kalimat yang menggambarkan non muslim (umar sebelum masuk Islam) sebagai najis. Menunjukkan bahwa buku PAI tidak akomodatif pada perbedaan karena kalimat-kalimatnya dapat memancing kebencian sehingga terkesan ambigu terhadap toleransi. Seharusnya buku PAI memberikan gambaran positif tentang Yahudi, Nasrani dengan menampilkan ayat yang mendukung kebebasan beragama agar kesan toleransi menjadi jelas.

Kalimat yang menekankan konsep tentang kewajiban bagi perempuan untuk menutup aurat termasuk saat berada di ruang publik. Oleh PPIM juga dianggap terkesan intoleran pada perbedaan. Karena di samping ada perbedaan paham tentang konsep aurat dalam masyarakat, terdapat juga perbedaan penggunaan busana di kalangan umat Islam. Sehingga dengan demikian, penegasan kalimat ini akan berbenturan langsung dengan realitas lapangan yang menunjukkan masih banyak kalangan perempuan muslim yang tidak menutup aurat. Lebih lanjut menurut PPIM, terdapat perbedaan pandangan tentang konsep menutup aurat bahwa menutup aurat kecuali muka dan telapan tangan hanya berlaku saat sholat dan bukan di ruang publik.

Berbeda dengan PPIM, menurut penulis, teks tentang konsep menutup aurat dalam buku kelas X halaman 22 tidaklah menyiratkan muatan radikal j meustru ini lebih menyuratkan toleransi. toleransi dalam hal ini terlihat dari adanya kebebasan dalam berbusana. Selama ini, pengekangan bagi wanita muslim untuk masuk dalam

ranah militer terlihat sangat jelas. Indikasinya yaitu adanya larangan bagi polisi wanita untuk menggunakan hijab. Namun seiring dengan perjalanan zaman, semuanya mulai bergeser. Kesempatan terbuka lebar bagi wanita muslim untuk berkarir di bidang apa saja.

Di samping itu, penekanan tentang wajibnya menutup aurat bukanlah hal mengada-ada akan tetapi berdasarkan firman Allah. Dengan demikian, terlalu dini jika mengatakan bahwa adanya perintah wajib menutup aurat adalah indikator radikalisme. Dalam pandangan penulis, anjuran menutup aurat adalah sesuatu hal yang sangat tepat karena di samping menjaga pemakainya dari pandangan nakal dan niat-niat jahat yang mungkin muncul dari penggunaan pakaian yang minim, penggunaan hijab juga menjadi sebagai sebuah kewajiban bagi umat muslim.

Kalimat selanjutnya yang dipersoalkan oleh PPIM adalah penegasan pelaksanaan syariah mensyaratkan khilafah. Bagi kalangan PPIM, penegasan kalimat ini, akan berdampak pada pengetahuan siswa pada pancasila. Pancasila bisa jadi dianggap bertentangan dengan syari’at Islam. Padahal sejatinya, Pancasila tidaklah sama sekali bertentangan dengan Islam bahkan pengamalan Pancasila dengan sebaik-baiknya merupakan bentuk dari pengamalan Islam.

Kalimat yang menegaskan adanya permusuhan kepada kafir dan musyrik. Bagi kalangan PPIM termasuk kalimat intoleran. Tujuan PAI adalah pada hakikatnya bukan hanya mengukuhkan menyampaikan konsep habluminallah akan tetapi juga habluminannas. Sehingga seharusnya pernyataan-pernyataan dalam buku PAI tidak memberikan gambaran permusuhan akan tetapi lebih pada toleransi dan kebebasan berkeyakinan.

Bagi PPIM, kalimat yang menegaskan demokrasi sebagai syirik dengan merujuk pendapat Abul A’la Maududi dianggap sebagai kalimat yang tidak akomodatif terhadap perbedaan.

Berdasarkan hasil analisis penulis, apa yang disampaikan oleh PPIM bahwa pesan toleransi dalam buku PAI terkesan ambigu adalah benar adanya. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya teks-teks bermuatan radikalisme disamping teks-teks bermuatan toleransi dan demokrasi dalam buku PAI.

Dengan demikian, maka dapat dijelaskan bahwa adapun persamaaan antara penelitian ini dengan penelitian PPIM yaitu di samping pada objek penelitian yaitu pada kesimpulan penelitian bahwa buku teks PAI mengandung muatan radikalisme. sementara itu, adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian dari PPIM adalah objek penelitian. Jika PPIM meneliti buku teks PAI SD-SMA, maka peneliti sendiri mengambil objek kajian buku PAI tingkat SMA yang diterbitkan oleh tiga penerbit yang berbeda yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Erlangga dan Yudistira. Perbedaan juga terdapat pada fokus penelitian, jika PPIM fokusnya hanya pada muatan radikalisme, maka peneliti memilih untuk meneliti muatan toleransi dan demokrasi di samping muatan radikalisme.