• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan Status Sosial dan Identitas Diri dengan Daya Konsumsi 84

BAB III PERUBAHAN POLA KONSUMSI PEMUDA DI ERA

B. Perubahan Pola Konsumsi Pemuda dengan E-wallet

5. Keterkaitan Status Sosial dan Identitas Diri dengan Daya Konsumsi 84

Konsumsi menurut Baudrillard memegang peranan penting dalam hidup manusia. Konsumsi membuat manusia tidak mencari persamaan, manusia justru melakukan diferensiasi (perbedaan) yang menjadi acuan gaya hidup dan nilai, bukan kebutuhan ekonomi (Lechte, 2001:254). Masyarakat modern meyakini bahwa semakin banyak konsumsi yang dilakukan, maka hal itu akan berdampak pada golongan status sosialnya yang akan menjadi semakin tinggi. Baudrillard memaparkan bahwa konsumsi juga ditentukan oleh seperangkat hasrat untuk memperole h status, penghormatan, prestise, dan konstruksi identitas melalui ‘mekanisme penandaan’ (Bakti et al., 2019).

Masyarakat mulai meyakini bahwa konsumsi yang mereka lakukan akan berdampak besar dan panjang bagi kehidupan pribadi mereka ke

85

depan. Masyarakat mulai selalu mengaitkan identitas diri sendiri dan orang lain berdasarkan seberapa banyak konsumsi barang yang telah dibeli dan jasa yang digunakan. Sehingga hal itu akan memacu masyarakat sedikit demi sedikit untuk berkonsumsi secara tidak berhenti dan tidak mudah puas. Dari situ, perubahan gaya hidup seseorang mulai terbentuk. Informan Z menuturkan bahwa kondisi masyarakat sudah di tahapan yang akan berjuang penuh untuk terlihat kaya di depan orang lain agar status sosial dirinya naik, “menurut aku, that’s why banyak orang yang mati-matian pengen terlihat kaya di depan orang lain, padahal sebenernya dia ga punya uang sebanyak itu, karna aku sering lihat itu si.” Hal serupa diungkapkan juga oleh informan I,

Kalau ngeliat realita sosial yang ada di masyarakat, bisa dibilang iya. Karena beberapa orang pasti tergabung atau berkumpul dengan orang yang mempunyai status sosial yang sama di mana gaya konsumsinya cenderung mirip (wawancara dengan I, 03 Juni 2020).

Informan V mengatakan bahwa perbedaan daya konsumsi yang berujung pada penggolongan status sosial berawal dari SES (Social Economy Status) bahwa seseorang yang memiliki SES tinggi akan cenderung mengonsumsi lebih banyak dibanding seseorang yang memilik i SES rendah, meskipun tidak menutup kemungkinan keduanya berbalik posisi,

Hmm aku melihat ada perbedaan aja sih. Mungkin bisa dibilang cukup menentukan. Karena kalau orang yang mungkin daya belinya rendah bisa dilihat dari barang-barang yang dibeli atau brand-brand yang jadi preferensi, bisa dilihat juga dari kualitas atau tampilan barangnya. Hal tersebut akan berbeda banget dengan orang yang memiliki daya beli tinggi. Beda kebutuhan juga sih untuk orang yang SES (Social Economy

86

Status)nya tinggi pun akan memiliki kebutuhan yang berbeda juga dengan yang SES rendah. Tetapi kalau suatu pola perilaku (apakah dia berlebihan atau tidak) terlepas dari barang yang dibeli itu akan sama-sama aja. Bisa jadi orang dengan SES rendah jajannya sering banget sedangkan SES yang lebih tinggi belanja sesuai kebutuhan aja atau sebaliknya. Sama aja itu disebut pola konsumsi berlebihan (wawancara dengan V, 14 Juni 2020).

Baudrillard dalam bukunya yang berjudul The Consumer Society pada tahun 1998 mengungkapkan,

One of the strongest proofs that the principal and finality of consumption is not enjoyment or pleasure that is now something which is forced upon us, something institutionalized, not as right or pleasure but as the duty of citizen (Baudrillard 1998)

Atau bisa diartikan bahwa konsumen tidak lagi melakukan tindakan konsumsi suatu objek atas dasar kebutuhan atau kenikmatan, tetapi juga untuk mendapatkan status sosial tertentu dari nilai tanda yang diberikan (Pawanti, 2013). Implikasinya adalah bahwa konsumsi menjadi bentuk simbol aktif dari konstruksi identitas (Bakti et al., 2019). Masyarakat konsumeris mulai mengonstruksi ulang identitas diri mereka dengan cara berkonsumsi secara terus menerus tanpa melihat dampak buruk di masa depan baik secara psikologis maupun habisnya pendapatan. Identitas diri yang akan berimplikasi pada pembawaan status sosial seakan menjadi faktor penentu nyaman dan tenangnya hidup seseorang. Hal ini didukung dengan keterangan dari Paul du Gay, et al. dalam bukunya yang berjudul Doing Cultural Studies: The Stories of the Sony Walkman (1997) yang menelusuri bahwa sejarah munculnya kritik atas budaya konsumtif dalam masyarakat konsumeris adalah fakta bahwa kebanyakan konsumen melakukan kegiatan konsumsi demi penentuan identitas diri mereka.

87

Penentuan ‘siapa aku’ atau status diri ditemukan dengan mengonsumsi produk yang citra luarnya bisa mengangkat derajat identitas dirinya. (Paul du Gay, et al, 1997: 99-102). Alhasil masyarakat konsumeris akan memaknai eksistensi dirinya dan juga orang lain berdasarkan barang-barang yang sudah dibeli dan konsumsi jasa serta pengalaman yang didapat. Baudrillard mengungkapkan bahwa masyarakat konsumeris perlu melakukan kegiatan konsumsi sebagai upaya untuk merasa hidup.

Ritzer dalam kata pengantar di buku The Consumer Society karya Jean Baudrillard (2010: 137) membahasakan fenomena ini dengan kalimat, “Ketika kita mengonsumsi objek, maka kita mengonsumsi tanda, dan sedang dalam prosesnya kita mendefinisikan diri kita.” Tanda yang terpatri dalam barang dan jasa membuat kita mendefinisikan diri dengan tanda yang muncul. Padahal sejatinya, tanda itu sendiri dibuat oleh pihak eksternal di luar diri kita, produsen yang memasarkan barangnya melalui iklan, lalu dipakai oleh selebriti dan kalangan atas, perlahan mula i merasuki kehidupan masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan yang terpapar dengan paparan citra-citra tersebut akan terus merasa haus eksistensi, haus dengan konsumsi barang dan pengalaman jasa yang ditawarkan oleh barang-barang buatan produsen, yang menimbulka n identitas diri kita adalah citra barang dan jasa yang kita konsumsi selama ini. Produsen di sini pada akhirnya akan berkembang menjadi kapitalis me postmodern (Ritzer, 2010:69). Senjata kapitalisme global ini kalau meminjam istilah Berger (2010: 205-206) dinamakan culture code, sebuah

88

struktur rahasia yang membentuk atau setidaknya mempengaruhi perilaku masyarakat yang akan membuat hidup masyarakat didikte oleh eksistens i objek.

Skema III.B.5. Analisis Perubahan Pola Konsumsi dengan Teori Jean Baudrillard

C. Sarana Penggunaan E-Wallet

Masif dan tingginya pengguna e-wallet salah satunya diliha t berdasarkan nominal transaksi pada pertengahan tahun 2019 yang mencapai angka lebih dari Rp 56 triliun (Tirto.id, 2019). Selain itu hal ini ditunja ng dengan terdigitalisasinya berbagai pembayaran, dari hal primer hingga sekunder, dari pembayaran di toko perbelanjaan (mall) besar hingga warung makan pinggir jalan. Melihat pada variasi fitur yang bisa dibayar menggunakan e-wallet, informan W mengungkapkan, pembayaran Membuat terjadinya pergeseran nilai primer dan sekunder Produsen memproduksi barang secara melimpah Terbentuknya masyarakat konsumerisme Berpengaruh pada identitas diri dan

status soial

Melalui sarana iklan yang berbahasa persuasif Menjadi sign dan symbol value Menimbulkan pergeseran use dan exchange value dalam berkonsumsi Kesejahteraan masyarakat meningkat

89

kebutuhan rumah tangga sehari-hari menjadi prioritasnya dalam pembayaran menggunakan e-wallet, “pembayaran PAM rutin tiap bulan lewat GoPay, beli makanan, serta memesan transportasi online.” Informan Z menuturk a n bahwa pembelian skincare hingga belanja online dibayarnya dengan penggunaan e-wallet,

Haha banyak banget yang aku pake dari GoRide (memesan transportasi online), GoFood (memesan makanan online), beli pulsa, bayar pulsa listrik, bayar skincare di sociolla (bayar dengan GoPay dan OVO), dan bayar barang di Tokopedia (bayar dengan OVO) (wawancara dengan Z, 03 Juni 2020).

Gambar III.C.1.Poster Cashback Sociolla dengan GoPay dan Promo Pembayaran Tagihan Rumah Tangga dengan OVO

Sumber: Twitter OVO dan Sociolla (diunduh pada 10 Agustus 2020)

Bahkan informan F menuturkan bahwa investasi yang dilakukannya bisa dibayar dengan e-wallet yang memudahkannya untuk membayar,

Aku pake e-wallet untuk pesan transportasi online, belanja barang-barang di Tokopedia (bayar dengan OVO), belanja make up di Sociolla (bayar dengan GoPay dan OVO), investasi di Bibit (bayar dengan GoPay), dan beli kebutuhan game (wawancara dengan F, 04 Juni 2020).

90

Informan V menyebutkan sebagai karyawan di GO-JEK, transaksi dengan e-wallet adalah hal yang wajar, mengingat semua keperluan transaksi menggunakan e-wallet (GoPay),

Karena aku kerja di GO-JEK haha jadi semua transaksi di kantor pakai GoPay, aku pake untuk pesen transportasi online, bayar tagihan (listrik, pascabayar, dll), pesen makanan utama juga sering karena bunda suka capek masak, jadi suka beli makan malam online, kita juga suka pesen makanan dessert yang manis-manis gitu, terus aku hampir tiap hari beli kopi-kopi gitu si, haha, di kantor dan di deket rumah aku ada toko langganan (wawancara dengan V, 14 Juni 2020).

Teknologi pada hakikatnya diciptakan untuk memudahka n kehidupan manusia menjadi lebih baik dan lebih maju. Manusia sebagai pencipta dan pemilik teknologi diharap tidak menjadi budak atas ciptaannya sendiri. Sebagaimana konsumsi dan produksi yang akan terus ada dari hidup manusia, namun yang membedakan kita dengan ciptaan Tuhan lainnya adalah kemampuan kita mengendalikan kontrol atas keinginan dan kebutuhan diri.